b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana dibidang perikanan, buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber
internet yang berkaiatan dengan permasalahan dalam skripsi ini. c.
Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus, ensikloperdia dan sebagainya. 3.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah
ini adalah sudi kepustakaan library research, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperi buku-buku pendapat sarjana , bahan
kuliah, artikel dan berita yang diperoleh dari internet yang bertujuan mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkeaan
dengan tindak pidana di bidang perikanan. 4.
Analisis data Ada dua analisis data yang diketahui yakni metode analsisi data kualitatif
dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dimana data yang berupa asas, konsepsi,
doktrin hukum serta kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini telah dibuat secara terperinci dan sistematis, hal ini bertujuan agar dapat memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami
makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan daripada sistematika tersebut adalah satu kesatuan yang saling berkesinambungan dan berhubungan antara satu sama
lain yang dapat dilihat sebagai berikut : BAB I
: Bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, pada bab ini dimuat apa yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis skripsi
ini, kemudian apa masalah yang dapat dirumuskan dalam rumusan masalah, tujuan dan menfaat penulisan skripsi ini,
keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan BAB II
: Bab kedua merupakan bab pembahasan, pada bab pembahasan ini akan membahas mengenai pengawasan sektor perikanan di
Negara Republik Indonesia khususnya pada wilayah laut Indonesia, tugas dan fungsi pengawas perikanan serta hak dan
kewajiban kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia.
BAB III : Bab ketiga ini juga merupakan bab pembahasan, pada bab ini akan
membahas mengenai penyebab terjadinya tindak pidana pencurian ikan, kemudian tindak pidana pencurian ikan yang
dilakukan oleh kapal berbendera asing, dan bagaimana penerapan pembakaran danatau penenggelaman kapal perikanan berbendera
asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan. BAB IV
: Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran yang berfungsi untuk memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa
yang akan datang.
BAB II TUGAS DAN FUNGSI PENGAWAS PERIKANAN SERTA HAK DAN
KEWAJIBAN KAPAL PERIKANAN YANG MELAKUKAN PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH LAUT INDONESIA
A. Pengawasan Terhadap Perikanan di Wilayah Laut Indonesia
Wilayah Indonesia yang sering disebut dengan kepulauan nusantara archipelago; group of many island
merupakan wilayah yang sangat strategis. Kesatuan wilayah yang terdiri atas daratan, Perairan, dan dirgantara adalah salah
satu kesatuan yang menyatu dalam bangsa Indonesia dalam rangka wawasan nusantara. Dari tiga matra wilayah Republik Indonesia maka wilayah Perairan
lautan merupakan bahagian yang terluas disbanding dengan wilayah daratannya. Kondisi riel ini yang membuat sejak zaman nenek moyang dahulu Negara dan
bangsa Indonesia dikenal sebagai negara dan bangsa bahari maritim, dimana sangat banyak kegiatan yang berhubungan dengan lautan.
24
Keberadaan negara Indonesia merupakan karunia dari Allah SWT, terutama keberadaan Negara
Indonesia sebagai Negara Kepulauan.
25
24
Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005, hal. 1
25
Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakrta : Sinar Grafika, 2011, hal. 3.
Sebagai Negara kepulauan, Indonesia memiliki luas laut yang lebih luas dari luas daratan Indonesia. Dua Pertiga
wilayah Indonesia diliputi oleh Perairan laut yang terdiri dari laut Pesisir, laut lepas, teluk, dan selat. Pemerintah tepatnya pada tanggal 13 Desember 1957
dalam Deklarasi Juanda mengumumkan lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12
mil laut dan lebar laut tersebut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik luar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar dikenal dengan “point to point
theory” .
26
a. Laut Teritorial
Hal ini kemudian didukung dengan diadakannya Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 atau United Nation on the Law of the Sea 1982,
yang kemudian wilayah laut tersebut dibagi atas :
Batas laut teritorial adalah suatu batas laut yang ditarik dari sebuah garis dasar dengan jarak 12 mil ke arah laut. Garis dasar adalah garis khayal
yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung terluar pulau di Indonesia. Laut yang terletak di sebelah dalam garis dasar merupakan laut
Pedalaman. Di dalam batas laut teritorial ini, Indonesia mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya. Negara lain dapat berlayar di wilayah ini atas izin
Pemerintah Indonesia.
27
b. Landas Kontinen
Istilah landas kontinen atau landas benua continental shelf pada mulanya adalah istilah dalam ilmu geologi geology, khususnya geologi kelautan
marine geology .
28
26
H. Djoko Tribawono. Hukum Perikanan Indonesia edisi kedua, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hal. 48.
Undang-undang 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia adalah sebagai tindak lanjut Pengumuman Pemerintah
tentang Landas Kontinen yang dikeluarkan tanggal 17 Februari 1969, memuat asas-asas dan dasar-dasar pokoknya kebijaksanaan Pemerintah
tentang landas kontinen Indonesia. Yang dimaksud dengan landas
27
http:campusnancy.blogspot.com201304batas-zona-ekonomi-eksklusif-laut.html diakses tanggal 1 Maret 2015.
28
I wayan parthiana,op.cit., hal. 169.
kontinen Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 adalah dasar laut dan tanah dibawahnya diluar wilayah Perairan sebagaimana yang diatur
dalam UU 4 Prp 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diadakan eksplorasi dan ekploitasi nkekayaan alam.
Kekayaan alam meliputi mineral dan sumber tidak bernyawa lainnya di dasar dan atau didalam lapisan tanah dibawahnya bersam-sama dengan
organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter. Jenis sedinter ini adalah organisme yang pada masa Perkembangannya tidak bergerak, baik
diatas maupun di dasar laut. Batas landas kontinen diukur mulai dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur dengan jarak paling jauh
adalah 200 mil. Kalau ada dua negara yang berdampingan mengusai laut dalam satu landas kontien dan jaraknya kurang dari 400 mil, batas
kontinen masing-masing negara ditarik sama jauh dari garis dasar masing- masing. Kewajiban negara ini adalah tidak mengganggu lalu lintas
Pelayaran damai di dalam batas landas kontinen. c.
Zona Ekonomi Eksklusif Secara umum dapat didefenisikan tentang apa yang dimaksud dengan zona
ekonomi eksklusif, yakni bagian Perairanlaut yang terletak di luar dari dan berbatasan dengan laut teritorial selebar 200 dua ratus mil laut
diukur dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. Dengan defenisi umum ini dapat ditarik beberapa prinsip dasar dari zona ekonomi
eksklusif ini, yakni :
1. Letak dari zona ekonomi eksklusif ini secara geografis adalah
diluar laut teritorial. Dengan demikian, zona ekonomi eksklusif bukanlah bagian dari laut teritorial karena letaknya yang diluar laut
terotorial. 2.
Letaknya yang secara geografis berada diluar laut teritorial bukanlah berarti berjauhan dengan laut teritorial, melainkan
berdampingan atau berbatasan langsung dengan laut teritorial. Ini berarti antara keduanya dibedakan oleh suatu garis batas. Garis
batas ini ditinjau dari laut teritorial adalah merupakan garis atau batas luar outer limit dari laut teritorial itu sendiri.
3. Lebar zona ekonomi eksklusif tersebut adalah 200 mill laut.
Karena itu merupkn hasil kesepakatan negara-negara Peserta dalam Konferensi Hukum Lau PBB 1973-1982 yang berhasil disepakati
melalui Perundingan-Perundingan yang cukup lama. 4.
Pengukuran mengenai lebar 200 mil laut tersebut dilakukan dari garis pangkal. Garis pangkal yang dimaksud adalah garis pangkal
darimana lebar laut teritorial diukur. Garis pangkal itu bisa berupa garis pangkal normal, garis pangkal lurus, ataupun garis pangkal
kepulauan. 5.
Oleh karena baik laut teritorial maupun zona ekonomi eksklusif sama-sama diukur dari garis pangkal maka praktis lebar dari zona
ekonomi eksklusif adalah 200-12 mil laut, yakni 188 mil laut. Hal ini disebabkan karena laut selebar 12 mil laut dari garis pangkal
sudah merupakan laut teritorial yang merupakan bagian wilayah negara pantai dan tunduk pada kedaulatan negara pantai itu sendiri.
6. Zona ekonomi eksklusif dengan demikian bukanlah merupakan
bagian wilayah negara pantai dan oleh karena itu tidak tunduk pada kedaulatan negara pantai. Negara pantai hanya memiliki hak-hak
berdaulat dan yurisdiksi yang sifatnya eksklusi pada zona ekonomi eksklusifnya
29
Dengan demikian luasnya laut Indonesia, Indonesia juga memiliki kekayaan laut yang sangat banyak mulai dari potensi Perikanan tangkap, industri
kelautan, jasa kelautan, transportasi, hingga wisata bahari. Perikanan merupakan salah satu kekayaan alam laut Indonesia yang patut untuk dibanggakan. Hal ini
dapt dilihat dari potensi Perikanan bidang Penangkapan sebesar 6,4 juta ton tahun, potensi Perikanan umum sebedar 305.650 tontahun dan pada tahun 2011,
produksi Perikanan tangkap Indonesia sebesar 5.408.900 ton.
30
a. Masa Ordonansi Belanda
Pencapaian jumlah tersebut menunjukkan bahwa Perikanan Indonesia memiliki sumberdaya yang
baik. Dengan jumlah potensi yang demikian besar, tentu Indoneisa harus memiliki Peraturan yang mengatur tentang Perikanan Indonesia. Sejarah Peraturan
Perikanan dibagi atas tiga bagian masa, yakni :
Dalam masa Belanda, ada dilekuarkan beberapa ordonansi, siantaranya ialah :
29
I Wayan Parthiana,op.cit., hal. 105
30
http:simantap.djpt.kkp.go.idstaticuploadsRENSTRA-SDI202010-2014-BSC.pdf diakses tanggal 1 Maret 2015
Ordonansi Perikanan mutiara dan bunga karang pada tahun 1916, ordonansi Perikanan untuk melindungi ikan pada tahun 1920,
Ordonansi Penangkapan ikan pantai pada tahun 1927, Ordonansi Penangkapan ikan pantai pada tahun 1927, Ordonansi Perburuan ikan
paus pada tahun 1927, Peraturan Pendaftaran kapal-kapal nelayan laut Asing pada tahun 1938, Ordonansi laut teritorial dan lingkungan
maritim pada tahun 1939 b.
Masa Pasca Kemerdekaan Adapun aturan-aturan mengenai Perikanan yang dikeluarkan dalam
kurun waktu pasca kemerdekaan sampai keluarnya Undang-Undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan, beberapa diantaranya ialah:
1. SK Mentan No.3271972, menetapkan bahwa untuk menjaga
kelestariannya maka Duyung Dugong-dugong dinyatakan sebagai satwa yang dilindungi yang dilindungi.
2. SK Mentan No.2141973, Tentang larangan eksporPerdagangan
ke luar negeri 3.
SK Mentan No.401974, Mewajibkan kepada setiap usaha Penangkapan udang untuk memanfaatkan hasil sampingan yang
diPerolehnya. 4.
SK Mentan No.011975, Dalam mengelola dan melestarikan sumber Perikanan, Mentan dapat menetapkan Peraturan tentang:
Penutupan daerahmusim tertentu dan Pengendalian kegiatan Penangkapan
5. SK Mentan No.1231975, Melarang semua kegiatan Penangkapan
kembung layar selar Melarang semua kegiatan Penangkapan kembung, layar, selar, lemuru, dan ikan-ikan Pelagis sejenisnya
dengan menggunakan purse seine berukuran mata jaring 6.
SK Mentan No.351975, Menetapkan bahwa lumba-lumba air tawar Pesut dan lumbalumba air laut sebagai satwa liar yang
dilindungi. c.
Masa Undang-Undang Perikanan : 1.
UU No.5 thn 1983 tentang ZEE di Indonesia 2.
UU No.9 thn 1985 tentang Perikanan 3.
UU No.31 thn 2004 tentang Perikanan 4.
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan
Dengan berlakunya Undang-Undang Perikanan, maka semua ordonansi yang dikeluarkan pada masa Pemerintahan Belanda yang bertentangan
dengan Undang-Udnang Perikanan dinyatakan tidak berlaku lagi. Kemudian dengan dikeluarkannya Udnang-Undang Nomor 31 tahun
2004, maka Undang-Undang Nomor 9 tahun 1985 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Sektor Perikanan yang memiliki potensi yang kaya tersebut, menyebabkan banyak nelayan asing maupun lokal memiliki kapal besar dengan teknologi tinggi
melakukan kegiatanillegal fishing di Perairan Indonesia.
31
31
Syamsumar Dam, Politik Kelautan, Jakarta : Bumi Aksara, 2011, hal. 115.
Masalah kelautan dan
Perikanan merupakan masalah yang sering menajdi bahan pembicaraan masyarakat ataupun aparat Penegak hukum dalam bidang Perikanan, hal ini baik
dikarenakan potensi Perikanan yang menguntungkan ataupun karena terjadinya tindak pidana Perikanan yang merugikan sektor Perikanan Indonesia. Oleh karena
itu Perautran mengenai Perikanan yang hanya sekedar saja tidak mampu mengatasi persoalan yang terjadi pada masa sekarang ini. Selain dengan adanya
Peraturan Perikanan, harus ada upaya Pengawasan terhadap sektor Perikanan Indonesia. Pengawasan terhadap sektor Perikanan pada masa sekarang ini harus
ditingkatkan dalam hal pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan. kegiatan penangkapan ikan tersebut harus dilakukan dengan efisien dan efektif. Efisiensi
dan efektivitas penangkapan ikan ditunjang juga oleh Perkembangan teknologi Perikanan. Hal tersebut dikarenakan terjadinya gangguan terhadap kelestarian
sumber daya ikan tidak hanya disebabkan tekanan Pemanfaatan lebih over fishing
, yang juga disebabkan oleh Penggunaan alat tangkap hasil temuan kemajuan teknologi yang sebenarnya terlarang digunakan. Untuk mencegah dan
mmberantasnya perlu dilakukan Pengawasan yang dikenal dengan monitoring, controlling, surveillance.
32
32
H. Djoko tribawono, op.cit. , hal. 7.
Pengawasan terhadap pengelolaan perikanan di wilayah laut Indonesia dilaksanakan oleh Petugas yang disebut Pengawas
Perikanan. Pengawasan Perikanan ini adalah salah satu kegiatan yang dilakukan untuk Pencegahan terhadap Perbuatan-Perbuatan yang menyimpang maupun
melakukan tindakan yang bersifat represif atas suatu Pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-undangan di bidang Perikanan.
Peraturan mengenai Pengawasan Perikanan di Indonesia diatur dalam bebrapa Peraturan baik undang-undang maupun Peraturan menteri, yakni Undang-
Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-udanng Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan, Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor Per. 05Men2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17PERMEN-KP2014 tentang Tugas Pengawas Perikanan. Dalam Peraturan Menteri Nomor
17PERMEN-KP2014 pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa Pengawasan Perikanan adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terciptanya tertib
Pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Perikanan. Salah satu upaya Pengawasan Perikanan juga dilakukan dengan cara
melaksanakan Pengawasan dan Pemantauan terhadap keberadaan kapal Perikanan yang melakukan kegiatan oprasional di wilayah Perairan Perikanan di Indonesia.
Pengawasan dan Pemantauan terhadap kapal Perikanan yang melakukan kegiatan di wilayah laut Indoensia ini harus dilakukan secara sistemtis dan simultan. Dalam
artian bahwa, Pelaksanan Pengawasan kapal Perikanan ini merupakan suatu kewajiban pokok, sehingga diharapkan dengan adanya kegiatan Pengawasan kapal
Perikanan ini mampu meningkatkan daya tangkap kapal yang melakukan Penangkapan ikan, sebab Perikanan tangkap yang pada prinsipnya bahwa kapal
Perikanan tersebut Perlu dipantau kegiatannya. Pengawasan terhadap kapal Perikanan ini juga diatur dalam sebagaimana yang diatur dalam Permen Kelautan
dan Perikanan Nomor Per.05Men2007 tentang Penyelenggaran sistem
Pemantauan kapal Perikanan. Dalam rangka mengefektifkan dan efisiensi dari Pemantauan kapal Perikanan, maka direktorat Jendral Pengawasan dan
Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikananan menerbitkan Surat Keputusan Nomor Kep19DJ-P2SDKP2008 tentang Petunjuk Teknis Oprasional
Pengawasan Kapal Perikanan. Dalam Pasal 2 dikatakan bahwa Petunjuk teknis dan oprasional Pengawasan kapal Perikanan ditetapkan dengan maksud sebagai
acauan Pengawasan Perikanan dalam melaksanakan tugas Pengawasan sumber daya Perikanan. Petunjuk oprasional Pengawasan Perikanan ditetapkan dengan
tujuan terciptanya suatu kesan kesepahaman dalam melaksanakan Pengawasan. Dalam rangka Pelaksanaan Pengawasan kapal Perikanan yang berkaitan
dengan usaha Perikanan tangkap secara terpadu, maka Perlu ditentukan sasaran yang akan dijadikan dasar untuk melaksakan Pengawasan kapal Perikanan secara
intensif. Dalam Pasal 3 dinyatakan pula bahwa objek Pengawasan kapal Perikanan meliputi :
a. Dokumen Perizinan kapal Perikanan
b. Fisik kapal Perikanan
c. Alat Penangkapan ikan
d. Alat bantu Penangkapan ikan
e. Ikan hasil tangkapan
f. Ikan yang diangkut
g. Daerah Penangkapan
h. Pelabuhan pangkalanPelabuhan muatsinggah
Oleh karena itu efektifitas Pengawasan kapal Perikanan harus ditunjang pula oleh tempat-tempat tertentu untuk melakukan Pengawasan. Hal ini sesuai
ketentuan yang termaktub dalam Pasal 4 SK tersebut, dinyatakan bahwa Pengawasan kapal Perikanan dilakukan di :
a Wilayah Pengelolaan ikan republik Indonesia WPP RI
b Pelabuhan Perikanan danatau Pelabuahn bukan Pelabuhan Perikanan;
c Pelabuhan umum yang ditetapkan sebagai Pelabuhan pangkalan
d Pangkalan Pendaratan ikan
e Sentra-sentra kegiatan nelayan
B. Tugas dan Kewenangan Pengawas Perikanan