Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

serta apa yang dimaksud dengan pembakaran danatau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpusatakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, adapun skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pembakaran danatau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan” belum pernah dikemukakan. Permasalahan yang diajukan belum pernah dibahas oleh permasalahan skripsi lainnya. Adapun judul skripsi tersebut diatas merupakan tulisan yang masih baru, belum pernah ada tulisan lain dalam bentuk skripsi mengenai masalah ini dan belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawakan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Perbuatan pidana atau yang sering disebut sebagai tindak pidana merupakan pengertian yang dasar yang terdapat dalam ilmu hukum pidana, perbuatan pidana atau tindak pidana ini tentu memiliki hal yang memberikan ciri tersendiri pada peristiwa hukum pidana. Karena perbuatantindak pidana memiliki pengertrian yang abstrak dari peristiwa konkret dalam lapangan hukum pidana, maka harus dijelaskan secara ilmiah sehingga pemahamannya tidak sama dengan istilah biasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. 8 a. Handeling : perbuatan manusia Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda yakni “Strafbar feit” atau “delict”. Dalam merumuskan undang-undang, pembuat undang-undang juga menggunakan istilah peristiwa pidana , perbuatan pidana, atau tindak pidana. Sebelum membahas lebih lanjut tentang tindak pidana, terlebih dahulu kita bahas pengertian tindak pidana atau istilah tindak pidana yang digunakan oleh para ahli hukum pidana. Para ahli hukum pidana pun memiliki beberapa penggunaan istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana ini berikut juga pengertiannya. Menurut D. Simsons, peristiwa pidana itu adalah “Een Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon” atau Perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggungjawab. Perumusan Simons tersebut menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana adalah sebagai berikut : Dengan handeling dimaksudkan tidak saja “een doen” perbuatan tetapi juga “een nalaten” atau “niet doen” melalaikan atau tidak berbuat b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum c. Perbuatan itu diancam dengan pidana strafbaar gesteld oleh undang- undang 8 Bambang Poernomo, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993, hal. 124. d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab toerekeningsvatbaar e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan schuld si pembuat Jika Simons membagi unsur-unsur yang menunjukkan suatu peritiwa pidana maka berbeda dengan Vos. Menurut Vos, terlebih dahulu mengemukaan arti delict sebagai “tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “wesenschau”. Makna tatbestandmassingheit merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka disitu ada delik. Sedangkan makna “wesenschau” merupakan kelakukan yang mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan maka baru merupakankan delik apabila kelakuan itu “dem wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan. 9 Dengan kata lain menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undang- undang. 10 a. Defenisi menurut teori memberikan pengetian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggara terhadap norma , yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan penyelamatan kesejahteraan umum Menurut Pompe pengertian strafbaar feit dibedakan : 9 Bambang Poernomo. Asas asas hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994. hal 90-91. 10 Prof. Drs. CST Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana – Hukum Pidana Untuk Tiap Orang . Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2007. hal 38. b. Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaarfeit” adalah suatu kejadian feit yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Selain defenisi menurut teori dan menurut hukum positif yang dikemukakan oleh Pompe, terdapat pula definisi tindak pidana menurut J.E Jonkers. J.E Jonkers membagi definisi strafbaar feit menjadi dua bagian pengertian, yakni: 11 a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian feit yang dapat diancam pidana oleh undang-undang. b. Defenisi panjang atau lebih mendalam memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Ikan Illegal Fishing Di dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 angka 1 pengertian perikanan adalah : “Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.” Tindak pidana dibidang perikanan yang diatur dalam Undang-Undang Perikanan hanya mencakup 2 dua macam delik yaitu delik kejahatan misdrijven dan delik pelanggaran overtredingen. Disebut kejahatan karena perbuatan pelaku bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan delik 11 Bambang Poernomo, op. cit., hal 91. pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan penguasa Negara. 12 Berdasarkan pada penjelasan diatas dan sesuai dengan aturan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undan- Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan maka tindak pidana penangkapan ikan secara tidak sah atau illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang memakai Surat Penangkapan Ikan SPI palsu, tidak Tindak Pidana Pencurian Ikan illegal fishing termasuk dalam delik kejahatan karena bertentangan dengan kepentingan hukum atau aturan hukum yang ada. Pengertian atau defenisi tindak pidana pencurian ikan atau illegal fishing dalam peraturan perundang-undangan termasuk Undang-undang perikanan memang tidak dijelaskan secara terperinci dan tegas. Menurut Contemporary English Indonesian Dictionary , “illegal” berarti tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, sedangkan “fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan. Berdasarkan penjelasan defenisi kata “illegal fishing” diatas maka secara singkat dapat dikatakan bahwa “illegal fishing” adalah penangkapan ikan secara tidak sah atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Dalam dunia internasional dikenal istilah Illegal, Unreporterd and Unregulated IUU Fishing Practices. Dalam istilah diatas termasuk juga wacana mengenai illegal fishing. Dalam IUU Fishing , secara singkat illegal fishing adalah penangkapan ikan secara tidak sah di perairan wilayah atau ZEE suatu negara atau tidak memiliki izin dari negara tersebut. 12 Arif Satria , Pesisir dan Laut untuk Rakyat, Bogor : IPB Press, 2009, hal 153 dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan SIPI, isi dokumen tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap jenis atau ukuran ikan yang dilarang, serta kegiatan penangkapan ikan secara illegal di wilayah perairan atau ZEE Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara dengan tidak memiliki izin dari negara pantai. 13 3. Kapal Perikanan Kapal, adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut sungai dan sebagainya seperti halnya sampan atau perahu yang lebih kecil. Kapal biasanya cukup besar untuk membawa perahu kecil seperti sekoci. Sedangkan dalam istilah inggris, dipisahkan antara ship yang lebih besar dan boat yang lebih kecil. Secara kebiasaannya kapal dapat membawa perahu tetapi perahu tidak dapat membawa kapal. Ukuran sebenarnya dimana sebuah perahu disebut kapal selalu ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan atau kebiasaan setempat. Berabad-abad kapal digunakan oleh manusia untuk mengarungi sungai atau lautan yang diawali oleh penemuan perahu. Biasanya manusia pada masa lampau menggunakan kano, rakit ataupun perahu, semakin besar kebutuhan akan daya muat maka dibuatlah perahu atau rakit yang berukuran lebih besar yang dinamakan kapal. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan kapal pada masa lampau menggunakan kayu, bambu ataupun batang-batang papirus seperti yang digunakan bangsa mesir kuno kemudian digunakan bahan bahan logam seperti besibaja karena kebutuhan manusia akan kapal yang kuat. Untuk penggeraknya manusia pada awalnya menggunakan dayung kemudian angin 13 Ed : Anjarotni, dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan , Jakarta : Badan Pembinaan HUkum Nasional, 2009 hal 48 dengan bantuan layar, mesin uap setelah muncul revolusi Industri dan mesin diesel serta Nuklir. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD, tentang pengertian kapal dirumuskan dalam Pasal 309 ayat 1 sebagai berikut : “semua alat pelayaran dengan nama atau sifat apapun juga” Berdasarkan rumusan tersebut diatas, maka masih belum dapat diberikan pengertian yang jelas tentang kapal karena tidak dimuat dari arti kata alat pelayaran dalam KUHD tersebut maupun dalam penjelasannya. Mengenai “alat pelayaran”, Wirjono Pradjodikoro, SH menyatakan : “kebanyakan ahli hukum di Negeri Belanda dan juga Jurisprudensi disana mengambil pengertian ini dalam arti yang sangat luas, yaitu meliputi semua alat yang dibikin oleh manusia untuk berada dan bergerak di air dengan alat itu. Jadi tidak diperdulikan, apakah alat tersebut dapat digerakkan sendiri atau ditarik oleh alat lain” 14 Selanjutnya dalam Pasal 209 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merumuskan bahwa Kapal meliputi juga semua alat-alat perkapalan, yang selanjutnya pada Pasal 309 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dijelaskan lebih lanjut tentang “alat-alat perkapalan” yakni semua barang yang tidak merupakan bagian dari tubuh kapal, tetapi ditujukan untuk tetap dipakai bersama-sama tubuh kapal dalam pelayaran. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang yang berlaku sendiri tidak ditemukan pengertian dari kapal itu sendiri. Dengan demikian , maka dapat dikatakan bahwa kapal perikanan termasuk dalam bagian pengertian kapal itu sendiri. Pengertian kapal perikanan terdapat dalam beberapa Undang-Undang. Menurut Undang- 14 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut bagi Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 1963, hal 60. Undang Nomor 31 tahun 200 tentang Perikanan padal 1 ayat 9 dikatakan pengertian kapal perikanan ialah: “kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian eksplorasi perikanan” Pengertian kapal perikanan tersebut diatas sama dengan pengertian kapal perikanan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER. 05MEN2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. 4. Kebijakan Penanggulangan kejahatan Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” criminal policy. Prof.Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan penanggulangan kejahatan atau kebijakan kriminal, yaitu: 15 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari aparat kepolisian, kejaksaaan, dan pengadilan; c. Dalam arti paling luas , ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi , yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dalam kehidupan masyarakat. 15 Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal 15. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social walfare. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 16 a. Kebijakan diluar Hukum Pidana Non-Penal policy Hal ini berarti bahwa masalah kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana saja, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan. Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal penerapan hukum pidana dan pendekatan non penal pendekatan di luar hukum pidana. Integrasi dua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Upaya non-penal ini bersifat tindakan preventif atau pencegahan sebelum terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan 17 16 Barda Nawawi Arief, op. cit., hal 2. 17 Teguh prasetro, Abdul Halim, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2005, hal. 17. , maka sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut ialah faktor-faktor yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan dimikian dilihat dari sudut pandang politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non- penal menduduki posisi kunci atau strategis dari keseluruhan upaya politik atau kebijakan kriminal criminal policy. 18 1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people ; Pernyataan diatas juga didukung oleh hasil dari Kongres PBB tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venzuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crjime Trend and Crime Prevention Strategis, antara lain : 2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan Crime prevention strategis should be based upon the elemination of causes and condition giving rise to crime; 3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan di berbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan dikriminasi nasional, standart hidup yang rendah , pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk the main course of crime in many countries are social inequality, ratial and national dicrimination, low standart of living, 18 Barda Nawawi.. op.cit. hal. 49 unemployment and illiteracy among broad section of the population. Kondisi sosial yang ditengarai diatas sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah pemecahan masalah diatas didukung oleh pendekatan non- penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat. 19 Menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan prevention without punishment yaitu antara lain perancangan kesehatan masarakat communtiy planning mental health, social network, social worker and child welfare kesejahteraan anak dan pekerja sosial, serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi administrative and civil law. 20 b. Kebijakan Hukum Pidana Penal policy Jadi upaya non-penal yakni pencegahan sebelum terjadinya kejahatan merupakan upaya yang dilakukan dengan memperbaiki kualitas kondisi sosial yang ada yaitu masyarakat itu sendiri, sehingga dengan diperbaikinya kualitas tersebut dapat diharapkan mengurangi perilaku kejahatan dalam masyarakat. Istilah “kebijakan berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa belanda “politiek” . Istilah di dalam bahsa Indonesia sering diterjemahkan dengan 19 Mahmud Mulyadi. Criminal Policy- Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan masalah Kejahatan kekerasan. 20 G. Pieter Hoefnagels. The Other Side of Criminology, an Inversion of The Concept of Crime. Holland : Kluwer, Deventer. Hal kata “politik” , oleh karena itu kebijakan hukum pidana sering disebut juga politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan dari politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum, oleh karena itu sangat penting dibicarakan mengenai kebijakan hukum atau politik hukum. Menurut Prof. Soedarto, politik hukum atau kebijakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam juga dikemukakan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat kelengkapannya yang berwenang menetapkan peraturan- peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yan terkandung dalam masyarakat dalam mencapai apa yang dicita-citakan. 21 Lebih lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”. 22 21 Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal 18. 22 Marc Ancel. Social Defence, A modern Approach to Criminal Problems. London : Routledge Kegan Paul , 1965, hal 4-5. Dikemukakan oleh Marc Ancel bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang , tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan diatas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakan hukum saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. Dengan demikian , penal policy atau politik kebijakan hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberi pedoman kepada pembuat undang-undang kebijakan legislatif, kebijakan aplikasi kebijakan yudikatif dan pelaksana hukum pidana kebijakan eksekutif. 23 Hukum pidana harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum terjadinya suatu kejahatan. Dengan demikian, jika politik kriminil menggunakan politik hukum pidana, maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat secara sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan segala faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau berkerjanya hukum pidana dalam kenyataan. Kemudian, dalam setiap kebijakan yang dilakukan dan diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembagunan harus dilihat dalam tiga kerangka , yaitu struktur, 23 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, op.cit., hal. 18. substansi dan kultur. Hal ini penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai tejebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat jangka pendek sehingga tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Akhirnya justtru merugikan masyarakat sendiri dan tidak dapat mencegah dan menangulangi kejahatan.

F. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Pembakaran Dan/Atau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing Sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan

1 74 113

Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Kapal Berbendera Asing Di Batam

27 227 146

Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penadahan Kendaraan Bermotor Hasil Pencurian Dan Upaya Penerapan / Penegakan Hukumnya (Studi Kasus Di Kepolisian Resort Kota Medan)

4 108 90

Tinjauan Yuridis Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Sebagai Kejahatan Terorganisir Di Wilayah Hukum Polda SUMUT

3 117 71

Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Perikanan (Kasus Pencurian Ikan di Wilayah...

2 52 5

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

Upaya Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Yang Dilakukan Oleh Anak

3 51 57

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Pembakaran Dan/Atau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing Sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan

0 0 23

14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Kapal Berbendera Asing Di Batam

0 1 27

Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penadahan Kendaraan Bermotor Hasil Pencurian Dan Upaya Penerapan / Penegakan Hukumnya (Studi Kasus Di Kepolisian Resort Kota Medan)

0 2 20