12. Beragama. Setiap individu dalam masyarakat harus saling menghormati perbedaan orang per orang
dalam hal pemelukan agama untuk mengurangi pengulangan intensitas konflik yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia terkait dengan konflik yang
mengatasnamakan simbol agama tertentu, ini memberikan pemahaman yang lebih luas mengingat seorang yang beragama pastilah mempelajari dan memahami nilai-nilai kebaikan
yang diajarkan dalam agama yang dianutnya maka tentulah akan memiliki sikap ketakwaan dan rendah hati serta nilai-nilai kemanusiaan yang unggul dalam arti memiliki sikap saling hormat
menghormati, saling tolong menolong dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai tuntutan perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik maka ke 12 kriteria untuk
calon Kepala Daerah adalah mutlak harus terpenuhi dengan tidak mengesampingkan urutan dalam kriteria tersebut. Pada dasarnya sikap hidup masyarakat Indonesia cenderung lebih
demokratis pluralis sehingga dengan berbagai sudut pandang yang beragam diharapkan sesuai dengan norma moral dan etika serta yang lebih penting juga adalah prinsip-prinsip hukum yang
berlaku dalam aturan UUD 1945 dan Pancasila, juga Undang-undang yang mengatur perihal pemilihan umum calon Kepala Daerah.
Selain dari 12 kriteria calon Kepala Daerah tersebut ada beberapa kriteria lainnya yang menjadi pendukung sebagai pelaksanaan tugas Kepala Daerah yang antara lain adalah senantiasa
meningkatkan kepeduliannya terhadap keadaan masyarakat ekonomi kelas bawah ekonomi miskin yang selama ini konsisten pada proses demokrasi, berprioritas pada pemberdayaan
masyarakat kelas bawah agar dapat bersinergi dalam pelaksanaan pembangunan yang berkeadilan dan sosialisasi Kepala Daerah dengan masyarakat untuk mempererat rasa persatuan
dan satu bangsa satu bahasa.
c. Faktor Ideologi Partai Tidak Mempengaruhi Masyarakat Tionghoa Dalam Menentukan Pilihannya.
Setiap orang tentu punya penilaian sendiri sebelum ia menjatuhkan pilihannya di TPS saat pemilihan umum berlangsung. Ada banyak faktor yang membuat seseorang memilih calon
legislatif, calon Kepala Daerah, ataupun Presidennya. Salah satunya adalah factor ideologi partai.
Universitas Sumatera Utara
Namun, pada umumnya, masyarakat Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota, 85 memilih calon Kepala Daerah tahun 2010 lalu tidak karena factor ideologi partai yang dibawa
partai-partai politik tersebut. Mereka lebih melihat sosok dan kemampuan dari calon Kepala Daerah tersebut, dan bukan dari partai apa yang mengusung mereka. Seperti yang diungkapkan
oleh warga Tionghoa, yong Hoa 42 tahun, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota dalam wawancara lapangan yang saya lakukan,
“Tidak mempengaruhi saya untuk memilih calon pemimpin dilihat dari partai apa dan ideologi apa yang dibawa partai. Yang penting adalah bagaimana pribadi dari calon Kepala
Daerah tersebut. Itu yang menjadi pertimbangan penting”
64
Pendapat ini juga dikemukan oleh masyarakat Tionghoa lainnya seperti Tan Siaw Mei 44 tahun, Nelsin Kwong 43 tahun, A hanny 45 tahun, Tan Wanni 30 tahun, Tjia Thian Fa
53 tahun, Tjioe Mau On 60 tahun, Thian Jiu Min 41 tahun, Ng Ik Yen 39 tahun, dan Ng Jan Sim 47 tahun yang menyatakan bahwa factor ideologi partai tidak mempengaruhi mereka
dalam menentukan pilihan pada calon Kepala Daerah. Fenomena ini tentu tak lepas dari pandangan masyarakat etnis Tionghoa dalam melihat masalah politik kartel yang subur di
Indonesia. Salah satu karakteristik adanya fenomena politik kartel dalam kehidupan politik kepartaian di Indonesia era reformasi adalah hilangnya peran ideologi cita-cita sebagai penentu
perilaku politik partai politik dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pemerintahan khususnya legislatif dan eksekutif, masyarakat madani civil society maupun dunia usaha. Ideologi partai
politik hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye dalam pemilihan seperti Pemilu anggota legislatif nasional dan daerah, Pilpres dan Pilkada Gubernur,
Bupati dan Walikota. Ideologi partai politik menjadi tidak relevan seusai pasca kegiatan kampanye dalam pemilihan dimaksud atau perjuangan perebutan kekuasaan legislatif dan
eksekutif. Hilangnya peran ideologi partai politik sebagai salah satu karakteristik fenomena politik kartel kepartaian di Indonesia dapat dilihat dari realitas obyektif kehidupan kepartaian
dewasa ini, khususnya era reformasi. Pada level nasional, terdapat koalisi Parpol saat dan setelah Pemilu pemerintahan bukan
berdasarkan kesamaan ideologis, bahkan terdapat perbedaan ideologis sesama anggota koalisi. Pada level daerah lokal, saat penyelenggaraan Pilkada acapkali terdapat koalisigabungan
64
Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota
Universitas Sumatera Utara
Parpol pendukung Pasangan Calon GubernurBupatiWalikota dengan ideologi saling berbeda sesama anggota koalisi dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Salah satu faktor adalah
adanya kesamaan motif politik kekuasaan dan perolehan dana lebih mewarnai Parpol pendukung Pasangan Calon tertentu dalam Pilkada. Intinya, kesamaan ideologis menjadi tidak relevan dalam
penentuan dukungan Parpol terhadap Pasangan Calon dalam Pilkada. Lazimnya ideologi Parpol tercantum dalam ADART Parpol bersangkutan, terjelma ke
dalam kehidupan sehari-hari Parpol dan menjadi penuntun bagi perjuangan Parpol, termasuk dalam hubungan antar Parpol. Kalangan Politisi Parpol harus memahami ideologi Parpol. Sistem
nilai baik tertuang di dalam ketentuan-ketentuan formal dan kode etik Parpol harus menjadi landasan berpikir dan bertindak dalam memainkan peran masing-masing personil pengurus atau
kader Parpol baik di masyarakat, dunia usaha maupun pemerintahannegara. Ideologi harus bisa dikomunikasikan kepada rakyat. Ketidakjelasan Ideologi membuat perjuangan Parpol tidak
berpola dan tidak bermuara dan pada akhirnya memperlemah dukungan dan legitimasi politik. Parpol sangat memerlukan ideologi agar mampu menjembatani persepsi masing-masing
individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal merupakan basis perjuangan. Melalui komunikasi ideologi, Parpol akan membantu masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan di
antara banyak pilihan. Parpol harus mampu menanamkan ideologi ke dalam alam pikiran dan ingatan pemilih dan sekaligus mungkin mengurangi situasi ketidakpastian di dalam pikiran
pemilih. D.
Harapan Dan Keyakinan Masyarakat Etnis Tionghoa Kepada Kepala Daerah Yang Mereka Pilih.
Pemilukada yang berlangsung pada tahun 2010 yang lalu telah berjalan dengan baik dan lancar, khususnya di Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota. Kepala Daerah yang barupun telah
terpilih yang dipilih langsung oleh masyarakat Medan. Tentu saja ada harapan-harapan yang diharapkan masyarakat terhadap pasangan calon terpilih tersebut. Berbagai harapan masyarakat
pun tertumpu kepada calon Kepala Daerah terpilih. Salah satunya etnis Tionghoa, di mana mereka berharap Kepala Daerah terpilih bisa membawa perubahan Medan ke arah yang lebih
baik. Berbagai reaksi masyarakat Tionghoa dalam memberikan harapan dan keyakinan mereka kepada Kepala Daerah Medan yang baru ini tentu saja berbeda-beda dan lain satu sama lain,
Universitas Sumatera Utara
namun tetap pada intinya maksud dan tujuan mereka sama. Sebagian masyarakat Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota, pada awal berjalannya pemerintahan Kepala Daerah yang
baru mereka yakin dan percaya bahwa Kepala Daerah mereka yang baru ini bisa membawa Medan ke kesejahteraan yang lebih baik lagi, dengan fasilitas umum yang jauh lebih baik, dan
sarana pendidikan yang lebih modern. Namun kemudian mereka menjadi ragu sekarang, dikarenakan mereka menilai kinerja kerja Kepala Daerah dan Wakilnya lambat, bertele-tele, dan
kurang efisien. Mereka merasa bahwa Kepala Daerah yang terpilih ini kurang sigap dalam menangani masalah kota Medan. Tentu saja lambatnya kinerja kerja Kepala Daerah mereka ini
menjadi nilai merah bagi mereka. Tanggapan inilah yang diberikan oleh Tjioe Mau On 60 tahun, Yong Hoa 42 tahun, Ng jan Sim 47 tahun, Tan Wanni 30 tahun, Nelson Kwong 43
tahun, dan Thian Jiu Min 41 tahun warga Tionghoa Kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota.
Tjioe Mau On 60 tahun, “Melihat dari keyakinan, semangat saat kampanye berlangsung, dan visi misinya saya yakin awalnya, pemimpin yang baru ini bisa membawa
Medan ke kesejahteraan yang lebih baik lagi. Tapi semakin kesini saya semakin tidak yakin dan malah meragukan. Kinerja yang lambat. Mana bisa menangani masalah dengan cepat dan
bijak”
65
Yong Hoa 42 tahun, “Dulu saya yakin, tapi sekarang enggak. Bisa diliat lah bagaimana kondisinya sekarang. Pemimpin kita lamban jalannya.”
66
Namun ada juga sebagian warga yang dari awal pemilihan umum kurang yakin kepada calon Kepada Daerah namun tetap menjatuhkan pilihannya kepada calon Kepala Daerah
tersebut. Sebagai warga Negara yang baik, bagaimanapun mereka tetap ikut dalam pemilihan umum untuk memberikan suaranya di TPS walau sebenarnya mereka tidak mengenal potensi
yang dimiliki oleh calon Kepala Daerah tersebut. Mereka mengaku tidak banyak berharap kepada siapapun yang memimpin Medan, mereka hanya berharap pada inovasi-inovasi yang
baru. Seperti yang diungkapkan oleh warga Tionghoa Tan Siaw Mei 44 tahun, A Hanny 45
tahun, Tjia Thian Fa 53 tahun, dan Ng Jan Sim 47 tahun,
Tan Siaw Mei 44 tahun, “ Walau saya memilih, namun saya tidak banyak berharap dari calon Kepala Daerah yang saya pilih tersebut. Saya menggunakan hak pilih saya saja. Dan
berpartisipasi dalam menentukan calon pemimpin kita”
67
65
Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota
66
Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota
67
Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota
Universitas Sumatera Utara
A Hanny 45 tahun, “Kalau dibilang yakin sih dari awal tidak yakin. Tapi ya namanya kewajiban kita harus ikut memilih dalam pemilu ya dipilih saja. Sudah capek denger janji-janji
calon pemimpin ini”
68
Sejarah pemilihan Kepala Daerah langsung itu sudah dimulai pada 2010 yang lalu. Dan hasil akhirnya pun telah sama-sama kita ketahui. Banyak pihak berharap bahwa lewat pemilihan
langsung akan lahir Kepala Daerah yang lebih aspiratif dan mau mendengar jeritan rakyat, terutama rakyat miskin. Pemilukada Kota Medan yang digelar pada tahun 2010 lalu tersebut
diharapkan dapat menghasilkan kepala daerah yang benar-benar serius dalam membangun Kota Medan. Walikota dipilih oleh masyarakat langsung dan dia tentu harus bertanggungjawab kepada
rakyat, bukan hanya pada golongan tertentu atau masyarakat yang memilihnya saja. Proses Pemilukada telah usai, calon pemimpin yang baru sudah terpilih. Untuk itu, kita meminta
masyarakat untuk selalu memberikan dukungan. Selain itu, kita juga meminta agar meneruskan pembangunan yang sudah ada. Dan bahkan mampu membawa Kota Medan lebih maju lagi dari
sekarang. Sejuta harapan ditumpukan pada Walikota dan Wakil Walikota terpilih Kota Medan pada Pemilukada lalu. Di mana akan menduduki tampuk pimpinan di Kota Medan ini periode
2010-2015. Menyonsong Medan yang baru menyusul kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota terpilih periode 2010 – 2015 tentu memiliki aspek dan pekerjaan rumah yang
menumpuk. Posisi masyarakat pada saat ini berharap akan adanya perubahan yang signifikan dan akan terwujud bila pemimpin kedepan serius dengan bertahap menggarap semua aspek dan jenis
pembangunan sesuai dengan peruntukan yang berujung pada penentuan skala prioritas untuk membangun Medan agar bisa maju dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentu harus
dilakukan pembangunan secara merata. Dan tidak ada pengkotakkan pembangunan hanya pada satu dua daerah tertentu yang menjadi basis pemilihnya saja, tapi harus kepada seluruh daerah
yang menjadi bagian dalam Medan, terlebih pada masyarakat etnis Tionghoa yang sering dikesampingkan. Berdasarkan hasil Pemilukada yang lalu mengindikasikan masyarakat
menginginkan perubahan, ada harapan masyarakat seperti pembenahan kelembagaan birokrasi pemerintah daerah sebelum akhirnya merambah pada pembenahan disektor lain, misalnya
peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan mutu kesehatan, penggalian potensi daerah untuk melakukan pembangunan berbasis keunggulan lokal, penggalakan usaha-usaha dibidang jasa dan
sebagainya.
68
Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota
Universitas Sumatera Utara
Pemilukada langsung memang akan menjawab kebutuhan dan harapan dari masyarakat tersebut. Dengan pemilihan langsung, kepala daerah mendapatkan mandat sosial dan dukungan
masyarakat lebih kuat serta terwujudkanya kontrak sosial antara pemilih dengan yang dipilih. Namun perlu diingat bahwa penyelewengan kekuasan senantiasa berada di depan mata,
mengingat para kandidat kepala daerah itu telah mengeluarkan ratusan hingga milyaran rupiah
untuk meraih kursi kekuasaan.
Oleh sebab itu, Pasca Pemilukada masyarakat diharapkan terlibat penuh dalam politik sehari-hari yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka di ranah lokal. Selain mengawasi
DPRD, masyarakat juga dituntut untuk mengontrol kekuasaan Kepala Daerah pilihan mereka. Keputusan-keputusan politik penting seperti bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, kesehatan,
dan lainnya diputuskan sebagai keputusan politik justru di luar dan setelah pemilukada. Parameter yang paling mudah bisa digunakan untuk mengontrol yakni apakah terjadi perbaikan
ekonomi masyarakat di semasa dipimpin seorang Kepala Daerah, ataukah justru sebaliknya. Jika kehidupan rakyat makin merosot, kesejahteran makin menurun, dan tingkat kesulitan rakyat
untuk memenuhi kebutuhan hidup makin meningkat, maka oleh sistem politik langsung dimungkinkan seorang Kepala Daerah yang mencalonkan lagi pada periode berikutnya akan
terkena hukuman berupa eliminasi dari para pemilih. Mereka tidak lagi di percaya oleh rakyat,
karena terbukti pada masa kepemimpinannya tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, diharapkan kedepan kedua sosok pemimpin Kota Medan ini bisa membawa perubahan nyata demi kemajuan Medan dengan mengatasi beberapa persoalan 5 tahun
kebelakang. Disamping itu juga sebagai rakyat mari kita bergandeng tangan mendukung pemerintahan ini dan kalau memang tidak berjalan semestinya harus kita ingatkan bersama.
Demikian juga halnya DPRD Kota Medan yang harus proaktif atau bahkan menjemput bola mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi masyarakat sehingga masyarakat bisa merasakan
peranan wakilnya tersebut. Pada akhirnya mari kita berikan kesempatan kepada pemimpin
tersebut untuk membangun Medan yang lebih maju.
Universitas Sumatera Utara
E. Tanggapan Warga Etnis Tionghoa Mengenai Keterwakilan Salah Satu Etnis Tionghoa
Sebagai Calon Kepala Daerah Pada Pemilukada 2010. Penelitian ini ingin mengeksplorasi bagaimana etnis Tionghoa di Kota Medan
memanfaatkan liberalisasi politik yang memberikan peluang bagi mereka untuk saling berkompetisi ditengah- tengah tidak adanya mayoritas etnis dalam meraih jabatan-jabatan politik
dalam kontestasi politik lokal di Medan. Khususnya untuk masyarakat etnis Tionghoa di
kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota dalam menanggapi keterwakilan mereka di dunia politik.
Berbagai tanggapanpun diberikan oleh masyarakat Tionghoa dikelurahan Pusat Pasar, Medan kota mengenai keterwakilan salah satu etnis Tionghoa sebagai calon Kepala Daerah pada
Pemilukada 2010 yang lalu. Hampir semua koresponden yang berhasil saya wawancarai mengaku sangat senang dengan majunya Sofyan Tan menjadi calon pempimpin dalam dunia
politik. Seperti warga Tionghoa yang bernama Nelsin Kwong 43 tahun, yang mengaku sangat bangga atas keikutsertaan Sofyan Tan sebagai calon Kepala Daerah dalam Pemilukada 2010
yang lalu.
Nelsin Kwong 43 tahun, “Tentunya sangat bangga dengan keikutsertaan Sofyan Tan sebagai calon Kepala Daerah. Ini bisa menunjukkan kepada semua orang kalau kami tidak
tertutup dalam dunia politik. Saya bangga atas pencalonan diri Sofyan Tan sebagai calon Kepala Daerah.”
69
Tjioe Mau On 60 tahun, “Saya senang dan bangga dengan pencalonan diri Sofyan Tan. Dan menyambut baiklah tentang itu”
70
Pernyataan ini juga diikuti oleh beberapa warga Tionghoa lainnya, yaitu Thian Jiu Min 41 tahun, dan Ng Jan Sim 47 tahun yang mengaku sangat bangga dengan majunya Sofyan
Tan sebagai calon Kepala Daerah 2010 lalu. Namun mereka tak banyak berharap agar lebih banyak lagi warga yang beretnis Tionghoa beramai-ramai mencalonkan diri dalam dunia
perpolitikan. Jika satu saja bisa masuk dan mendapat posisi penting itu, itu sudah cukup. Seperti yang dikemukakan oleh beberapa warga Tionghoa, yakni, Yong Hoa 42 tahun, Tan Siaw Mei
44 tahun, A Hanny 45 tahun, Tan Wanni 30 tahun, dan Ng Ik Yien 39 tahun,
“Tidak perlu beramai-ramai mencalonkan diri. Satu saja jika lolos itu sudah cukup. Karena sudah banyak masyarakat Medan yang berantusias terjun dalam dunia politik”
71
69
Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota
70
Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota
71
Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota
Universitas Sumatera Utara
Sebelum Pemilukada Kota Medan tahun 2010 lalu banyak pakar Politik yang memperkirakan perolehan suara masing-masing calon lebih didasarkan kepada etnis dari calon-
calon tersebut yang sangat mempengaruhi pilihan masyarakat. Pendapat ini sangat mendukung karena keberadan masyarakat kota Medan yang pada umumnya terkotak-kotak kedalam etnis-
etnis tertentu berdasarkan etnisnya masing-masing.
Hal yang sangat menarik adalah dengan munculnya Sofyan Tan dalam daftar calon WaliKota Medan pada pemilukada 2010. Banyak yang meragukan suara yang akan diperoleh
Sofyan Tan dalam pemilukada Kota Medan tahun 2010 nanti, karena Sofyan Tan yang berasal dari etnis Tionghoa dianggap tidak akan bisa menarik simpati masyarakat yang non-Tionghoa
karena masih besarnya sentimen dari masyarakat pribumi yang menganggap bahwa etnis Tionghoa bukan merupakan bagian dari Warga Negara Indonesia. Akan tetapi pada Pemilukada
Kota Medan kali ini, masyarakat etnis Tionghoa yang biasanya tingkat partisipasinya sangat rendah, tapi dengan hadirnya Sofyan Tan sebagai calon Walikota Medan membuat tingkat
partisipasi masyarakat etnis Tionghoa dalam pemilukada Kota Medan meningkat drastis.
Selain itu masing-masing pasangan calon semakin menggencarkan kampanye kepada etnis-etnis tertentu yang ada hubungannya dengan calon tersebut dalam upaya memperoleh
suara. Seperti Masyarakat Melayu yang bertekad memenangkan pasangan Rahudman Harahap- Dzulmi Eldin yang lebih disebakan karena Dzulmi Eldin yang merupakan seorang putra Melayu
dan juga Rahudman Harahap yang sudah jelas mendapatkan dukungan dari etnis Batak Mandailing. Sementara itu pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti mendapatkan dukungan
penuh dari etnis Tionghoa yang merupakan etnis Sofyan Tan dan etnis Minang yang
memberikan suara penuh kepada Nelly Armayanti.
Khususnya pada Pemilu putaran kedua faktor etnis sangat berpengaruh dalam perolehan suara calon Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti. Sikap
masyarakat yang memberikan suara lebih dikarenakan etnis merupakan suatu bukti atau fakta bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman politik yang didapatkan oleh
masyarakat. Masyarakat tidak diajarkan untuk lebih kritis didalam menentukan pilihannya, tanpa
menghiraukan masalah etnis.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat lebih dituntun untuk menentukan pilihan karena ikatan identitas etnis tertentu dengan salah satu calon. Hal ini membuat rasa primordialisme tidak dapat dihilangkan didalam
masyarakat. Masyarakat diberi pandangan bahwa kepentingan masyarakat hanya akan dapat dipenuhi apabila masyarakat tersebut memilih pasangan yang berasal dari etnis yang sama
dengan pemilih tersebut.
Pemahaman dan pendidikan politik seharusnya didapatkan masyarakat salah satunya dalam kegiatan kampanye. Akan tetapi pada saat ini kampanye yang dilakukan hanya lebih
mengedepankan unsur hiburannya dibandingkan penyampaian visi-misi dari pasangan calon tersebut. Apabila kampanye lebih banyak menyajikan pidato-pidato dan penyampaian visi-misi
dari pasangan calon tersebut, mungkin banyak massa yang akan meninggalkan kampanye
tersebut karena dinilai membosankan.
Tetapi hal yang membosankan tersebut merupakan salah satu pelajaran yang berharga bagi masyarakat didalam memahami karakter dan program yang akan dijalankan oleh pasangan
calon tersebut. Dengan demikian masyarakat akan lebih paham dan lebih kritis dalam memberikan suranya, bukan lagi berdasarkan ras, karena sentimen antara masing-masing
identitas etnis hanya akan menjadi bom waktu yang dapat melemahkan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia,khususnya kota Medan.
Namun belum ada pasangan calon yang berani melakukan kampanye dalam artian yang sebenarnya, yaitu lebih mengutamakan penyampain visi-misi dan program yang akan dijalankan
apabila terpilih menjadi Walikota Medan nantinya, dibandingkan unsur hiburan yang hanya menarik massa, akan tetapi massa yang ikut dalam kampanye tersebut tetap saja tidak
mendapatkan pendidikan politik, karena hanya menikmati hiburan yang disajikan oleh panitia
kampanye.
Teori hegemoni memang tidak bisa dilepaskan didalam menarik simpati masyarakat salah satunya dengan cara kampanye. Maksudnya adalah kampanye yang dihadiri oleh banyak massa
akan memberikan pandangan bagi masyarakat bahwa pasangan calon yang berkampanye tersebut mempunyai banyak pendukung. Sehingga masyarakat mempunyai persepsi bahwa pasangan
Universitas Sumatera Utara
calon berkampanye tersebut popular dimata masyarakat. Popularitas inilah yang pada nantinya
akan mendorong masyarakat untuk memilih pasangan calon tersebut.
Selain untuk mendapatkan suara etnis juga dapat menjadi senjata bagi salah satu pasangan calon untuk menjatuhkan pasangan calon lainnya. Hal ini yang ditakutkan oleh
beberapa pakar politik yang dapat menyebabkan kekalahan Sofyan Tan. Seperti apabila sentimen anti Cina yang apabila dilakukan oleh lawan politikya dapat berakibat kepada kesulitan Sofyan
Tan dalam memperoleh suara.
Sikap mayarakat etnis Tionghoa yang cendrung kurang membaur dengan masyarakat pribumi menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat pribumi apabila terpilih nanti Sofyan Tan
lebih mengutamakan kepentingan masyarakat etnis Tionghoa saja.
F. Masyarakat etnis Tionghoa Dan Partai Politik.
Sejauh ini, partisipasi yang diberikan masyarakat etnis Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota, dalam dunia politik hanya berupa partisipasi pasif saja. Mereka
hanya ikut dalam pemilihan umum dan memberikan suaranya namun tidak begitu peduli dengan hasil akhir ataupun kebijakan yang akan dibuat pemerintah tersebut. Bagi
mereka, siapapun yang terpilih dalam pemilihan umum tersebut tidak membawa keuntungan apapun bagi mereka. Ini juga yang melatarbelakangi masyarakat etnis
Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota, tidak begitu tertarik dalam dunia politik. Sehingga mereka tidak pernah ikut dalam kegiatan politik apapun, atau kampanye
partai politik manapun. Padahal pada zaman reformasi sebelumnya ada banyak masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Indonesia terjun dalam dunia politik bahkan
mendirikan partai Tionghoa.
Selama ini ada pemikiran sebagian etnis Tionghoa bahwa untuk memperjuangkan aspirasinya, etnis Tionghoa tidak dapat menggantungkan diri kepada partai-partai lain. Etnis
Tionghoa harus mempunyai partainya sendiri. Menjelang Pemilu 1999, ada 3 parpol yang didirikan oleh sekelompok etnis Tionghoa, yaitu Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia PBI di
bawah pimpinan Nurdin Purnomo- pengusaha Travel dan Ketua Yayasan Hakka-, Partai
Universitas Sumatera Utara
Reformasi Tionghoa Indonesia PARTI di bawah pimpinan Lieus Sungkharisma - bendahara KNPI- dan Partai Pembauran Indonesia di bawah pimpinan Jusuf Hamka -pengusaha HPH dan
tokoh Bakom-PKB. Namun Partai Pembauran Indonesia ternyata tidak mendapatkan sambutan dan gugur sebelum berkembang. PARTI gagal mengikuti seleksi KPU dan tidak turut
berpartisipasi dalam Pemilu 1999. Hanya PBI yang turut dalam Pemilu dan wakil dari Kalimantan Barat, L.T. Susanto berhasil terpilih menjadi satu-satunya anggota DPR dari PBI.
Dari ketiga partai tersebut kita sudah dapat membayangkan bahwa ternyata pandangan politik etnis Tionghoa tidak homogen. Etnis Tionghoa yang selama ini dipandang homogen
ternyata sangat heterogen. Etnis Tionghoa bukan hanya dipisahkan oleh unsur totok dan peranakan, tetapi juga oleh asal-usul di daratan Tiongkok Hokkian, Hakka, Kongfu dan
sebagainya, dengan segala ciri dan stigmanya. Belum lagi dari segi agama, ada yang beragama Khonghucu, Tao, Buddha, Kristen, Katolik bahkan Islam. Ada lagi pembagian Tionghoa Medan,
Tionghoa Padang, Tionghoa Bangka, Tionghoa Pontianak, Tionghoa Jawa, Tionghoa Makassar, Tionghoa Manado dan sabagainya, juga dengan segala predikat dan stigmanya. Sebagian ada
yang berorientasi ke daratan Tiongkok dan ada yang ke Taiwan. Ada kelompok yang prointegrasi dan ada yang proasimilasi kini dengan baju pembauran. Ada yang pro-Orde Baru
dan militer para konglomerat dan pengusaha papan atas, sebaliknya ada yang proreformasi yang pada umumnya kelas menengah ke bawah.
Perpecahan yang timbul, ternyata bukan saja terjadi di kalangan elite partai-partai politik nasional, tetapi juga di kalangan etnis Tionghoa. Setelah ada Paguyuban Sosial Marga Tionghoa
Indonesia PSMTI di bawah pimpinan Brigjen Pur Tedy Jusuf Xiong Deyi muncul Perhimpunan Indonesia Tionghoa INTI di bawah pimpinan Drs Eddie Lembong Wang
Youshan. Demikian juga sekarang ini ada 3 organisasi suku Hakka, masing-masing di bawah pimpinan Nurdin Purnomo, Yang Kheling dan Oei Tek Sin Teddy Sugianto. PBI pecah
masing-masing di bawah pimpinan Nurdin Purnomo dan Frans TsaiL.T. Susanto. Seperti juga yang dialami bangsa ini, akibat kebijakan Presiden Soeharto ketika berkuasa,
yang menekan setiap tokoh yang dianggap potensial menjadi pesaing dan membahayakan kedudukannya, di kalangan etnis Tionghoa terjadi krisis tokoh yang handal dan berintegritas,
yang dapat mempersatukan seluruh etnis Tionghoa. Sampai saat ini tidak seorangpun tokoh
Universitas Sumatera Utara
Tionghoa yang dapat diterima oleh seluruh lapisan dan golongan etnis Tionghoa sebagai calon pemimpinnya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah tepat kalau etnis Tionghoa yang kondisi dan pandangan politiknya demikian beragam dan belum mempunyai figur yang handal mendirikan
partai politiknya sendiri, kemudian beramai-ramai memberikan suaranya sehingga diperkirakan dapat menghasilkan 5-10 orang anggota DPR yang akan datang atau bahkan seorang Kepala
Daerah. Dengan jumlah yang demikian kecil kemudian berusaha membentuk koalisi dengan partai lainnya untuk membela aspirasi dan kepentingan etnis Tionghoa pada khususnya, dan
masyarakat Medan pada umumnya. Apakah etnis Tionghoa berusaha menjadi anggota parlemen ataupun Kepala Daerah hanya untuk membela aspirasi dan kepentingannya sendiri saja? Apakah
etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia demikian picik pandangan politiknya? Apakah etnis Tionghoa tidak memikirkan nasib bangsa dan negara kita secara keseluruhan?
Jangan lupa masalah Tionghoa adalah masalah nasional yang menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya menjadi tanggung jawab etnis Tionghoa untuk
menyelesaikannya. Etnis Tionghoa dapat berkiprah dalam dunia politik untuk ikut menyumbangkan tenaga
dan pikirannya dalam membangun bangsa dan negara dengan memasuki partai-partai politik yang sesuai dengan pilihannya, atau dengan mendirikan partai politik baru bersama komponen
bangsa lainnya yang mempunyai visi dan misi yang sama, yang mempunyai program atau platform yang jelas, sehingga partai tersebut dapat tumbuh menjadi besar dan berakar di
masyarakat. Sekarang ini terbuka kesempatan bagi etnis Tionghoa untuk terjun di dunia politik dan mencalonkan diri baik untuk menjadi anggota DPR, DPD maupun Kepala Daerah. Melihat
perilaku para elite partai politik dan anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif yang banyak mengecewakan rakyat, sungguh sukar untuk menentukan pilihan. Ini tidak saja dialami dan
dirasakan oleh etnis Tionghoa namun juga seluruh masyarakat Indonesia. Kini dengan meningkatnya kesadaran politik di kalangan etnis Tionghoa, sudah
seharusnya apabila setiap orang Tionghoa dapat memikirkan dengan tenang dan bijak serta menggunakan hati nurani dalam menentukan pilihannya. Jangan sampai salah pilih dan
memberikan suara kepada calon pemimpin yang ternyata hanya haus akan kekuasaan yang
Universitas Sumatera Utara
ujung-ujungnya ternyata kepentingannya hanya mengumpulkan uang saja. Bukankah kita harus ikut bertanggung jawab atas pilihan kita.
G. Memilih Dengan Bebas.
Keikutsertaan dan partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa dalam menentukan pemimpin daerahnya merupakan bukti bahwa masyarakat etnis Tionghoa tidak selalu cuek dan
acuh dalam dunia politik. Hak memilih sebagai warga Negara dalam pemilihan umum mereka gunakan sebaik mungkin untuk dapat berpartisipasi dalam menentukan calon pemimpin mereka.
Mereka mengaku tidak ada paksaan, atau tekanan dari pihak manapun dalam menentukan pilihan mereka kepada calon Kepala Daerah. Mereka memilih dengan bebas tanpa ada gangguan dari
berbagai pihak.
Memang tidak bisa dipungkiri, kejadian trauma atau ketakutan pada politik pasca-Tragedi 1965, etnis Tionghoa memasuki era pemasungan politik sehingga mereka hanya berkutat di
bidang ekonomi. Etnik Tionghoa pun tenggelam di dalam kancah perpolitikan Indonesia seiring dengan kebijakan Orde Baru Orba yang menggiring etnik Tionghoa menjauh dari arena politik.
Apalagi dengan tudingan ikut mendukung PKI dan RRT, banyak generasi tua dari etnik Tionghoa, khususnya yang mengalami pahit getirnya Tragedi 1965, hidup dalam trauma dan
kebencian akan segala hal yang berbau politik di negeri ini. Masa rezim Orba merupakan era paling sulit bagi mayoritas etnik Tionghoa. Namun semua itu pelan-pelan mulai sembuh. Ini
tentu tak lepas dari gerakan Reformasi, dengan didahului Tragedi Mei 1998, yang telah melahirkan banyak perubahan menjanjikan. Perhatian dari para presiden mulai dari BJ
Habibie,Gus Dur,Megawati hingga SBY juga patut dicatat.
Iklim yang bebas dan kondusif telah tercipta sehingga etnik Tionghoa pun tertarik lagi pada politik praktis. Iklim yang bebas dan kondusif itu bahkan sudah dilengkapi dengan
jaminan konstitusional akan kesetaraan antarwarga. Tidak ada sekat-sekat lagi antara pribumi dan nonpribumi. Ini tampak dari lahirnya UU Kewarganegaraan No 122006 yang disahkan
Presiden SBY pada 1 Agustus 2006. Juga sudah lahir UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik disahkan DPR pada 27 Oktober 2008.
72
72
http:www.unisosdem.orgarticle_detail.php?aid=10870coid=3caid=31gid=3. Di akses pada tanggal 1 Juli 2012
Universitas Sumatera Utara
Bagi warga Tionghoa di Indonesia khususnya, kedua UU tersebut dinilai fenomenal karena mampu menghapus sekat dan kendala yang bersifat rasial atau etnis. Kedua UU itu benar-
benar memberi rasa aman, termasuk di ranah politik, sehingga rasa waswas dan takut berpolitik di kalangan Tionghoa kini nyaris tidak ada lagi. Sebaliknya, yang ada justru gairah politik yang
besar.
Setiap etnik Tionghoa bebas memilih partai politik atau menjadi golput,tapi tak ada kewajiban memilih caleg ataupun calon Kepala Daerah Tionghoa. Yang penting, etnik Tionghoa
sudah menunjukkan peran sertanya, entah sebagai caleg, pengurus partai politi, penyandang dana, atau hanya sebagai pemilih. Yang juga penting, etnik Tionghoa juga perlu membedakan
politik kekuasaan power politics dan politik kenegaraan state politics.
Keterlibatan aktif dalam politik kepartaian merupakan realisasi dari politik kekuasaan. Pasalnya, ujung dari perjuangan politik partai adalah kekuasaan itu sendiri. Sementara wilayah
gerak politik kenegaraan mengatasi kerja politik partai. Politik kenegaraan berorientasi pada pencapaian kebaikan bersama semua warga common goods. Akhirnya para caleg ataupun
Kepala Daerah Tionghoa yang terlibat dalam politik kekuasaan, jangan sok kuasa kalau berhasil
meraih kursi.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan