BAB III PEMBAKARAN DANATAU PENENGGELAMAN KAPAL PERIKANAN
BERBENDERA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN
A. Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian Ikan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 23 dari keseluruhan wilayahnya merupakan wilayah laut, dengan jumlah pulau sekitar
17.504 pulau dan panjang garis pantai 81.000 km.
42
Dengan luas laut yang demikian Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang banyak. Berdasarkan
data dari Kementerian Kelautan Perikanan terdapat 14 zona fishing ground di dunia, saat ini hanya 2 zona yang masih potensial dan salah satunya adalah di
Perairan Indonesia. Zona di Indonesia yang sangat potensial.
43
42
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, Jakarta : Media, 2007, hal. 129.
43
Tommy Sihotang, Masalah Illegal, Unregulated, Unreported Fishing dan Penanggulangannya Melalui Pengadilan Perikanan,
Jurnal Keadilan, Vol. IV No.2 tahun 2006, hal. 58
Besarnya potensi sumber daya perikanan dan kelautan tersebut merupakan aset nasional yang
harus dimanfaatkan secara optimal. Namun, pada kenyataannya, potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan baik, begitupun batasbatas perairan
Indonesia yang masih menjadi perdebatan, sehingga menimbulkan adanya permasalahan utama diantaranya : pencemaran laut, pembuangan limbah secara
illegal, pencurian ikan khususnya oleh kapal asing, konflik penggunaan ruang dan sumberdaya, dan isu lainnya yang merugikan negara baik secara materi
maupun fisik di lingkungan strategis khususnya dengan negara-negara
tetangga maupun di Asia Tenggara.
44
Bukan hanya sebagai perairan yang berpotensi menghasilkan sumber daya ikan yang menguntungkan akan tetapi
Indonesia juga sebagai daerah peairan yang menjadi pusat tindak pidana pencurian ikan Illegal Fishing. Food and Argiculture Organization FAO
menyebut tindak Pidana Pencurian Ikan ini sebagai Illegal, Unregulated, Unreported Fishing
IUU Fishing. Daerah Indonesia yang potensial inipun ada yang merupakan daerah rawan terjadinya IUU Fishing yakni Laut Malaka, Laut
Jawa, Laut Arafuru, Laut Timor, Laut Banda dan Perairan sekitar Maluku dan Papua. Data FAO pada tahun 2001, diperkirakan kerugian Indonesia dari
perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US 4 miliar. Dan apabila dilihat dari perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar US 1.000-US 2.000
per ton ikan, maka apabila kita asumsikan harga ikan rata-rata sebesar US 1.000 per ton, jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun.
45
Sementara itu, apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US 2.000 per ton, maka jumlah ikan yang dicuri sekitar 2 juta ton per tahun. Dengan melihat kondisi
seperti ini Tindak Pidana Pencurian Ikan atau IUU Fishing dapat melemahkan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan Indonesia dan menyebabkan
beberapa sumber daya perikanan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP Indonesia mengalami over fishing.
46
44
Richarunia Wenny Ikhtiari, “Strategi Keamanan Maritim Indonesia dalam Menanggulangi Ancaman Non-traditional Security”, Tesis, Hubungan Internasional, Pascasarjana
Universitas Indonesia, 2011
Bukan hanya merugikan bagi
45
http:www.dekin.kkp.go.idviewt.php?id=201201261917461379766494268072517514 59292070 dewan kelautan indonesiadiakses tanggal 18 Maret 2015
46
Dina Sunyowati, Port State Measures dalam Upaya Pencegahan terhadap IUU Fishing di Indonesia, Peran Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia, Liber Amicorum Prof.Dr.Etty
R.Agoes,SH.,LLM , Bandung : Remaja Rosdakarya,2013, hal. 438.
pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Indonesia akan tetapi juga merugikan bagi kehidupan rakyat Indonesia. Jika kerugian Indonesia sekitar 2 juta
ton pertahun maka Indonesia menderita kerugian sebanyak 50 triliun rupiah per tahun, hal ini sungguh memprihatinkan mengingat kondisi perekonomian rakyat
Indonesia yang sangat tidak baik dan tentunya 50 triliun dapat membantu pemerintah untuk mengentas kemiskinan dalam hidup rakyat Indonesia. FAO
menyatakan bahwa saat ini stok sumber daya ikan di dunia yang masih memungkinkan untuk ditingkatkan penangkapanya hanya tinggal 20 persen,
sedangkan 55 persen sudah dalam kondisi pemanfaatan penuh dan sisanya 25 persen terancam kelestariannya.
Dari beberapa kasus diatas mengenai besarnya tingkat pencurian ikan illegal fishing
di Indonesia, pencurian ikan tersebut tentu tidak terjadi dengan sendirinya hanya karena Indonesia memiliki poternsi perikanan yang besar.
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian ikan tersebut : 1.
Tingkat Konsumsi Ikan Global Yang Semakin Meningkat Ikan mengandung sumber protein yang besar dan tidak banyak
mengandung lemak berbahaya bagi tubuh manusia sehingga ikan dangat banyak diburu atau dikonsumsi oleh orang-orang dari berbagai belahan
dunia. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup WALHI dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kondumsi ikan nasional melonjak hingga lebih dari
1,2 juta ton seiring pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,34 per tahun. Hal ini menyebabkan presentase kenaikan nilai impor
Perikanan Nasional berada pada angka 12,51 pada tahun 2004-2005,
berada jauh di bawah nilai rata-rata ekspor perikanan yang hanya sebesar 1,6.
47
Penjabaran tersebut menunjukkan meningkatnya konsumsi ikan di amsyarakat Indonesia saat ini dengan pola konsumsi ikan yang naik
mencapai kisaran 26kgkapitatahun. Sedangkan ditingkat dunia internasional, meningkatnya konsumsi ikan diperkirakan oleh Food and
Agriculture Organization FAO akan terus meningkat. Fakta tersebut berdasarkan pada pertumbuhan penduduk global 1,8 per tahun dan
peningkatan konsumsi ikan global yang sudah mencapai 19 kgkapitatahun. Sesuai dengan hal diatas maka dapat diperkirakan bahwa
dalam kurung beebrapa tahun kedepan akan terjadi lagi peningkatan kebutuhan ikan dan produk perikanan, kira-kira mencapai 50 juta ton. Hal
ini berbanding terbalik dengan kondisi sumebrdaya perikanan global yang mengalami penurunan atau defisit hingga 9-10 juta ton per tahun.
48
2. Sumber daya perikanan di negara lain berkurang.
Oleh karena itu maka dengan meningkatnya jumlah konsumsi ikan secara
nasional maupun global akan mengakibatkan kewalahan dalam memenuhi keinginan pasar dunia tersebut. Kewalahan atau kurangnya daya sumber
daya perikanan menyediakan kebutuhan konsumsi perikanan dunia dapat menimbulkan illegal fishing dan over fishing di daerah-daerah yang
memiliki potensi perikanan yang cukup baik, seperti Indonesia.
Penggunaan teknologi penangkapan ikan pada masa sekarang ini tidak seperti teknologi penangkap ikan pada masa yang lalu sebelum
47
Wahana Lingkungan Hidup WALHI, Krisis Ikan Indonesia, http:www.walhi.or.idkampanyepela070328_krisis_ikan_li diakses tanggal 18 Maret 2015
48
ibid
terjadinya perkembangan teknologi yang semakin canggih dan modern. Pengggunaan teknologi yang demikian canggihnya banyak ditemukan
dinegara-negara maju. Akan tetapi banyaknya teknologi penangkap ikan justru dapat merusak lingkungan air tempat ikan tersebut berkembang
biak. Hal ini dikarenakan teknologi tersebut banyak yang tidak baik untuk kelestarian sumberdaya laut karena dalam penggunaannya, teknologi
tersebut menggunakan emisi atau bahan-bahan kimia yang tidak sesuai untuk kelestarian laut. Dengan adanya teknologi canggih dan tidak ramah
lingkungaan ini, bukan hanya akan merusak lingkungan tempat berkembang biaknya ikan-ikan di laut, tetapi juga dengan teknologi
canggih ini, dapat diperoleh jumlah penangkapan ikan dalam jumlah yang besar. Publikasi Food and Agriculture Organization FAO pada bulan
maret tahun 2007 menunjukkan bahwa sekitar 52 persen stok ikan laut dunia telah mengalami full exploited. Artinya 52 persen sstok ikan laut
dunia sudah tertutup untuk dieksploitasi lebih lanjut. Selain itu dalam laporan FAO tersebut dinyatakan juga bahwa sekitar 17 persen perikanan
dunia sudah mengalami kelebihan tangkap overeksploited. Bahkan dalam jurnal Science bulan November 2006, disebutkan apabila
pertumbuhan eksploitasi sumberdaya ikan seperti ini, maka diperkirakan perikanan komersil dunia akan jatuh pada tahun 2050. Keterpurukan
kondisi perikanan tersebut sudah terliha dari penurunan sekitar 13 persen produksi perikanan dunia dalam periode tahun 1994 sampai 2003. Dalam
periode tahun 1994-2003 tersebut banyak terdapat kapal-kapal yang lebih
besar dan teknologi baru yang digunakan dalam mencari ikan.
49
3. Lemahnya Pengawasan Perikanan di Perairan Indonesia
Negara- negara maju dan berkembang yang tadinya memiliki sumberdaya
perikanan dan produksi ikan yang baik akan mengalami penurunan sumber daya ikan dan terganggunya perekonomian dan penghasilan ikan di negara
tersebut karena overexploited. Akibatnya negara tersebut harus melalukan impor dari negara lain, akan tetapi ada pula nelayan atau kapal perikanan
negara-negara tersebut yang tidak melakukan impor dan lebih memilih untuk melakukan pencurian ikan di negara lain yang potensi perikanannya
lebih besar daripada negaranya.
Sumber daya perikanan dinilai bersifat “mampu pulih” renewable, namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Agar sumber
daya ikan tetap lestari maka upaya penangkapan harus dijaga melalui pengawasan. Sistem yang dapat memantau seluruh kapal sekaligus dengan
kemampuan wilayah pemantauan tidak terbatas adalah VMS. Vessel Monitoring System VMS atau sistem pemantauan kapal perikanan
merupakan salah satu bentuk sistem pemantauan untuk mendukung pengawasan di bidang penangkapan danatau pengangkut ikan dengan
menggunakan satelite dan peralatan tranmitter VMS yang ditempatkan pada kapal perikanan guna mempermudah pengawasan dan pemantauan
terhadap kegiatan aktivitas kapal perikanan berdasarkan posisi kapal yang terpantau di Pusat Pemantauan Kapal PerikananFisheries Monitoring
49
Riza Damanik, dkk. Menajala Ikan Terakhir sebuah Fakta di Laut Indonesia, Jakarta : Walhi, 2008, hal, 33.
Center FMC. Lebih sederhananya, setiap kapal akan dipasangi sebuah kotak Transmitter VMS, yang selanjutnya kotak ini mengirimkan sinyal
pada satelit kemudian menyampaikan posisi kapal pada layar pusat pemantauan. Dari pantauan ini juga bisa dilakukan analisa mengenai
pelanggaran yang mungkin dilakukan kapal. Misalnya, terkait daerah penangkapan yang dilarang maupun penggunaan alat tangkap yang di
larang. Sebagai Negara anggota FAO yang memiliki sumberdaya ikan cukup besar maka selayaknya Indonesia bertanggung jawab melakukan
pengawasan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas kebijakan pemerintah dalam penerapan sistem pengawasan kapal ikan
dengan menggunakan model VMS, merumuskan strategi penerapan model VMS yang cocok bagi pemerintah dan pengusaha ditinjau dari aspek
manfaat dan biaya, dilakukan dengan metode analisis SWOT dan AHP Analytical Hierarchy Process serta Game Theory kepada lima pakar dan
praktisi kelautan - perikanan. Melalui beberapa indikator evaluasi terhadap kebijakan penerapan VMS dapat disimpulkan bahwa Penerapan VMS di
Indonesia belum dapat dikatakan berhasil atau belum efektif, terutama berkaitan dengan:
1 Kemampuan teknologi VMS belum optimal,
2 Infrastruktur penunjang dan SDM belum lengkap,
3 Adanya penolakan dari pengusaha.
Masih terdapat perbedaan persepsi antara pengusaha dan Pemerintah DKP terhadap kebijakan penerapan VMS. Target 1500 kapal
yang ikut VMS tidak tercapai, dan dari 1323 yang ikut VMS hanya 39,9 atau sebanyak 528 kapal saja yang dapat di monitor. Prioritas terhadap
kapal dengan alat tangkap Pukat Ikan dan Pukat Udang juga belum optimal. Pengusaha berpendapat kebijakan penerapan VMS tidak
bermanfaat dan justru merugikan. Setelah dilakukan analisis AHP, ternyata terdapat pilihan prioritas model strategi yang berbeda bagi pengusaha dan
pemerintah. Prioritas model strategi yang paling sesuai bagi pengusaha dari segi manfaat dan biaya adalah model Strategi Sistem Pembebanan
Biaya VMS, dengan nilai skor paling tinggi dibanding dua strategi lainnya 3,9636, dan strategi yang paling sesuai bagi Pemerintah adalah model
Strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan. skor 0,5663.
50
50
Bambang Dwi Hartono , “Analisis model vessel monitoring system VMS dalam Pengawasan kapal penangkap ikan di Indonesia” . Disertasi, pascasarjana, IPB , 2007. Hal 1
Kondisi sistem pengawasan terebut ditambah lagi dengan lemahnya sikap reaktif aparat yang berkewajiban mengawasi lau Indoneisa adalah salah
satu faktor penyebab tingginya kasus pencurian ikan atau illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Lemahnya ketegasan Pengawas Perikanan
dalam menerapkan aturan pemakaian VMS pada setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan di wilayah laut Indonesia menyebabkan
perbedaan pendapat antara pemilik atau pengusaha dengan aturan yang berlaku, sehingga bukan menghasilkan hasil yang baik tetapi malah
banyak kapal perikanan yang tidak menggunakan VMS dan pengawasan terhadap perikanan pun melemah dan dapat menyebabkan timbulnya
pencurian ikan illegal fishing.
4. Keterlibatan Oknum Aparat yang memudahkan pelaku melakukan illegal
fishing Dalam memberantas dan mencegah tindak pidana pencurian ikan
illegal fishing tidak hanya dilakukan dengan pengawasan dan tindakan
lain yang dianggap mampu mengatasi illegal fishing tersebut. Berbagai kerjasama antar pihak-pihak terkait yakni aparat penegak, pengawas
perikanan, masyarakat tradisional pun dangat diperlukan. Karena pihak- pihak inilah yang secara dekat berada di sekitar kegiatan penangkapan
ikan. Akan tetapi terkadang dapat pula terjadi keapatisan atau ketidakperdulian masyarakat atas terjadinya tindak pidana pencurian ikan
ini disebebkan oleh adanya oknum aparat pengeak hukum yang seharusnya melindungi perikanan Indonesia justru didapati ikut bekerjasama dengan
para pencuri ikan itu. Hal ini tentu memadamkan niat dan semangat masyarakat dalam memberantas tindak pidana pencurian ikan. data yang
diperoleh dari Wahana Lingkungan Hidup WALHI pada tahun 2007 menyebutkkan adanya keterlibatan oknum aparat didalam tindakan illegal
fishing yang dilakukan di perairan Sulawesi Utara, kerjasama antara
oknum aparat, pengusaha ikan di darat dan operator kapal ikan di laut sangatlah sistematis. Oknum aparat memberitahukan kepada perusahaan
yang ada di darat bahwa akan dilakukan oprasi kapal ilegal, kemudian berdasarkan informasi ini perusahaan yang ada di darat tersebut
menginstruksikan agar kapalnya yang sedang beroprasi di laut untuk
berpidah aagar menghindari oprasi kapal ilegal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
51
5. Armada Perikanan Nasional yang lemah
Armada perikanan Indonesia dapat dikategorikan sebagai armada perikanan yang lemah karena sangat kurang mendapat perhatian dari
pemerintah pemerintah terutama terhadap para nelayan selaku pelaku dalam armada perikanan. Armada perikanan tangkap nasional yang
berjumlah 788.848 unit pada tahun 2007, terdiri dari armada penangkapan di laut sebayak 590.314 unit dan armada penngkapan di
perairan umum 198.534 unit. Lebih kurang 50,9 persent dari armada penangkapan ini merupakan perahu tanpa motor, hanya 28,3 persen
merupakan motor tempel dan 20,7 persen adalah kapal motor. Lebih kurang 44,8 persen kapal penangkap ikan ini basisnya terkonsentrasi di
Wilayah Indonesia Timur, yaitu dari Jawa Timur 8,7 persen, Maluku 7,5 persen, Sulawesi Selatan 6,9 percent, Sulawesi Tengah 6
persen, Kalimantan Timur 5,5 persen, Sulawesi Tenggara5 persen and Papua 5 persen.
52
51
Riza Damanik, dkk. Menajala Ikan Terakhir sebuah Fakta di Laut Indonesia, Jakarta : Walhi, 2008, hal. 33.
52
Statistik Kementrian Kelautan dan perikanan. statistik.kkp.go.id diakses tanggal 20 maret 2015
Struktur armada perikanan ini masih didominasi oleh skala keciltradisional dengan kemampuan IPTEK yang rendah. Lebih
dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI, sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik
asing. Selain itu, armada perikanan tangkap Indonesia sebagian besar
memiliki produktivitas yang amat rendah yaitu hanya 8 tonkapaltahun. Walaupun data yang diperoleh menunjukan bahwa
wilayah perairan Indonesia memiliki potensi perikanan yang menjanjikan, namun pemanfaatannya masih kurang maksimal.
Diantaranya disebakan oleh Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional, armada perikanan yang masih didominasi oleh
skala keciltradisional dengan kemampuan IPTEK yang rendah, sumber data perikanan yang kurang memadai, masih rendahnya
kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan dan masih banyak permasalahan lain yang masih belum mendapatkan penanganan
yang serius dari departemen terkait.
53
6. Sistem pengelolaan perikanan yang tidak sesuai.
Sedikitnya jumlah armada Indonesia dan didominasinya armada perikanan ini oleh kapal perikanan tradisional
yang masih memiliki alat angkap sederhana membuat pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Indonesia tidak maksimal serta memudahkan
pihak asing untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal di laut Indonesia.
Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka open access, pembatasan hanya terbatas pada alat
tangkap input restriction. Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada
53
Potensi, produksi sumberdaya ikan di perairan laut indonesia dan permasalahannya. Nugraha adisanjaya, Msi hal. 8. http:www.eafm-indonesia.netpublicfilespenelitian5ae09-
POTENSI,-PRODUKSI-SUMBERDAYA-IKAN-DI-PERAIRAN-LAUT-INDONESIA-DAN- PERMASALAHANNYA.pdf diakses tanggal 20 Maret 2015
kondisi geografi Indonesia khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
7. Terbatasnya sarana dan prasara pengawasan serta SDM pengawasan
khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru terdapat 578 Penyidik Perikanan PPNS Perikanan dan 340
ABK Anak Buah Kapal Kapal Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang
harus diawasi. 8.
Lemahnya penegakan hukum di Indonesia Dalam memeberantas dan menanggulangi tindak pidana pencurian ikan
atau illegal fishing dapat dilakukan dengan berbagai upaya, yakni dapat berupa pembuatan peraturan perundang-undangan dan tindakan tegas dan
cekat dari para aparat penegak hukum. Permasalahan illegal fishing di sebabkan sedikitnya dua hal yaitu Tumpang tindihnya peraturan
perundang-undangan yang berujung ketidakjelasan institusi negara Indonesia mana yang berwenang dalam mengurus permsalahan illegal
fishing di samping itu konflik kepentingan antar institusi nrgara dalam mengurus kavlingnya masing-masing, ketidakjelasan
tersebut menciptakan celah hukum bagi para pihak pelaku kejahatan illegal
fishing.
54
54
Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Bandung : Nuansa Aulia, 2010, hal 44.
Dalam Undang-undang Perikanan Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanandan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Peerikanan mencakup
ebebrapa sanksi dan tindakan khusus yang dapat dikenakan kepada orang atau kapal yang melakukan tindak pidana perikanan. Akan tetapi apabila
tidak didukung oleh penegakan hukum yang tepat terutama oleh aparat penegak hukum maka undang-undang tersebut akan sia-sia saja.
Lemahnya penanganan terhadap para pelaku illegal fishing ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi, namum para pelakunya hanya
dihukum rignan, padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, dinyatakan secara tegas bahwa pelaku
illegal fishing , misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana
di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sheingga menimbulkan kesan
kuran gprofesionalnya aparat dalam penanganannya.
55
B. Tindak Pidana Pencurian Ikan yang Dilakukan Oleh Kapal Berbendera