dari luar dan ada yang menggabungkannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah :
22
1. Kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
2. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut terhadap pemimpinnya.
Berdasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu :
23
1. Partisipasi politik aktif, jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang tinggi.
2. Partisipasi politik apatis, jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah.
3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah, sedangkan kepercayaan
politiknya tinggi. 4.
Partisipasi politik militant radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan
kepercayaan politiknya rendah.
E.3 Perilaku Pemilih
Menurut Fadilah Putra Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok.
24
22
Ramlan Surbakti, Op cit, hlm 143.
Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para konsensus untuk mereka pengaruhi dan yakinkan
agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen
adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudikan termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Disamping itu, pemilih merupakan
bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen masyarakat tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan,
dimana ideology dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai tertentu. Mereka
23
ibid, hlm 144.
24
http:edikusmayadi.blogspot.com201104perilaku-politikpemilih.html. Diakses pada tanggal 25 Juni 2012.
25
Firmansyah, Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm 102
Universitas Sumatera Utara
‘menunggu’ sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.
25
Perilaku pemilih adalah keikutsertaan warga dalam Pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Perilaku pemilih menjawab pertanyaan apakah warga masyarakat menggunakan hak
pilihnya atau tidak. Untuk memahani kecenderungan perilaku memilih mayoritas masyarakat secara akurat dapat dikombinasikan dalam dua pendekatan yang relevan, yaitu:
26
Pertama, pendekatan psikologi sosiologi. Konsep ini merujuk kepada persepsi pemilih atas partai – partai
yang ada atau keterkaitan emosional pemilih terhadap partai. Konkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa
terpengaruh oleh partai – partai lain. Kedua, pendekatan rasional. Dalam pendekatan ini, kegiatan memilih dipandang sebagai produk kalkulasi untung rugi. Pertimbangan untung rugi
terutama digunakan untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak.
27
Yang dapat dinyatakan sebagai pemilih dalam Pemilukada yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih. Pemilih dalam hal ini
dapat berupa konsituen maupun masyarakat pada umumnya. Perilaku pemilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung.
Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Colombia mengenai perilaku pemilih, perilaku memilih ditentukan oleh status sosial ekonomi, agama dan daerah
tempat tinggal. Jadi, jika seseorang berada di status sosial ekonomi tertentu, berarti ia memilih parpol tertentu. Jika ia beragama tertentu, ia akan memilih parpol tertentu. Dan, jika ia tinggal di
daerah tertentu, ia maka akan memilih parpol tertentu. Penelitian ini dikenal dengan sebutan Mazhab Colombia. Mazhab ini juga dikenal dengan nama pendekatan sosiologis atau sosial
struktural.
26
Muhammad Asfar. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Jakarta. Pustaka Eureka, hlm 56.
27
Joko Prihatmoko. Pemilih Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 46.
Universitas Sumatera Utara
Setelah pendekatan sosiologis, kemudian muncul pendekatan sosial psikologis yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Michigan. Berbeda dengan pendekatan
sebelumnya yang lebih menekankan pada faktor kelompok sosial dimana individu berada sosiologis, pada pendekatan sosial psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri.
Menurut pendekatan sosial psikologis, ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku memilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi isu atau tema dan orientasi
kandidat. Identifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut misalnya, lemah hingga kuat.
Lalu, yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu-isu apa saja yang diangkat oleh parpol tersebut. Sedangkan, yang dimaksud orientasi kandidat adalah siapa yang
mewakili parpol tersebut. Menurut pendekatan sosial psikologis, tiga faktor itulah identifikasi partai, orientasi tema dan orientasi kandidat yang akan menentukan perilaku memilih. Lalu,
setelah pendekatan sosial psikologis, muncul pendekatan baru yang dinamakan dengan pendekatan ekonomis. Pendekatan ekonomis biasa juga disebut dengan pendekatan rational-
choice. Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungkin muncul dari pilihan-pilihan yang ada.
Lalu, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya. Berhubungan dengan pemilu, melalui pendekatan ini, pemilih
diasumsikan mempertimbangkan segala pilihan yang ada, misalnya tiap-tiap parpol yang ada, tiap-tiap kandidat yang ada dan tiap-tiap kebijakan yang ada. Lalu, dilihat untung atau ruginya
bagi individu. Pada akhirnya individu akan memilih yang memberi keuntungan paling besar dan kerugian paling kecil bagi dirinya. Namun pada kenyataannya, ketika mengambil keputusan,
individu jarang sekali melakukan hal-hal yang diasumsikan oleh pendekatan ekonomis. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa, biasanya individu
tidak mengetahui setiap alternatif yang ada dan juga tidak mempertimbangkan setiap hasil yang mungkin muncul dari setiap alternatif. Oleh karena itu, setelah pendekatan ekonomis, muncul
lagi pendekatan baru dalam melihat perilaku memilih. Pendekatan tersebut adalah pendekatan behavioral decision theory. Pendekatan behavioral decision theory BDT mengasumsikan
bahwa individu sebagai limited information processors, Pendekatan ini menganggap bahwa jumlah informasi yang dapat diolah oleh individu, sangat terbatas. Keterbatasan individu dalam
memproses jumlah informasi, biasa juga disebut bounded rationality. Menurut pendekatan ini,
Universitas Sumatera Utara
sebagai mahkluk rasional kognisi individu masih memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan- keterbatasan tersebut diantaranya adalah keterbatasan dalam menyimpan jumlah informasi,
keterbatasan dalam mengolah informasi dan keterbatasan dalam memanggil kembali informasi yang telah diolah.
28
Meskipun sebenarnya individu tidak bisa melakukan pengambilan keputusan yang benar- benar rasional, seperti yang diasumsikan oleh pendekatan ekonomis, di tengah-tengah
keterbatasannya tiap-tiap individu masih bisa membuat keputusan yang baik. Hal tersebut dimungkinkan karena individu mengembangkan sejumlah mekanisme kognitif untuk mengatasi
keterbatasannya itu.
E.3.1 Konfigurasi Pemilih Isu strategis adalah pokok permasalahan yang harus diperhatikan dan dijawab oleh
seorang kandidat. Dinamika masyarakat dewasa ini cenderung lebih rasional dalam menyikapi dan menentukan pilihan, meskipun tidak dipungkiri masih terdapat pemilih yang emosional dan
tradisional. Figuritas dan popularitas kandidat di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk dijadikan modal dalam mensosialisasikan diri. Namun dari pada itu, perlu juga dilihat tipe
ataupun jenis pemilih dalam konfigurasi pemilih, seperti yang terdapat dibawah ini,
29
1. Pemilih Rasional Dalam konfigurasi pertama ini terdapat pemilih rasional rational voter, dimana pemilih
memiliki orientasi tinggi pada ‘policy-problem-solving’ dan berorientasi rendah untuk factor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon
kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisis dalam dua hal: 1 kinerja partai dimasa lampau, dan 2 program tawaran untuk menyelesaikan
permasalahan nasional yang ada. forward looking. Pemilih tidak hanya melihat program kerja atau platform partai yang berorientasi kemasa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah
dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanifestasikan pada reputasi dan citra image yang berkembang dimasyarakat. Dalam
28
http:webandikamongilala.wordpress.com20100903perilaku-pemilih-di-indonesia. Diakses pada tanggal 26 Juni 2012.
29
Muhammad Asfar. Op cit, hal 63.
Universitas Sumatera Utara
konteks ini lebih utama bagi partai politik dan kontestan adalah mencari cara agar mereka bisa membangun reputasi didepan publik dengan mengedepankan kebijakan untuk mengatasi
permasalahan.
Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti faham, asal usul, nilai tradisional,
budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi itu bukan hal yang signifikan. Hal ini terpenting bagi jenis pemilih adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh
sebuah partai atau seorang kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau seorang kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan
solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan sosial-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, desintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak
akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan kepartai politik atau
kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional.
2. Pemilih Kritis Pemilih jenis ini merupakan panduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai
politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal – hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat
loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah ‘rational voter’ untuk berpaling kepartai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi
melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka
akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu pada program kerja yang ditawarkan sebuah partaikontestan
baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan
sebuah kebijakan.
Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai ideologi dengan kebijakan yang dibuat. Ada tiga kemungkinan yang akan muncul ketika terdapat
perbedaan antara nilai ideology dengan ‘platform’ partai: 1 memberikan kritikan internal, 2 frustasi, dan 3 membuat partai baru yang memiliki kemiripan karekteristis ideologi dengan
Universitas Sumatera Utara
partai lama. Kritis internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah kebijakan partai politik atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya tidak difasilitasi oleh
mekanisme internal partai politik, mereka cenderung menyuarakan melalui mekanisme eksternal
partai, misalnya melalui media massa seperti radio, televisi, dan sebagainya.
3. Pemilih Tradisional