133 berkorelasi positif dengan variabel endogen, yang berarti peningkatan dari peubah
penjelas akan meningkatkan migrasi masuk ke Sulawesi Selatan Selanjutnya dilihat dari nilai elastisitas masing- masing variabel, tampak
bahwa, meskipun dalam jangka pendek semua variabel dalam model analisis menghasilkan nilai elastisitas yang lebih kecil dari nilai satu bersifat in-elastis,
namun dalam jangka panjang variabel rata-rata upah riil Sulawesi Selatan, akan memberi dampak pada peningkatan migrasi masuk dengan proporsi yang lebih
besar. Hasil pendugaan pada persamaan ini, jika dikaitkan dengan teori Lewis
1954 dalam Kasliwal 1995, yang menyebutkan bahwa adanya perbedaan upah antar upah pertanian pedesaan dengan industri perkotaan akan mendorong
terjadinya migrasi ke perkotaan, demikian pula dikaitkan model Haris-Todaro 1969 dalam Kasliwal 1995 yang menyebutkan bahwa tidak hanya upah yang
mendorong migrasi, tetapi juga peluang untuk bisa tertampung di lapangan kerja perkotaan menjadi daya tarik migrasi. Hasil pendugaan, yang menunjukkan
variabel upah riil signifikan, sementara peluang angkatan kerja terserap di lapangan pekerjaan TPK tidak signifikan, maka perilaku migrasi di Sulawesi
Selatan menunjukkan bahwa tingkat upah yang tinggi akan mendorong migrasi masuk akan terus berlangsung, meskipun peluang angkatan kerja untuk terserap di
lapangan pekerjaan terbatas. Tingkat upah riil yang signifikan terhadap migrasi, tetapi variabel TPK
tidak signifikan, diserta prilaku migrasi yang secara signifikan memperbesar angkatan kerja kota, tapi mereduksi angkatan kerja pedesaan, maka implikasi
yang dapat ditarik dari hasil ini adalah apabila perbedaan upah rill antar wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan terus berlangsung dengan selisih yang semakin
tajam, maka migrasi akan terus berlangsung dan memperbesar jumlah angkatan kerja perkotaan, sehingga mendorong semakin tingginya pengangguran perkotaan,
mengingat angkatan kerja perkotaan ini berpengaruh signifikan terhadap pengangguran perkotaan.
5.4.7. Pengangguran Perkotaan dan Pedesaan
Masalah pengangguran adalah salah satu masalah makro ekonomi, yang oleh banyak pihak senangtiasa dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Karena
134 pengangguran yang tinggi tidak hanya mencirikan pendapatan rata-rata
masyarakat menjadi rendah, tetapi juga dapat berdampak buruk pada stabilitas sosial, keamanan bahkan dapat mempengaruhi kondisi perekonomian.
Pengangguran, tentu saja sangat terkait dengan dinamika pasar tenaga kerja itu sendiri, baik dari sisi permintaan tenaga kerja, maupun dari sisi
penawarannya. Karena pengangguran, tidak lain adalah excess supply dari pasar tenaga kerja. Ketika pertumbuhan kesempatan kerja tidak mampu mengimbangi
pertumbuhan angkatan kerja, maka jumlah pengangguran akan semakin meningkat. Kesempatan kerja terkait dengan berbagai sumbe-sumber
pertumbuhan ekonomi, sedangkan angkatan kerja, selain dipengaruhi oleh transisi masuk angkatan kerja penduduk usia kerja yang masuk ke angkatan kerja juga
tentunya terkait dengan migrasi masuk. Karena itu model persamaan pengangguran yang dirumuskan adalah dimana pengangguran merupakan fungsi
dari permintaan tenaga kerja, angkatan kerja, migrasi dan pertumbuhan ekonomi. Persamaan ini didisagregasi berdasarkan wilayah perkotaan dan pedesaan.
Berdasarkan hasil pendugaan, maka persamaan pengangguran ini menghasilkan nilai koefisien detereminasi R
2
sebesar 97.78 persen untuk persamaan pengangguran perkotaan dan sekitar 99.79 persen untuk persamaan
pengangguran pedesaan. Sedangkan nilai uji F-Statistik, menunjukkan bahwa variabel yang dimasukkan dalam model, secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap variabel endogennya pada tingkat kesalahan a = 0.01. Gambaran ini menunjukkan bahwa perilaku variabel endogen dari masing- masing
persamaan dapat dijelaskan secara baik oleh peubah penjelas. Hasil uji korelasi serial juga menunjukkan bahwa kedua persamaan pengangguran yang dirumuskan
tidak mengandung masala korelasi serial. Hasil estimasi dari persamaan pengangguran ini dapat dilihat pada tabel 16.
135 Tabel 16
Hasil estimasi parameter persamaan pengangguran perkotaan dan pedesaan di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004
Elastisitas PEUBAH
Dugaan Parameter
Probability t
-Statistik JK Pendek
JK Panjang
UK
Pengangguran Perkotaan Intersept
7.136124 0.0000 a
A.Kerja Perkotaan AKK 0.0000964
0.0000 a 5.8108
n.a K.Kerja Perkotaan KK
-0.000104 0.0000 a
-5.4315 n.a
Migrasi Masuk MM 4.36E-06
0.9230 0.0082
n.a Pertumbuhan Ekonomi PE
-0.012016 0.8608
-0.0059 n.a
R
2
= 0.9778; F-Hitung = 143.3178 a; DW = 1.1650 UD
Pengangguran Pedesaan Intersept
1.879203 0.2114
A.Kerja Pedesaan AKD 0.000038
0.0000 a 18.0129
n.a K.Kerja Pedesaan KD
-0.0000387 0.0000 a
-17.4013 n.a
Migrasi Masuk MM -0.0000122
0.1844 -0.0567
n.a Pertumbuhan Ekonomi PE
-0.019486 0.3671
-0.0239 n.a
R
2
= 0.9979; F-Hitung = 1534.496 a; DW = 1.6237
Sumber : Diolah dari Berbagai Data BPS, 1985-2004 Hasil pendugaan parameter peubah penjelas pada persamaan
pengangguran perkotaan dan pedesaan, menunjukkan bahwa, variabel kesempatan kerja dan angkatan kerja secara konsisten berpengaruh signifikan terhadap tingkat
pengangguran perkotaan dan pengangguran pedesaan pada tingkat kesalahan yang ditolerir a = 0.01. Sedangkan variabel migrasi masuk hanya berpengaruh pada
pengangguran pedesaan pada tingkat a = 0.20 dengan korelasi yang bersifat negatif terhadap pengangguran. Sementara variabel pertumbuhan ekonomi
konsisten tidak berpengaruh terhadap pengangguran perkotaan dan pedesaan. Koefisien korelasi dari variabel angkatan kerja dan kesempatan kerja
konsisten untuk wilayah perkotaan dengan di wilayah pedesaan, dimana angkatan kerja berkorelasi positif, sedangkan kesempatan kerja berkorelasi negatif.
Sedangkan migrasi masuk memberi pengaruh berbeda terhadap pengangguran di perkotaan dengan pengangguran di pedesaan. Di wilayah perkotaan,
meningkatnya migrasi akan mendorong peningkatan pengangguran, sedangkan di pedesaan justru pengangguran cenderung menurun dengan meningkatnya migrasi
masuk. Hal ini tentu terkait dengan sifat data migrasi masuk yang dianalisis, yang merupakan migrasi masuk pada setiap kabupatenkota yang telah diagregasikan,
sehingga tentunya data tersebut sekaligus mencirikan migrasi antar kabupaten dan antar desa dengan kota. Karena itu semakin banyak jumlah migrasi, maka semakin
banyak pula pencari kerja di perkotaan dan sebaliknya akan mengurangi jumlah
136 pencari kerja di pedesaan. Selanjutnya koefisien korelasi pertumbuhan ekonomi
juga konsisten bersifat negatif dengan tingkat pengangguran, yang berarti ada kecenderungan pengangguran menurun dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi, namun kecenderungan ini tidak bersifat nyata secara statistik. Hasil perhitungan nilai elastisitas masing- masing variabel, menunjukkan
bahwa variabel angkatan kerja dan kesempatan kerja di pedesaan dan perkotaan bersifat elastis terhadap tingkat pengangguran baik dalam jangka pendek, maupun
dalam jangka panjang. Namun jika dilihat dari besaran nilai elastisitasnya, maka respon pengangguran terhadap perubahan angkatan kerja dan kesempatan kerja di
daerah pedesaan lebih besar dibandingkan respon pengangguran perkotaan terhadap perubahan variabel serupa di perkotaan. Hal ini disebabkan karena lebih
dari 70 persen angkatan kerja, maupun penduduk bekerja yang ada di Sulawesi Selatan, terkonsentrasi di wilayah pedesaan. Sehingga peningkatan angkatan kerja
atau pengurangan kesempatan kerja di pedesaan cateris paribus akan berdampak besar terhadap pengangguran, paling tidak dampaknya lebih besar dibandingkan
terhadap pengangguran perkotaan. Tidak signifikannya pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di
Sulawesi Selatan di sebabkan oleh sifat pertumbuhan ekonomi daerah ini tidak berbasis pada pertumbuhan sektor padat karya. Hal ini di indikasikan pada
persamaan sebelumnya dimana pertumbuhan ekonomi tidak responsif terhadap pertumbuhan tenaga kerja, bahkan tenaga kerja di sektor padat karya pertanian
tidak mampu memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan nilai tambah sektor pertanian. Dengan kata lain peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah ini tidak
di ikuti peningkatan jumlah tenaga kerja secara signifikan sehingga tidak mampu menekan laju pengangguran.
Hasil pendugaan pada persamaan ini menunjukkan bahwa meskipun angkatan kerja dan kesempatan kerja berpengaruh siginfikan terhadap
pengangguran, namun tampaknya angkatan kerja memberi tekanan yang lebih besar, yang terlihat dari nilai elastsitasnya yang lebih besar di bandingkan
elastisitas kesempatan kerja. Kondisi ini dapat dipahami bahwa apabila tidak ada upaya untuk mengreasi perluasan kesempatan kerja, maka pengangguran akan
terus meningkat. Karena itu, guna mengatasi pengangguran ini, maka kebijakan
137 pemerintah sangat diperlukan untuk mengkreasi atau mendorong perluasan
kesempatan kerja baru, sehingga pertambahan angkatana kerja baru yang lebih cepat dapat terserap. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah ini terutama
kaitannya dengan kebijakan fiskal baik dari sisi penerimaan, maupun dari sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan, perda-perda yang mengatur pajak dan
retribusi yang bersifat ”menghambat” perkembangan sektor riil seyogyanya diminimalkan. Sedangkan dari sisi pengeluaran, diharapkan dapat lebih fokus
untuk perbaikan infrastruktur serta peningkatan pelayanan publik. Sehingga dengan strategi ini diharapkan sektor riil dapat lebih berkembang dan lebih
mampu untuk menciptakan lapangan kerja baru.
5.5. Analisis Kekakuan Upah dan Kelambanan Respon Permintaan Tenaga