Hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal.

(1)

vi

HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU

DEWASA AWAL

Ina Marchellyna Florentine

ABSTRAK

Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Hipotesis nol dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Subjek penelitian ini adalah 110 individu dewasa awal yang berusia 18-40 tahun. Subjek dipilih menggunakan teknik convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan mengunakan skala trait kecerdasan emosional dan skala kecenderungan pembelian impulsif. Validitas skala diuji menggunakan validitas isi. Koefisien reliabilitas skala kecenderungan pembelian impulsif adalah 0,924 dan skala trait kecerdasan emosional adalah 0,913. Melalui analisis regresi sederhana diperoleh F(1,108)=24,048, p=0,000 dan β=-0,427. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nol dalam penelitian ini ditolak. Artinya, terdapat hubungan negatif dan signifikan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal.

Kata kunci : kecenderungan pembelian impulsif, trait kecerdasan emosional, dewasa awal


(2)

vii

CORRELATION BETWEEN TRAIT EMOTIONAL INTELLIGENCE AND IMPULSE BUYING TENDENCY

Ina Marchellyna Florentine

ABSTRACT

This research aimed to determine the relationship between trait emotional intelligence and impulse buying tendency. The null hypothesis of this research was there is no relationship between trait emotional intelligence and impulse buying tendency. Participants of this study were 110 early adults aged between 18 and 40 years old. Participants were selected using convenience sampling technique. Data collected with impulse buying tendency scale and trait emotional intelligence scale. The validity of the scale was tested using content validity. Impulse buying tendency scale reliability coefficient was 0,924 and trait emotional intelligence scale was 0,913. Data analyzed using regression analysis. The result (F(1,108)=24,048, p=0,000 dan β=-0,427) showed that the null hypothesis of this study is rejected. This means that trait emotional intelligence corelate negatively and significantly with impulse buying tendency.


(3)

HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN

KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU

DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Ina Marchellyna Florentine

NIM : 089114014

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

ii

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU

DEWASA AWAL

Disusun Oleh :

Ina Marchellyna Florentine NIM : 089114014

Telah Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing,


(5)

iii

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU

DEWASA AWAL

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Ina Marchellyna Florentine

NIM : 089114014

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 13 Maret 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1 : Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi ... Penguji 2 : P. Henrietta P.D.A.D.S, M.A. ... Penguji 3 : Y. Heri Widodo, M.Psi ...

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,


(6)

iv

I can do anything through Him who gives me strength.

Phillippians 4 : 13

For what its worth, it’s never too late to be whoever you want to be.

I hope you

live a life you proud of. And if you found you’re not, I hope you have the

strength to start all over again.

Scott Fitzgerald

It’s not good to dwell in dreams and forget to live.

Albus Dumbledore

, Harry Potter and The Sorcerer’s Stone

In everything, it is better to hope than to despair.

Von Goethe

Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.

Galatia 6 : 7b


(7)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya milik orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 25 April 2013 Penulis,


(8)

vi

HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU

DEWASA AWAL

Ina Marchellyna Florentine

ABSTRAK

Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Hipotesis nol dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Subjek penelitian ini adalah 110 individu dewasa awal yang berusia 18-40 tahun. Subjek dipilih menggunakan teknik convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan mengunakan skala trait kecerdasan emosional dan skala kecenderungan pembelian impulsif. Validitas skala diuji menggunakan validitas isi. Koefisien reliabilitas skala kecenderungan pembelian impulsif adalah 0,924 dan skala trait kecerdasan emosional adalah 0,913. Melalui analisis regresi sederhana diperoleh F(1,108)=24,048, p=0,000 dan β=-0,427. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nol dalam penelitian ini ditolak. Artinya, terdapat hubungan negatif dan signifikan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal.

Kata kunci : kecenderungan pembelian impulsif, trait kecerdasan emosional, dewasa awal


(9)

vii

CORRELATION BETWEEN TRAIT EMOTIONAL INTELLIGENCE AND IMPULSE BUYING TENDENCY

Ina Marchellyna Florentine

ABSTRACT

This research aimed to determine the relationship between trait emotional intelligence and impulse buying tendency. The null hypothesis of this research was there is no relationship between trait emotional intelligence and impulse buying tendency. Participants of this study were 110 early adults aged between 18 and 40 years old. Participants were selected using convenience sampling technique. Data collected with impulse buying tendency scale and trait emotional intelligence scale. The validity of the scale was tested using content validity. Impulse buying tendency scale reliability coefficient was 0,924 and trait emotional intelligence scale was 0,913. Data analyzed using regression analysis. The result (F(1,108)=24,048, p=0,000 dan β=-0,427) showed that the null hypothesis of this study is rejected. This means that trait emotional intelligence corelate negatively and significantly with impulse buying tendency.


(10)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Ina Marchellyna Florentine

NIM : 089114014

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Hubungan antara Trait Kecerdasan Emosional dengan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa Awal

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 25 April 2013 Yang menyatakan,


(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Baik, yang selalu hadir dan menyertai perjalanan hidup penulis. Dengan berkat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menghadapi segala tantangan hingga akhirnya dapat menyelesaikan penelitian (skripsi) ini. Skripsi dengan judul “Hubungan Antara Trait Kecerdasan Emosional dan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa Awal disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta dan meraih gelar sarjana psikologi.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, kritik dan saran bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. DR. Ch. Siwi Handayani, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan sekaligus dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas pengalaman hidup yang sempat dibagikan dan semangat luar biasa yang ditunjukkan kepada penulis dan segenap mahasiswa yang didampingi. Sangat menginspirasi!

2. Ratri Sunar Astuti, M.Si. sebagai Kaprodi Fakultas Psikologi Sanata Dharma. Penulis mengucapkan terima kasih atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas semua masukan berupa kritik, saran, dan motivasi yang diberikan


(12)

x

selama proses pengerjaan skripsi. Terima kasih juga atas kesempatan curhat colongan disela-sela proses bimbingan.

4. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., M.A dan Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi yang telah memberikan banyak masukan dalam penyelesaian tugas akhir ini.

5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas pelajaran yang telah diberikan selama masa studi penulis, baik berupa ilmu pengetahuan, pengalaman, motivasi, maupun inspirasi. 6. Orang tua penulis, Alm. Yoseph Doni Boli dan Carolina Sri Handayani.

Meskipun tidak banyak waktu yang kita habiskan bersama, aku yakin kisah dan kasih Bapak-Ibu selalu ada, tak terbatas ruang dan waktu.

FX. Bambang Suripno dan Robertha Kresnowati. Terima kasih tak terhingga atas kasih sayang, segala daya dan upaya, serta pendampingan luar biasa yang telah Bapak-Ibu berikan selama ini. Karya Tuhan yang nyata dan mengagumkan terwujud dalam kehadiran Bapak dan Ibu.

7. Robertha Yolins Dwi Putri, thanks for being the challange for me to be a good sister. Jangan kalah dengan pikiran buruk kita sendiri!

8. F. Dani Anom Sandjaja, terima kasih atas segala kasih sayang, penerimaan, dan pengalaman beserta tawa dan tangis yang telah kita bagikan selama 5 tahun ini. “You met me in the wierdest moment of my life.” But thank God we met each other.

9. Anom, Luci, Dewi, Puput, Edy, Agung, Meili, Heni, Mbak Ti, Mbak Isti, Bu Emi, Mbak Diah, Dytha dan penghuni kos Starbut, serta teman-teman OMK


(13)

xi

yang telah membantu dalam tersebarnya skala selama tryout dan pengambilan data penelitian. Tanpa kalian, entah kapan skripsi ini selesai. Hehe..

10. Teman-teman seperjuangan dan sebimbingan dalam penyusunan skripsi. Martha, Nursih, Wawan, terima kasih atas diskusi dan masukan selama menyusun skripsi. Agung dan Presti, ayo tancap gas!

11. Teman-teman yang penulis kasihi. Aik, Skolas, Puput, Winas. Terima kasih atas kebersamaan yang sempat kita alami selama masa kuliah. Semoga sukses di fase hidup selanjutnya. Luci, Adita, Gigi, Irin, Heni, ayo semangat, sedikit lagi selesai! Seluruh teman-teman Psikologi 2008, terima kasih atas kebersamaan kalian selama masa kuliah ini.

12. Penghuni kos Starbut dan para pengunjung setianya: Alden, Puput, Aji, Hargi, Vinsen, Adam ‘Si Junior’, Hanip, Dytha, Satrio. Terima kasih atas pengalaman rekreasi yang selalu mengesankan dan segala hal dalam diri kalian yang menginspirasi.

13. Teman-teman OMK Don Bosco Gereja St. Maria Assumpta Paroki Babarsari. People say “Time is prescious, waste it wisely”. I guess I’ve wasted my time wisely with you guys. =)

14. Seluruh partisipan yang telah terlibat dalam penelitian ini. Terima kasih karena telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan kalian untuk mengisi skala penelitian ini.

15. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih karena telah membantu penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat berjalan dan terselesaikan.


(14)

xii

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Terima kasih.

Yogyakarta, 25 April 2013 Penulis


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat penelitian ... 10

1. Manfaat Teoretis... 10


(16)

xiv

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Individu Dewasa Awal ... 11

1. Pengertian Individu Dewasa Awal ... 11

2. Karakteristik Perkembangan Individu Dewasa Awal ... 12

B. Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 15

1. Pengertian Pembelian Impulsif ... 15

2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif ... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif ... 18

4. Dampak Pembelian Impulsif ... 21

5. Alat Ukur Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 22

C. Trait Kecerdasan Emosional ... 23

1. Model-model Kecerdasan Emosional ... 23

2. Pengertian Trait Kecerdasan Emosional... 25

3. Faktor dan Faset Trait Kecerdasan Emosional ... 26

4. Alat Ukur Trait Kecerdasan Emosional ... 33

D. Dinamika Hubungan antara Trait Kecerdasan Emosional dengan Kecenderungan Pembelian Impulsif Individu Dewasa Awal ... 33

E. Hipotesis ... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

C. Definisi Operasional ... 37


(17)

xv

2. Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 38

D. Subjek Penelitian ... 39

E. Metode Pengambilan Data ... 39

1. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 40

2. Skala Trait Kecerdasan emosional ... 41

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 42

1. Validitas dan Reliabilitas Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 42

2. Validitas dan Reliabilitas Skala Trait Kecerdasan Emosional ... 43

G. Metode Analisis Data ... 44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Persiapan Penelitian ... 46

B. Pelaksanaan Penelitian ... 46

C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 47

D. Deskripsi Data Penelitian ... 48

E. Hasil Analisis Data ... 49

1. Uji Asumsi ... 49

2. Uji Hipotesis... 52

F. Analisis Tambahan ... 54

G. Pembahasan ... 55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

A. Kesimpulan ... 59


(18)

xvi

C. Saran ... 60

1. Bagi Individu Dewasa Awal ... 60

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Struktur Faktor dan Faset Trait Kecerdasan Emosional (diadaptasi

dari Mickolajzack et al., 2007) ... 32

Tabel 2. Pemberian Skor pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 41

Tabel 3. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem) ... 41

Tabel 4. Pemberian Skor pada Skala Trait Kecerdasan Emosional ... 41

Tabel 5. Blueprint Skala Trait Kecerdasan Emosional (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem)... 42

Tabel 6. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem) ... 43

Tabel 7. Blueprint Skala Trait Kecerdasan Emosional (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)... 44

Tabel 8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin .. . 48

Tabel 9. Rangkuman Uji T Mean Empiris, Teoretis, dan Standar Deviasi .... . 48

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas Residu ... 50

Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 51

Tabel 12. Hasil Analisis R Kuadrat ... 52

Tabel 13. Hasil Uji F pada Analisis Regresi ... 52


(20)

xviii

Tabel 15. Rangkuman Perbandingan Mean Empiris, Teoretis,


(21)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Faktor Trait Kecerdasan Emosional (Sumber: Petrides, 2001, www.psychometriclab.com) ... 28 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Hubungan Trait Kecerdasan Emosional

dengan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa

Awal ... 36 Gambar 3. Scatterplot untuk Uji-uji Asumsi ... 50 Gambar 4. Garis Regresi ... 54


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Impulse Buying Tendency Scale (IBT-Scale) ... 68 Lampiran 2. Trait Emotional Intelligence Questionnaire-Short Form

(TEIQue-SF) ... . 71 Lampiran 3. Skala Penelitian ... 73 Lampiran 4. Reliabilitas Skala Penelitian... 78 Lampiran 5. Hasil Uji Asumsi... 86 Lampiran 6. Hasil Uji Hipotesis... 88 Lampiran 7. Hasil Analisis Tambahan... 90


(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbelanja merupakan kegiatan yang sangat lazim dilakukan masyarakat saat ini. Berbelanja bukan sekedar untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan sehari-hari melainkan sebagai aktivitas pengisi waktu luang dan gaya hidup yang utama (Lury; Bayley dan Nancarrow dalam Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009). Data dari Consumer Survey Indonesia pada bulan Februari tahun 2010 yang didapat dari 512 responden di Jakarta menunjukkan bahwa setiap responden mengunjungi pusat perbelanjaan dengan frekuensi rata-rata 6,5 hari sekali. Durasi kunjungan rata-rata 3,5 jam dan jumlah uang yang dibelanjakan responden pada setiap kunjungan rata-rata Rp.194.500,00 (Oei, 2010). Data tersebut menjadi petunjuk lain bahwa berbelanja sudah menjadi aktivitas rutin bagi masyarakat, terutama di kota besar.

Alasan yang mendorong orang berbelanja pun bermacam-macam. Selain untuk membeli produk yang dibutuhkan, berbelanja juga didorong oleh beberapa alasan lain. Bagi sebagian orang, khususnya wanita, berbelanja dilakukan sebagai perwujudan perannya sebagai seorang ibu atau istri (Tauber, 1972). Berbelanja dapat dilakukan sebagai hiburan atau rekreasi setelah melakukan rutinitas sehari-hari dan sarana pemuasan diri ketika suasana hati sedang buruk (Gardner dan Rook, 1988; Tauber, 1972). Di luar


(24)

motif-motif pribadi tersebut, terdapat pula motif-motif sosial yang mendorong orang untuk berbelanja. Motif-motif tersebut antara lain melakukan aktivitas sosial di luar rumah, berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki kesamaan minat, acara teman sebaya, merasakan status dan otoritas sebagai tamu yang dilayani, dan menikmati kegiatan tawar-menawar (Tauber, 1972).

Merencanakan produk yang hendak dibeli sebelum berbelanja merupakan hal yang lazim. Akan tetapi, banyak pula orang tidak membuat daftar belanja. Dari hasil riset yang dilakukan Nielsen terhadap 1804 responden dengan pengeluaran di atas Rp 1.500.000,00 di beberapa kota besar di Indonesia, 21 % responden tidak pernah membuat perencanaan belanja. Selain itu, 39 % responden mengaku membeli produk di luar daftar belanja yang telah disusun. Hal ini menjukkan adanya peningkatan aktivitas belanja yang tidak terencana dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia semakin impulsif (Industrial Post, 2011).

Di dalam sebuah forum di halaman situs FemaleDaily, seorang anggota menulis:

Pas lagi di sale. Aduh gak tahan deh ... Biasanya beli accessories, langsung deh secepat kilat tanpa pikir panjang ... Terkadang puas sekali karena dapet barang yang bagus melebihi yang dipikirkan, tapi kadang nyesel setengah mati karena barangnya tidak sesuai dengan yang dikehendaki.(femaledaily.com, 2012)

Anggota-anggota lain juga mengaku pernah, bahkan sering mengalami hal serupa. Ketika melihat suatu produk, para anggota situs tersebut merasakan dorongan yang kuat dan tidak dapat ditahan untuk segera


(25)

membelinya serta kurang ada pertimbangan lebih lanjut. Ketika membeli produk mereka merasa sangat bersemangat tetapi setelah membeli terkadang timbul perasaan menyesal. Perilaku membeli seperti ini disebut perilaku pembelian impulsif (Beatty dan Ferrell, 1998; Rook, 1987).

Pembelian impulsif sangat menguntungkan bagi pihak produsen ataupun pemasar karena dapat meningkatkan penjualan. Sebaliknya, konsumen dapat mengalami kerugian setelah melakukan pembelian impulsif. Kerugian tersebut dapat berupa rasa menyesal atau bersalah dan masalah finansial (Gardner dan Rook, 1988; Rook, 1987). Perilaku pembelian impulsif dapat pula berkembang menjadi perilaku membeli yang berlebihan atau kompulsif (Faber & O’Guinn, 1992; Dittmar & Drury, 2000; Dittmar, 2005 dalamHerabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku pembelian impulsif dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal individu, misalnya harga yang murah dan adanya promosi berupa kupon atau potongan harga (Rook, 1987; Tendai dan Crispen, 2009; Karbasivar dan Yarahmadi, 2011). Ketersediaan waktu dan uang juga memiliki pengaruh terhadap perilaku pembelian impulsif. Ketika seseorang memiliki waktu lebih banyak untuk berbelanja dan melihat-lihat produk di toko, semakin besar peluang untuk membeli produk secara impulsif, terutama jika individu memiliki uang yang cukup untuk membelinya (Beatty dan Ferrell, 1998). Lingkungan belanja yang menyenangkan juga mendorong terciptanya suasana hati yang menyenangkan sehingga dapat membuat seseorang mau menghabiskan waktu lebih lama di


(26)

tempat tersebut dan berpeluang lebih besar untuk melakukan pembelian impulsif (Tendai dan Crispen, 2009).

Penelitian-penelitian lain yang menggunakan subjek orang dewasa menunjukkan bahwa selain dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, perilaku pembelian impulsif pada dasarnya sangat terkait dengan faktor-faktor internal individu. Verplanken dan Herabadi (2001) menemukan bahwa kecenderungan pembelian impulsif berkaitan erat dengan kepribadian. Dimensi neurotisisme (Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010) dan ekstraversi (Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010; Verplanken dan Herabadi, 2001) dari kepribadian Big Five berhubungan positif dengan perilaku dan kecenderungan pembelian impulsif. Namun, studi Pirog III dan Roberts (2007) menemukan bahwa pengguna kartu kredit yang memiliki kepribadian introvert memiliki perilaku pembelian impulsif yang lebih tinggi. Selain itu, dimensi kewaspadaan dan otonomi (atau keterbukaan, Verplanken dan Herabadi, 2001) memiliki hubungan negatif dengan kecenderungan perilaku pembelian impulsif.

Di luar faktor kepribadian Big Five, regulasi diri juga mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam perilaku pembelian impulsif secara negatif (Vohs dan Faber, 2007). Beberapa penelitian lain (Mick and Demoss 1990; Rook dan Gardner 1993; Youn dan Faber, 2000 dalam Vohs dan Faber, 2007) mengemukakan bahwa suasana hati positif maupun negatif dapat memicu perilaku pembelian impulsif.


(27)

Berdasarkan definisi, beberapa faktor penyebab, dan dampak perilaku pembelian impulsif tampak bahwa komponen afektif menjadi ciri khas sebagai penggerak dan memegang peran dominan dalam episode-episode pembelian impulsif (Beatty dan Ferrel, 1998; Gardner dan Rook, 1988; Herabadi, Verplanken, dan Van Knippenberg, 2009; Rook, 1987; Verplanken dan Herabadi, 2001). Pembelian impulsif merupakan contoh pengambilan keputusan dengan sedikit upaya yang lebih berdasarkan pada pemrosesan perasaan daripada pemrosesan kognitif dan disertai komponen afektif yang kuat (Hoyer and Macinnis dalam Sharma, Sivakumaran, dan Marshal, 2006; Verplanken dan Herabadi, 2001).

Penelitian yang dilakukan Wood (dalam Kacen dan Lee, 2002) menemukan bahwa pembelian impulsif mengalami peningkatan pada usia 18-39 tahun dan setelahnya menurun. Penemuan tersebut memperkuat hasil studi Bellenger et al. (dalam Kacen dan Lee, 2002) yang menunjukkan bahwa individu dewasa di bawah usia 35 tahun lebih rentan melakukan pembelian impulsif daripada yang berusia di atas 35 tahun. Jika ditinjau berdasarkan masa perkembangannya, rentang usia tersebut termasuk dalam usia dewasa awal (Santrock, 2002).

Hal ini menarik karena pada usia dewasa awal, individu diharapkan sudah mencapai kematangan, termasuk secara kognitif maupun emosional (Jahja, 2011). Secara kognitif, individu dewasa awal pada umumnya sudah mampu berpikir abstrak dan kompleks, tetapi lebih sistematis dan pragmatis dibandingkan masa-masa perkembangan sebelumnya. Berdasarkan teori dan


(28)

penelitian neo-Piagetian, individu dewasa awal juga dapat berpikir reflektif, yaitu dengan pertimbangan secara aktif, terus-menerus, dan hati-hati berdasarkan bukti-bukti yang mendukung dan kesimpulan yang hendak dibuat (Papalia, Olds, dan Feldman, 2005). Kemampuan berpikir tersebut tampak bertentangan dengan aspek kognitif pembelian impulsif, yang dicirikan dengan sedikitnya pertimbangan yang dilakukan atas konsekuensi yang dapat terjadi.

Dari segi perkembangan emosi, pada separuh masa dewasa awal, individu dihadapkan pada banyak penyesuaian hidup yang mungkin menyebabkan ketegangan emosi (Jahja, 2011; Santrock, 2002). Dengan melihat hal ini, berbelanja atau membeli sesuatu, yang kadang dilakukan secara impulsif, pada masa masa dewasa awal dapat dipahami sebagai sarana untuk menghibur diri atau menghilangkan perasaan-perasaan yang mengganggu seperti bosan, sedih, dan frustrasi (Gardner dan Rook, 1988; Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009; Tauber, 1972). Dengan kata lain, pembelian impulsif dapat dipandang sebagai suatu bentuk regulasi emosi (Vohs dan Faber, 2007). Sayangnya, ketika seseorang melakukan regulasi emosi dengan cara membeli sesuatu secara berulang, yang dalam konteks ini dilakukan secara impulsif, regulasi emosi yang dilakukan justru dapat menjadi kontraproduktif (Kamp dan Kopp, 2011).

Dari penelitian-penelitian tentang hubungan faktor-faktor individual dengan pembelian impulsif, dapat dilihat bahwa karakteristik individu, terutama yang terkait dengan emosi, memiliki peran dalam pembelian


(29)

impulsif. Salah satu konsep yang menyediakan operasionalisasi komprehensif dari aspek-aspek kepribadian yang berhubungan dengan emosi adalah kecerdasan emosional dengan model trait (Carroll dalam Petrides et al., 2010). Beberapa faktor individual yang berhubungan dengan pembelian impulsif, seperti harga diri, regulasi emosi, dan impulsivitas yang rendah juga terangkum sebagai faset dalam kecerdasan emosional dengan model trait (Petrides dan Furnham, 2007).

Dalam model trait, kecerdasan emosional dipandang sebagai sekumpulan persepsi diri dan disposisi terkait emosi (Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007). Konsep kecerdasan emosional dengan model trait sering disebut trait kecerdasan emosional atau lebih lebih tepat disebut efikasi diri emosional karena mengacu pada persepsi diri individu tentang kemampuan emosionalnya (Petrides et al., 2010). Kecerdasan emosional dengan model trait berbeda dengan model kemampuan yang dikembangkan Mayer dan Salovey. Model kemampuan melihat kecerdasan emosional sebagai kemampuan atau suatu jenis kecerdasan (inteligensi) yang harus diukur dengan tes performansi maksimal sedangkan model trait melihat kecerdasan emosional sebagai bagian dari kepribadian dan dapat diukur dengan pelaporan diri (Petrides dan Furnham, 2001).

Trait kecerdasan emosional terdiri dari lima belas faset kepribadian yang terkait dengan emosi, yaitu adaptabilitas, persepsi emosi (pada diri dan orang lain), manajemen emosi (pada orang lain), regulasi emosi, impulsivitas


(30)

yang rendah, relasi, harga diri, motivasi diri, kesadaran sosial, manajemen stres, trait empati, trait kebahagiaan, dan trait optimisme (Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007). Tiga belas faset terkelompokkan ke dalam empat faktor yang lebih umum, yaitu kesejahteraan, pengendalian diri, emosionalitas, dan sosiabilitas. Dua faset yang tersisa, yaitu adaptabilitas dan motivasi diri, tidak termasuk dalam faktor manapun tetapi tetap memberi sumbangan pada trait kecerdasan emosional secara keseluruhan (Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009).

Trait kecerdasan emosional yang dikembangkan Petrides dan rekan-rekannya ini memiliki hubungan yang unik dengan model kepribadian Big Five. Trait kecerdasan emosional memiliki hubungan yang negatif dan kuat dengan dimensi neurotisisme, serta memiliki hubungan positif dengan ekstraversi dan kewaspadaan. Ketiga dimensi tersebut juga merupakan dimensi kepribadian yang berkaitan dengan pembelian impulsif. Individu dengan dimensi neurotisisme yang tinggi dan kewaspadaan yang rendah memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi pula (Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010). Di sisi lain, dimensi ekstraversi yang tinggi maupun rendah memiliki hubungan dengan tingginya pembelian impulsif (Pirog III dan Roberts, 2007; Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010; Verplanken dan Herabadi, 2001).

Peter dan Krishnakumar (2010) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara kecerdasan emosional dengan model kemampuan dan pembelian impulsif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat


(31)

hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan pembelian impulsif. Peneliti lain (Lin dan Chuang, 2005) mencoba melihat karakteristik individual remaja yang mencakup kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif dengan perilaku pembelian impulsif. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa remaja dengan kecerdasan emosional yang rendah memiliki kecenderungan dan perilaku pembelian impulsif yang secara signifikan lebih tinggi daripada remaja yang memiliki kecerdasan emosional lebih tinggi. Meskipun Lin dan Chuang (2005) tidak menyatakan mengenai model kecerdasan emosional yang dijadikan acuan dalam penelitian tersebut, alat ukur kecerdasan emosional yang digunakan adalah alat ukur dengan model trait yang dikembangkan oleh Schutte.

Berdasarkan paparan tersebut, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara kecerdasan emosional, khususnya dengan model trait, dan kecenderungan perilaku pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Lebih lanjut, penelitian ini juga hendak melihat sejauh mana trait kecerdasan emosional dapat memprediksikan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Dengan meneliti hal tersebut, informasi mengenai perilaku pembelian impulsif dan hubungannya dengan aspek kepribadian terkait emosi pada konsumen dewasa awal akan semakin lengkap. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menemukan cara-cara yang lebih efektif dalam mengatur perilaku pembelian impulsif individu dewasa awal agar tidak berkembang menjadi masalah-masalah yang lebih serius.


(32)

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah kondisi hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan perilaku pembelian impulsif pada individu dewasa awal?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal serta melihat sejauh mana trait kecerdasan emosional dapat memprediksi kecenderungan pembelian impulsif.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Memberikan referensi teoretis di bidang psikologi konsumen, psikologi kepribadian, dan psikologi perkembangan mengenai hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan perilaku pembelian impulsif pada individu dewasa awal.

2. Manfaat Praktis

Memberikan bahan evaluasi dan umpan balik bagi individu dewasa awal agar dapat mengelola perilaku pembelian impulsifnya.


(33)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Individu Dewasa Awal

1. Pengertian Individu Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan permulaan dari masa dewasa setelah berakhirnya masa remaja. Menurut Santrock (2002), masa dewasa awal adalah periode perkembangan yang dimulai pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia tigapuluhan tahun. Pada masa ini, individu membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi serta mengembangkan karir. Bagi banyak individu, masa dewasa awal merupakan masa pemilihan pasangan dan hidup berkeluarga (Santrock, 2002).

Pengertian yang tidak jauh berbeda dikemukakan Hurlock (1997), yang menyatakan bahwa masa dewasa awal berlangsung saat individu berusia antara 18-40 tahun. Masa ini merupakan masa penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baaru. Individu dewasa awal diharapkan untuk dapat memainkan peran baru (seperti suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah) serta mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru tersebut (Hurlock, 1997).

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu dewasa awal adalah individu yang berada pada periode perkembangan


(34)

yang dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir pada usia 40 tahun, di mana individu tersebut menunjukkan kematangan biologis maupun psikologis, membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi, serta dapat diharapkan untuk memainkan peranan di dalam masyarakat.

2. Karakteristik Perkembangan Individu Dewasa Awal

Perkembangan kognitif dan sosioemosional pada individu dewasa awal adalah sebagai berikut.

a. Perkembangan Kognitif

Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (dalam Santrock, 2002), individu pada masa remaja dan dewasa awal berpikir dengan cara yang sama, atau berada pada tahap pemikiran operasional formal. Ahli lain beranggapan bahwa individu dewasa awal merencanakan dan membuat hipotesis tentang masalah-masalah seperti remaja, tetapi menjadi lebih sistematis. Selain itu, kemampuan kognitif pada masa dewasa awal menunjukkan adaptasi dengan aspek-aspek pragmatis dari kehidupan. Maksudnya, selain membuat rencana dan hipotesis, dalam menyelesaikan masalah individu dewasa awal juga mempertimbangkan keterbatasan-keterbatasan yang ada dan dampak pengambilan keputusan terhadap pihak-pihak lain (Santrock, 2002).

Menurut teori dan penelitian neo-Piagetian, individu dewasa awal berpikir dengan reflektif. Berpikir reflektif merupakan bentuk kognisi kompleks yang melibatkan pertimbangan aktif, terus-menerus,


(35)

dan hati-hati atas informasi atau kepercayaan dengan mengingat bukti-bukti yang mendukung dan kesimpulan-kesimpulan yang akan dibuat. Kemampuan berpikir reflektif diperkirakan muncul di antara usia 20 sampai 25 tahun. Meskipun hampir semua individu dewasa mengembangkan kemampuan berpikir reflektif, hanya sedikit yang mencapai kecakapan yang optimal dan menerapkannya secara konsisten pada berbagai jenis masalah (Papalia, Olds, dan Feldman, 2005).

b. Perkembangan Sosioemosional

Hurlock (1997) menyatakan bahwa masa dewasa memiliki ciri yang menonjol, yaitu adanya peletakan dasar dalam banyak aspek kehidupan, melonjaknya persoalan hidup yang dihadapi dibandingkan dengan remaja akhir, dan terdapatnya ketegangan emosi.

Peletakan pada banyak aspek kehidupan mencakup beberapa hal dan tampaknya sesuai dengan kriteria dimasukinya masa dewasa awal yang dijelaskan oleh Santrock (2002). Santrock (2002) menawarkan dua kriteria bagi individu untuk dapat dikatakan telah mengakhiri masa remaja dan memasuki masa dewasa awal. Kriteria pertama adalah mandiri secara ekonomi yang ditandai dengan didapatkannya pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap. Kriteria kedua adalah mandiri dalam membuat keputusan atau mandiri secara pribadi, termasuk dalam hal karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan, serta gaya hidup. Dengan memenuhi kriteria tersebut, individu juga mulai menetapkan posisinya


(36)

di berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam hal status sosial di masyarakat (Jahja, 2011).

Banyak penyesuaian baru yang harus dihadapi individu selama masa dewasa awal sehingga periode perkembangan ini terkadang disebut sebagai masa yang problematik. Persoalan yang dihadapi bermacam-macam, mulai dari memasuki dan menyelesaikan pendidikan tinggi di universitas, mencari pekerjaan dan mengembangkan karir, memilih teman hidup (menikah), memiliki anak, dan berperan menjadi orang tua (Hurlock, 1997; Santrock, 2002). Hal-hal yang berhubungan dengan keuangan juga menjadi salah satu persoalan yang menuntut penyesuaian diri oleh individu dewasa awal karena kehidupan keluarga dan bermasyarakat juga melibatkan penggunaan uang. Berbagai masalah keuangan dialami individu dewasa awal yang kurang memiliki pengetahuan dalam memanfaatkan uang secara bijaksana atau karena terbawa kebiasaan saat masih remaja (Hurlock, 1997).

Banyaknya persoalan-persoalan baru yang menuntut penyesuaian selama masa dewasa awal, menyebabkan ketegangan-ketegangan emosi sering dialami oleh individu dalam separuh masa ini (Jahja, 2011, Santrock, 2002). Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1997), individu pada umumnya telah dapat memecahkan persoalan-persoalan dan dapat mengendapkan ketegangan emosinya sehingga dapat mencapai emosi yang lebih stabil dan tenang pada usia sekitar 30 tahun.


(37)

B. Kecenderungan Pembelian Impulsif

1. Pengertian Pembelian Impulsif

Rook (1987) menggambarkan bahwa pembelian impulsif terjadi ketika seseorang mengalami dorongan yang tiba-tiba, sering kali kuat dan menetap untuk segera membeli sesuatu. Dorongan untuk membeli melibatkan elemen hedonis yang rumit dan dapat menimbulkan konflik emosional. Pembelian impulsif juga cenderung dilakukan tanpa pertimbangan lebih lanjut mengenai konsekuensi dari pembelian tersebut. Dengan kata lain, pembelian impulsif merupakan pembelian tidak terencana yang melibatkan dirasakannya dorongan yang tiba-tiba, kuat, dan tidak dapat ditahan untuk membeli sesuatu (Beatty dan Ferrell, 1998).

Beatty dan Ferrell (1998) sedikit memperluas pengertian pembelian impulsif yang dikemukakan oleh Rook (1987). Pembelian impulsif didefinisikan sebagai pembelian tiba-tiba dan segera yang dilakukan tanpa maksud untuk membeli sebelumnya, terjadi setelah konsumen mengalami dorongan untuk membeli, serta cenderung dilakukan secara spontan dan tanpa banyak refleksi (Beatty dan Ferrell, 1998). Pembelian suatu barang yang dilakukan karena teringat bahwa persediaan di rumah telah habis atau untuk memenuhi tujuan tertentu yang telah direncanakan (misalnya membeli hadiah untuk seseorang) tidak dapat dikatakan sebagai pembelian impulsif (Beatty dan Ferrell, 1998; Verplanken dan Aarts dalam Verplanken dan Herabadi, 2001).


(38)

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif merupakan pembelian tidak terencana yang ditandai dengan dirasakannya keinginan yang sangat kuat, menetap, dan tidak dapat ditahan untuk membeli sesuatu, dan biasanya disertai reaksi emosional yang kuat, serta dilakukan tanpa banyak pertimbangan.

2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif

Dalam penelitian yang dilakukan Rook (1987), ditemukan delapan fitur perilaku yang biasanya muncul pada pembelian impulsif. Tidak semua fitur muncul pada subjek penelitian. Kedelapan fitur ini disimpulkan berdasarkan prosentase subjek penelitian yang mengaku mengalaminya. Fitur-fitur tersebut adalah dorongan spontan untuk membeli (32%), kekuatan dan kompulsi (31%), kegairahan dan stimulasi, (19%), sinkronisitas (5%), animasi produk (6%), elemen hedonis (merasa baik atau merasa buruk, 41%), konflik (baik atau buruk, kontrol atau mengikuti kesukaan hati, 29%), dan mengabaikan konsekuensi (tidak disebutkan).

Di samping fitur-fitur perilaku yang sering muncul pada pembelian impulsif tersebut, Verplanken dan Herabadi (2001) menyatakan bahwa setidaknya terdapat dua aspek penting yang menandai pembelian impulsif. Kedua aspek tersebut adalah aspek kognitif dan aspek afektif.


(39)

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif mencakup kurangnya perencanaan dan pertimbangan ketika melakukan pembelian impulsif. Kurangnya pertimbangan dapat terjadi karena beberapa alasan. Misalnya, ketika pembelian yang dilakukan merupakan pembelian barang kebutuhan rutin, atau barang yang sebenarnya sudah ingin dibeli sejak lama tetapi baru ditemukan saat itu (Verplanken dan Herabadi, 2001). Pembelian impulsif pada umumnya dilakukan oleh atas dasar pertimbangan hedonis atau berfokus pada kesenangan daripada pertimbangan utilitarian yang lebih berfokus pada kebutuhan sebenarnya (Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009).

b. Aspek Afektif

Aspek afektif mencakup dirasakannya emosi yang kuat ketika melakukan pembelian impulsif. Suatu pembelian baru dapat dikatakan sebagai pembelian impulsif jika melibatkan respons emosi yang kuat. Respon emosi dapat muncul sebelum, selama, atau pun setelah melakukan pembelian (Verplanken dan Herabadi, 2001). Afek positif maupun negatif dapat menjadi penyebab awal dari pembelian impulsif (Mick dan Demoss, 1990; Rook dan Gardner, 1993; Youn dan Faber, 2000 dalam Vohs dan Faber, 2007). Saat melakukan pembelian impulsif, emosi yang paling sering muncul adalah rasa senang dan bergairah. Selain itu, biasanya dirasakan pula keinginan yang tiba-tiba


(40)

untuk segera melakukan pembelian. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk ringan dari kompulsi (Verplanken dan Herabadi, 2001). Setelah melakukan pembelian, dapat pula muncul rasa menyesal, misalnya karena telah menghabiskan uang untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan (Dittmar dan Drury, 2000).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif

Pembelian impulsif dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional maupun individual.

a. Faktor Situasional

Harga yang murah, kegiatan promosi (adanya kupon, potongan harga) terbukti terkait erat dengan pembelian impulsif (Karbasivar dan Yarahmadi, 2011). Verplanken dan Sato (2011) menyatakan bahwa pembelian impulsif sering kali terjadi karena konsumen dipaparkan pada atau berada dekat dengan stimulus. Selain itu, lingkungan toko seperti sirkulasi udara, pencahayaan, tata letak, dan display produk memperbesar kemungkinan seseorang untuk melakukan pembelian impulsif (Tendai dan Crispen, 2009). Waktu dan uang yang tersedia, baik secara nyata atau pun yang dipersepsikan oleh konsumen, juga memiliki hubungan yang kuat dengan pembelian impulsif (Beatty dan Ferrell, 1998; Foroughi, Buang, dan Sadeghi, 2012).


(41)

b. Faktor Individual

Di luar pengaruh faktor situasional yang dapat memicu dilakukannya pembelian impulsif, banyak peneliti membuktikan bahwa pembelian impulsif memiliki akar pada kepribadian individu. Sejumlah peneliti (Pirog III dan Roberts, 2007; Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010; Verplanken dan Herabadi, 2001) mencoba melihat hubungan antara pembelian impulsif dengan dimensi-simensi kepribadian Big Five. Hasilnya menunjukkan hubungan yang beragam.

Dimensi ekstraversi dari kepribadian Big Five berhubungan kuat dan positif dengan kecenderungan pembelian impulsif individu (Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010; Verplanken dan Herabadi, 2001). Namun, Pirog III dan Roberts (2007) menemukan hal yang berbeda pada remaja pengguna kartu kredit, di mana tingkat ekstroversi yang rendah (introvert) diikuti dengan perilaku pembelian impulsif yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki tingkat ekstraversi tinggi. Shahjehan et al. (2012) serta Sun, Wu, dan Youn (2010) juga menemukan bahwa dimensi neurotisisme berhubungan dan positif dengan pembelian impulsif. Sementara itu, dimensi kewaspadaan dan otonomi (atau keterbukaan, Verplanken dan Herabadi, 2001) memiliki hubungan negatif dengan kecenderungan perilaku pembelian impulsif.

Selain dimensi-dimensi kepribadian Big Five, harga diri yang rendah termasuk salah satu dari sejumlah faktor individual yang


(42)

berasosiasi positif dengan pembelian impulsif (Verplanken et al., 2005). Dittmar dan Drury (2000) juga menemukan bahwa pembelian impulsif lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki nilai-nilai materialistis dan kesenjangan antara gambaran diri yang sesungguhnya dengan gambaran diri yang ideal. Kurangnya regulasi diri juga membuat kecenderungan seseorang dalam perilaku pembelian impulsif semakin tinggi (Vohs dan Faber, 2007). Penelitian Youn dan Faber (2000) juga menemukan hubungan positif antara kecenderungan pembelian impulsif dengan dimensi kepribadian berupa pengendalian diri rendah (impulsivitas) dan reaksi terhadap stres. Berdasarkan penelitian tersebut, bagi sebagian orang pembelian impulsif mungkin dilakukan sebagai salah satu cara menghadapi stres (Youn dan Faber, 2000). Hal ini selaras dengan hasil penelitian lain (Gardner dan Rook, 1988; Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009; Tauber, 1972) yang menyebutkan bahwa pembelian impulsif dapat dipahami self-gift dan sarana untuk menghibur diri atau menghilangkan perasaan-perasaan yang mengganggu seperti bosan, sedih, dan frustrasi.

Di luar faktor situasional dan individual yang telah disebutkan, sejumlah penelitian juga mencoba meneliti hubungan pembelian impulsif dengan faktor demografis seperti usia dan jenis kelamin tetapi menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa penelitian (Ghani, Imran, dan Jan, 2011; Shahjehan et al., 2012; Wood dalam Kacen dan Lee, 2002)


(43)

menunjukkan bahwa usia memiliki hubungan negatif dengan pembelian impulsif. Artinya, pembelian impulsif lebih banyak dilakukan oleh konsumen yang lebih muda, khususnya yang berusia 18 sampai 35 atau 39 tahun (Shahjehan et al., 2012). Usia tersebut menunjukkan bahwa individu yang sering melakukan pembelian impulsif pada umumnya merupakan individu yang termasuk dalam periode perkembangan dewasa awal.

Terkait dengan variabel jenis kelamin, studi pertama Verplanken dan Herabadi (2001) menunjukkan bahwa pembelian impulsif lebih banyak dilakukan oleh wanita. Namun, studi kedua yang dilakukan pada konsumen yang jumlahnya lebih besar dan beragam, tidak menemukan perbedaan yang berarti antara pembelian impulsif pria maupun wanita (Verplanken dan Herabadi, 2001). Hal ini diperkuat oleh penelitian Ghani, Iman, dan Jan (2011) yang dilakukan untuk melihat hubungan karakteristik demografis dengan pembelian impulsif di Pakistan. Hasilnya adalah tidak terdapat perbedaan besar antara tingkat pembelian impulsif pria maupun wanita.

4. Dampak Pembelian Impulsif

Secara sekilas, pembelian impulsif dapat memberi dampak positif bagi konsumen karena dapat membuat konsumen merasa senang (Gardner dan Rook, 1988; Rook, 1987). Namun, jika dilihat lebih lanjut pembelian impulsif dapat berakibat negatif pula (Gardner dan Rook, 1988; Rook, 1987; Shahjehan et al., 2012; Verplanken et al., 2005). Penelitian Rook


(44)

(1987) menunjukkan bahwa pembelian impulsif dapat membuat konsumen merasa bersalah dan mengalami masalah keuangan.

Pembelian impulsif dapat pula berkembang menjadi perilaku membeli yang berlebihan (Kamp dan Kopp, 2011) dan memiliki hubungan yang kuat dengan berkembangnya perilaku patologis, yaitu pembelian kompulsif (O’Guinn dan Faber dalam Vohs dan Faber, 2007; Shahjehan et al., 2012). Hal ini dapat terjadi ketika konsumen berulang kali melakukan pembelian impulsif sebagai sarana untuk mengatasi kondisi psikologis yang tidak menyenangkan seperti suasana hati yang buruk dan frustasi (Kamp dan Kopp, 2011).

5. Alat Ukur Kecenderungan Pembelian Impulsif

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa adaptasi skala kecenderungan pembelian impulsif yang dibuat oleh Verplanken dan Herabadi (2001). Skala kecenderungan pembelian impulsif disusun berdasarkan aspek kognitif dan afektif dari pembelian impulsif. Skala tersebut terdiri atas 20 aitem dengan 10 aitem merepresentasikan aspek kognitif dan 10 aitem merepresentasikan aspek afektif. Setiap aitem dilengkapi respons setuju-tidak setuju dengan rentang 1-7 poin. Setiap jawaban dikodekan sehingga nilai tinggi pada setiap aitem menggambarkan tingginya kecenderungan pembelian impulsif. Penyusun skala menyarankan untuk menggunakan semua aitem untuk peneliti lain yang hendak menggunakan alat ukur tersebut.


(45)

C. Trait Kecerdasan Emosional

1. Model-model Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional mulai banyak diteliti sejak dipopulerkan oleh Goleman pada tahun 1995 dengan klaim bahwa kecerdasan emosional menentukan kesuksesan individu dua kali lebih besar daripada IQ (Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 1997; Mayer, Salovey, dan Caruso, 2000; Papalia, Olds, dan Feldman, 2005). Banyak model kecerdasan emosional yang berkembang dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga model, yaitu model kemampuan, campuran, dan trait. Pembedaan ini dianggap perlu karena model yang berbeda memiliki sudut pandang dan pengukuran yang berbeda pula (Mayer, Salovey, dan Caruso, 2000; Perez, Petrides, dan Furnham, 2005).

Model kecerdasan emosional yang pertama, yaitu model kemampuan, dikembangkan oleh Mayer, Salovey, dan Caruso. Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam menangkap dan mengekspresikan emosi, mengasimilasikan emosi ke dalam pikiran, memahami dan berpikir dengan emosi, serta mengatur emosi dalam diri sendiri maupun orang lain. Model ini memandang kecerdasan emosional sebagai sebuah kemampuan yang setara dengan bentuk kecerdasan dan paling tepat diukur dengan tes performansi maksimal (Mayer, Salovey, dan Caruso, 2000).

Model yang kedua adalah model campuran, di mana pengembang konsep kecerdasan emosional menggabungkan kemampuan, ketrampilan,


(46)

dan sifat-sifat individu ke dalam konsep kecerdasan emosional yang disusunnya. Dalam pengukurannya, model ini menggunakan respons tipikal atau pelaporan diri (self-report). Konsep yang ditawarkan oleh model-model campuran ini dinilai kurang sesuai dengan metode pengukuran dari tiap konsep (Mayer, Salovey, dan Caruso, 2000; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007).

Seiring dengan semakin banyaknya konsep kecerdasan emosional dengan model campuran yang kurang memenuhi standar-standar ilmiah sebuah konstruk, Petrides menawarkan cara pandang lain yang saat ini disebut dengan model trait. Petrides beranggapan bahwa konsep kecerdasan emosional dengan model kemampuan dan trait pada dasarnya mengacu pada gagasan yang sama, yaitu tentang kualitas individu yang terkait dengan emosi. Perbedaan utamanya terletak pada pandangan bahwa model kemampuan memandang kecerdasan emosional merupakan suatu bentuk kecerdasan (inteligensi) sedangkan model trait lebih memandang kualitas-kualitas individu terkait emosi sebagai bagian dari kepribadian. Konsekuensinya, metode pengukuran yang digunakan kedua model tersebut juga berbeda. Kecerdasan emosional dengan model kemampuan diukur dengan tes performansi maksimal sedangkan kecerdasan emosional dengan model trait diukur dengan tes respons tipikal (Perez, Petrides, dan Furnham, 2005; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007).

Dalam penelitian ini, model kecerdasan emosional yang dijadikan acuan adalah kecerdasan emosional dengan model trait yang


(47)

dikembangkan oleh Petrides dan Furnham. Kecerdasan emosional dengan model trait ini sering disebut trait kecerdasan emosional atau efikasi diri emosional (emotional self-efficacy). Peneliti menggunakan model ini berdasarkan beberapa alasan. Pertama, model ini dinilai sebagai sebuah konstruk yang komprehensif dari segi cakupan domain-domain kepribadian yang berhubungan dengan emosi (Carroll dalam Petrides et al, 2010). Kedua, model trait dipandang sesuai dengan subjektivitas emosi (Petrides, 2010). Ketiga, pengukuran kecerdasan emosional dengan model ini lebih mudah dan tidak menghadapi masalah-masalah ketidaksesuaian konstruk dengan alat ukur seperti yang terjadi pada pengukuran kecerdasan emosional dengan model kemampuan dan campuran (Pérez, Petrides, dan Furnham, 2005; Petrides, Furnham, dan Frederickson, 2004). Pengkajian secara psikometris juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dengan model trait ini menjanjikan alat ukur dengan atribut psikometris yang unggul dibandingkan dengan alat ukur lain yang berdasarkan pada model kemampuan, campuran, ataupun trait (Gardner dan Qualter, 2010; Petrides et al, 2007; Petrides et al, 2010).

2. Pengertian Trait Kecerdasan Emosional

Petrides dan Furnham (dalam Furnham dan Petrides, 2003) menjelaskan trait kecerdasan emosional sebagai konstelasi disposisi-disposisi perilaku dan persepsi diri tentang kemampuan yang berhubungan dengan emosi, termasuk mengenali dan menggunakan informasi-informasi


(48)

yang melibatkan emosi. Trait kecerdasan emosional disebut juga efikasi diri emosional karena mengacu pada persepsi diri individu mengenai disposisi dan kemampuan-kemampuan tersebut. Dalam hirarki kepribadian, trait kecerdasan emosional merupakan komponen kepribadian yang terletak di tingkat lebih bawah dari model kepribadian Big Five dan Eyseckian (Petrides, Pita, dan Kokkinaki, 2007).

3. Faktor dan Faset Trait Kecerdasan Emosional

Dalam model trait, terdapat 15 faset kepribadian yang tercakup dalam trait kecerdasan emosional. Kelimabelas faset tersebut didapatkan dari faset-faset yang sering muncul pada model-model kecerdasan emosional yang lain dan dirangkum melalui analisis isi (Pérez, Petrides, dan Furnham, 2005; Petrides, Furnham, Frederickson, 2004). Lima belas faset kepribadian tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam 4 faktor yang lebih umum (Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009).

Keempat faktor umum yang menjadi bagian dalam trait kecerdasan emosional adalah kesejahteraan (well-being), pengendalian diri ( self-control), emosionalitas (emotionality), dan sosiabilitas (sociability, Mikolajzack et al., 2007; Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009; Petrides, 2001). Faset adaptabilitas dan motivasi diri tidak termasuk dalam salah satu dari keempat faktor tersebut melainkan berdiri sendiri dan menjadi bagian dari trait kecerdasan emosional secara keseluruhan (Mikolajzack et al., 2007). Dalam penelitian ini, kedua faset tersebut dikelompokkan dalam


(49)

satu faktor tambahan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua faset tersebut tidak dapat disetarakan kedudukannya dengan keempat faktor lain dari trait kecerdasan emosional. Meskipun dikatakan bahwa kedua faset tersebut memiliki sumbangan langsung pada trait kecerdasan emosional, proporsinya tidak sebesar sumbangan keempat faktor trait kecerdasan emosional. Pertimbangan ini juga didasarkan pada skema struktur faktor trait kecerdasan emosional yang disampaikan oleh Dr. K. V. Petrides dalam situs akses terbuka untuk pengembangan teori trait kecerdasan emosional (www.psychometriclab.com). Berdasarkan pertimbangan peneliti dan skema tersebut, faktor tambahan yang mencakup faset adaptabilitas dan motivasi diri dalam penelitian ini akan dikelompokkan dalam satu faktor yang diberi nama ‘faset-faset tambahan’ (auxiliary facets).


(50)

Gambar 1. Struktur Faktor Trait Kecerdasan Emosional (Sumber: Petrides, 2001, www.psychometriclab.com)

Dengan demikian, faktor-faktor dari trait kecerdasan emosional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Mikolajzack et al., 2007; Petrides, 2001):

a. Kesejahteraan (well-being)

Faktor kesejahteraan mengacu pada trait yang menyinggung mood disposisional. Faset-faset yang termasuk dalam faktor kesejahteraan adalah harga diri, kebahagiaan, dan optimisme. Individu dengan skor tinggi pada faktor ini memiliki perasaan kesejahteraan


(51)

secara umum, merasa positif, bahagia, dan penuh. Sebaliknya, individu dengan tingkat kesejahteraan yang rendah cenderung memiliki penghargaan diri yang rendah dan merasa kecewa akan hidupnya.

b. Pengendalian diri (self-control)

Faktor pengendalian diri mengarah pada trait yang menyinggung regulasi emosi dan impuls-impuls. Regulasi emosi, manajemen stres, dan impulsivitas rendah tercakup dalam faktor ini. Individu dengan tingkat pengendalian diri yang tinggi memiliki derajat kontrol yang sehat terhadap keinginan-keinginan dan hasratnya, dapat mengelola tekanan-tekan dari luar, tidak terlalu menahan diri atau pun terlalu ekpresif. Tingkat pengendalian diri yang rendah rentan terhadap perilaku impulsif dan tampak kurang dapat mengendalikan stres.

c. Emosionalitas (emotionality)

Emosionalitas menggambarkan trait yang menyinggung perpsepsi dan ekspresi emosi. Faktor ini mencakup faset persepsi emosi, ekspresi emosi, ketrampilan berelasi, dan empati. Tingkat emosionalitas yang tinggi menunjukkan bahwa individu menganggap dirinya memiliki ketrampilan emosi yang beragam. Individu mampu menangkap dan mengekspresikan emosi. Individu dapat menggunakan


(52)

kemampuan tersebut untuk membangun dan menjaga hubungan dekat dengan orang-orang terdekat. Sebaliknya, individu dengan tingkat emosionalitas yang rendah merasa kesulitan untuk mengenali kondisi emosional dalam dirinya dan mengekspresikan perasaannya pada orang-orang terdekat.

d. Sosiabilitas (sociability)

Sosiabilitas mengacu pada trait yang menyinggung penggunaan dan manajemen emosi dalam hubungan interpersonal. Faktor ini mencakup faset kompetensi sosial, manajemen emosi orang lain, dan asertivitas. Berbeda dengan faktor emosionalitas, faktor ini lebih mengacu pada hubungan sosial dan pengaruh sosial. Faktor ini lebih menitikberatkan individu sebagai agen dalam konteks-konteks sosial yang berbeda daripada dalam hubungan personal dengan keluarga atau teman.

Individu dengan tingkat sosiabilitas yang tinggi merasa memiliki ketrampilan mendengarkan yang baik serta dapat berkomunikasi dengan jelas dan percaya diri dengan orang-orang dari berbagai macam latar belakang. Sebaliknya, individu dengan tingkat sosiabilitas rendah merasa tidak mampu mempengaruhi emosi orang lain serta kurang dapat bernegosiasi dan menjalin jaringan. Selain itu individu tersebut juga merasa tidak yakin tentang apa yang harus


(53)

dilakukan atau dikatakan dalam situasi sosial sehingga sering kali tampak malu-malu dan pendiam.

e. Faset-faset tambahan

Faktor ini mencakup dua faset dari trait kecerdasan emosional yang tidak termasuk dalam keempat faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua faktor tersebut adalah adaptabilitas dan motivasi diri. Individu yang memiliki adaptabilitas tinggi merupakan individu yang fleksibel dan dapat beradaptasi pada situasi baru. Individu dengan motivasi diri yang tinggi ialah individu yang terarah dan tidak mudah menyerah pada situasi sulit.


(54)

Tabel 1. Struktur Faktor dan Faset Trait Kecerdasan Emosional (diadaptasi dari Mickolajzack et al., 2007).

Faktor & Faset Menggambarkan diri sebagai orang yang ...

Kesejahteraan

Harga diri Sukses dan percaya diri

Kebahagiaan Ceria dan puas terhadap hidupnya

Optimisme Yakin dan cenderung melihat sisi baik

dalam kehidupan Pengendalian diri

Regulasi emosi Dapat mengendalikan emosinya

Manajemen stres Dapat bertahan terhadap tekanan dan mengatur stres

Impulsivitas rendah Reflektif dan cenderung tidak mudah menyerah pada keinginannya

Emosionalitas

Persepsi emosi (diri dan orang lain)

Jelas terhadap perasaan-perasaannya dan orang lain

Ekspresi emosi Dapat mengkomunikasikan perasaan

dengan kepada orang lain

Ketrampilan berelasi Dapat membangun dan menjaga relasi personal

Empati Dapat melihat dari sudut pandang

orang lain Sosiabilitas

Kompetensi sosial Penjalin jaringan yang handal dengan ketrampilan sosial yang unggul Manajemen emosi (orang

lain)

Dapat mempengaruhi perasaan orang lain

Asertivitas Terus-terang dan mau membela

hak-haknya Faset-faset tambahan

Adaptabilitas Fleksibel dan dapat beradaptasi pada situasi baru

Motivasi diri Terarah dan tidak mudah menyerah


(55)

4. Alat Ukur Trait Kecerdasan Emosional

Trait kecerdasan emosional dapat diukur dengan sejumlah alat ukur yang dikembangkan oleh Petrides dan rekan (Perez, Petrides,dan Furnham, 2005). Untuk melihat trait kecerdasan emosional pada orang dewasa dengan lebih detil dan komprehensif, dapat digunakan Trait Emotional Intelligence Questionnaire (TEIQue). Petrides dan rekan juga menyusun TEIQue dalam bentuk yang lebih ringkas, yaitu TEIQue Short-form (TEIQue-SF; Petrides dan Furnham, 2003). TEIQue-SF dapat digunakan untuk melihat skor trait kecerdasan emosional secara umum. Alat ukur ini juga dapat digunakan sebagai alternatif ketika hanya sedikit waktu yang tersedia untuk mengisi skala. Alat ukur ini terdiri dari 30 aitem dalam bentuk pernyataan. Setiap aitem dilengkapi dengan pilihan respons yang memiliki rentang 1 sampai 7. Semakin kecil nilai angka menunjukkan bahwa subjek semakin tidak setuju dengan pernyataan pada aitem. Semakin besar nilai angka menunjukkan bahwa subjek semakin setuju dengan pernyataan pada aitem.

D. Dinamika Hubungan antara Trait Kecerdasan Emosional dengan

kecenderungan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa Awal

Individu dewasa awal adalah individu yang berusia 18-40 tahun. (Hurlock, 1997). Dari segi perkembangan kognitif, individu pada masa dewasa awal umumnya mampu berpikir dengan melihat aspek-aspek pragmatis kehidupan, seperti merencanakan dan mengambil keputusan


(56)

dengan mempertimbangkan keterbatasan dan dampak keputusan bagi diri sendiri maupun pihak-pihak lain (Santrock, 2002). Dari segi perkembangan sosioemosional, individu pada masa dewasa awal mulai memiliki kemandirian ekonomi dan pribadi (Santrock, 2002). Individu juga dihadapkan pada berbagai persoalan baru dalam kehidupan yang menuntut penyesuaian. Hal ini dapat memberikan banyak tekanan pada individu dan menimbulkan stres atau ketegangan emosional (Hurlock, 1997; Santrock, 2002).

Trait kecerdasan emosional merupakan gugusan disposisi dan persepsi diri terkait emosi. Trait kecerdasan emosional yang disebut juga efikasi diri emosional (Furnham dan Petrides, 2003). Trait kecerdasan emosional terdiri dari 5 faktor, yaitu kesejahteraan, pengendalian diri, emosionalitas, sosiabilitas, dan faset-faset tambahan berikut (Mikolajzack et al., 2007; Petrides, 2001).

Pembelian impulsif merupakan pembelian tidak terencana yang ditandai dengan dirasakannya keinginan yang sangat kuat, menetap, dan tidak dapat ditahan untuk membeli sesuatu, biasanya disertai reaksi emosional yang kuat, dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan akan konsekuensinya (Rook, 1987). Hal ini menunjukkan bahwa pembelian impulsif ditandai dengan tingginya komponen afektif (emosional) dan rendahnya fungsi komponen kognitif. Individu dewasa yang berusia di bawah 35 tahun atau individu pada masa dewasa awal paling rentan melakukan pembelian impulsif (Bellenger dalam Kacen dan Lee, 2002). Beberapa penelitian (Dittmar et al, Dittmar, Rook dan Gardner dalam Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009;


(57)

Kamp dan Kopp, 2011) menemukan bahwa pembelian impulsif kerap dilakukan sebagai bentuk regulasi emosi ketika sedang mengalami kondisi psikologis yang tidak menyenangkan.Tingginya pembelian impulsif pada masa dewasa awal mungkin berkaitan dengan kapasitas individu dalam mengatasi ketegangan emosional yang dihadapinya.

Individu yang memiliki tingkat trait kecerdasan emosional yang tinggi cenderung dapat memahami, menggunakan, dan mengatur emosinya sehingga dapat mengarahkan perilaku agar lebih adaptif (Mickolajzcak et al., 2007). Hal ini dapat berpengaruh pada kecenderungan seseorang dalam melakukan pembelian impulsif juga. Dengan tingkat trait kecerdasan emosional yang tinggi, seseorang lebih menyadari emosinya dan mampu mengatur emosi, impuls, dan keinginan, yang dirasakan saat dihadapkan pada situasi yang memicu pembelian impulsif sehingga cenderung lebih jarang melakukan pembelian impulsif. Sebaliknya, individu dengan tingkat trait kecerdasan emosional rendah merasa kurang mampu menyadari dan mengendalikan emosi, keinginan, dan impuls-impuls yang mendorong pembelian impulsif. Individu dengan tingkat trait kecerdasan emosional rendah juga lebih sering sehingga lebih cenderung lebih sering melakukan pembelian impulsif.


(58)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Hubungan Trait Kecerdasan Emosional dengan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa Awal

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Hipotesis null (H0) adalah tidak ada hubungan antara trait kecerdasan

emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Trait kecerdasan emosional tidak dapat menjadi prediktor bagi kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal.

2. Hipotesis alternatif (Ha) adalah terdapat hubungan negatif antara trait

kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif. Trait kecerdasan emosional dapat menjadi prediktor bagi kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal.

Trait kecerdasan emosional tinggi

Lebih dapat menyadari emosi dan mampu mengatur emosi, impuls, dan keinginan, yang

dirasakan saat dihadapkan pada situasi yang memicu

pembelian impulsif

Kecenderungan pembelian impulsif rendah

Individu dewasa awal

Trait kecerdasan emosional rendah

Kurang dapat menyadari emosi dan mengatur emosi, impuls, dan keinginan, yang

dirasakan saat dihadapkan pada situasi yang memicu

pembelian impulsif

Kecenderungan pembelian impulsif tinggi


(59)

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Dalam penelitian korelasional, hubungan antara variabel-variabel penelitian yang terjadi secara alamiah dilihat dengan tujuan mengidentifikasi hubungan prediktif (Shaughnessy, Zechmeister, dan Zechmeister, 2007). Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini melibatkan 2 variabel yaitu: 1. Variabel bebas : trait kecerdasan emosional

2. Variabel tergantung : kecenderungan pembelian impulsif

C. Definisi Operasional

Definisi operasional mengacu pada pemberian batasan atau arti dari suatu variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu dilakukan peneliti untuk mengukur suatu variabel atau memanipulasikannya (Kerlinger, 2006). Definisi-definisi operasional dalam penelitian ini adalah :


(60)

1. Trait Kecerdasan Emosional

Trait kecerdasan emosional adalah gugusan disposisi dan persepsi diri terkait emosi yang terdiri dari lima faktor, yaitu kesejahteraan, pengendalian diri, emosionalitas, sosiabilitas, dan faset-faset tambahan.

Trait kecerdasan emosional diukur dengan skala trait kecerdasan emosional. Skala trait kecerdasan emosional ini mengacu pada Trait Emotional IntelligenceQuestionnaire – Short Form (TEIQue-SF; Petrides, Perez, dan Furnham dalam Furnham dan Petrides 2003). Perolehan skor pada skala ini menunjukkan tingkat trait kecerdasan emosional. Skor total yang tinggi menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat trait kecerdasan emosional yang tinggi. Skor total yang rendah menunjukkan rendahnya trait kecerdasan emosional subjek.

2. Kecenderungan Pembelian Impulsif

Kecenderungan pembelian impulsif merupakan kecenderungan untuk melakukan pembelian tidak terencana karena adanya dorongan yang tidak dapat ditahan untuk membeli sesuatu yang terdiri dari dua aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif.

Kecenderungan pembelian impulsif diukur dengan skala kecenderungan impulsif. Skala kecenderungan pembelian impulsif yang dipakai dalam penelitian ini merupakan terjemahan dari Impulse Buying Tendency Scale (IBT Scale) yang dibuat oleh Verplanken dan Herabadi (2001). Perolehan skor tinggi pada skala ini mengindikasikan bahwa


(61)

subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang besar. Perolehan skor yang rendah mengindikasikan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang rendah.

D. Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah pria dan wanita dewasa awal di dengan rentang usia 18-40 tahun. Rentang usia tersebut ditentukan berdasarkan rentang usia yang dikemukakan oleh Hurlock (1997). Dalam menentukan subjek penelitian, peneliti menggunakan teknik non-probability sampling, khususnya convenience sampling. Convenience sampling merupakan penyeleksian subjek yang terutama didasarkan pada kesediaan subjek untuk terlibat dalam penelitian ini (Shaughnessy, Zechmeister, dan Zechmeister, 2007). Pengambilan data dilakukan dengan dua cara, yaitu penyebaran skala secara langsung dan melalui media internet. Penyebaran skala secara langsung dilakukan di daerah D.I. Yogyakarta, yaitu dengan memberikan skala secara langsung kepada subjek penelitian untuk segera diisi. Penyebaran skala melalui media internet dilakukan untuk menjangkau subjek yang berada di daerah D.I. Yogyakarta.

E. Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


(62)

1. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif

Kecenderungan pembelian impulsif diukur dengan skala kecenderungan pembelian impulsif yang mengacu pada Impulse Buying Tendency Scale (IBT Scale) yang dikembangkan oleh Verplanken dan Herabadi (2001). IBT Scale terdiri dari 20 aitem. 10 aitem mewakili aspek kognitif dan 10 aitem mewakili aspek afektif. IBT Scale merupakan skala berbahasa Inggris. Dalam penelitian ini, skala tersebut diterjemahkan agar dapat dipahami oleh subjek penelitian. Peneliti menggunakan jasa penerjemah dari Lembaga Bahasa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris ELTI Gramedia Yogyakarta untuk menerjemahkan skala tersebut ke dalam Bahasa Indonesia. Peneliti mengkaji kedua hasil terjemahan tersebut dan memilih terjemahan terbaik untuk digunakan dalam skala di bawah supervisi dosen pembimbing.

Setiap aitem dalam skala tersebut memiliki pilihan jawaban, yakni Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor dilakukan sehingga skor yang tinggi menunjukkan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi, sedangkan skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang rendah. Pemberian skor dan blueprint skala kecenderungan pembelian impulsif sebelum ujicoba dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.


(63)

Tabel 2. Pemberian Skor pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif

Respons Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai (SS) 1 4

Sesuai (S) 2 3

Tidak Sesuai (TS) 3 2

Sangat Tidak Sesuai (STS) 4 1

Tabel 3. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem)

Aspek Jumlah Aitem Total Favorable Unfavorable

Kognitif 3 7 10 (50%)

Afektif 9 1 10 (50%)

Total 12 (60%) 8 (40%) 20 (100%)

2. Skala Trait Kecerdasan Emosional

Skala trait kecerdasan emosional terdiri 50 aitem yang terdiri dari aitem favorable dan unfavorable. Setiap aitem dilengkapi dengan pilihan jawaban menggunakan skala Likert, yakni Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skor yang tinggi menunjukkan bahwa subjek memiliki trait kecerdasan emosional yang tinggi. Skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki trait kecerdasan emosional yang rendah. Pemberian skor dan blueprint skala trait kecerdasan emosional sebelum ujicoba dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini.

Tabel 4. Pemberian Skor pada Skala Trait Kecerdasan Emosional

Respons Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai (SS) 4 1

Sesuai (S) 3 2

Tidak Sesuai (TS) 2 3


(64)

Tabel 5. Blueprint Skala Trait Kecerdasan Emosional (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem)

Faktor Trait Kecerdasan

Emosional

Jumlah Aitem Total Favorable Unfavorable

Kesejahteraan 6 4 10 (20%)

Pengendalian Diri 6 4 10 (20%)

Emosionalitas 5 5 10 (20%)

Sosiabilitas 6 4 10 (20%)

Faset-faset

Tambahan 5 5 10 (20%)

Total 28 (56%) 22 (44 %) 50 (100%)

F. Valditas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Validitas dan Reliabilitas Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif

Pengujian validitas yang digunakan dalam skala ini adalah validitas isi. Validitas isi adalah proses pengujian isi alat ukur yang dilakukan berdasarkan professional judgement (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini, pemberian professional judgement dilakukan oleh dosen pembimbing.

Skala kecenderungan pembelian impulsif diuji coba untuk mengetahui reliabilitas alat ukur tersebut. Hasil uji coba terhadap 20 aitem, menunjukkan koefisien reliabilitas sebesar 0,851. Peneliti kemudian memperbaiki 4 aitem yang memiliki daya diskriminasi di bawah 0,3. Setelah aitem tersebut diperbaiki, peneliti melalakukan uji coba skala untuk kedua kalinya.

Uji coba skala untuk kedua kalinya menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,917. Peneliti kemudian menggugurkan aitem yang


(65)

memiliki daya diskriminasi di bawah o,3 sehingga diperoleh 18 aitem yang bertahan dan koefisien reliabilitas skala menjadi 0,924.

Tabel 6. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)

Aspek Nomor Aitem Total Favorable Unfavorable

Kognitif 3, 8, 9 1, 2, 4, 5, 6, 7 9 (50%)

Afektif 10, 11, 12, 13,

14, 15, 16, 17, 18 - 9 (50%)

Total 12 (66,67%) 6 (33,33%) 18 (100%)

2. Validitas dan Reliabilitas Skala Trait Kecerdasan Emosional

Pengujian validitas yang digunakan dalam skala ini adalah validitas isi. Validitas isi adalah proses pengujian isi alat ukur yang dilakukan berdasarkan professional judgment (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini, professional judgement didapatkan dari dosen pembimbing.

Skala trait kecerdasan emosional telah diuji coba untuk mengetahui reliabilitas alat ukur tersebut. Berdasarkan hasil uji coba terhadap 50 aitem, angka reliabilitas skala trait kecerdasan emosional adalah 0,896. Berdasarkan hasil uji coba tersebut, peneliti membuang aitem-aitem yang memiliki daya diskriminasi negatif, sebab aitem tersebut merupakan aitem yang menyesatkan. Setelah aitem tersebut digugurkan, angka reliabilitasnya meningkat menjadi 0,919. Namun terdapat dua aspek yang aitem-aitemnya gugur semua. Peneliti kemudian melakukan uji coba skala untuk kedua kalinya.


(66)

Peneliti memperbaiki 11 kalimat pada aitem yang memiliki daya diskriminasi di bawah 0,25 kemudian mengujicobakannya. Uji coba skala menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,916. Peneliti kemudian menggugurkan aitem yang memiliki daya diskriminasi di bawah 0,25 sehingga diperoleh 45 aitem yang bertahan dan koefisien reliabilitas skala menjadi 0,928. Selanjutnya, peneliti menggugurkan aitem dari faktor pengendalian diri karena dinilai overlap dengan aspek afektif dari skala kecenderungan pembelian impulsif. Dengan demikian diperoleh 37 aitem yang bertahan dan koefisien reliabilitas skala menjadi 0,913.

Tabel 7. Blueprint Skala Trait Kecerdasan Emosional (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)

Faktor Trait Kecerdasan

Emosional

Nomor Aitem Total Favorable Unfavorable

Kesejahteraan 17, 19, 20, 27,

29, 30 13, 14, 15, 37 10 (27,04%) Emosionalitas 31, 32, 33, 35 4, 6, 21, 25, 28 9 (24,32%) Sosiabilitas 5, 8, 10, 24, 34,

36 12, 16, 26 9 (24,32%)

Faset-faset

Tambahan 1, 3, 11, 18 2, 7, 9, 22, 23 9 (24,32%)

Total 20 (54,05%) 17 (45,95%) 37 (100%)

G. Metode Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier sederhanadengan bantuan SPSS 18.00 for Windows. Penggunaan metode analisis ini sesuai dengan tujuan penelitian, karena dengan analisis regresi sederhana peneliti dapat melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung serta memprediksikan perubahan


(67)

nilai variabel tergantung bila variabel bebas berubah (Santoso, 2010; Sugiyono, 2008).

Sebelum melakukan uji hipotesis dengan analisis regresi linier sederhana, terdapat tiga asumsi yang perlu dipenuhi melalui uji asumsi. Asumsi-asumsi tersebut adalah asumsi normalitas residu, linearitas hubungan, dan homogenitas varian (Santoso, 2010). Uji normalitas residu dilakukan untuk menguji asumsi bahwa residu data dalam penelitian memiliki distribusi normal. Uji linearitas hubungan dilakukan untuk menguji asumsi bahwa hubungan kedua variabel mengikuti garis linear. Uji homogenitas varian dilakukan untuk menguji asumsi bahwa variasi dari residu tetap sama pada setiap nilai dari variabel bebas (Santoso, 2010).


(68)

46

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

Peneliti melakukan uji coba terhadap alat ukur skala trait kecerdasan emosional dan kecenderungan perilaku pembelian impulsif kepada pria dan wanita berusia 18-40 tahun di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Uji coba dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2012 – 3 Januari 2013. Jumlah subjek yang terlibat dalam uji coba ini adalah 58 subjek. Namun terdapat 3 subjek yang gugur karena tidak mengisi skala dengan lengkap. Dengan demikian, jumlah subjek yang datanya digunakan dalam uji coba menjadi 55 subjek.

Setelah melakukan uji reliabilitas skala dan seleksi aitem, terdapat dua aspek yang tidak terwakili dalam skala trait kecerdasan emosional. Peneliti kemudian melakukan uji coba skala untuk kedua kalinya pada tanggal 11-13 Januari 2013. Jumlah subjek yang terlibat dalam uji coba skala adalah 33 subjek. 1 subjek tidak mengisi skala dengan lengkap sehingga tersisa 32 subjek yang datanya digunakan untuk uji coba skala. Pada uji coba skala yang kedua ini, seluruh aspek terwakili dalam skala trait kecerdasan emosional.

B. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dari tanggal 17-21 Januari 2013. Peneliti menyebarkan 85 eksemplar skala penelitian, tetapi hanya 67 data


(1)

ANOVA Table Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig. IBT *

TEIr

Between Groups

(Combined) 1470.572 38 38.699 1.377 .122 Linearity 631.076 1 631.076 22.463 .000 Deviation from

Linearity

839.496 37 22.689 .808 .759

Within Groups 1994.701 71 28.094 Total 3465.273 109


(2)

Lampiran 6

Hasil Uji Hipotesis

Hasil Analisis untuk R

2

Model Summaryb Model

R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

dimensi on0 1 .427

a .182 .175 5.12275

a. Predictors: (Constant), TEIr b. Dependent Variable: IBT

Hasil Uji F pada Analisis Regresi

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 631.076 1 631.076 24.048 .000a

Residual 2834.197 108 26.243 Total 3465.273 109

a. Predictors: (Constant), TEIr b. Dependent Variable: IBT

Hasil Analisis Regresi untuk Tiap Koefisien

Coefficientsa Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 64.503 5.519 11.688 .000 TEIr -.248 .051 -.427 -4.904 .000 a. Dependent Variable: IBT


(3)

(4)

Lampiran 7

Hasil Analisis Tambahan

Statistik Deskriptif Usia Subjek

Statistics Usia N Valid 110

Missing 0 Mean 25.1455 Median 24.0000 Mode 22.00 Std. Deviation 5.04991 Variance 25.502 Range 22.00 Minimum 18.00 Maximum 40.00 Sum 2766.00

Usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid 18.00 4 3.6 3.6 3.6

19.00 4 3.6 3.6 7.3 20.00 5 4.5 4.5 11.8 21.00 13 11.8 11.8 23.6 22.00 14 12.7 12.7 36.4 23.00 11 10.0 10.0 46.4 24.00 10 9.1 9.1 55.5 25.00 11 10.0 10.0 65.5 26.00 7 6.4 6.4 71.8 27.00 6 5.5 5.5 77.3 28.00 3 2.7 2.7 80.0 29.00 2 1.8 1.8 81.8


(5)

31.00 1 .9 .9 85.5 32.00 2 1.8 1.8 87.3 33.00 2 1.8 1.8 89.1 34.00 4 3.6 3.6 92.7 35.00 3 2.7 2.7 95.5 37.00 2 1.8 1.8 97.3 38.00 1 .9 .9 98.2 39.00 1 .9 .9 99.1 40.00 1 .9 .9 100.0 Total 110 100.0 100.0

Statistik Deskriptif Jenis Kelamin Subjek

JK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Laki-laki 60 54.5 54.5 54.5

Perempuan 50 45.5 45.5 100.0 Total 110 100.0 100.0

Deskripsi Skor Subjek

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation TEIr 110 87.00 147.00 108.8000 9.71124 IBT 110 18.00 52.00 37.5455 5.63839 Valid N (listwise) 110


(6)

Deskripsi Skor Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Report

JK IBT TEIr

Laki-laki Mean 35.8167 109.7167

N 60 60

Std. Deviation 5.04385 10.17323 Minimum 18.00 94.00 Maximum 46.00 147.00 Std. Error of Mean .65116 1.31336 Perempuan Mean 39.6200 107.7000

N 50 50

Std. Deviation 5.66006 9.10539 Minimum 28.00 87.00 Maximum 52.00 128.00 Std. Error of Mean .80045 1.28770 Total Mean 37.5455 108.8000

N 110 110

Std. Deviation 5.63839 9.71124 Minimum 18.00 87.00 Maximum 52.00 147.00 Std. Error of Mean .53760 .92593