Berdasarkan hasil analisis biomassa pada fermentasi tahap pendahuluan, maka konsentrasi gula yang dipilih untuk penelitian utama
adalah 36 bv. Hal ini karena fermentasi menggunakan substrat dengan konsentrasi gula awal 36 bv menghasilkan jumlah biomassa paling
banyak. Asumsi yang digunakan adalah pada kondisi fermentasi yang sama, media yang terdapat jumlah biomassa lebih banyak di dalamnya akan dapat
menghasilkan rendemen etanol lebih banyak pula. Selain itu substrat dengan konsentrasi gula awal 36 bv menghasilkan total gula sisa yang paling
banyak. Ketika kondisi fermentasi diubah dari aerob menjadi anaerob, total gula sisa tersebut diharapkan akan digunakan seluruhnya oleh khamir dalam
proses fermentasi menjadi etanol.
B. PENELITIAN UTAMA
1. Pemilihan Jenis Agitasi Terbaik pada Fermentasi
Penelitian utama betujuan untuk membandingkan dua perlakuan agitasi pada fermentasi dalam rangka mendapatkan rendemen etanol tertinggi. Jenis
agitasi pertama adalah agitasi lanjut, yaitu perlakuan agitasi terus menerus dari awal hingga akhir fermentasi. Jenis agitasi kedua adalah agitasi
dihentikan, yaitu perlakuan agitasi dari awal fermentasi hingga mencapai µ
max
,yaitu jam ke-6. Setelah itu agitasi dihentikan sampai akhir fermentasi. Pada penelitian utama ini, waktu dan suhu fermentasi disamakan dengan
fermentasi pendahuluan agar mendapatkan kondisi yang sama sehingga dapat diperbandingkan. Analisis yang dilakukan terhadap fermentasi utama
adalah kadar etanol, total biomassa, total gula sisa dan pH. Hasil analisis dari fermentasi utama adalah sebagai berikut :
a. Kadar Etanol
Etanol adalah hasil metabolit primer dari fermentasi oleh Schisaccharomyces pombe.
Metabolit primer dihasilkan dari keseluruhan fase pertumbuhan dari mikroba. Kadar etanol yang dihasilkan dari
fermentasi utama dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini:
Tabel 6. Perbandingan kadar etanol pada perlakuan agitasi lanjut dan agitasi dihentikan
Perlakuan Ulangan 1
gL Ulangan 2
gL Rata-rata
gL
Agitasi Lanjut 18,66
19,86 19,26±0,86
Agitasi Dihentikan 13,87
13,70 13,79±0,12
Dari hasil yang tertera pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa kadar etanol yang dihasilkan dari perlakuan agitasi lanjut lebih tinggi daripada
perlakuan agitasi dihentikan. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dengan dua kali ulangan, perlakuan agitasi lanjut dan agitasi dihentikan
berbeda nyata terhadap rendemen etanol yang dihasilkan. Fermentasi etanol terjadi dalam kondisi anaerob mengikuti jalur
Embden Meyerhof-Parnas Pathway seperti yang digambarkan pada
gambar 10. Reaksi diawali dengan fosforilasi glukosa. Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP
sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-di-P kemudian pebcah menjadi dua molekul C
3
yang terfosforilasi yaitu dihidroksi aseton fosfat dan gliseraldehida-3-P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi
menjadi gliserofosfat, lalu diubah menjadi metabolit sekunder berupa gliserol. Gliseraldehida-3-P tereduksi menjadi asam 1,3-di-fosfogliserat
dan mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat melepaskan fosfat dengan aseptor fosfat ADP mementuk ATP. Pada proses selanjutnya, 3-
P-asam gliserat menjadi 2-P-asam gliserat, lalu membentuk fosfofenol piruvat dengan melepaskan H
2
O. Asam fosfofenol piruvat terdefosforilasi menjadi asam piruvat dan menghasilkan ATP. Reaksi dekarboksilasi
asam piruvat membentuk asetaldehid dan CO2 dalam reaksi oksidasi menjadi etanol Tjokroadikoesoemo, 1986.
Gambar 10. Jalur Reaksi Embden-Meyerhof-Pathway EMP Tjokroadikoesoemo, 1986
Schisaccharomycces pombe bersifat fermentatif fakultatif Deak
et.al. , 1996. Hal ini berarti khamir tersebut dapat menggunakan oksigen
yang tersedia di dalam lingkungan kultur untuk melakukan respirasi. Agitasi dapat berfungsi untuk meratakan transfer oksigen ke media,
sekaligus memiliki fungsi homogenisasi nutrisi dalam substrat. Dalam teknik agitasi yang dilakukan dengan shaker, tidak ada udara yang
dimasukkan ke dalam fermentor, sehingga khamir hanya mengkonsumsi
oksigen yang tersedia sejak awal dalam lingkungan fermentor. Karena itu ketika ketersediaan oksigen dalam fermentor habis, maka kondisi
fermentasi menjadi anaerob, meskipun agitasi tetap dilakukan. Kondisi anaerob ini mendorong khamir untuk memproduksi etanol.
Pada perlakuan kedua, agitasi hanya dilakukan sampai jam ke-6 dan setelah itu dihentikan. Agitasi dihentikan utuk mengubah kondisi menjadi
anaerob, sehingga diharapkan khamir dapat langsung memproduksi etanol. Ketika agitasi dihentikan, maka pertumbuhan khamir menjadi
melambat sehingga bila dibandingkan dengan perlakuan agitasi lanjut, jumlah biomassa akhir jauh lebih kecil.
Hasil rendemen etanol antara kedua perlakuan agitasi diatas adalah 19,26±0,86 gL untuk agitasi lanjut dan 13,79±0,12 gL untuk agitasi
dihentikan. Perlakuan agitasi lanjut dapat menghasilkan rendemen etanol lebih tinggi karena perubahan dari kondisi aerob ke anaerob terjadi
setelah pertumbuhan biomassa maksimal, sehingga lebih banyak biomassa yang memproduksi etanol. Perlakuan agitasi dihentikan
menghasilkan rendemen etanol yang lebih rendah karena pergantian dari kondisi aerob ke anaerob terjadi ketika biomassa mencapai µ
max
. Pada waktu itu pertumbuhan biomassa belum maksimal, sehingga biomassa
yang memproduksi etanol lebih sedikit daripada jumlah biomassa pada perlakuan agitasi lanjut.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang menggunakan kultur S. cerevisiae var. ellipsoideus. Pada penelitian
Puspitasari 2008 yang melakukan penelitian bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar menggunakan kultur S. cerevisiae var. ellipsoideus
dengan fermetasi aerobik, etanol tertinggi didapat dari konsentrasi gula 27 bv yaitu sebesar 17,49±3.09 gL.
Perbedaan kadar etanol yang dihasilkan sangat berkaitan dengan jenis kultur khamir yang digunakan, karena setiap strain khamir memiliki
karakteritik yang berbeda, ada yang fermentatif kuat dan ada pula yang lemah.
Pertumbuhan Biomassa pada Masing-masing Jenis Agitasi gL