d. Penerimaan terhadap makna kehidupan Sering kita berkonfronasi dengan ucapan untuk apa hidup ini. Bagi orang
dewasa menerima hidup itu bermakna.penerimaan ini benar-benar sesuatu yang dihayati. Juga melihat perbuatan sehari-hari dengan makna kehidupan. Makna
kehidupan itu dihayati tidak lepas dari ideologi yang dianutnya.
2.5 Hubungan antara
Relational Mobility dengan Work Value pada Individu Dewasa yang Memiliki Mobilitas Sosial Rendah.
Manusia yang telah menyandang status dewasa, dirinya diharapkan siap menerima kewajiban dan tanggung jawab kedewasaannya yang ditunjukkan
dengan pola-pola tingkah laku wajar seperti yang berlaku pada kebudayaan sekitarnya dan memiliki suatu pekerjaan, karena manusia dewasa digolongkan
sebagai manusia produktif dimana manusia tersebut mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dari apa yang dikerjakannya.
Menurut Mappiare 1983: 21 masa dewasa memiliki ciri-ciri yaitu usia reproduktif atau reproductive age, usia memantapkan letak kedudukan atau
setting-down age. Usia dimana dewasa harus memiliki dan melakukan suatu pekerjaan.
Setiap dewasa yang memiliki pekerjaan tentunya mempunyai lingkungan dan kebudayaan masing-masing yang mempengaruhi nilai-nilai individu yang
dibawa ke dalam pekerjaannya sehingga membentuk nilai kerja tertentu. Sesuai dengan penelitian yang berjudul
“Dinamika Nilai Kerja: Studi Indigenous Karyawan Bersuku Jawa”. Karyawan Jawa Juga kebanyakan merasakan
perubahan nilai kerja yang positif, dan alasan terbanyak perubahan tersebut karena
pengaruh lingkungan pekerjaan. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa budaya dari satu negara dengan negara lain atau satu daerah
dengan daerah lain pasti berbeda Sheila, 2013: 1. Penelitian lain yang mendukung nilai kerja berbeda disetiap negara atau
budaya yaitu penelitian yang berjudul “A Theory of Cultural Values and Some Implications for Work
”. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai kerja pada 49 negara di seluruh dunia. Perbedaan nilai kerja tersebut
disebabkan nilai budaya pada masing-masing negara. Schwartz 1999: 26 menyatakan bahwa masing-masing budaya menghasilkan nilai kerja berbeda.
Penelitian nilai kerja lintas budaya yang masih berhubungan dengan penelitian tersebut adalah penelitian Ros 1999 yang berjudul “Basic Individual Values,
Work Values, and the Meaning of Work ”. Diakhir paragraf, Ros 1999: 69
menyimpulkan bahwa nilai kerja berkolerasi dengan variabel pengalaman sosial. Nilai kerja yang dimiliki orang dewasa pada masing-masing budaya tidak
terlepas dari pengaruh pengalaman sosial dalam menjalani hidup bermasyarakat, yaitu cara individu berinteraksi dengan orang-orang disekitar dan teman dekat
para dewasa. Menurut Mappiare 1990: 21 membahas persoalan yang berhubungan dengan pekerjaan dan jabatan. Kompleksnya persoalan pekerjaan ini
disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan intern individu itu sendiri, faktor-faktor lingkungan sosial termasuk orang tua, faktor kesempatan
kerja dan lapangan kerja yang tersedia. Faktor intern yang meliputi ciri-ciri pribadi, sikap, kemampuan dan ketrampilan khusus tertentu haruslah dimiliki
seseorang untuk dapat memasuki suatu lapangan pekerjaan tertentu.
Asumsi tersebut sesuai dengan penelitian yang berjudul “Identifying the
Dimensions and Components of Islamic Work Values IWV for Public services sector of Iran
”. Khanifar et al. 2011: 255 menyimpulkan secara keseluruhan, penelitian telah dicoba untuk melihat nilai kerja dari perspektif Islam secara
sistematis dan mempertimbangkan semua aspek, tidak hanya aspek moral dan spiritual yang mempengaruhi nilai kerja seseorang, tetapi juga aspek-aspek
material, kebahagiaan lingkungan kerja dan kepuasan kerja juga mempengaruhi nilai kerja.
Dose 1997 mendefinisikan nilai kerja sebagai standar evaluatif yang berkaitan dengan pekerjaan atau lingkungan kerja dimana individu mendiskusikan
apa yang benar atau menilai pentingnya kebutuhan dalam bekerja dalam Matic, 2008: 95. Seperti penelitian nilai kerja lintas budaya Matic 2008 yang berjudul
“Cultural Differences In Employee Work Values And Their Implications For Management
”. Dalam penelitian tersebut, Matic menjelaskan ada perbedaan dan kesamaan nilai kerja perempuan dewasa Kroasia dan Amerika. Matic menemukan
nilai kerja wanita Kroasia yang sangat menonjol yaitu memiliki hubungan baik dengan manajer yang menyumbang nilai sebesar 64,52.
Penelitian lain yang mendukung bahwa nilai kerja dipengaruhi interaksi antar individu adalah
peneltian yang berjudul “Hubungan Antara Nilai Kerja dan Faktor Demografi Guru Pelatih”. Penelitian ini menunjukkan nilai kerja
berhubungan dengan hubungan sosial Kasa, 2004: 7. Menurut Johnson 2002 nilai kerja juga banyak dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya yang luas dalam
Kasa, 2004: 7.
Penelitian lain yang masih sejalan adalah penelitian yang berjudul “The
Effects of Work Values, Work-Value Congruence and Work Centrality on Organizational Citizenship Behavior
”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai kerja yang melekat pada setiap orang berbeda-beda Ucanok, 2009: 626.
Teori dan penelitian tentang nilai kerja terdahulu sebagian besar menyimpulkan nilai kerja yang berasal dari sistem nilai dasar masyarakat yang
membantu mereka untuk mengarahkan untuk bekerja melalui beberapa bidang kehidupan mereka. Nilai kerja lebih spesifik dari pada nilai-nilai kehidupan umum
karena mereka berlaku untuk lingkungan hidup tertentu. Dengan demikian, nilai kerja mempengaruhi pentingnya kerja dalam kehidupan individu. Dalam
penelitian terdahulu, selain faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi nilai kerja, menurut Ginzberg 1951 ditambahkan dimensi ketiga. Dimensi ketiga
ini disebut nilai-nilai sosial lingkungan mengacu pada hubungan dengan rekan kerja dan lingkungan kerja itu sendiri. Karyawan yang percaya bahwa mereka
dapat mencapai tujuan atau nilai-nilai mereka melalui tindakan bekerja terlibat dalam perilaku yang bertanggung jawab dan optimis dalam lingkungan kerja
dalam Ucanok, 2009: 628. Nilai kerja yang dimiliki orang dewasa dipengaruhi oleh orang-orang yang
berada di lingkungan dan budaya yang melatar belakanginya. Pada masing- masing budaya dan lingkungan pekerjaan para dewasa memiliki kemampuan
untuk berinteraksi dengan individu satu dengan yang lainnya, serta menjalin hubungan dengan rekan baru dan meninggalkan hubungan teman lama yang
dianggapnya tidak begitu penting, proses tersebut adalah relational mobility.
Masing-masing lingkungan dan budaya, para dewasa memiliki relational mobility berbeda yang bisa mempengaruhi nilai kerja para dewasa dalam menjalankan
pekerjaannya, dimana cara dewasa bisa menemukan hubungan relasai baru dan meninggalkan hubungan relasi lama dalam lingkungannya.
Asumsi ini didukung dengan penelitian yang berjudul Relational Mobility Explains Between- and Within-Culture Differences in Self-Disclosure to Close
Friends. Schug 2010: 2 menjelaskan bahwa didalam budaya terdapat perbedaan dalam keterbukaan diri terhadap teman-teman dekat, dapat dijelaskan oleh
konstruk relational mobility yaitu tingkat umum dimana individu dalam masyarakat memiliki kesempatan untuk membentuk baru dan mengakhiri
hubungan yang lama. Menurut Schug, 2010: 3 sifat hubungan kita dengan orang lain secara mendalam dipengaruhi oleh budaya.
Asumsi lain tentang nilai kerja yang sesuai dengan penelitian ini yaitu penelitian Marshall 1997 yang meneliti dua sampel dari orang Selandia Baru
dan Indonesia yang keduanya terdiri dari pekerja tukang sampah, sopir bis, dan profesor. Masing-masing kategori pekerja terdiri dari 25 responden dengan total
sampel 150. Ditemukan bahwa orang Indonesia lebih kolektif dan orang Selandia baru lebih individualis dalam Shiraev, 67: 2012.
Pernyataan kolektif yaitu saya tidak bisa bahagia jika ada kawan saya yang tidak bahagia. Saya merasa senang bekerja sebagian dari organiasasai besar. Saya
tak keberatan berbagi problem dengan kawan saya. Lebih baik memilih kawan dari orang dengan latar belakang yang sama dengan diri anda. Orang di termpat
kerja bergantung pada saya, maka saya tidak boleh mengecewakan mereka meski
organisasi memperlakukan saya dengan buruk. Sebagian besar keputusan saya dibuat bersama-sama dengan saudara dan kawan. Tugas pertama saya adalah
memastikan kesejahteraan keluarga Shiraev, 67: 2012. Pernyataan individualis yaitu jika organisasi tempat saya bekerja
mengalami kesulitan keuangan dan meminta saya menerima pengurangan gaji, saya akan menmcari pekerjaan lain. Saya biasa melakukan hal-hal yang terbaik
bagi saya, tak peduli kata orang lain. Kebahagiaan adalah memaksimalkan kesenangan pribadi saya. Idealnya, kita bekerja untuk diri sendiri atau perusahaan
saya sendiri. Saya tak suka campur tangan terhadap urusan pribadi saya. Kebahagiaan saya tergantung pada keadaan pikiran, terlepas dari perasaan orang
lain disekitar saya Shiraev, 2012: 67. Budaya individualis memiliki kesamaan dengan relational mobility tinggi
jika dikaitkan dengan definisi Schug 2009: 96 tingkat relational mobility yang tinggi menyiratkan bahwa individu memiliki kesempatan untuk membentuk
hubungan baru. Peluang ini bisa sering dan tidak tentu. Bahkan dalam masyarakat yang relational mobility tinggi, jika mereka puas dengan hubungan yang
baru,maka individu akan cenderung bersama dengan hubungan yang baru. Pada budaya kolektif sama halnya dengan relational mobility rendah
dimana individu lebih memilih kelompok atau hubungan lama dari pada mereka meninggalkan kelompoknya dan engan mencari dan bergabung dengan kelompok
baru.
Menurut Yamagishi Yamagishi 1994 dalam Schug, 2009: 96 kelompok atau daerah di masyarakat dapat mempengaruhi perilaku dan psikologis
proses orang-orang yang tinggal dalam masyarakat dalam Schug, 2009: 96. Penelitian lain yang mendukung dilakukannya penelitia ini adalah
penelitian yang berjudul “Social Ecology Moderates the Association Between Self-Esteem and Happiness
”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang signifikan antara relational mobility dengan penghargaan diri dan
kebahagiaan Yuki, 2013: 743. Seseorang yang bekerja pastinya memiliki dan memilih pekerjaan yang
dilakukan dengan rasa bahagia. Sesungguhnya nilai kerja banyak dipengaruhi oleh hubungan dengan orang-orang yang berada di lingkungan para pekerja termasuk
proses relational mobility seseorang, bagaimana individu mencari relasi baru dan meninggalkan relasi yang lama dalam lingkungan hidupnya. Untuk mendapatkan
relasi baru lebih mudah dijumpai bagi orang yang memiliki mobilitas sosial tinggi dibandingkan orang yang berada di daerah mobilitas sosial rendah.
Menurut Schug 2010: 5 relational mobility dapat bervariasi dalam suatu lingkungan masyarakat. Dari asumsi tersebut dapat disimpulkan bahwa
masyarakat yang memiliki mobilitas sosial rendah belum tentu memiliki relational mobility rendah juga.
Berikut ini digambarkan hubungan antara relational mobility dengan work value:
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
Mobilitas Sosial
a. Memiliki banyak kesempatan untuk mengenal orang lain.
b. Hal biasa melakukan percakapan dengan seseorang yang belum pernah ditemui sebelumnya.
c. Mereka dapat memilih berinteraksi dengan orang lain.
d. Peluang membentuk persahabatan atau relasi baru.
e. Sudah terbiasa berkomunikasi dengan orang yang belum pernah di temui sebelumnya.
f. Jika mereka tidak suka dengan kelompok mereka saat ini, mereka akan beralih ke kelompok yang
lebih baik. g.
Mereka bebas bergaul dengan siapa saja. h.
Sangat mudah untuk bertemu orang baru. i.
Meninggalkan kelompok yang dimiliki karena kurang puas dengan kelompok tersebut. j.
Memilih kelompok dan organisasi yang mereka inginkan. k.
Menjalin hubungan dengan yang lain jika merasa tidak puas dengan hubungan yang sekarang. l.
Ada kecenderungan meninggalkan kelompoknya dan lebih baik tidak bertahan dengan kelompoknya karena tidak suka.
Mobilitas Sosial Tinggi
Mobilitas Sosial Rendah
Relational Mobility Tinggi
Relational Mobility Rendah
Value Berubah
Value Tetap
a. Tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengenal orang lain.
b. Tidak terbiasa melakukan percakapan dengan seseorang yang belum pernah ditemui sebelumnya.
c. Tidak dapat memilih berinteraksi dengan orang lain.
d. Tidak ada peluang membentuk persahabatan atau relasi baru.
e. Tidak terbiasa berkomunikasi dengan orang yang belum pernah di temui sebelumnya.
f. Jika mereka tidak suka dengan kelompok mereka saat ini, mereka tidak akan beralih ke kelompok
yang lebih baik. g.
Mereka tidak bebas bergaul dengan siapa saja. h.
Kesulitan untuk bertemu orang baru. i.
Tidak bisa meninggalkan kelompok yang dimiliki meskipun kurang puas dengan kelompok tersebut. j.
Tidak dapat memilih kelompok dan organisasi yang mereka inginkan. k.
Tidak bisa menjalin hubungan dengan yang lain jika merasa tidak puas dengan hubungan yang sekarang.
l. Ada kecenderungan meninggalkan kelompoknya dan lebih baik tetap bertahan dengan kelompoknya.
karena tidak suka.
2.6 Hipotesis