Hubungan antara tipe perfeksionisme dengan gaya Manajemen konflik pada individu dewasa awal yang sedang menjalani hubungan pacaran

(1)

HUBUNGAN ANTARA TIPE PERFEKSIONISMEDENGAN GAYA MANAJEMEN KONFLIK PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG

SEDANG MENJALANI HUBUNGAN PACARAN Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Agatha Asih Widiningrum 129114006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

Dunia tidak akan berubah untukmu tetapi kamu yang harus memberanikan diri untuk mengubah dunia

-tha-

STOP LOOKING FOR PEOPLE TO CLAP FOR YOU. CLAP FOR YOURSELF


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini secara khusus dipersembahkan untuk

Tuhan Yesus, keluarga, dan sahabat Ibu dan Bapak, my loving parents

Kakak-kakakku tercinta : mbak yeni, mas andi, mas anton Para sahabat

Dan orang-orang yang telah memberikan segala pelajaran, pengalaman, kebahagian maupun kesedihan bagiku


(6)

(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA TIPE PERFEKSIONISMEDENGAN GAYA

MANAJEMEN KONFLIK PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG SEDANG MENJALANI HUBUNGAN PACARAN

Agatha Asih Widiningrum ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan signifikansi antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada dewasa awal yang sedang berpacaran. Hipotesis penelitian ini, yaitu (1) ada hubungan positif antara perfeksionisme self oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) ada hubungan positif antara perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik controlling (3) hubungan positif antara perfeksionisme socially prescribed dengan manajemen conflik non confrontation. Subjek penelitian sebanyak 101 orang dengan rentang usia mulai dari 18 tahun sampai dengan 25 tahun. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Pengumpulan data dilakukan menggunakan google doc yang disebarkan melalui media online. Koefisien reliabilitas dari skala perfeksionisme adalah 0,82 pada self-oriented, 0,62 pada other-oriented, dan 0,71 pada socially prescribed perfectionism dan koefisien reliabilitas dari skala manajemen konflik adalah 0,90 pada gaya manajemen konflik cooperative, 0,82 pada gaya manajemen konflik nonconfrontation, dan 0,85 pada gaya manajemen konflik controlling. Koefisien korelasi yang diperoleh dari penelitian ini adalah : (1) 0,208 (p=0,019) pada perfeksionisme self oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) 0,185 (p=0,032) pada perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik controlling dan (3) 0,304 (p= 0,001) pada perfeksionisme socially priscribed dengan manajemen konflik nonconfrontative. Hal ini menunjukan bahwa : (1) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perfeksionisme self oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik controlling (3) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perfeksionisme socially prescribed dengan manajemen conflik non confrontation.


(8)

viii

DATING RELATIONS Agatha Asih Widiningrum

ABSTRACT

The research aimed to know the signification relation between type of perfectionism and style of conflict management of early adult who are in dating relationships. The hypotheses of the research are (1) there is a positive relation between the self oriented perfectionism and the cooperative conflict management, (2) there is a positive relation between the other oriented perfectionism and the controlling conflict management, (3) there is a positive relation between the socially prescribed perfectionism and the non-confrontational conflict management. The subjects of the research are 101 people whose range of aged is from 18 until 25 years old. The type of the research is a correlational research. The data of the research is collected through Google doc that is spread through the online media. The reliabilities coefficient of the perfectionism scale shows 0.82 on the self oriented, 0.62 on the other oriented, and 0.71 on the socially prescribed perfectionism. On the other hand, the reliability coefficient of the conflict management scale shows 0.90 on cooperative type of management conflict, 0.82 on non-confrontation type of management conflict, and 0.85 on controlling type of management conflict. The correlations coefficient gained from the research are (1) 0.208 (p= 0,019) on the self oriented perfectionism and the cooperative management conflict, (2) 0.185 (p= 0,032) on the other oriented perfectionism and the controlling management conflict, (3) 0.304 (p= 0,001) on the socially prescribe perfectionism and the non-confrontational conflict management. The result shows that (1) there is a significant positive relation between self oriented perfectionism and cooperative conflict management, (2) there is a significant positive relation between other oriented perfectionism and controlling conflict management, (3) there is a significant positive relation between socially prescribe perfectionism and non-confrontational conflict management.


(9)

(10)

x

Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca.

Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus yang telah menginspirasi penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir, juga yang telah memberikan hikmat, pengertian, dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan motivasi selama penulisan skripsi ini.

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., Psi selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar membimbing dan memotivasi penulis menyusun skripsi dari tahap ke tahap.


(11)

xi

5. Ratri Sunar Astuti M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah mendampingi proses kuliah dari awal hingga akhir, memberikan nasihat-nasihat, dan motivasi untuk mengembangkan diri.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah berbagi ilmu, pengalaman, dan memberikan inspirasi untuk berkarya di dunia psikologi.

7. Bapak dan ibu, terima kasih untuk dukungan dan kepercayaan padaku, juga terimakasih selalu memberikan kasih sayang yang sangat berlimpah untukku, I’m nothing without you, you’re my everything.

8. Mbak Yeni, mas Andi, mas Anton yang selalu menjaga dan bisa diandalkan kapanpun dan dimanapun untuk adik kecilnya ini thankyou, I love you all. 9. Tephi, Melani, Gaby, Rezky terima kasih untuk canda, tawa, dan

dukungannya selama ini. Masa-masa kuliahku tidak akan spesial tanpa kalian 10. Theo, sahabatku yang bisa diandalkan dikala susah dan senang, tong

sampahku yang bisa membuatku nyaman berbagi cerita apapun tanpa merasa dinilai. Thankyou so much

11. Sahabat-sahabatku dari masa alay sampai sekarang : pipin, lupi, M.U, oksa, ria, akhirnya aku menyusul kalian lulus “yeeyyy” Thankyou buat semua


(12)

(13)

(14)

xiv

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Manajemen Konflik ... 26

C. Dewasa Awal ... 32

1. Pengertian Dewasa Awal ... 32

2. Hubungan Romantis pada Dewasa Awal ... 33

D. Hubungan Romantis ... 36

1. Periode Hubungan Romantis ... 36

E. Kecenderungan Konflik Dalam Hubungan ... 38

F. Hubungan Antara Tipe Perfeksionis dengan Gaya Manajemen Konflik pada Individu Dewasa Awal yang Berpacaran ... 40

G. Hipotesis ... 48

BAB III METODE PENELITIAN... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Variabel Penelitian ... 49

C. Definisi Operasional... 50

1. Perfeksionisme ... 50

2. Manajemen Konflik ... 51

D. Subjek Penelitian ... 53

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 54

1. Metode ... 54

2. Alat Pengumpulan Data ... 55

3. Reliabilitas ... 56

F. Validitas dan Reliabilitas ... 59

1. Validitas ... 59

2. Seleksi Item ... 59

3. Reliabilitas ... 65

G. Metode Analisis Data ... 67

1. Uji Asumsi ... 67

a. Uji Normalitas ... 67

b. Uji Linieritas ... 68

2. Uji Hipotesis ... 68


(15)

xv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 71

A. PELAKSANAAN PENELITIAN ... 71

B. DESKRIPSI SUBJEK ... 71

C. HASIL PENELITIAN ... 76

1. Uji Asumsi ... 76

a. Uji Normalitas ... 76

b. Uji Linieritas ... 78

c. Uji Hipotesis ... 79

D. PEMBAHASAN ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Keterbatasan Penelitian ... 91

C. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(16)

xvi

Table 3 Blue Print Skala Perfeksionisme ... 61

Table 4 Blue Print Skala Manajemen Konflik Setelah Uji Coba ... 63

Table 5 Blue Print Skala Manajemen Konflik Setelah Penyusunan Ulang... 64

Tabel 6 Deskripsi usia subjek penelitian ... 72

Tabel 7 Deskripsi jenis kelamin subjek penelitian ... 72

Tabel 8 Deskripsi lama subjek manjalani hubungan pacaran ... 73

Tabel 9 Deskripsi status pacaran subjek penelitian ... 73

Tabel 10 Deskripsi data penelitian ... 74

Tabel 11 Hasil Mean Teoritis dan Mean Empiris ... 75

Tabel 12 Hasil Uji Normalitas Skala Perfeksionisme dan Manajemen Konflik ... 77

Tabel 13 Hasil Uji Lineritas ... 78

Tabel 14 Hasil skor korelasi antara perfeksionis self oriented dengan manajemen konflik cooperative ... 79 .

Tabel 15 Hasil skor korelasi antara perfeksionis other oriented, socially prescribed dengan manajemen konflik controlling, non confrontation... 80


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Skala Perfeksionisme ... 98

LAMPIRAN 2. Skala Manajemen Konflik dalam relasi romantis ... 108

LAMPIRAN 3. Reliabilitas Skala ... 126

LAMPIRAN 4. Uji Deskriptif Mean Empiris ... 127

LAMPIRAN 5. Uji Normalitas Data ... 131

LAMPIRAN 6. Uji Linieritas ... 133


(18)

1

Berpacaran merupakan kebutuhan penting terutama bagi dewasa awal, hal ini karena berpacaran merupakan salah satu bentuk dari relasi romantis yang menjadi tugas utama bagi dewasa awal. Hubungan pacaran bertujuan untuk membentuk hubungan asmara dengan pasangan. Dalam tahap ini, individu dewasa awal mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam. (Santrock, 2012).

Akan tetapi, dalam berpacaran terdapat berbagai konflik yang dapat menyebabkan rusaknya suatu hubungan. Hal ini dapat dilihat dari survey yang telah dilakukan oleh peneliti kepada 24 individu dewasa awal yang sedang berpacaran dimana terdapat beberapa hal yang menjadi konflik dalam berpacaran. Konflik-konflik yang paling sering disebutkan oleh responden adalah tidak adanya pengertian, berbeda pendapat, kepedulian yang kurang, dan komunikasi yang buruk. Hal ini juga diperkuat dengan sebuah penelitian yang dinyatakan oleh Brandenberger (2002) bahwa jenis konflik yang paling umum muncul dalam hubungan intim salah satunya


(19)

2 adalah ketidaksepakatan, dan tidak memiliki waktu bersama yang cukup (Brandenberger, Amanda, 2007).

Hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada kualitas hubungan yang buruk. Padahal, baik-buruknya suatu kualitas hubungan sangat penting dalam pembentukan identitas individu dewasa awal (Barry, Madsen, Nelson, Carrol, & Badger, 2009, dalam Papalia,2014).

Untuk menangani konflik tersebut maka diperlukan adanya suatu cara penyelesaian. Hal ini karena konflik dalam suatu hubungan sesungguhnya dapat berpengaruh positif atau negatif tergantung pada cara penyelesaian konflik tersebut. Jika konflik ditangani dengan cara yang baik maka hal ini akan berpengaruh baik bagi perkembangan pribadi dan juga membuat seseorang lebih memahami diri sendiri dan orang lain (Wood, 2007). Namun, apabila konflik tidak ditangani dengan cara yang tepat maka dapat merusak suatu hubungan (Supratiknya, 1995).

Cara yang dipilih oleh seseorang dalam menghadapi suatu konflik disebut manajemen konflik (Winardi, 1994). Jika seseorang tidak memiliki manajemen konflik yang baik, maka masalah sekecil apapun akan menjadi persoalan yang besar (Wood,2007). Hal ini juga diperkuat dengan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa manajemen konflik yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya akan


(20)

mempengaruhi tingkat stress dalam hubungan, keintiman dan kepuasan dalam hubungan tersebut (Stolarski, Maciej, Slawomir, Postek, Magdalena, Smieja, 2011).

Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga yang menyusun dan menerapkan strategi konflik untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan hasil yang diinginkan (Wirawan, 2010). Manajemen konflik dibagi menjadi tiga gaya, yaitu gaya cooperative, gaya nonconfrontation dan gaya controlling. Ketiga gaya tersebut dikelompokan menjadi manajemen konflik yang bersifat destruktif dan manajemen konflik yang bersifat konstruktif.

Seseorang yang memiliki manajemen konflik konstruktif cenderung akan menggunakan penyelesaian konflik yang positif dan berusaha untuk menjaga hubungan dengan pihak yang berkonflik sehingga tetap dapat membangun hubungan yang harmonis (Mardianto, Adi., Koentjoro., & Esti, 2000). Gaya manajemen konflik yang bersifat konstruktif adalah gaya cooperative. Seseorang yang memiliki gaya ini dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan menggunakan pandangan orang lain dan menggunakan win-win solution sebagai teknik selanjutnya (Beebe, Steven A, dkk, 1996).

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rusbult (1991) menyatakan bahwa hubungan akan menjadi kuat ketika individu menggunakan gaya cooperative dan perilaku aktif untuk mengelola perbedaan pendapat. Para peneliti juga


(21)

4 menyatakan bahwa pemecahan masalah secara positif yang melibatkan perilaku aktif dan konstruktif, adalah prediksi yang baik dari kualitas relasional dan stabilitas (Kurdek, 1994, dalam A. J. Merrola, 2014).

Sebaliknya, manajemen konflik destruktif mengacu pada satu pihak yang berusaha untuk mengubah struktur hubungan dan membatasi pilihan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan yang sepihak. Konflik dapat menjadi destruktif ketika orang melihat perbedaan mereka dari pandangan kalah menang (win-lose) daripada melihat dari solusi yang memungkinkan setiap individu untuk mendapat keuntungan. Jika individu menganggap bahwa satu orang akan kalah, maka iklim kompetitif yang dihasilkan akan menghalangi kerjasama dan fleksibilitas (Beebe, 1996). Selain itu, konflik menjadi tidak terselesaikan disebabkan salah satu pihak menarik diri. Hal ini dilakukan dengan pikiran bahwa pihak yang lain akan dirugikan dengan keputusan ini (Chandra, Robby I, 1992).

Dalam hal ini, gaya nonconfrontation dan gaya controlling termasuk dalam manajemen konflik destruktif. Gaya nonconfrontation adalah gaya pendekatan untuk manangani konflik dengan cara mundur, baik dengan menghindari konflik atau memberikannya kepada orang lain, salah satu bentuk dari gaya ini adalah menarik diri dan menghindar (Beebe, Steven A, dkk, 1996). Sedangkan gaya controlling adalah manajemen konflik yang dilakukan dengan cara mendominasi orang lain dan


(22)

membuat keputusan berdasarkan penilaiannya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kurdek (1994) menyatakan bahwa gaya manajemen konflik yang termasuk dalam sifat destruktif ini berkorelasi signifikan negative dengan kepuasan hubungan. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi gaya manajemen konflik ini maka akan semakin rendah kepuasan hubungan yang dimiliki.

Manajemen konflik sendiri memiliki peran penting dalam menyelesaikan konflik dalam hubungan pacaran. Salah satu hal yang berkontribusi menimbulkan konflik dalam hubungan pacaran adalah sifat perfeksionisme (Barbato & D’Avanzo, 2009, dalam Mackinon, Sean P & Simon B. Sherry, martin, Dayna, 2012).

Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki harapan kesempurnaan pada dirinya (Pranungsari, Dessy, 2010). Perfeksionisme dibagi menjadi dua bagian, yaitu perfeksionisme interpersonal dan perfeksionisme intrapersonal. Pada perfeksionisme interpersonal terdapat dua tipe perfeksionisme, yaitu other oriented perfectionism dan socially prescribed perfectionism. Sedangkan pada perfeksionisme intrapersonal terdapat satu tipe, yaitu self oriented perfectionism.

Seseorang yang memiliki perfeksionisme interpersonal other oriented memiliki kecenderungan untuk menuntut orang lain agar memenuhi


(23)

standar-6 standarnya. Hal ini membuat orang dengan other oriented perfectionism cenderung memperhatikan kesalahan orang lain secara berlebihan, mengevaluasi dan bereaksi berlebihan terhadap kegagalan orang lain (Paul, L. Hewitt., Goldon, L. Flett., Wendy, Turnbull Donovan., & Samuel, F. Mikail, 1991). Oleh karena itu, individu perfeksionis memiliki sikap kurang percaya, menyalahkan orang lain, dan membangun rasa permusuhan terhadap orang lain.

Selanjutnya pada individu yang memiliki socially prescribed perfectionism akan cenderung merasa bahwa orang lain menuntut dan mengharapkan dirinya untuk selalu berhasil mencapai prestasi dengan standar yang tidak realistis (Blatt, 1995 dalam Aditomo, Anindito., & Sofia, Retnowati, 2004). Hal ini membuat individu dengan socially prescribed perfectionism juga merasa tuntutan atau harapan tersebut harus dipenuhi untuk mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari lingkungan. Oleh karena itu, mereka memiliki ketakutan yang besar terhadap evaluasi negatif dari orang lain dan cenderung menghindari penolakan dari orang lain (Hewitt & Armada 2004, dalam Mee, Foo Fatt, 2015).

Akan tetapi, hal ini dapat berbeda ketika seseorang memiliki perfeksionisme intrapersonal self oriented. Hal ini karena individu ini akan memiliki potensi adaptif sebagai hasrat yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar. Selain itu, mereka yang memiliki self oriented perfectionism juga memiliki motivasi


(24)

untuk mencapai kesempurnaan serta berusaha untuk menghindari kegagalan (Paul, L. Hewitt., & Goldon, L. Flett, 1991). Hal tersebut juga membuat self oriented perfectionism tidak memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku intrapersonal (Michelle, Haring., & Paul, L. Hewitt, 2003). Individu dengan self oriented perfectionism memiliki kaitan dengan sikap altruisme sosial, kemampuan untuk mengerti pesan nonverbal dari oranglain dan mengajak atau melibatkan orang lain dalam percakapan (Flett & Hewitt & De Rosa, 1990 dalam Flett, Gordon L, 2003). Hal ini mungkin dapat memudahkan individu perfeksionisme self oriented dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan membantunya dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.

Dengan demikian, peneliti melihat bahwa penelitian ini penting untuk dilakukan karena pada penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak membahas tentang permasalahan yang dihadapi oleh individu perfeksionis dalam hubungan mereka. Hal ini tampak pada beberapa penelitian tentang perfeksionisme yang menyatakan bahwa individu perfeksionisme memiliki keintiman dan kepuasan hubungan yang rendah dalam hubungan (Stober, Joachim, 2012). Selain itu individu perfeksionisme juga memiliki kepercayaan dan penyesuaian diri yang rendah dalam hubungan mereka (Flett, Gordon. L., Paul, L. Hewitt., Brenley, Shapiro., & Jill Rayman. 2001).


(25)

8 Akan tetapi peneliti belum menemukan penelitian yang secara spesifik membahas tentang hubungan antara perfeksionisme dengan manajemen konflik terutama pada hubungan pacaran. Padahal, manajemen konflik sangatlah penting dalam membangun dan mempertahankan suatu hubungan, terutama dalam hubungan pacaran pada individu perfeksionisme. Hal ini karena konflik dalam hubungan dapat membahayakan atau malah menguntungkan tergantung pada manajemen konfliknya (Gottman, 1994).

Berdasarkan penjelesan yang sudah dijabarkan tersebut hal ini mendorong peneliti untuk mencari tahu hubungan perfeksionisme dengan manajemen konflik pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan pacaran.

A.Rumusan masalah

1. Apakah terdapat hubungan antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada individu dewasa awal yang sedang menjalani hubungan pacaran?

B.Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan signifikan antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada individu dewasa awal yang menjalani hubungan pacaran?


(26)

C.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi kepribadian dan psikologi sosial.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai managemen konflik dan perfeksionisme pada individu dewasa awal yang menjalani hubungan pacaran.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan gambaran tentang sifat perfeksionisme dan gaya manajemen konflik yang digunakan individu dewasa awal pada hubungan pacaran yang mereka jalani.

b. Dapat memberikan wawasan pada individu dewasa awal tentang manajemen konflik yang digunakan oleh individu perfeksionisme dalam menangani konflik di dalam hubungan mereka.


(27)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perfeksionisme

1. Pengertian Perfeksionisme

Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett adalah kecenderungan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya (Pranungsari, Dessy, 2010).

Yang (2012) berpendapat bahwa perfeksionisme merupakan suatu disposisi kepribadian yang ditandai dengan berjuang untuk mencapai kesempurnaan dan standar pribadi yang sangat tinggi disertai dengan terlalu kritis mengevaluasi diri sendiri serta kekhawatiran tentang penilaian dari individu lain (Fellicia, F., Elvinawaty, R., & Hartini, S, 2014).

Menurut Cheng (2001) perfeksionisme adalah standar yang cukup tinggi dari perbuatan individu yang diikuti dengan kecenderungan evaluasi diri yang kritis (Fellicia, F., Elvinawaty, R., & Hartini, S, 2014).


(28)

Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perfeksionis merupakan kecenderungan untuk mencapai kesempurnaan yang diikuti dengan standar yang tidak realistis. Dengan demikian, peneliti menggunakan teori menurut Hewit dan Flett untuk mendefinikan Perfeksionisme, yaitu kecenderungan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi (Pranungsari, Dessy, 2010).

2. Tipe Perfeksionisme

Dalam Multidimentional Perfectionism Scale, terdapat tiga tipe perfeksionisme yang terbagi atas dua bagian, yaitu intrapersonal dan interpersonal. Intrapersonal (Paul, L. Hewitt., Goldon, L. Flett., Wendy, Turnbull Donovan., & Samuel, F. Mikail, 1991) yaitu self-oriented perfectionism, dan dua tipe lainnya yaitu other-oriented perfectionism dan socially prescribed perfectionism merupakan interpersonal (Gordon, L. Flett., Paul, L. Hewitt., & Tessa De Rosa, 1996).


(29)

12 Menurut Hewit dan Flett, perfeksionisme dibagi menjadi tiga tipe, yaitu :

a. Perfeksionisme Self Oriented

Perfeksionisme self-oriented terkait dengan kecenderungan untuk menetapkan standar yang amat tinggi terhadap diri dan kritik dan pengawasan diri berlebihan yang membuat seseorang tidak bisa menerima kesalahan atau kegagalan. Tipe perfeksionisme ini mengandung hasrat untuk terus-menerus berusaha agar tidak pernah salah atau gagal.

Perfeksionisme self oriented memiliki potensi adaptif sebagai hasrat yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar. Penetapan standar pribadi yang terlalu tinggi dan kaku juga menuntut kesempurnaan dari diri sendiri tidak terkait dengan permasalahan relasi dengan orang lain (Mackinnon, Sean., Simon, Sherry., Martin. Antony., Sherry. Stewart., Dayna. Sherry., Nikola Hartling, 2012).

Perfeksionisme self oriented juga memiliki kemampuan berfikir secara konstruktif dam memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara positif. Selain itu, seseorang dengan perfeksionisme self oriented memiliki kemungkinan untuk mampu menyesuaikan diri ketika menghadapi masalah serta kamampuan belajar yang baik (Dunkley


(30)

,David. M., Kirk, Blankstein., Jennifer, Halsall., Meredith, Williams., & Gary Winkworth, 2000).

b. Perfeksionisme other-oriented

Perfeksionisme other-oriented terkait dengan kecenderungan individu menuntut agar orang lain memenuhi standar-standar yang amat tinggi. Selain itu, ia memiliki perhatian berlebihan terhadap kesalahan orang lain, dan mengevaluasi orang lain dan bereaksi berlebihan pada kegagalan orang lain (Paul, L. Hewitt., Goldon, L. Flett., Wendy, Turnbull Donovan., & Samuel, F. Mikail, 1991).

Individu yang memiliki other oriented perfectionism tinggi akan memiliki harapan sangat tinggi atau tidak realistis pada orang lain, mengharapkan orang lain untuk berusaha kompulsif, otoriter, mendominasi, termotivasi oleh kebutuhan untuk mengurangi nilai orang lain sehingga meningkatkan diri mereka (Hewitt & Armada 2004, dalam Mee, Foo Fatt, 2015).

c. Perfeksionisme yang socially prescribed

Perfeksionisme yang socially prescribed adalah kecenderungan merasa bahwa orang lain menuntut dan mengharapkan dirinya untuk selalu berhasil mencapai prestasi dengan standar yang tidak realistis.


(31)

14 Tuntutan yang datang dari orang lain ini terkait dengan perasaan individu perfeksionis yang merasa bahwa hal itu harus dipenuhi untuk mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari lingkungannya (Blatt, 1995 dalam Aditomo, Anindito., & Sofia, Retnowati, 2004).

Dalam hal ini, emosi negatif dapat terjadi ketika individu perfeksionis merasa tidak mampu memenuhi harapan orang lain dan keyakinan bahwa orang lain tidak realistis dalam harapan mereka atupun keduanya. Hal ini karena individu dengan tingkat socially prescrbed perfectionism yang tinggi fokus pada memenuhi standar orang lain sehingga mereka menunjukan rasa takut yang lebih besar terhadap evaluasi negatif dan menempatkan perhatian yang lebih besar untuk memperoleh perhatian dari orang lain tetapi berusaha menghindari penolakan orang lain (Hewitt & Armada 2004, dalam Mee, Foo Fatt, 2015).

3. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian tentang perfeksionisme telah banyak dilakukan oleh para peneliti, penelitian yang juga banyak diteliti yaitu mengenai relasi interpersonalnya. Hal ini karena perfeksionime memiliki kaitan dengan


(32)

berbagai gangguan interpersonal yang mempengaruhi kehidupan sosial mereka sehari-hari (Stoeber, J, 2012).

Berikut ini adalah beberapa kaitan antara perfeksionisme dalam relasi interpersonal :

Dalam studi yang melibatkan sekumpulan mahasiswa juga menjelaskan bahwa other oriented perfectionism dikaitkan dengan gaya interpersonal, seperti sombong, dominan, perhitungan, dan pendendam (Hill, Zrull, & Turlington, 1997 dalam Stoeber, J, 2012).

Penelitian lain menyatakan bahwa socially prescribed perfectionism dan other oriented perfectionism juga berasosiasi dengan penyesuaian psikososial yang buruk (Stoeber, Joachim, 2012). Hal ini membuat perfeksionis dikaitkan dengan berbagai perilaku interpersonal yang mungkin dapat mempengaruhi kualitas hubungan yang dibangun dan diperlihara oleh perfeksionis (Flett, Gordon L, 2003). Sedangkan self-oriented perfectionism lebih terkait dengan gangguan intrapersonal, yaitu standar personal yang menyebabkan tipe ini lebih berinteraksi dengan stresor-stresor prestasi (Hewitt & Flett, 2004).

Self-oriented perfectionism memiliki asosiasi dengan kemampuan sosial, seperti kemampuan untuk mengerti pesan nonverbal orang lain dan


(33)

16 dapat melibatkan orang lain dalam percakapannya, selain itu self oriented perfectionism memiliki sikap altuisme sosial (Flett, Hewitt & De Rosa, 1991 dalam Dunkley ,David. M., Kirk, R. Blankstein., Jennifer, Halsall., Meredith, Williams., & Gary Winkworth, 2000). Selain itu, penelitian lainnya yang meneliti tentang personal standar perfeksionis yang memiliki kesamaan dengan self oriented perfectionism menemukan bahwa tipe ini memiliki kemampun dalam membangun dan mempertahankan hubungan (Dunkley ,David. M., Kirk, 2000).

Burns (1983) mendiskusikan tentang emosional individu perfeksionis (socially prescribed perfectionism) yang menyatakan bahwasanya mereka memiliki kepercayaan untuk tidak boleh mengekspresikan perasaaan negatif/perasaan cemas dan depresi karena mereka takut diejek oleh orang lain, sehingga mereka cenderung untuk mengontrol emosi mereka dan pengungkapan emosi yang rendah (Gordon, L. Flett., Paul, L. Hewitt., & Tessa De Rosa, 1996).

Sebuah penelitian tentang kemampuan penyesuaiaan diri dan kemampuan sosial pada perfeksionis menemukan bahwa socially prescribed perfectionism berasosiasi signifikan tinggi dengan perasaan sendiri, perasaan


(34)

malu/segan yang tinggi dan ketakutan akan evaluasi negative, juga harga diri sosial yang rendah.

Temuan lainnya menyatakan bahwa socially prescribed perfectionism cenderung sensitif dan individu yang menghindar mencoba untuk menampilkan kesan palsu dengan cara pengontrolan emosi. Hal ini terjadi karena socially prescribed perfectionism berfokus pada emosi dan kurangnya penerimaan diri didalam situasi yang menyebabkan stress (Dunkley ,David. M, 2000).

Sedangkan pada other oriented perfectionism memperlihatkan tendensi yang stabil untuk menuntut orang lain dan permusuhan pada orang lain. tipe ini juga memiliki banyak stress dan konflik dalam hubungan interpersonal (Flett, Gordon. L., Paul, L. Hewitt., Brenley, Shapiro., & Jill Rayman. 2001). Adanya hal tersebut juga mempengaruhi penyesuaian diri dan dukungan yang rendah antar pasangan.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Flett, Gordon L (2003) menyatakan bahwa other oriented perfectionism dan socially prescrbed perfectionism memiliki kaitan dengan berbagai gangguan interpersonal yang mempengaruhi kehidupan sosial mereka sehari-hari. Keduanya juga berkaitan


(35)

18 dengan berbagai perilaku yang mungkin dapat mengganggu dan merusak hubungan intrapersonal.

Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 116 mahasiswa ditemukan bahwa hubungan romantis pada individu perfeksionisme memiliki tingkat kepuasan hubungan yang rendah pada dirinya dan pasangannya. Hal ini juga menyebabkan tingkat komitmen yang rendah dalam hubungan romantis (Stober, Joachim, 2012).

Penelitian lainnya yang dilakukan pada 58 pasangan mahasiswa memberikan hasil bahwa individu yang memiliki harapan perfeksionisme pada pasangan mereka memiliki kualitas hubungan yang rendah dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki harapan perfeksionis pada pasangannya (Arcuri Anna, 2013).

Menurut Hable, Hewitt & Flett (1999) yang meneliti tentang tipe perfeksionis dan tingkat kepuasan seksual pada 74 pasangan suami istri dan pasangan cohabiting menemukan bahwa pasangan dengan socially prescribed perfectionism memiliki kepuasan seksual yang rendah (Flett, Gordon. L., Paul, L. Hewitt., Brenley, Shapiro., & Jill Rayman, 2001).

Menurut sebuah penelitian kekhawatiran pada evaluasi yang dialami oleh perfeksionis membuat dirinya memiliki masalah terhadap kepercayaan,


(36)

kepedulian, ketergantungan, keintiman dan juga seksualitas ( Dunkley, David M, Kirk, R.B, Jennifer, H, Meredith, W, Gary, W, 2000). Selain itu, perfeksionisme memiliki kontribusi untuk terjadinya konflik dalam hubungan. Hal ini karena permasalahan perfeksionisme menyebabkan permusuhan, tidak pengertian, keinginan untuk menolak konflik dan menyebabkan peningkatan gejala depresi pada kedua belak pihak (Barbato & D’Avanzo, 2009, dalam Mackinon, Sean P & Simon B. Sherry, martin, Dayna, 2012).

B. Manajemen Konflik 1. Pengertian Konflik

Menurut Minnery, konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap hal tersebut.

Konflik adalah proses yang terjadi ketika tindakan satu orang mengganggu tindakan orang lain. Potensi konflik meningkat apabila interaksi antar individu sering terjadi dan mencakup lebih banyak aktivitas dan isu, dan ada lebih banyak peluang terjadinya perbedaan pendapat. Konflik biasanya


(37)

20 akan semakin meningkat dalam hubungan pacaran yang lebih serius (Brakier & Kelley, 1979).

Konflik dapat membahayakan atau mungkin malah menguntungkan suatu hubungan, tergantung pada cara penyelesaiannya. Rusaknya suatu hubungan sesungguhnya disebabkan oleh kegagalan mengelola konflik secara konstruktif (Supratiknya, 1995).

2. Pengertian Manajemen Konflik

Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga yang menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan (Wirawan, 2010). Sedangkan, menurut Winardi (1994) manajemen konflik adalah gaya atau pendekatan seseorang dalam menghadapi suatu situasi konflik.

Menurut Wood (2007) manajemen konflik didefinisikan sebagai keterampilan dalam hubungan interpersonal yang dianggap sangat penting karena jika seseorang tidak memiliki manajemen konflik maka masalah sekecil apapun dengan orang lain akan menjadi besar.


(38)

Dalam penelitian ini dapat disumpulkan bahwa manajemen konflik adalah suatu gaya yang digunakan oleh pihak yang berkonflik dalam upaya untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.

3. Gaya Manajemen Konflik

Menurut Gottman dan Korkoff (dalam Kurdek, Lawrence A, 1994) terdapat dua jenis manajemen konflik, yaitu manajemen konflik yang konstruktif dan manajemen konflik yang destruktif. Manajemen konflik konstruktif adalah pengelolaan konflik yang membantu membangun pengertian baru dan membentuk pola baru di dalam hubungan (Beebe, Steven A, dkk, 1996). Memperlihatkan suatu perbedaan dapat membuat hubungan yang lebih memuaskan dalam jangka panjang.

Manajemen konflik disebut konstruktif apabila dalam upaya untuk menyelesaikan konflik, individu berusaha untuk menjaga hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik sehingga masih memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk berinteraksi secara harmonis (Mardianto, Adi., Koentjoro., & Esti hayu purnamaningsih, 2000).

Sedangkan, manajemen konflik deskruktif adalah membongkar hubungan tanpa memulihkannya. Jika kedua individu tidak puas akan hasil dari suatu konflik, maka hal tersebut lebih destruktif daripada konstruktif.


(39)

22 Tanda dari konflik destruktif yaitu kurang fleksibel dalam merespon orang lain. Konflik dapat menjadi destruktif ketika orang melihat perbedaan mereka dari pandangan kalah menang (win-lose) daripada melihat dari solusi yang memungkinkan setiap individu untuk mendapat keuntungan. jika individu menganggap bahwa satu orang akan kalah, maka iklim kompetitif yang dihasilkan akan menghalangi kerjasama dan fleksibilitas (Beebe, 1996).

Pada manajemen konflik destruktif, satu pihak akan berusaha untuk mengubah struktur hubungan dan membatasi pilihan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan yang sepihak. Selain itu, adanya konflik menjadi tidak terselesaikan disebabkan salah satu pihak menarik diri. Hal ini dilakukan dengan pengetahuan bahwa pihak yang lain akan dirugikan dengan keputusan ini (Chandra, Robby I, 1992).

Manajemen konflik konstruktif merupakan bentuk penyelesaian masalah dengan cara positive problem solving. Sedangkan Manajemen konflik destruktif menekankan pada penyelesaian konflik dengan cara menyerang atau lepas kontrol, withdrawl (menarik diri), dan compliance (menyerah dan tidak membela diri) (Mardianto, Adi., Koentjoro., & Esti hayu purnamaningsih, 2000).


(40)

Menurut Beebe, Steven A, dkk (1996) manajemen konflik terbagi menjadi tiga gaya, yaitu :

a. Gaya Nonconfrontation

Gaya nonconfrontation merupakan gaya pendekatan untuk manangani konflik dengan cara mundur, baik dengan menghindari konflik atau memberikannya kepada orang lain (Beebe, Steven A, dkk, 1996). Menurut Chandra, Robby I (1992) gaya ini merupakan gaya seseorang menyadari konflik yang ada tetapi memilih untuk menghindar atau menekan kenyataan konflik tersebut.

Salah satu bentuk dari gaya ini adalah withdrawing (manarik diri) dan menghindar. Individu dengan gaya manajemen konflik ini selalu menyerah ketika berhadapan dengan konflik. Mereka merasa tidak nyaman dengan adanya konflik sehingga mereka memilih untuk menyerah sebelum konflik meningkat. Respon membujuk, menarik diri, dan memberikan sebuah respon yang melambangkan gaya non konfrontatif (Beebe, Steven A, dkk, 1996).

Orang yang menggunakan gaya ini tidak pernah memperlihatkan kemarahan mereka, begitu dikendalikan sehingga mereka terlihat tidak


(41)

24 responsif dengan intensitas situasi, cepat setuju dengan orang lain untuk menghindari konflik, dan mencoba untuk menghindari konfrontasi sebisa mungkin. Mereka terlihat seperti orang yang memiliki orientasi pada orang lain (other-orientated) tetapi faktanya mereka hanya sedang melindungi diri mereka sendiri.

b. Gaya Controlling

Controlling style merupakan manajemen konflik dengan cara mendominasi orang lain dan membuat keputusan berdasarkan penilaiannya. Individu yang memiliki controlling style pada umumnya memanajemen konfliknya dengan filosofi win-lose solution.

Gaya controlling dikenal juga sebagai gaya kompetisi, yaitu gaya yang digunakan seseorang bila ia berusaha untuk mencapai sasarannya atau tetap meneruskan minatnya tanpa melihat akibatnya pada orang lain yang terlibat konfli. Ia cenderung untuk bersaing dan mendominasi (Chandra, Robby I, 1992).

Mereka yang memiliki gaya ini memiliki keinginan untuk menang dalam suatu konflik dan hanya fokus pada dirinya sehingga mereka mengabaikan perasaan ataupun pendapat dari orang lain. Orang dengan gaya


(42)

ini seringkali menyalahkan orang lain atau memilih mengabaikan daripada bertanggungjawab terhadap konflik (Beebe, Steven A, dkk, 1996).

Jika strategi ini tidak berjalan, para pengontrol ini akan mencari cela untuk kekuasaan koersif. Mereka mungkin mencoba melakukan serangan pribadi, ancaman dan peringatan. Contoh : pacar yang mengatakan “ jika kamu tidak berhenti memanggil namaku, aku akan pergi meninggalkanmu” dia menggunakan ancaman dengan kekuatannya untuk dapat pergi (Beebe, Steven A, dkk, 1996).

c. Gaya Cooperative

Cooperative style, pendekatan cooperative dalam memanajemen konflik mereka menggunakan pada other-orientation strategies dan menggunakan win-win solution sebagai teknik selanjutnya.

Gaya ini juga diartikan sebagai gaya yang digunakan apabila seseorang ingin menyelesaikan konflik dengan memuaskan semua pihak dan mencari hasil yang saling menguntungkan (Chandra, Robby I, 1992).

Individu dengan gaya cooperative fokus pada kepentingan bersama dan mendorong orang lain untuk menghasilkan opsi untuk memecahkan masalah (Beebe, Steven A, dkk, 1996).. Individu dengan gaya ini


(43)

26 mendeskripikan masalah tanpa membuat penilaian atau evaluasi tentang kepribadian, fokus pada kepentingan bersama yang menekankan pada kepentingan umum, nilai, dan tujuan. Selain itu, mereka mencoba melihat berbagai pilihan untuk memecahkan masalah dan mencari solusi yang dapat memuaskan kedua pelah pihak.

Dalam penelitian ini, peneliti mengelompokan ketiga gaya tersebut menjadi manajemen konflik yang konstruktif dan manajemen konflik yang destruktif. Gaya cooperative masuk kedalam menajemen konflik konstruktif. Sedangkan, gaya controlling dan gaya nonconfrontation masuk kedalam manajemen konflik destruktif. (Mardianto, Adi., Koentjoro., & Esti hayu purnamaningsih, 2000).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Konflik

Gaya manajemen konflik dipilih berdasarkan beberapa faktor, seperti kepribadian kita, siapa lawan kita dalam berkonflik, waktu dan tempat terjadinya konfrontasi, dan faktor situasi lainnya (Beebe, Steven A, dkk, 1996).

Menurut Wirawan (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen konflik, antara lain :


(44)

a. Asumsi mengenai konflik :

Asumsi orang mengenai konflik akan berpengaruh pada pola prilakunya dalam menghadapi konflik. Seseorang yang menganggap konflik sebagai suatu hal yang buruk akan menekan lawan konfliknya dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi. Sebaliknya, seseorang yang menganggap bahwa konflik merupakan hal yang baik dan toleran terhadap konflik maka ia akan menggunakan gaya manajemen konflik konflik kompromi dan kolaborasi.

b. Persepsi mengenai penyebab konflik :

Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan dan harga dirinya akan berupaya untuk memenangkan konflik. Sebaliknya ketika orang menganggap penyebab konflik tidak penting kehidupan dan harga dirinya maka ia akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam memanajemen konfliknya.

c. Ekspektasi atas reaksi lawan konflik :

Seseorang yang menyadari bahwa ia menghadapi konflik akan menyusun strategi konflik untuk menghadapi lawan konfliknya.


(45)

28 Jika ia memprediksikan bahwa lawan konfliknya akan menggunakan strategi kompetisi dan agresi maka ia akan menghadapi lawannya dengan manajemen konflik kompetisi da melawan agresi lawan konfliknya.

d. Pola komunikasi dalam interaksi konflik :

Dalam menghadapi suatu konflik diperlukan interaksi komunikasi antara pihak yang terlibat konflik. Jika proses komunikasi berjalan baik maka pesan kedua belah pihak akan saling dimengerti dan diterima secara persuasive. Hal ini menunjukan kemungkinan bahwa pihak yang berkonflik akan menggunakan manajemen konflik kolaborasi dan kompromi tinggi. Sebaliknya, jika komunikasi berjalan buruk dengan menggunakan kata-kata keras dan kotor, serta agresif, ada kemungkinan kedua belah pihak akan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi.

e. Kekuasaan yang dimiliki :

Jika pihak yang terlibat konflik merasa mempunyai kekuasaan lebih besar dari lawan konflik, maka ia akan memiliki kemungkinan yang besar untuk tidak mengalah dalam interaksi konflik. Terlebih jika masalah konfliknya sangat esensial bagi


(46)

kehidupannya. Sebaliknya, jika ia mempunyai kekuasaan lebih rendah dan memprediksikan bahwa dirinya tidak bisa menang dalam konflik, ia akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi, akomodasi atau menghindar.

f. Pengalaman dalam menghadapi situasi konflik :

Proses interaksi konflik dan gaya manajemen konflik yang digunakan dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam menghadapi konflik dan menggunakan gaya manajemen konflik tertentu. Contoh : seorang avokat yang menggunakan manajemen konflik dalam membela kliennya dipengaruhi oleh pengalaman yang sudah ia dapatkan sehingga ia dapat membela kliennya dengan manajemen konflik kompetisi, walaupun mungkin kliennya salah.

g. Sumber yang dimiliki :

Salah satu hal yang mempengaruhi gaya manajemen konflik yang digunakan seseorang. Sumber-sumber tesebut antara lain kekuasaan, pengetahuan, pengalaman, dan uang. Gaya manajemen kompetisi memiliki kemungkinan yang kecil untuk digunakan oleh seseorang yang tidak mempunyai sumber-sumber tersebut. Hal ini


(47)

30 karena ia kemungkinan besar akan menggunakan gaya menghindar atau akomodasi.

h. Jenis kelamin :

Sejumlah penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan gaya manajemen konflik yang digunakan oleh wanita dan laki-laki. i. Kecerdasan emosional :

Hal yang diperlukan dalam memanajemen konflik. Hal ini diperkuat oleh Lee Fen Ming (2003) dalam desertasinya yang mengemukakan bahwa kesuksesan manajemen konflik memerlukan keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional.

j. Kepribadian :

Salah satu hal yang juga mempengaruhi manajemen konflik. Seseorang yang memiliki kepribadian pemberai, garang, tidak sabaran, dan berambisi untuk menang akan cenderung memilih gaya kepemimpinan berkompetisi. Sedangkan orang yang penakut dan pasif cenderung untuk menghindari konflik.


(48)

Organisasi tentara, tim olah raga, pondok pesantren, dan biara dengan norma perilaku yang berbeda menyebabkan para anggotanya memiliki kecenderungan untuk memilih gaya manajemen konflik yang berbeda. Dalam masyarakat Barat, anak semenjak kecil diajarkan untuk berkompetisi. Disisi lain, di masyarakat Indonesia, anak diajarkan untuk berkompetisi atau menghindari konflik.

l. Prosedur dalam pengambilan keputusan saat konflik terjadi : Organisasi yang sudah mapan umumnya mempunyai prosedur untuk menyelesaikan konflik. Dalam prosedur tersebut, gaya manajemen konflik pimpian dan anggota organisasi akan tercermin.

m. Situasi konflik dan posisi dalam konflik :

Seseorang dengan kecenderungan gaya manajemen konflik berkompetisi akan mengubah gaya manajemen konfliknya jika menghadapi situasi konflik yang tidak mungkin ia menangkan. Gaya manajemen konflik dapat berubah tergantung pada situasi dan orang yang dihadapi.


(49)

32 Seseorang yang terlibat konflik akan cenderung untuk menggunakan manajemen konflik yang sama pada orang yang sama atau pada oranglain. Peluang tersebut akan lebih besar ketika ia menang terhadap orang tersebut ketika menggunakan manajemen konflik tertentu.

o. Keterampilan komunikasi :

Seseorang yang memiliki kemampuan komunikasi yang buruk akan mengalami kesulitan jika menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi, kolaborasi, atau kompromi. Hal ini karena ketiga gaya tersebut memerlukan kemampuan komunikasi yan tinggi untuk berdebat dengan lawan konflik. Di sisi lain, gaya manajemen konflik menghindar dan akomodasi tidak akan memerlukan banyak deat dan argumentasi.

C. Dewasa Awal

1. Pengertian Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan masa transisi antara masa remaja menuju masa dewasa (Santrock, 2011). Masa dewasa awal terjadi dari usia 18-25 tahun (Arnett, 2006, dalam Santrock, 2011). Tahap ini juga memberikan


(50)

kesempatan untuk merubah hidup mereka ke arah yang lebih positif (Santrock, 2003). Menurut Erikson masa dewasa memasuki tahap keenam perkembangan psikososial, yaitu intimasi versus isolasi (Santrock, 2003). Pada tahap ini dewasa awal dituntut untuk saling berkomitmen atau menghadapi rasa pengasingan diri dan keterpakuan pada diri sendiri (self-absorption).

2. Hubungan Romantis pada Dewasa Awal

Salah satu ciri seseorang dikatakan dewasa yaitu adanya keinginan untuk mengekprorasi identitas, terutama relasi romantis. Hal ini membuat perkembangan hubungan intimasi menjadi tugas penting dari masa dewasa awal. Intimasi menjadi persoalan utama pada dewasa awal karena emosi dalam hubungan romantis juga dikaitkan dengan pencapaian identitas pada dewasa awal (Barry, Madsen, Nelson, Carrol, & Badger, 2009, dalam Papalia,2014). Unsur penting dari keintiman adalah pengungkapan diri (self-disclosure), yaitu membuka informasi penting tentang diri sendiri kepada orang lain (Collins & Miller, 1994 dalam Papilia Olds Feldman, 2009). Keintiman dan tetap intim dapat tercipta melalui sikap saling terbuka, dan responsif terhadap kebutuhan orang lain, serta adanya rasa menerima dan


(51)

34 hormat yang timbal balik ( Harvey & Omarzu, 1997; Reis & Patrick, 1996, dalam Papilia Olds Feldman, 2009).

Pasangan yang memiliki intimasi yang tinggi akan sangat memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan pihak lain, menghormati dan menghargai satu sama lain, dan memiliki saling pengertian. Mereka juga saling berbagi dan merasa saling memiliki, saling memberi dan menerima dukungan emosional dan berkomunikasi secara intim. Namun, bila dewasa awal tidak dapat menjalin komitmen pribadi dengan orang lain, maka mereka beresiko menjadi terlalu terisolasi dan terpaku pada diri sendiri (self-absorbed).

Sebuah hubungan akan mencapai keintiman emosional manakala kedua pihak saling mengerti, terbuka, saling mendukung, dan merasa bisa berbicara mengenai apa pun juga tanpa merasa takut ditolak. Mereka juga akan berusaha menyelaraskan nilai dan keyakinan tentang hidup, meskipun tentu saja ada perbedaan pendapat dalam beberapa hal. Mereka mampu untuk saling memaafkan dan menerima, khususnya ketika mereka tidak sependapat atau berbuat kesalahan (Santrock, 2008). Hal ini membuat dewasa awal memerlukan keterampilan tertentu, seperti kepekaan, empati, dan kemampuan


(52)

mengomunikasikan emosi, menyelesaikan konflik, mempertahankan dan komitmen.

Ketika dewasa awal memiliki ketidakmampuan mengembangkan relasi yang bermakna dengan orang lain dapat melukai kepribadian dewasa awal. Hal ini dapat mendorong mereka untuk tidak mau mengakui, mengabaikan, atau menyerang orang-orang yang dianggap menimbulkan frustasi. Kadangkala prilaku ini juga dapat mengarah pada depresi dan isolasi, sehingga menyebabkan individu memiliki sikap tidak mempercayai orang lain (Santrock, 2011).

Kualitas hubungan romantis sangat berpengaruh pada pencapaian pembentukan rasa identitas. Dalam sebuah studi dari 710 individu peralihan dewasa, status pencapaian identitas diasosiasikan dengan perasaan kuat akan persahabatan, penghargaan, efeksi, dan dukungan emosi terhadap hubungan romantis (Barry, Madsen, Nelson, Carrol, & Badger, 2009, dalam Papalia, 2014).

Sebuah penelitian yang menemukan bahwa dalam situasi yang membuat stress, dewasa awal yang memiliki hubungan dengan orang lain lebih mungkin gaya hidup yang lebih teratur dan memiliki kemungkinan yang


(53)

36 lebih kecil untuk mengalami distress, cemas, depresi, atau bahkan meninggal (Cohen, 2004 dalam Papalia, 2009).

Menurut beberapa psikolog dimulainya kedewasaan tidak ditandai oleh kriteria eksternal, tetapi oleh indikator internal seperti otonomi, kontrol diri, dan tanggung jawab pribadi (Papila, 2009). Menurut Erikson, resolusi pada tahap ini menghasilkan kekuatan cinta: pengabdian timbal balik antara pasangan yang telah memilih dan membagi kehidupan mereka secara bersama-sama (Papila ,2009).

D. Hubungan Romantis

1. Periode Hubungan Romantis

Menurut Reese-Weber & Johnson, (2012) Terdapat tiga tahap pengembangan hubungan romantis, yaitu :

a. Honeymoon Phase

Fase bulan madu mencakup tingkat gairah dan kegembiraan tinggi saat pasangan saling mengenal satu sama lain. Pada fase ini, hubungan terjalin cukup santai dan melibatkan sebagian besar interaksi positif karena pasangan mempresentasikan diri mereka dengan baik. Pasangan melihat hubungan pada fase ini sebagai hubungan yang masih baru dan menarik.


(54)

Pada fase ini mereka akan menggambarkan dirinya secara positif dan mengabaikan kesalahan pasangan mereka. Dalam fase ini pasangan mulai menentukan sifat hubungan seperti memberi label satu sama lain sebagai pacar (Fletcer, Garth, dkk, 2000).

Periode pacaran 1-3 bulan merupakan fase awal dalam perkembangan hubungan. Pada tahap ini kepercayaan secara konsisten mendapat rating tertinggi. Hasil ini menyiratkan bahwa tingkat kepercayaan yang cukup tinggi bisa jadi merupakan prasyarat untuk kencan pertama bahkan terjadi. Namun, kepercayaan pada tahap awal pengembangan hubungan lebih berpusat pada prediktabilitas dan ketergantungan (bukan pada keyakinan). Periode 3 bulan dalam suatu hubungan juga cenderung memiliki penilaian dan persepsi ideal tentang pasangan dan hubungan yang stabil (Weber, Marla, 2015).

b. Defining Phase

Fase ini pasangan sudah menentukan keseriusan dan umur panjang hubungan. Negosiasi harapan untuk hubungan dapat menghasilkan peningkatan tingkat keintiman dan konflik, termasuk agresi, selama fase ini. Pada fase ini pasangan akan merasa nyaman satu sama lain, mereka tidak lagi hanya berusaha untuk menyenangkan satu sama lain seperti


(55)

38 sebelumnya tetapi masih diinvestasikan dalam hubungan. Selain itu pasangan pada fase ini lebih rela mendiskusikan isi-isu yang tidak mereka setujui (Fletcer, Garth, dkk, 2000).

c. Established Phase

Fase ini yang mencakup hubungan yang lebih berkomitmen dan berorientasi pada masa depan. Meskipun demikian, keintiman mungkin akan terus meningkat pada fase yang lebih mapan lagi. Pada tahap ini pasangan akan lebih memikirkan tentang harapan bersama akan hubungan mereka. Mereka akan mereasa lebih mengenal pasangannya dengan baik dan memiliki arah pada hubungan tersebut (Fletcer, Garth, dkk, 2000).

E. Kecenderungan Konflik Dalam Hubungan

Menurut Brandenberger (2002) terdapat beberapa jenis konflik yang paling umum muncul dalam hubungan intim, yaitu kecemburuan, ketidaksepakatan, dan tidak memiliki waktu bersama yang cukup (Brandenberger, Amanda, 2007).

Menurut Guerrero, Andersen, & Afifa (2001) terdapat 4 tingkatan konflik dalam sebuah hubungan (Brandenberger, Amanda, 2007), yaitu :


(56)

a. Tingkat pertama, pasangan berdebat tentang hal yang spesifik seperti perilaku-perilaku yang konkrit. Salah satunya ketika pasangan marah dikarenakan cara anda dalam menangani Sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya, seperti cara membersihkan atau menata barang. b. Tingkat kedua, ketika pasangan berdebat tentang peraturan dan

norma relasional. Salah satunya masalah yang sering terjadi dalam hal ini adalah melupakan hari ulang tahun pasangan atau hari yang penting bagi pasangan. Selain itu, tidak memberi kabar pada pasanagn juga menjadi salah satu persoalan.

c. Tingkat konflik ketiga, pasangan memperdebatkan tentang berbagai ciri kepribadian. Misalnya perbedaan kepribadian antara anda dan pasangan karena umur yang terpaut jauh.

d. Tingkat konflik yang terakhir, memperbedatkan tentang proses konflik itu sendiri (metakonflik). Dalam hal ini menuduh pasangan anda mengomel atau cemberut, mengamuk, tidak mendengarkan, dan tidak adil saat konflik (Guerrero, dkk, 2001 dalam )


(57)

40 F. Hubungan Antara Tipe Perfeksionisme Dengan Gaya Manajemen Konflik

Pada Individu Dewasa Awal Yang Berpacaran

Perfeksionisme merupakan keinginan untuk mencapai kesempurnaan dengan standar yang tinggi untuk dirinya, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya (Pranungsari, Dessy, 2010). Perfeksionis dibagi menjadi dua, yaitu perfeksionis interpersonal dan perfeksionis intrapersonal. Perfeksionis interpersonal dilihat dari adanya keinginan untuk menetapkan standar yang tinggi bagi orang lain (other oriented perfectionism) dan merasa orang lain menetapkan standar yang tinggi untuk dirinya (socially perceived perfectinisme). Perfeksionis interpersonal sendiri seringkali dikaitkan dengan berbagai permasalahan dalam relasi romantis, seperti permasalahan terhadap keintiman, kepercayaan, dan kepedulian (Dunkley David M, dkk, 2000). Padahal, hal-hal tersebut sangat diperlukan dalam membangun sebuah hubungan romantis yang juga merupakan salah satu kebutuhan penting dalam masa perkembangan dewasa awal (Santrock, 2012).

Seseorang dengan gaya other oriented perfectionism akan memiliki harapan sangat tinggi atau tidak realistis sehingga menimbulkan tendensi untuk permusuhan, otoriter, dominasi, dan termotivasi oleh kebutuhan untuk


(58)

meningkatkan nilai diri mereka dengan cara mencari kesalahan dari pasangannya (Hewitt & Armada 2004, dalam Mee, Foo Fatt, 2015). Hal ini memungkinkan seseorang dengan tipe other oriented perfectionism memiliki gaya controlling dalam memanajemen konflik mereka.

Manajemen konflik dengan gaya controlling menekankan pada cara mendominasi orang lain dan membuat keputusan berdasarkan penilaiannya. Individu yang memiliki controlling style pada umumnya memanajemen konflik dalam hubunganya dengan filosofi win-lose solution. Individu dengan gaya ini memiliki keinginan untuk menang dalam suatu konflik dan hanya fokus pada dirinya sehingga mereka mengabaikan perasaan ataupun pendapat dari pasangannya (Beebe, Steven A, dkk, 1996). Sedangkan, pada perfeksinisme socially prescribed perfectionism yang didominasi oleh perasaan bahwa orang lain memiliki harapan yang berlebihan pada dirinya akan membuat ia merasa bahwa orang lain memberikan kritik negatif terhadap dirinya (Pranungsari, Dessy, 2010). Hal ini membuat individu perfeksionis memiliki standar yang kaku dan tidak realistis, meragukan kemampuan mereka untuk sukses terutama pada peran standar sosial yang menyebabkan kecemasan sosial (Hewitt, Paul L, 1991). Hal ini juga dikaitkan dengan distress interpersonal dan merasa mendapatkan dukungan sosial yang rendah


(59)

42 (Hill, Zrull, & Turlington, 1997; Hewitt & Flett, 2004; Sherry, Hukum, Hewitt, Flett, & Besser, 2008). Individu dengan tipe socially prescribed perfectionism akan fokus untuk memenuhi standar dari pasangannya sehingga mereka menunjukan rasa takut yang lebih besar terhadap evaluasi negatif dan menempatkan perhatian yang lebih besar untuk memperoleh perhatian dari pasangan tetapi berusaha menghindari penolakan dari pasangannya tersebut.

Hal ini membuat individu dengan socially prescribed perfectionism memiliki kemungkinan untuk menggunakan gaya manajemen konflik nonconfrontation yang merupakan gaya pendekatan untuk manangani konflik dengan cara mundur, baik dengan cara withdrawing (manarik diri) atau menghindar. Hal ini membuat mereka cenderung merasa tidak nyaman dengan adanya konflik sehingga mereka memilih untuk menyerah sebelum konflik meningkat. Respon-respon yang muncul pada gaya ini adalah membujuk, menarik diri, dan memberikan sebuah respon yang melambangkan gaya non konfrontatif (Beebe, Steven A, 1996). Kedua gaya manajemen konflik ini membuat individu perfeksionisme cenderung untuk menggunakan manajemen konflik yang destruktif, yaitu manajemen konflik dengan cara yang negatif (Mardiato, Adi, 2000).


(60)

Hal ini berbeda dengan seseorang yang memiliki perfeksionisme intrapersonal yaitu self-oriented perfectionism, seseorang dengan pefeksionisme self oriented akan cenderung memiliki potensi adaptif sebagai hasrat yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar. Selain itu, seseorang dengan self oriented perfectionism memiliki kemampuan sosial, seperti kemampuan untuk mengerti pesan nonverbal orang lain dan dapat melibatkan orang lain dalam percakapannya. Hal ini membuatnya memiliki kemampun dalam membangun dan mempertahankan hubungan (Dunkley ,David. M, 2000).

Hal-hal tersebut memungkinkan individu perfeksionis intrapersonal self oriented untuk menyelesaikan konflik yang ada dengan menciptakan win-win solution dan fokus pada kepentingan bersama dengan gaya cooperative (Beebe, Steven A, dkk, 1996). Dengan gaya ini maka penyelesaian masalah dalam hubungan romantisnya dapat diselesaikan dengan manajemen konflik konstruktif, yaitu berusaha untuk melakukan positive problem solving dan manjaga hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik agar tetap harmonis (Mardianto, Adi., Koentjoro., & Esti hayu purnamaningsih, 2000)


(61)

44 Berikut adalah skema hubungan antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada individu dewasa awal yang sedang menjalani hubungan pacaran :


(62)

Perfeksionisme Interpersonal

Perfeksionisme Other Oriented

Melihat Kesalahan Orang Lain Secara

Berlebihan

Keinginan untuk Menang dari

Orang lain

Otoriter

Membuat Keputusan sepihak

Gaya Controlling

Manajemen Konflik Destruktif

Menetapkan Standar yang Tinggi pada Orang

Lain


(63)

46

Perfeksionisme Interpersonal

Perfeksionisme Socially Prescribed

Merasa Orang lain Menetapkan standar yang

tinggi

Menghindar dari masalah

Meragukan Kemampuannya

Menyerah Sebelum Masalah

menjadi Besar

Gaya Nonconfrontation

Manajemen Konflik Destruktif

Takut pada Evaluasi dari orang

lain


(64)

Perfeksionisme Intrapersonal

Perfeksionisme Self Orientation

Kemampuan Sosial yang Baik

Mendeskripsikan Masalah dengan

Baik

Mengerti Orang Lain

Fokus pada Kepentingan

Bersama

Gaya Cooperatif

Manajemen Konflik Konstruktif

Kemampuan Mempertahankan

Hubungan

Memecahkan Masalah yang Memuaskan Kedua Belah Pihak


(65)

48 G. Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitiannya sebagai berikut :

1. Ada hubungan positif antara tipe perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik gaya controlling.

2. Ada hubungan positif antara tipe perfeksionisme socially prescribed dengan manajemen konflik gaya nonconfrontatif.

3. Ada hubungan positif antara tipe perfeksonisme self oriented dengan manajemen konflik gaya cooperative.


(66)

49 A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional, yaitu penelitian dengan menggunakan karakteristik yang berupa hubungan antara dua variabel atau lebih ( Supratiknya, 1998 ). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menyelidiki variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2007). Penelitian ini tergolong penelitian korelasi karena peneliti mencoba untuk mengetahui hubungan antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada individu dewasa awal yang berpacaran. Data diperoleh melalui angket yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode statistika.

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah konsep yang mempunyai variasi nilai. Dengan menggunakan variabel, konsep yang menggambarkan realitas atau fenomena


(67)

50 sosial yang netral akan diberikan nilai tinggi atau rendah (Purwanto, E.A & Dyah, RS, 2007).

Sesuai dengan judul “Hubungan Antara Perfeksionisme dengan

Manajemen Konflik pada Dewasa Awal yang Menjalin Relasi Romantis “, maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas : Tipe Perfeksionisme

2. Variabel tergantung : Gaya Manajemen Konflik

C. Definisi Operasional 1. Perfeksionisme

Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya. Perfeksionis dapat diukur dengan skala perfeksionisme berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh Hewitt

Perfeksionis dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :

a. Perfeksionisme self-oriented ditunjukan dengan adanya potensi adaptif sebagai hasrat yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan


(68)

karya besar, memiliki kemampuan untuk berfikir secara kostruktif dam memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara positif

b. Other-oriented Perfectionisme ditunjukan dengan adanya perhatian berlebihan terhadap kesalahan orang lain, mengevaluasi orang lain dan bereaksi berlebihan pada kegagalan orang lain, serta memiliki sifat otoriter, mendominasi.

c. Perfeksionisme yang socially prescribed ditunjukan dengan adanya perasaan bahwa tuntutan yang datang dari orang lain harus dipenuhi untuk mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari lingkungannya dan adanya rasa takut yang lebih besar terhadap evaluasi negative dari orang lain.

2. Manajemen Konflik

Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga yang menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan (Wirawan, 2010), yang diukur menggunakan skala manajemen konflik yang dibuat oleh peneliti.


(69)

52 a. Gaya Nonconfrontation

Gaya nonconfrontation merupakan gaya pendekatan untuk manangani konflik dengan cara mundur, baik dengan menghindari konflik atau memberikannya kepada orang lain. (Beebe, Steven A, 1996).

Individu dengan gaya ini akan cenderung menghindari konflik, mudah menyerah ketika terjadi konflik, tidak nyaman dengan adanya konflik, memilih untuk diam, dan memiliki respon membujuk

b. GayaControlling

Controlling style merupakan manajemen konflik dengan cara mendominasi orang lain dan membuat keputusan berdasarkan penilaiannya. Individu yang memiliki gaya controlling pada umumnya memanajemen konfliknya dengan filosofi win-lose solution. Individu dengan gaya ini akan cenderung mendominasi orang lain, menyalahkan orang lain, keinginan untuk menang dalam konflik, fokus pada diri sendiri, mengabaikan perasaan/pendapat orang lain, mengancam


(70)

Cooperative style, pendekatan cooperative dalam memanajemen konflik mereka menggunakan pada other-orientation strategies dan menggunakan win-win solution sebagai teknik selanjutnya. Individu dengan gaya ini akan cenderung mempertimbangkan orang lain dalam mengambil keputusan, berusaha membuat strategi yang menguntungkan kedua belak pihak, fokus pada kepentingan bersama dan fokus pada masalah, dapat melihat berbagai pilihan solusi yang ada

D. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah individu dengan rentang umur yang termasuk dalam kriteria dewasa awal dan sedang menjalin hubungan pacaran. Metode sampling yang digunakan adalah convience sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara memilih subjek yang tersedia yang dianggap sesuai dengan persyaratan dari tujuan penelitian yang mudah dijangkau atau didapatkan (Nurimawati & Munandar, 2008). Selain itu, peneliti juga menggunakan metode snowball sampling, yaitu teknik pengambilan sampling yang bermula dari jumlah yang kecil kemudian besar. Dalam penentuan sampling, peneliti mula-mula memberikan skala kepada beberapa orang, lalu


(71)

54 orang-orang tersebut juga akan menyebarkan skala tersebut kepada orang lain yang sesuai dengan kriteria penelitian dan begitu seterusnya (Sugiyono, 2013).

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi subjek penelitian ini, adalah : 1. Dewasa awal dengan rentang umur antara 18 sampai 25 tahun

(Santrock, 2011).

2. Sedang menjalin hubungan berpacaran minimal 3 bulan. Hal ini disaran perlu dengan pertimbangan bahwa pasangan kekasih yang sudah menjalin hubungan pacaran 3 bulan maka mereka sudah menghadapi konflik dalam relasi meraka.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Metode

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode survey. Peneliti menggunakan skala yang berisi pernyataan-pernyataan yang telah disusun sedemikian rupa sehingga respon individu terhadap pernyataan tersebut dapat diberi skor dan diinterpretasikan. Alat yang digunakan oleh peneliti meliputi 2 skala, yaitu skala pertama mengenai perfeksionisme dan skala kedua mengenai manajemen konflik dalam hubungan romantis.


(72)

Pada uji coba skala, peneliti melakukan penyebaran skala secara langsung kepada subjek. namun, saat pada penelitian yang sesungguhnya peneliti menggunakan survey melalui google drive, hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam mencari subjek dan menjaga kerahasian subjek sehingga subjek lebih merasa nyaman dalam mengisi skala.

2. Alat Pengumpulan Data a. Perfeksionisme

Untuk melihat perfeksionisme, peneliti menggunakan skala Multidimensional Perfectionism Scale (MPS). Skala ini dibuat dalam bentuk bahasa Inggris yang kemudian diadaptasi kedalam bahasa Indonesia oleh peneliti. Skala ini mengukur tiga tipe perfeksionisme yang dikemukakan oleh Hewitt & Flett, 1991, yaitu:

Variabel ini akan menggunakan skala Likert, yaitu angka/skor 1 (sangat tidak setuju), angka/skor 2 (tidak setuju), angka/skor 3 (agak tidak setuju), angka/skor 4 (netral), angka/skor 5 (agak setuju), angka/skor 6 (setuju) dan angka/skor 7 (sangat setuju).


(73)

56 Tabel 1.

Persebaran Item Skala Multidimentional Perfectionism Scale Dimensi

Perfeksionisme Item Proporsi Jumlah

Self Oriented Perfectionism

1, 6, 8 12, 14, 15, 17, 20, 23, 28, 32, 34, 36, 40, 42

33.33 % 15

Other Oriented Perfeksionis

2, 3, 4, 7, 10,16,19, 22, 24, 26, 27, 29, 38, 43, 45

33.33 % 15

Socially Prescribed Perfectionism

5, 9, 11, 13, 18, 21, 25, 30, 31, 33, 35, 37, 39, 41, 44

33.33 % 15

b. Manajemen Konflik

Skala manajemen konflik diukur menggunakan skala manajemen konflik yang disusun oleh peneliti berdasarkan gaya manajemen konflik.

Variabel manajemen konflik akan diukur menggunakan jenis penskalaan subjek. Jenis penskalaan ini berorientasi pada subjek yang


(74)

bertujuan meletakkan individu-individu pada suatu kontinum penelitian sehingga kedudukan relative individu menurut suatu atribut yang diukur dapat diperoleh (Azwar, 2007).

Dalam proses pembuatan skala ini, peneliti melakukan survey kecil kepada beberapa mahasiswa yang termasuk dalam katagori dewasa awal dan sedang menjalani hubungan pacaran untuk menuliskan bentuk-bentuk konflik yang sering terjadi dalam hubungan pacaran mereka. Dari hasil survey tersebut peneliti mengelompokan konfllik-konflik yang sering terjadi dan menjadikannya sebagai pedoman dalam membuat pertanyaan skala manajemen konflik ini.

Bentuk dari skala ini berupa soal yang memiliki 3 pilihan A, B, dan C yang masing-masing mewakili ketiga gaya manajemen konflik. Peneliti juga melakukan pengacakan gaya manajemen konflik pada pilihan A, B,C disetiap soal. Hal ini dilakukan untuk menghindari subjek memilih jawaban yang sama pada setiap soal tanpa membacanya terlebih dahulu. Penskoringan dilakukan dengan cara mengelompokan pilihan subjek kedalam masing-masing gaya manajemen konflik. Selanjutnya, peneliti akan memberi skor/nilai 1 pada jawaban yang dipilih oleh subjek dan skor/nilai 0 pada jawaban yang tidak dipilih oleh subjek.


(75)

58 Tabel 2.

Persebaran Item Skala Manajemen Konflik Dimensi

Manajemen Konflik

Item

Propo

rsi jumlah

Manajemen

Konflik Kooperatif

1a, 2b, 3c, 4b, 5a, 6c, 7b, 8c, 9a, 10a, 11c, 12b, 13c, 14b, 15a, 16b, 17a, 18c, 19b, 20c, 21a, 22a, 23a, 24c, 25c, 26b, 27b, 28a, 29c, 30b, 31b, 32c, 33c, 34b, 35a, 36a, 37a, 38a, 39c, 40b, 41b, 42a, 43b, 44a, 45a, 46c, 47c, 48b, 49b, 50b, 51c, 52c

Manajemen Konflik

Nonkonfrontatif

1b, 2c, 3a, 4c, 5b, 6a, 7c, 8a, 9b, 10b, 11a, 12c, 13a, 14c, 15b, 16c, 17b, 18a, 19c, 20a, 21b, 22b, 23b, 24a, 25a, 26c, 27c, 28b, 29a, 30c, 31c, 32a, 33a, 34c, 35b, 36b, 37b, 38b, 39a, 40c, 41c, 42b, 43c, 44b, 45b, 46a, 47a, 48c, 49c, 50c, 51a, 52a 100% (52 soal) Manajemen Konflik Kontrol

1c, 2a, 3b, 4a, 5c, 6b, 7a, 8b, 9c, 10c, 11b, 12a, 13b, 14a, 15c, 16a, 17c, 18b, 19a, 20b, 21c, 22c, 23c, 24b, 25b, 26a, 27a, 28c, 29b, 30a, 31a, 32b, 33b, 34a, 35b, 36b, 37b, 38b, 39b, 40a, 41a, 42c, 43a, 44c, 45c, 46b, 47b, 48a, 49a, 50a, 51b, 52b


(76)

F. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas adalah kualitas esensial yang menunjukkan sejauh mana alat ukur sungguh-sungguh mengukur atribut yang hendak diteliti (Supratiknya, 2014). Uji validitas bertujuan untuk mengukur apakah pernyataan-pernyataan atau item-item yang disajikan sudah dengan tepat mengukur konstrak atau apa yang ingin diukur oleh peneliti (Santosa, 2014). Validitas dibedakan menjadi tiga, yaitu validitas isi, validitas yang berorientasi pada kriteria, dan validitas konstruk. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan validitas isi. Validitas ini memiliki kemampuan untuk menelaah isi tes terkait ketepatan konstruk dan relevansi isi item-item (Supratiknya, 2014). Penelitian item-item pada alat ukur melalui proses penilaian dengan menggunakan metode expert judgement, yang dalam hal ini adalah dosen pembimbing (Azwar, 2012).

2. Seleksi Item

Dalam proses penskalaan diperlukan adanya seleksi item. Parameter yang paling panting dalam seleksi item adalah daya diskriminasi item (daya beda). Daya diskriminasi item adalah sejauh mana item yang digunakan oleh peneliti


(77)

60 dapat membedaan individu kedalam kelompok yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2007).

Pengujian daya diskriminasi item menghendaki dilakukannya komputasi koefisien korelasi yang akan menghasilkan koefisien korelasi aitem tptal (rix) atau parameter daya beda aitem. Kriteria pemilihan item berdasar korelasi aitem total, basanya digunakan batasan (rit) ≥ 0,30. Hal ini diartikan semua item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan. Item yang memiliki koefisien korelasi ≤ 0,30 dapat diartikan sebagai item yang memiliki daya diskriminasi rendah. Namun, apalibila item yang memiliki indeks daya diskriminasi = atau ≥ 0,30 tidak mencukupi masa diperbolehkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria menjadi 0,25 asalkan tidak menurunkan batas kriteria rix dibawah 0,20.

a. Skala Perfeksionisme

Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan kepada 40 responden didapatkan hasil bahwa pada skala perfeksionisme terdapat 41 item yang lolos seleksi dari 45 item dengan koefisien korelasi item total (rix) ≥ 0,25. Dalam penelitian ini peneliti tetap mempertahankan semua item. Adapun item yang tidak lolos adalah item nomer 3, 21, 38, 43, item-item tersebut tersebar pada tipe other


(78)

oriented perfectionism (3, 38, 43) dan pada tipe socially priscribed perfectionism (21). Distribusi item sebagai berikut :

Tabel 3

Blue print skala perfeksionisme Dimensi

Perfeksionisme Favorable Unfavorable Jumlah

Self Oriented Perfectionism

1, 6, 14, 15, 17, 20, 23, 28, 32, 40, 42

8, 12, 34,

36, 15

Other Oriented

Perfeksionis 7, 16, 22, 26, 27, 29

2,3,4,10, 19,24,38,43, 45

15

Socially Prescribed Perfectionism

5, 11, 13, 18, 25, 31, 33, 35, 39, 41

9,21,30,

37,44 15


(79)

62 b. Skala Manajemen Konflik

Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan kepada 40 responden didapatkan hasil bahwa pada skala manajemen konflik terdapat 52 item yang lolos seleksi dari 60 item dengan koefisien korelasi item total (rix) ≥ 0,30.


(80)

Tabel 4

Blue Print Skala Manajemen Konflik Setelah Uji Coba

Item yang dicetak tebal dan bertanda * merupakan item-item yang gugur. Pengguguran item tersebut sesuai dengan standar koefisien korelasi item total Dimensi

Manajemen Konflik

Item Jumlah

Manajemen

Konflik Kooperatif

1a, 2c*, 3b, 4c, 5c*, 6a*, 7b, 8c, 9a, 10a, 11c, 12b, 13c, 14b, 15a, 16b, 17a, 18c, 19b, 20c, 21a, 22a, 23a, 24c, 25c, 26b, 27b, 28a, 29c, 30b, 31b, 32c, 33c, 34b, 35a, 36a, 37a, 38a, 39a*, 40b, 41b, 42a, 43b, 44a, 45a*, 46c*, 47c, 48b*, 49b, 50b, 51c, 52c, 53a, 54c, 55b, 56c, 57c, 58b, 59a, 60a

Manajemen Konflik

Nonkonfrontatif

1b, 2b*, 3c, 4a, 5b*, 6c*, 7c, 8a, 9b, 10b, 11a, 12c, 13a, 14c, 15b, 16c, 17b, 18a, 19c, 20a, 21b, 22b, 23b, 24a, 25a, 26c, 27c, 28b, 29a, 30c, 31c, 32a, 33a, 34c, 35b, 36b, 37b, 38b, 39b*, 40c, 41c, 42b, 43c, 44b, 45b*, 46a*, 47a, 48c*, 49c, 50c, 51a, 52a, 53b, 54b, 55a, 56a, 57b, 58c, 59c, 60b

60 soal

Manajemen Konflik Kontrol

1c, 2a*, 3a, 4b, 5a*, 6b*, 7a, 8b, 9c, 10c, 11b, 12a, 13b, 14a, 15c, 16a, 17c, 18b, 19a, 20b, 21c, 22c, 23c, 24b, 25b, 26a, 27a, 28c, 29b, 30a, 31a, 32b, 33b, 34a, 35b, 36b, 37b, 38b, 39c*, 40a, 41a, 42c, 43a, 44c, 45c*, 46b*, 47b, 48a*, 49a, 50a, 51b, 52b, 53c, 54a, 55c, 56b, 57a, 58a, 59b, 60c


(81)

64 yang (rit) ≥ 0,30. Setelah melalukan pengguguran, skala final manajemen konflik sebagai berikut :

Tabel 5

Blue Print Skala Manajemen Konflik Setelah Penyesunan Ulang Dimensi

Manajemen Konflik

Item Jumlah

Manajemen

Konflik Kooperatif

1a, 2b, 3c, 4b, 5a, 6c, 7b, 8c, 9a, 10a, 11c, 12b, 13c, 14b, 15a, 16b, 17a, 18c, 19b, 20c, 21a, 22a, 23a, 24c, 25c, 26b, 27b, 28a, 29c, 30b, 31b, 32c, 33c, 34b, 35a, 36a, 37a, 38a, 39c, 40b, 41b, 42a, 43b, 44a, 45a, 46c, 47c, 48b, 49b, 50b, 51c, 52c

Manajemen Konflik

Nonkonfrontatif

1b, 2c, 3a, 4c, 5b, 6a, 7c, 8a, 9b, 10b, 11a, 12c, 13a, 14c, 15b, 16c, 17b, 18a, 19c, 20a, 21b, 22b, 23b, 24a, 25a, 26c, 27c, 28b, 29a, 30c, 31c, 32a, 33a, 34c, 35b, 36b, 37b, 38b, 39a, 40c, 41c, 42b, 43c, 44b, 45b, 46a, 47a, 48c, 49c, 50c, 51a, 52a

52soal

Manajemen Konflik Kontrol

1c, 2a, 3b, 4a, 5c, 6b, 7a, 8b, 9c, 10c, 11b, 12a, 13b, 14a, 15c, 16a, 17c, 18b, 19a, 20b, 21c, 22c, 23c, 24b, 25b, 26a, 27a, 28c, 29b, 30a, 31a, 32b, 33b, 34a, 35b, 36b, 37b, 38b, 39b, 40a, 41a, 42c, 43a, 44c, 45c, 46b, 47b, 48a, 49a, 50a, 51b, 52b


(82)

3. Reliabilitas

Reliabilitas adalah ketepatan pengukuran tanpa menghiraukan atribut apa yang diukur (Nunnally, 1974 dalam Supratiknya, 2014). Koefisien reliabilitas berada pada rentang 0,00 sampai 1,00. Semakin mendekati nilai 1,00 maka reliabilitasnya dinyatakan semakin baik, begitu pula sebaliknya (Supratiknya, 2014). Nilai koefisien alpha cronbach dinyatakan baik apabila memiliki skor antara 0,60-0,75 dan nilai koefisien antara 0,75 -1,00 dianggap sangat baik (Cicchetti, 1994).

a. Perfeksionisme

Skala perfeksionisme merupakan skala adaptasi. Oleh karena itu penerjemahan skala ini menjadi hal yang dibutuhkan. Dalam proses penerjemahan tersebut, peneliti menggunakan metode back translation. Penerjemahan dengan metode back translation hingga uji coba skala merupakan validitas isi dari skala ini. Penerjemahana dilakukan oleh orang yang professional dalam bidangnya. Selanjutnya, beberapa orang yang menguasai ilmu psikologi menerjemahkan kembali skala tersebut.

Hasil dari terjemahan tersebut dibandingkan dengan skala asli untuk mendapatkan item terbaik. Skala juga disajikan kepada 5 orang dewasa awal untuk mengetahui pemahaman dari sampel subjek. skala diuji coba pada


(1)

LAMPIRAN 5

UJI NORMALITAS DATA

self-oriented perfectionism

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. VAR00021 .078 101 .137 .969 101 .019 a. Lilliefors Significance Correction

other-oriented perfectionism

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig. TOTAL .050 101 .200* .988 101 .477 *. This is a lower bound of the true significance.

a. Lilliefors Significance Correction

socially prescribed perfectionism

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig. TOTAL .084 101 .074 .975 101 .048 a. Lilliefors Significance Correction

Manajemen konflik

cooperative

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig. TOTAL .074 101 .191 .981 101 .142 a. Lilliefors Significance Correction

Manajemen Konflik

Controlling

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig. Total .139 101 .000 .925 101 .000 a. Lilliefors Significance Correction


(2)

Nonconfrontation

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig. TOTAL .139 101 .000 .925 101 .000 a. Lilliefors Significance Correction

self-oriented perfectionism other-oriented perfectionism

socially prescribed perfectionism

Manajemen konflik

cooperative

Manajemen Konflik

Nonconfrontation

Manajemen Konflik


(3)

LAMPIRAN 6

UJI LINIERITAS

ANOVA Table

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

controlling * other

Between Groups

(Combined) 1742.987 32 54.468 2.007 .008 Linearity 188.063 1 188.063 6.929 .010 Deviation from

Linearity

1554.924 31 50.159 1.848 .018 Within Groups 1845.548 68 27.140

Total 3588.535 100

ANOVA Table

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

nonconfrontatif * soccially

Between Groups

(Combined) 952.285 34 28.008 .848 .696 Linearity 251.350 1 251.350 7.610 .008 Deviation from

Linearity

700.935 33 21.240 .643 .917 Within Groups 2179.913 66 33.029

Total 3132.198 100

ANOVA Table

Sum of Squares

df Mean Square

F Sig. cooperatif *

self

Between Groups

(Combined) 4142.665 38 109.018 1.868 .014 Linearity 335.288 1 335.288 5.745 .020


(4)

Deviation from Linearity

3807.377 37 102.902 1.763 .024 Within Groups 3618.167 62 58.358


(5)

LAMPIRAN 7

UJI HIPOTESIS

Correlations

controlling other

Spearman's rho

Controlling

Correlation Coefficient 1.000 .185* Sig. (1-tailed) . .032

N 101 101

Other

Correlation Coefficient .185* 1.000 Sig. (1-tailed) .032 .

N 101 101

Correlations

soccially nonconfrontatif

Spearman's rho

Socially

Correlation Coefficient 1.000 .304** Sig. (1-tailed) . .001

N 101 101

nonconfrontatif

Correlation Coefficient .304** 1.000 Sig. (1-tailed) .001 .


(6)

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Correlations

self cooperatif self

Pearson Correlation 1 .208* Sig. (1-tailed) .019

N 101 101

cooperatif

Pearson Correlation .208* 1 Sig. (1-tailed) .019

N 101 101