Permintaan Kuantitas dan Kualitas Buah-buahan Rumahtangga di Provinsi Lampung

(1)

PERMINTAAN KUANTITAS DAN KUALITAS

BUAH-BUAHAN RUMAH TANGGA DI

PROVINSI LAMPUNG

RINI DESFARYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Permintaan Kuantitas dan Kualitas Buah-buahan Rumahtangga di Provinsi Lampung adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain pada tesis ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir tesis.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

RINI DESFARYANI


(4)

RINGKASAN

RINI DESFARYANI. Permintaan Kuantitas dan Kualitas Buah-buahan Rumahtangga di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil buah-buahan yang cukup besar. Tingkat produksi buah yang besar tersebut merupakan suatu hal yang menunjang dari segi ketersediaan buah. Jika dihubungkan dengan tingkat konsumsi, dapat diketahui bahwa buah yang tersedia ternyata tidak secara langsung menjamin bahwa masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan konsumsinya dapat dilihat dari tingkat konsumsi buah yang masih sangat rendah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan rumah tangga di Provinsi Lampung, (2) menganalisis respon perubahan permintaan kuantitas dan kualitas buah-buahan akibat perubahan harga dan pendapatan di Provinsi Lampung. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik), yaitu data dari modul pengeluaran konsumsi dan kor rumah tangga hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) untuk Provinsi Lampung tahun 2013. Data tersebut merupakan data kerat lintang (cross section) dengan sampling unit rumah tangga. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan model AIDS (Almost Ideal Demand System) dan model persamaan tunggal dengan bentuk semilog.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel harga buah (baik harga sendiri maupun harga silang), pengeluaran, dan jumlah anggota rumahtangga terbukti berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan. Berdasarkan nilai elastisitas harga silang diketahui bahwa secara umum semua buah memiliki nilai elastisitas permintaan yang bervariasi, ada yang positif dan negatif baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Secara umum, nilai elastisitas pendapatan bernilai positif pada semua jenis buah yang dianalisis. Hal ini berarti peningkatan pada pendapatan akan menyebabkan terjadinya peningkatan pada permintaan buah-buahan baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Kata kunci: permintaan buah, Almost Ideal Demand System, SUR, elastisitas, kualitas, kuantitas


(5)

SUMMARY

RINI DESFARYANI. Quantity and Quality Demand of Fruits Households in Lampung Province. Supervised by SRI HARTOYO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Lampung Province is one of the largest producers of fruits.That big production level is a matter of support in terms availability of fruits. If associated with consumption levels, can be known that these available fruits are not utilized optimally by consumers. It can be seen from the level consumption of fruits that still low.

This study aim to: (1) analyze factors that affect the demand of fruits household at Lampung Province, (2) analyze the change response in quantity and quality demand of fruits due to changes in price and income at Lampung Province. Type of data used in this research is secondary data obtained from BPS (Central Bureau of Statistic), that is data from module consumption expenditure and kor household from SUSENAS result (Survei Sosial Ekonomi Nasional) for Lampung Province in 2013. This data was cross section with sampling household unit. The output data then analyze used AIDS (Almost Ideal Demand System) model, and single equation models with semilog form.

The result shows that the variable price of fruits (either own price nor cross price), expenditure, and family size shown affect the demands of fruits. Based on value of the cross price elasticity, known that generally all fruits have a variation of demand elasticity, there are positive or negative in terms of both quality and quantity. Generally the value of income elasticity is positive on all types of fruits that analyzed. This means the increase in income will affected an increase in the demand for fruits both in terms of quantity and quality.

Keywords: demand of fruits, Almost Ideal Demand System, SUR, elasticity, quality, quantity.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PERMINTAAN KUANTITAS DAN KUALITAS

BUAH-BUAHAN RUMAH TANGGA DI

PROVINSI LAMPUNG

RINI DESFARYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(8)

Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Harianto, M.S


(9)

(10)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat-Nya, tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul dalam penelitian ini adalah Permintaan Kuantitas dan Kualitas Buah-buahan Rumah Tangga di Provinsi Lampung. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dari tugas belajar pada Program Magister Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan motivasi terutama kaitannya dalam penyelesaian tesis ini .Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Harianto, M.S selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran terkait perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor atas segala ilmu yang diberikan selama proses perkuliahan dan Insya Allah ilmu yang telah diberikan akan menjadi bekal dan diamalkan oleh penulis. Terima kasih kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa, dukungan, dan motivasi yang tak henti-hentinya diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015


(11)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas (Rusono et al. 2013). Dapat diketahui bahwa pangan memiliki peran penting bagi setiap manusia terutama dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki daya saing.

Pertumbuhan pangan dengan segala permasalahannya mengalami perkembangan yang sangat cepat. Hal ini terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi antara lain karena adanya perkembangan penduduk yang sangat pesat dari sisi jumlah, pergeseran pola konsumsi masyarakat, ataupun karena persoalan semakin sempitnya ketersediaan lahan yang ada sebagai tempat berproduksi bahan-bahan pangan.

Ruang lingkup pangan mencakup sub sistem yang terkait dan saling tergantung satu sama lainnya, yang terdiri dari keamanan, ketahanan, dan keberlangsungan pangan. Semua subsistem hendaknya dapat berjalan beriringan demi tercapainya keadaan pangan yang stabil. Pemerintah diharapkan dapat mewujudkan suatu keadaan negara yang terjamin dari segi keamanan, ketahanan, dan keberlangsungan pangan.

Ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Menurut UU No. 7 tahun 1996, ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Peningkatan ketahanan pangan menjadi prioritas utama yang sangat perlu dan mendesak untuk segera dilaksanakan dalam pembangunan.

Ketahanan pangan mencakup tiga unsur pokok yang meliputi ketersediaan pangan, distribusi, dan konsumsi (Khudori, 2010). Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup masih belum dapat menjamin tercukupinya kebutuhan konsumsi pangan masyarakat. Pusat data dan sistem informasi pertanian (Pusdatin) tahun 2012 di dalam buku statistik konsumsi pangan 2012 menjelaskan bahwa konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan (baik bentuk asli maupun olahan) yang dikonsumsi oleh seseorang/penduduk dalam jangka waktu tertentu (maupun konsumsi normatif) untuk hidup sehat dan produktif. Pangan harus tersedia dan dapat dijangkau oleh masyarakat, serta pangan yang dikonsumsi dapat terjamin mutu gizinya. Ketiga unsur pokok tersebut harus benar-benar diperhatikan agar dapat tercipta suatu keadaan yang tahan pangan.

Jika dilihat dari aspek konsumsi, konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih didominasi oleh pangan sumber karbohidrat. Kuntjoro (1984) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa rata-rata proporsi anggaran belanja sumber karbohidrat terhadap jumlah pengeluaran bahan pangan penting masih sangat tinggi. Sejalan dengan hal tersebut, Timmer (2004) menjelaskan bahwa tipe rumah tangga masyarakat Indonesia mendapatkan lebih dari setengah energi dari makanan yang berasal dari beras, dan menghabiskan sekitar 10 persen dari pendapatannya untuk


(12)

konsumsi beras tersebut. Sedangkan rumah tangga miskin mengalokasikan 20-25 persen dari total pengeluarannya untuk beras. Data terbaru juga memperlihatkan bahwa konsumsi pangan masyarakat akan karbohidrat masih dalam jumlah yang cukup besar dibandingkan sumber pangan lain walaupun trennya sudah mengalami penurunan (Tabel 1).

Tabel 1 Persentase pengeluaran kelompok pangan terhadap total pengeluaran pangan tahun 2008-2013 di Indonesia

Kelompok Pangan 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Padi-padian 19.07 17.51 17.29 15.13 17.90 16.26

Umbi-umbian 1.05 1.00 0.95 1.02 0.86 0.88

Ikan 7.90 8.48 8.43 8.64 8.22 7.96

Daging 3.67 3.73 4.07 3.74 4.04 3.72

Telur dan susu 6.22 6.46 6.22 5.83 5.88 6.04

Sayur-sayuran 8.02 7.72 7.46 8.71 7.40 8.74

Kacang-kacangan 3.08 3.10 2.90 2.55 2.61 2.65

Buah-buahan 4.53 4.05 4.85 4.35 4.77 4.60

Minyak dan lemak 4.30 3.87 3.73 3.86 3.82 3.24

Bahan minuman 4.24 3.99 4.40 3.64 3.38 3.76

Bumbu-bumbuan 2.22 2.13 2.12 2.14 1.99 1.90

Konsumsi lainnya 2.76 2.63 2.50 2.17 2.15 2.05 Makanan dan minuman jadi 22.80 24.95 24.86 27.78 24.90 25.88 Tembakau dan sirih 10.13 10.38 10.21 10.44 12.07 12.32 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber : Badan Pusat Statistik tahun 2009-2013 (diolah)

Pada Tabel 1 diketahui bahwa perkembangan konsumsi pangan untuk kelompok padi-padian dan umbi-umbian tahun 2013 (17.14%) cenderung mengalami penurunan daripada tingkat konsumsi pada tahun 2008 (20.13%). Jika dilihat dari persentasenya terhadap pengeluaran pangan total, konsumsi untuk pangan sumber karbohidrat masih relatif cukup besar dibandingkan konsumsi pangan lain seperti sumber vitamin dan mineral yang terkandung di buah-buahan masih memiliki porsi yang kecil (4.60%). Pada dasarnya tidak hanya kebutuhan akan karbohidrat saja yang diperlukan. Konsumsi akan bahan pangan lain yang kaya akan vitamin dan mineral seperti buah-buahan menjadi sangat penting untuk dicukupi kebutuhannya.

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, pola pikir masyarakat dalam konsumsi pun ikut berkembang. Pola konsumsi masyarakat secara perlahan mengalami perubahan dengan meningkatkan konsumsi pangan yang bernilai tinggi dan mengurangi konsumsi pangan sumber karbohidrat seperti padi dan umbi-umbian. Senada dengan Indonesia, dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa di India pun diversifikasi makanan yang dikonsumsi mulai menjauh dari dominasi makanan sereal –– yang notabenenya merupakan sumber karbohidrat –– dan menuju ke komoditi makanan yang bernilai tinggi seperti daging dan buah-buahan (Kumar

et al. 2006; 2007 dalam Kumar et al. 2011).

Konsumsi buah-buahan di Indonesia pada dasarnya sudah meningkat sebesar 8,21 % dari sebelumnya 31,93 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi sebesar


(13)

34,55 kg/kapita/tahun pada tahun 2011. Namun angka tersebut masih jauh di bawah standar konsumsi yang direkomendasikan oleh FAO, yakni sebesar 73 kg/kapita/tahun (Hendriadi, 2013). Rendahnya konsumsi buah-buahan tersebut perlu diklarifikasi apakah karena masih rendahnya kesadaran konsumsi masyarakat atau karena masih rendahnya tingkat pendapatan masyarakat.

Jika dilihat dari sisi ketersediaan buah dalam negri, daerah produsen buah-buahan tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia. Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil buah-buahan yang cukup besar. Produksi beberapa komoditi buah-buahan di Provinsi Lampung ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Produksi beberapa komoditi buah-buahan di Provinsi Lampung tahun 2009-2013

No Buah Tahun (ton)

2009 2010 2011 2012 2013

1 Mangga 15 517 12 840 24 752 21 725 13 797

2 Jeruk 11 006 8 685 5 626 3 791 1 619

3 Durian 30 463 36 682 42 550 45 396 26 519 4 Pisang 681 875 677 781 687 761 817 606 678 492 5 Pepaya 53 354 50 959 123 341 103 312 97 579

6 Salak 5 409 7 364 7 228 6 264 2 178

Sumber: Badan Pusat Statistik tahun 2011, 2012, 2014

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa produksi buah-buahan di Provinsi Lampung cukup besar. Terutama pada komoditi buah pisang, Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah sentra produksi pisang terbesar di Indonesia, begitu pun untuk buah lain seperti pepaya dan durian. Tingkat produksi buah yang besar tersebut merupakan suatu hal yang menunjang dari segi ketersediaan buah. Jika dihubungkan dengan tingkat konsumsi, dapat diketahui bahwa buah yang tersedia ternyata tidak secara langsung menjamin bahwa masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan konsumsinya. Akses masyarakat juga menjadi penting untuk dilihat. Delisle (1990) dalam Ofwona (2013) menjelaskan bahwa pola konsumsi makanan yang bervariasi tergantung pada tingkat sosial ekonomi dan karakteristik rumah tangga. Penelitian tentang permintaan buah-buahan menjadi penting untuk dilakukan terkait upaya peningkatan konsumsi buah-buahan.

1.2 Masalah Penelitian

Buah merupakan salah satu komoditi pangan yang mengandung banyak vitamin serta mineral yang merupakan komponen gizi penting bagi tubuh setiap manusia. Selain itu, buah merupakan sumber serat yang sangat berguna bagi pencernaan makanan dalam tubuh manusia. Buah merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia guna menunjang kesehatan tubuh.

Jika dilihat dari aspek konsumsi, tingkat konsumsi buah-buahan di Provinsi Lampung masih cukup rendah. Hal ini dapat dilihat dari proporsi pengeluaran untuk kelompok buah-buahan yang masih rendah. Pada tahun 2013 share pengeluaran buah-buahan hanya sebesar 3,96% dari total pengeluaran pangan. Padahal dari sisi ketersediaan, Provinsi Lampung memiliki hasil produksi buah-buahan yang cukup


(14)

besar. Hal ini mengindikasikan bahwa pangan yang tersedia dalam hal ini adalah buah-buahan ternyata tidak langsung dapat diserap dengan baik oleh masyarakat.

Penelitian tentang permintaan sudah cukup banyak dilakukan, namun dalam lingkup yang besar dan tidak spesifik. Penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan hanya menganalisis tentang permintaan buah-buahan secara agregat (Kumar et al. 2011; Ofwona, 2013; Pusposari, 2012; Rachman, 2001; Dianarafah, 1999; Deaton, 1990). Kajian tentang permintaan buah dalam lingkup yang lebih spesifik juga perlu untuk dilakukan karena ada perbedaan selera konsumen dalam mengkonsumsi suatu komoditi buah dan buah lainnya.

Penelitian lain yang sudah dilakukan terhadap komoditi buah yang lebih spesifik sudah pernah dilakukan oleh Hartoyo (1997) di Jawa Barat dan Sriwijayanti

et al. (2004) di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa besaran elastisitas untuk komoditi buah-buahan yang dianalisis memiliki magnitude yang berbeda. Perbedaan hasil dimungkinkan terjadi karena perbedaan faktor-faktor sosiodemografi yang ada di kedua daerah penelitian. Pertanyaan yang muncul adalah faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan di Provinsi Lampung ?

Hal yang perlu diperhatikan adalah pertumbuhan permintaan buah-buahan bersifat dinamis dan dapat berubah antara lain karena unsur harga buah itu sendiri dan tingkat pendapatan. Harga buah dapat berubah sewaktu-waktu terkait dengan jumlah ketersediaannya. Perubahan harga tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada permintaan buah-buahan. Ditinjau dari tingkat pendapatan, tingkat pendapatan penduduk di Provinsi Lampung mengalami peningkatan setiap tahunnya (Tabel 3).

Tabel 3 Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan Provinsi Lampung Tahun

Rata-rata pengeluaran per

kapita sebulan (Rp) Tingkat perubahan (%)

2007 329 473 -

2008 334 055 1.39

2009 350 855 5.03

2010 411 603 17.31

2011 490 180 19.09

2012 517 710 5.62

2013 573 634 10.80

Sumber: Badan Pusat Statistik tahun 2008-2013

Tingkat pendapatan yang diproksi dari rata-rata tingkat pengeluaran menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada tingkat pendapatan per kapita pada tiap tahunnya. Seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat, akan berpengaruh terhadap pola pengeluaran dan konsumsi. Hartoyo (1997) dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa perubahan tingkat pendapatan sangat berpengaruh terhadap perubahan jumlah buah-buahan yang diminta.

Hal yang perlu diperhatikan adalah perubahan pada harga dan pendapatan tidak hanya menyebabkan perubahan konsumsi konsumen dari segi kuantitas, tetapi juga dari segi kualitas. Beberapa penelitian terdahulu hanya memfokuskan pada respon perubahan permintaan akibat perubahan harga dan pendapatan dari segi kuantitas (Hartoyo, 1997; Sriwijayanti et al. 2004). Seperti yang disebutkan oleh Yu dan Abler


(15)

(2009) dalam Ogundari (2012) bahwa rekomendasi kebijakan yang didasarkan atas analisis yang tidak melihat respon perubahan permintaan konsumen dari segi kualitas akibat perubahan pendapatan dapat menjadi subjek kesalahan yang signifikan dalam desain kebijakan dan proses perencanaan. Hal ini dikarenakan peningkatan permintaan mungkin tidak memberikan indikasi adanya peningkatan permintaan untuk kualitas. Jika hanya dari segi kuantitas, maka hanya akan tampak respon perubahan permintaan buah-buahan dari segi kuantitas namun tidak tampak perubahan pilihan konsumsi konsumen kaitannya dengan kualitas buah itu sendiri.

Kualitas buah yang dimaksud meliputi rasa, bentuk, warna, dan sebagainya. Kualitas suatu buah itu sendiri dicerminkan dari tingkat harga. Buah dengan kualitas rendah, maka harganya akan relatif lebih murah dibandingkan dengan yang kualitasnya lebih tinggi pada suatu komoditi buah tertentu. Pada masing-masing komoditi buah, dengan adanya peningkatan pada harga dan pendapatan dimungkinkan akan menyebabkan terjadinya pertukaran konsumsi oleh konsumen, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Konsumen akan mengubah pilihan konsumsinya dari buah yang kualitasnya rendah ke buah yang kualitasnya lebih tinggi. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana respon perubahan permintaan kuantitas dan kualitas buah-buahan akibat perubahan harga dan pendapatan di Provinsi Lampung? Respon perubahan permintaan akibat perubahan harga dan pendapatan masyarakat, baik dari kuantitas maupun kualitas perlu dikaji karena merupakan informasi penting bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan berkaitan dengan perbaikan konsumsi masyarakat.

Beberapa pertanyaan yang diajukan di atas merupakan permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Hal yang perlu ditekankan dalam penelitian ini adalah bahwa perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu (Kumar et al. 2011; Ofwona, 2013; Pusposari, 2012; Dianarafah, 1999; Deaton, 1990) terletak pada analisis yang dilakukan secara spesifik pada komoditas buah-buahan. Selain itu dalam penelitian ini juga memperhatikan unsur sosiodemografi untuk mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan di Provinsi Lampung. Penelitian ini diharapkan dapat menjembatani bagian dari kesenjangan dalam penelitian sebelumnya dengan tidak hanya menganalisis respon perubahan permintaan akibat perubahan harga dan pendapatan dari segi kuantitas, tetapi juga dari segi kualitas.

1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis faktor- faktor yang berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan rumah tangga di Provinsi Lampung.

2. Menganalisis respon perubahan permintaan kuantitas dan kualitas buah-buahan akibat perubahan harga dan pendapatan di Provinsi Lampung.


(16)

1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :

1. Pemerintah dan para pemangku kepentingan, sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam penentuan dan perumusan kebijakan terkait upaya peningkatan konsumsi buah-buahan.

2. Peneliti lain, sebagai informasi dan bahan referensi dalam melakukan penelitian lain yang sejenis.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan buah-buahan dan respon perubahan permintaan kuantitas dan kualitas buah-buah-buahan akibat perubahan harga dan pendapatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari modul pengeluaran konsumsi pangan untuk kelompok buah-buahan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) untuk Propinsi Lampung tahun 2013. Terdapat lima buah yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu buah jeruk, rambutan, duku, pisang, dan pepaya. Kelima buah dipilih dengan alasan buah-buah tersebut merupakan buah dengan tingkat konsumsi yang relatif tinggi di Provinsi Lampung. Harga buah dalam penelitian ini secara implisit diperoleh berdasarkan pembagian antara nilai pengeluaran buah dengan jumlah buah yang dikonsumsi pada masing-masing rumahtangga. Buah yang dikonsumsi oleh masing-masing-masing-masing rumahtangga tidak dibedakan berdasarkan macam buah tersebut, misalnya pada buah jeruk, tidak dibedakan apakah jeruk tersebut merupakan jeruk mandarin, jeruk medan, atau jeruk lainnya tetapi dianggap sebagai satu kesatuan buah yang sama, yaitu buah jeruk. Perbedaan pada harga pada satu jenis buah-buahan diasumsikan terjadi karena perbedaan kualitas buah tersebut bukan karena perbedaan wilayah ataupun faktor lainnya.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori-teori 2.1.1. Teori Permintaan

Permintaan menunjukkan jumlah barang yang bersedia dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga dan periode waktu tertentu. Pada kurva permintaan, akan dapat dilihat hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan tingkat harga barang tersebut, dengan faktor yang lain dianggap konstan sebesar tertentu. Besarnya jumlah barang yang diminta sangat tergantung pada harga barang tersebut. Semakin tinggi harga barang, maka jumlah barang yang diminta akan semakin kecil.

Teori permintaan didasarkan atas teori prilaku konsumen (consumer behavior), yang menunjukkan prilaku konsumen dalam mengkonsumsi barang. Konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasan dengan melakukan konsumsi dengan batasan anggaran yang dimiliki. Sebaliknya, konsumen yang berusaha untuk meminimumkan biaya, akan berusaha untuk mempertahankan kepuasannya. Dari hal


(17)

inilah akan didapatkan fungsi permintaan. Hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya disebut fungsi permintaan. Fungsi permintaan konsumen menunjukkan jumlah optimal dari setiap barang sebagai fungsi dari harga dan pendapatan yang dihadapi konsumen (Varian, 2006).

Terdapat dua macam fungsi permintaan, yaitu fungsi permintaan Marshallian dan fungsi permintaan Hicksian. Fungsi permintaan Marshallian diderivasi dari analisis maksimisasi utilitas. Fungsi permintaan Marshallian menunjukkan jumlah komoditi yang akan dibeli oleh konsumen sebagai fungsi dari harga komoditi dan pendapatannya (Henderson and Quandt, 1980). Beberapa ekonom sering menggunakan istilah yang berbeda untuk mengatakan fungsi permintaan Marshallian, seperti a consumer’s ordinary demand function (Henderson and Quandt, 1980), uncompensated demand function (Nicholson, 2008). Fungsi permintaan yang lainnya adalah fungsi permintaan Hicksian yang diderivasi dari minimisasi biaya. Fungsi permintaan Hicksian menunjukkan jumlah komoditi yang akan dibeli oleh konsumen sebagai fungsi dari harga komoditi pada kondisi utilitas tertentu. Fungsi permintaan Hicksian sering disebut juga dengan compensated demand function (Henderson and Quandt, 1980).

Secara matematis, fungsi permintaan Marshallian dan fungsi permintaan Hicksian dapat dituliskan sebagai berikut :

Xm = f (px, py, M) ... (2.1)

Xh = f (p

x, py, U) ... (2.2) Keterangan :

Xm dan Xh : jumlah barang X yang diminta Px : harga barang x

py : harga barang y

M : pendapatan U : utilitas

Dapat dilihat bahwa fungsi permintaan Marshallian merupakan fungsi dari harga dan pendapatan. Pada fungsi permintaan Marshallian, konsumen berusaha memaksimumkan utilitas dengan batasan berupa anggaran sebesar tertentu. Jadi pada fungsi permintaan Marshallian, utilitas akan berubah-ubah dan pendapatan nominal adalah tetap. Sedangkan pada fungsi permintaan Hicksian, tingkat utilitas sudah ditentukan, lalu dicari budget yang minimal. Jadi pada fungsi permintaan Hicksian, pendapatan rill tetap dan pendapatan nominal yang diubah. Fungsi permintaan Hicksian merupakan fungsi dari harga dan utilitas.

Deaton and Muellbauer (1980) menjelaskan ada beberapa karakteristik pada fungsi permintaan, yaitu adding up, homogeneity, symmetry, dan negativity.

1. Adding up

Karakteristik ini menjelaskan bahwa jika dijumlahkan seluruh share belanja suatu komoditi terhadap total belanja, maka hasilnya adalah sama dengan satu. Maksudnya adalah total nilai dari permintaan konsumen merupakan total pengeluaran konsumen.

Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

P1 X1 + P2 X2 = m ... (2.3) �


(18)

s1 + s2 = 1 ... (2.5) dimana :

P1 : harga X1

P2 : harga X2

X1 :jumlah barangX1

X2 : jumlah barangX2

s1 : share pengeluaran untuk X1

s2 : share pengeluaran untuk X2.

2. Homogeneity

Karakteristik ini menjelaskan bahwa fungsi permintaan merupakan

homogenous degree of zero untuk harga dan pendapatan, maksudnya adalah jika semua harga dan pendapatan naik dengan proporsi yang sama, maka permintaan tidak akan berubah. Pada fungsi permintaan Hicksian merupakan homogenous degree of zero hanya untuk harga pada fungsi permintaan Hicksian. Hal ini dimaksudkan jika semua harga naik dengan kelipatan yang sama, maka permintaan tidak akan berubah.

Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

hi(u, p) = hi (u,p) = gi( x, p) = gi (x, p) ; untuk > 0 ... (2.6) 3. Symmetry

Penurunan koefisien harga silang pada permintaan Hicksian adalah simetri, dimana untuk semua i ≠ j.

�ℎ �,

� =

�ℎ �, �

Simetri menunjukkan bahwa apabila pendapatan riil konstan, maka jika terjadi peningkatan pada harga komoditi ke-i, perubahan permintaan komoditi ke j akibat perubahan harga komoditi ke i akan sama pengaruhnya dengan perubahan permintaan komoditi ke i akibat perubahan harga komoditi ke j. Simetri merupakan jaminan dan pengujian dari kekonsistenan pilihan konsumen. Tanpa ini, akan memungkinkan konsumen membuat pilihan yang tidak konsisten.

4. Negativity

Karakteristik ini menunjukkan bahwa hubungan antara harga dan jumlah yang diminta adalah negatif.

� � <

Hal ini sesuai dengan hukum permintaan (law of demand). Apabila terjadi peningkatan pada harga suatu barang, maka permintaan terhadap barang tersebut akan mengalami penurunan. Negativity berasal dari concavity fungsi biaya, yang diperoleh dari fakta bahwa konsumen berusaha untuk meminimumkan biaya atau equivalen dengan memaksimumkan utilitas.

... (2.7)


(19)

2.1.2 Efek Substitusi dan Pendapatan

Ketika pendapatan berubah, maka hanya akan terlihat efek pendapatan. Jika pendapatan meningkat, maka garis anggaran akan bergeser ke atas sejajar dengan garis anggaran lama yang menyebabkan alokasi konsumsi konsumen pun berubah. Konsumen akan bergerak ke kurva indiferen yang lain pada tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Adanya peningkatan pendapatan menyebabkan konsumsi konsumen juga akan meningkat, sedangkan ketika harga suatu barang berubah, maka akan ada dua efek yang terjadi: tingkat pertukaran dari satu barang ke barang lain (substitution effect), dan perubahan total daya beli dari pendapatan (income effect) (Varian, 2006). Begitu pula menurut Pindyck and Rubinfeld (2007), yang menjelaskan jatuhnya harga barang akan menimbulkan dua efek, yaitu :

1. Konsumen akan cenderung membeli lebih banyak barang yang harganya menjadi lebih murah dan membeli lebih sedikit barang tersebut yang sekarang harganya relatif lebih mahal. Reaksi atas perubahan harga relatif barang ini disebut efek substitusi (substitution effect).

2. Karena salah satu barang sekarang menjadi lebih murah, konsumen menikmati kenaikan daya beli rill. Konsumen lebih untung karena dapat membeli jumlah barang yang sama dengan uang yang lebih sedikit, sehingga konsumen memiliki sisa uang untuk membeli barang tambahan. Perubahan permintaan akibat dari perubahan dalam daya beli riil ini disebut efek pendapatan (income effect).

Secara geometris, Nicholson (2008) menjelaskan bahwa perubahan pada harga barang akan mengubah slope kendala anggaran (budget constrain). Sebagai konsekuensi pergerakan ke pilihan yang memaksimumkan utilitas, tidak hanya menyebabkan konsumen pindah ke kurva indiferen yang lain, tetapi juga merubah MRS (marginal rate of substitution). Pada efek substitusi, ketika konsumen menginginkan untuk tetap mempertahankan utilitas dengan tetap berada pada kurva indiferen yang sama, pola konsumsi harus diubah sehingga dapat memiliki MRS yang sama pada rasio harga yang baru. Pada efek pendapatan, peningkatan karena perubahan harga menyebabkan pendapatan riil konsumen berubah. Konsumen tidak dapat tetap berada pada kurva indiferen yang sama dan harus bergerak ke kurva indiferen yang lain. Secara grafis, efek yang diakibatkan oleh perubahan harga barang dapat dilihat pada Gambar 1.


(20)

Sumber : Nicholson, 2008

Gambar 1. Efek substitusi dan pendapatan dari turunnya harga barang Ketika harga barang x jatuh, dari pxx ke pxx, maka pilihan konsumen untuk memaksimumkan utilitas akan bergeser dari x*, y* menjadi x**, y**. Pergerakan ini dapat dibedakan menjadi dua analisis efek yang berbeda: pertama, efek substitusi yang melibatkan pergerakan sepanjang kurva indiferen awal ke titik B, dimana MRS sama dengan rasio harga yang baru. Efek substitusi x∗xB (diasosiasikan dengan gerakan dari A ke B) mengubah harga relatif barang tetapi membuat pendapatan rill (kepuasan) konstan. Kedua, efek pendapatan, xBx∗∗(yang dihubungkan dengan gerakan B ke C) menjaga harga relatif konstan, tetapi meningkatkan daya beli. Efek pendapatan melibatkan pergerakan ke tingkat utilitas yang lebih tinggi karena pendapatan riil telah meningkat. Pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa baik efek substitusi maupun efek pendapatan menyebabkan lebih banyak barang x yang harus dibeli ketika harga turun. Pada Gambar 1 juga diketahui bahwa barang merupakan barang normal karena efek pendapatan yang bernilai positif. Perlu diperhatikan bahwa titik I/Py sama seperti sebelum terjadi perubahan harga. Hal ini disebabkan

tidak terjadi perubahan pada harga barang y, yaitu py.

A


(21)

2.1.3 Elastisitas Kuantitas dan Kualitas

Teori prilaku konsumen menjelaskan bahwa konsumen yang rasional akan memilih konsumsi barang yang dapat memberikan kepuasan yang lebih tinggi (Deaton and Muellbauer, 1980). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen akan berusaha untuk melakukan pilihan kualitas barang yang dibeli. Pilihan kualitas dengan sendirinya merefleksikan pengaruh harga sebagai respon konsumen terhadap perubahan harga dengan melakukan pertukaran baik dari segi kuantitas maupun kualitas (Deaton, 1988).

Perubahan pengeluaran untuk konsumsi komoditi sebagai respon dari perubahan pendapatan atau variabel penjelas lainnya dapat dibagi menjadi perubahan pada kuantitas dan perubahan pada kualitas (Deaton, 1988; Harianto, 1994). Secara sistematis dapat dituliskan sebagai berikut:

�� = ∙ � + ∙ � ... (2.9) dimana ∂Ei merupakan perubahan pengeluaran pada komoditi ke-i, Pi merupakan harga komoditi ke-i, dan Qi merupakan kuantitas komoditi ke-i yang dikonsumsi.

Jika pengeluaran pada suatu komoditi dinotasikan dengan E yang merupakan perkalian antara kuantitas yang dikonsumsi (Q) dan tingkat harga (P), maka elastisitas pengeluaran kaitannya dengan pendapatan (Y) didefinisikan sebagai:

=

����

... (2.10) dari persamaan (2.10) dapat dituliskan:

=

�� � ... (2.11) dengan

�� =

��+

��

maka persamaan (2.11) dapat diubah menjadi :

�� = � �� + ���

atau

=

��

+

��� ... (2.14) disederhanakan menjadi:

�� = � �+ � ... (2.15)

Dimana � merupakan elastisitas pengeluaran,� merupakan elastisitas kuantitas, dan � merupakan elastisitas kualitas. Persamaan (2.15) menunjukkan jumlah dari elastisitas kuantitas dan kualitas yang sama dengan elastisitas pengeluaran. Estimasi elastisitas pengeluaran dan kuantitas umumnya berbeda. George and King (1971) dalam Harianto (1994) memperkirakan bahwa umumnya elastisitas kualitas sehubungan dengan pendapatan adalah positif. Kelompok tingkat pendapatan yang lebih tinggi membayar lebih besar dibandingkan kelompok pendapatan rendah untuk jumlah yang sama.

... (2.12)


(22)

Sama seperti pendapatan, elastisitas kuantitas dan kualitas juga dapat diperoleh dari harga silang (cross-price). Efek dari perubahan pada harga barang y (harga silang) pada pengeluaran komoditi x, dengan variabel lain adalah konstan, dapat dituliskan: �� � = � � = � � + � �

dimana Py merupakan harga komoditi y ( harga silang).

Elastisitas harga silang dapat dirumuskan sebagai berikut:

� = �

atau:

� =�

Substitusi persamaan (2.18) dalam persamaan (2.16) maka diperoleh: ��

� = � +

� �

dengan mengalikan masing-masing ruas dengan

� maka diketahui:

��

� � = � +��

disederhanakan menjadi:

�� = �+ �

dimana �� adalah elastisitas pengeluaran terhadap harga silang, � � adalah elastisitas kuantitas dari harga silang, dan � adalah elastisitas kualitas dari harga silang. Elastisitas kualitas diperoleh dari selisih antara elastisitas pengeluaran dan elastisitas kuantitas sehubungan dengan harga silang (cross price).

Berdasarkan rumus di atas diketahui bahwa elastisitas kualitas dalam penelitian ini menunjukkan perubahan kualitas buah akibat perubahan baik itu pada pendapatan maupun pada harga silang. Perubahan kualitas itu sendiri dicerminkan dari perubahan harga pada suatu jenis buah. Pada dasarnya, perbedaan harga disebabkan karena perbedaan pada apa-apa yang melekat pada masing-masing jenis buah. Jika dibandingkan antara buah yang dijual di supermarket dan buah yang dijual di pasar, dimana buah yang dijual di supermarket memiliki packaging yang lebih bagus, tempat penjualannya bersih, pelayanannya bagus, dan sebagainya, sedangkan di pasar, packagingnya kurang bagus, tempat penjualan kotor, becek, dan kurang nyaman. Hal-hal tersebut yang menyebabkan terdapat perbedaan pada harga buah yang dijual di kedua tempat yang berbeda tersebut walaupun pada dasarnya buah yang diperjualbelikan adalah sama. Jadi, kualitas dilihat dari apa yang melekat pada buah tersebut, misalnya dari segi tempat dan pelayanan yang menyebabkan perbedaan pada harga. Perbedaan harga yang cukup besar mengindikasikan ... (2.16) ... (2.17) ... (2.18) ... (2.19) ... (2.21) ... (2.20)


(23)

perbedaan kualitas yang cukup besar pula, karena dalam hal ini, kualitas dicerminkan dari tingkat harga.

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang permintaan sudah cukup banyak dilakukan, diantaranya dilakukan oleh Nurfarma (2005) yang meneliti tentang dampak krisis ekonomi terhadap pola konsumsi dan permintaan pangan rumah tangga di Propinsi Sumatera Barat dengan menggunakan model LA-AIDS. Beliau memasukkan unsur sosial ekonomi yaitu jumlah anggota rumah tangga dan tingkat pendidikan dalam penelitiannya dan menunjukkan hasil yang signifikan. Respon permintaan pangan terhadap perubahan pendapatan lebih elastis dan polanya bervariasi antar kelompok pendapatan. Secara agregat, kelompok buah-buahan bersifat inelastis. Nilai elastisitas harga silang menunjukkan adanya hubungan yang komplementer dan substitusi antar kelompok pangan. Hartoyo (1997) menganalisis permintaan buah-buahan di Jawa Barat dengan menggunakan model AIDS (Almost Ideal Demand System). Hasil analisis menunjukkan bahwa elastisitas harga sendiri dari buah mempunyai nilai yang inelastis, yang berarti permintaan buah-buahan tersebut tidak responsif terhadap perubahan harga. Nilai elastisitas harga silang diketahui ada yang bernilai positif dan negatif yang berarti ada yang memiliki hubungan komplementer dan ada juga yang memiliki hubungan substitusi antar komoditi yang dianalisis.

Penelitian dengan menggunakan model AIDS sudah dilakukan oleh beberapa peneliti (Jabarin and Al-Karablieh, 2011; Kumar et al. 2011; Ozelik and Sahinli, 2009; Deaton, 1990). Jabarin and Al-Karablieh (2011) melakukan penelitian untuk mengestimasi elastisitas harga dan pendapatan dari 10 produk sayuran utama yang dikonsumsi di Jordan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa semua nilai elastisitas harga memiliki tanda yang negatif dan signifikan secara statistik. Berdasarkan elastisitas pengeluaran, tomat, mentimun, dan kentang merupakan barang pokok. Rata-rata budget share mengindikasikan konsumen menghabiskan 30 persen dari alokasi belanja sayuran mereka pada tomat dan kentang. Kumar et al.

(2011) mengestimasi elastisitas permintaan untuk komoditas makanan di India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa estimasi elastisitas pendapatan bervariasi diantara berbagai tingkat pendapatan dan elastisitas pendapatan terendah untuk kelompok sereal, dan tertinggi untuk produk hortikultura dan produk ternak. Analisis efek harga dan pendapatan berdasarkan estimasi sistem permintaan diketahui bahwa dengan kenaikan harga bahan pangan, permintaan untuk makanan pokok (beras, gandum, dan gula) tidak terpengaruh, tetapi komoditas pangan bernilai tinggi kemungkinan akan terkena dampak negatif.

Ozelik and Sahinli (2009) menggunakan model AIDS untuk mengestimasi elastisitas harga pada 12 kelompok komoditi di Turkey. Kelompok komoditi yang dianalisis yaitu makanan dan minuman non alkohol; minuman beralkohol, rokok, dan tembakau; pakaian; rumah dan sewa; perlengkapan dan perabotan rumah; kesehatan; tranportasi; komunikasi; hiburan dan budaya; jasa pendidikan; restoran dan hotel; berbagai barang dan jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas harga ditemukan sejalan dengan parameter estimasi dari AIDS. Elastisitas harga dengan model AIDS sesuai dengan teori ekonomi yang bernilai negatif. Untuk kelompok makanan dan minuman non alkohol; minuman beralkohol, rokok, dan tembakau; perlengkapan dan perabotan rumah; komunikasi; jasa pendidikan; restoran dan hotel,


(24)

serta berbagai barang dan jasa memiliki nilai elastisitas yang inelastis, yang berarti permintaan tidak elastis. Sedangkan untuk kelompok pakaian; rumah dan sewa; kesehatan; transportasi; hiburan dan budaya permintaannya adalah elastis.

Penelitian tentang respon perubahan harga dan pendapatan terhadap perubahan permintaan kuantitas dan kualitas pernah dilakukan oleh Harianto (1994) menggunakan bentuk semi-logarithmic single equation model. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara umum elastisitas kualitas terkait harga dan pendapatan memiliki nilai yang positif. Elastisitas kuantitas kaitannya dengan tingkat pendapatan adalah bernilai positif, sedangkan elastisitas kuantitas kaitannya dengan harga silang ada yang bernilai positif dan ada yang bernilai negatif. Ogundari (2012) menganalisis permintaan daging, ayam, dan ikan dari segi kualitas dan kuantitas. Analisis tentang elastisitas kuantitas dan kualitas hanya dikaitkan dengan tingkat pendapatan dengan menggunakan bentuk double-log single equation model. Hasil analisis menunjukkan untuk semua komoditi yang dianalisis memiliki nilai elastisitas kuantitas dan kualitas yang positif.

2.3 Kerangka Pemikiran

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Pemenuhannya menjadi sangat penting demi terwujudnya masyarakat yang memiliki daya saing. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat meliputi sisi ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Dalam hal ini, permasalahan pangan yang perlu mendapat perhatian adalah terkait tingkat konsumsi pangan non karbohidrat yang masih rendah, khususnya buah-buahan.

Konsumsi buah-buahan di Provinsi Lampung masih cukup rendah yang terlihat dari proporsi pengeluaran konsumsi untuk kelompok buah-buahan yang masih rendah. Pada tahun 2013 share pengeluaran buah-buahan terhadap total pengeluaran pangan hanya sebesar 3.96 persen yang bahkan masih di bawah rata-rata tingkat konsumsi nasional yaitu sebesar 4.60 persen terhadap total pengeluaran pangan. Padahal jika dilihat dari sisi ketersediaan, produksi buah-buahan di Lampung cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa pangan yang tersedia dalam hal ini adalah buah-buahan ternyata tidak secara langsung menjamin bahwa masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan konsumsinya.

Pada dasarnya Pemerintah memiliki peluang untuk dapat meningkatkan konsumsi buah karena jika dilihat dari tren konsumsi buah di Provinsi Lampung, menunjukkan tren yang positif dan juga ditunjang dari sisi ketersediaan buah-buahan yang cukup besar. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi permintaan buah-buahan, baik itu harga maupun pengeluaran. Perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat juga diduga berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan. Jika dilihat dari jumlah anggota rumah tangga, semakin banyak jumlah anggota rumah tangga menyebabkan semakin banyak jumlah buah yang harus dibeli oleh suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi buah-buahan rumah tangga, sehingga permintaan buahan rumah tangga tersebut akan lebih besar. Permintaan buah-buahan bersifat dinamis dan dapat berubah antara lain karena unsur harga dan tingkat pendapatan. Pada masing-masing komoditi buah, dengan adanya peningkatan pada harga dan pendapatan dimungkinkan akan menyebabkan terjadinya pertukaran konsumsi oleh konsumen, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas.


(25)

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan ekonometrika terkait faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan serta respon perubahan permintaan kuantitas dan kualitas buah-buah-buahan akibat perubahan harga dan pendapatan. Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat diambil kesimpulan yang pada akhirnya dapat memberi saran kebijakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah untuk menunjang peningkatan konsumsi buah-buahan di Provinsi Lampung. Alur kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Alur kerangka pemikiran 2.4 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Diduga faktor yang berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan adalah harga buah itu sendiri, harga buah lain, pengeluaran, dan jumlah anggota rumah tangga. 2. Peningkatan harga buah lain diduga akan menyebabkan terjadinya peningkatan

pada permintaan kuantitas dan kualitas buah. Begitu pun peningkatan pada pendapatan diduga akan menyebabkan terjadinya peningkatan pada permintaan kuantitas dan kualitas buah.

Permasalahan pangan Rendahnya konsumsi buah-buahan Peluang peningkatan konsumsi buah-buahan

Analisis ekonometrika

Faktor yang berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan:

1. Harga buah bersangkutan 2. Harga buah lain

3. Pengeluaran

4. Jumlah anggota rumahtangga

Perubahan permintaan kuantitas dan kualitas buah-buahan akibat

perubahan harga dan pendapatan

Kesimpulan

Saran kebijakan Analisis deskriptif


(26)

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik), yaitu data dari modul pengeluaran konsumsi dan kor rumah tangga hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) untuk Propinsi Lampung tahun 2013. Data tersebut merupakan data kerat lintang (cross section) dengan sampling unit rumah tangga. Data yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan data konsumsi pangan rumah tangga untuk kelompok pangan buah-buahan. Adapun buah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah buah jeruk, rambutan, duku, pisang, dan pepaya.

Data konsumsi pangan dalam SUSENAS diperoleh dengan metode recall

selama selang waktu satu minggu yang lalu. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa ada rumahtangga yang tidak mengkonsumsi jenis buah yang dianalisis pada waktu periode survei, yang disebut dengan pengamatan kosong. Rumahtangga tersebut harus tetap dimasukkan dalam analisis. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah pengamatan kosong tersebut, rumah tangga sampel dikelompokkan berdasarkan jumlah anggota rumahtangga dan tingkat pendapatan. Lalu kemudian dicari nilai konsumsi dan pengeluaran rata-rata dari tiap-tiap kelompok. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data kelompok tersebut.

Data lain yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah data kor yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang digunakan untuk mengetahui faktor sosiodemografi yang berpengaruh terhadap permintaan buah-buahan di Propinsi Lampung.

3.2 Metode Analisis

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan ekonometrika. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2013 dan SAS 9.1.3.

3.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan

Untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini digunakan metode analisis ekonometrika dengan menggunakan model AIDS (Almost Ideal Demand System). Model AIDS digunakan untuk mengestimasi parameter-parameter permintaan komoditi buah-buahan. Model AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Model AIDS dikembangkan oleh Deaton and Muellbauer (1980). Dari fungsi biaya dapat didefinisikan minimum pengeluaran yang diperlukan untuk mencapai tingkat utilitas yang spesifik pada tingkat harga tertentu. Adapun fungsi biaya AIDS adalah sebagai berikut :

log c(u,p)= 0 + ∑ ∝k log pk + ∑ ∑ kj* log pk log pj +


(27)

Fungsi permintaan dapat diturunkan secara langsung dari fungsi biaya tersebut, dimana turunan dari harga adalah kuantitas permintaan : ∂c (u,p) / ∂pj = q. Dengan mengalikan kedua sisi dengan pi / c(u,p), maka diperoleh :

� � � �,

� � = � �, =

dengan wi merupakan pangsa anggaran komoditi ke i. Dengan demikian, diferensiasi

logaritma dari persamaan (3.2) memberikan share anggaran sebagai fungsi dari harga dan utilitas :

wi = i + ij log pj+ i log (x/p) ... (3.3) dengan

ij = ( ij* + ji*) ... (3.4) Untuk memaksimumkan utilitas konsumen, total pengeluaran x sama dengan c (u,p) dan persamaan ini dapat dibalik untuk memberikan persamaan u sebagai fungsi dari p dan x, fungsi utilitas tidak langsung. Dari persamaan (3.1) dan (3.3) maka dapat diperoleh fungsi permintaan AIDS sebagai berikut :

= ∝ + ∑ � + � ... (3.5) Agar fungsi permintaan yang diduga dapat konsisten dengan teori permintaan, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu aditif, kehomogenan, dan simetri (Sitepu dan Sinaga, 2006). Beberapa syarat tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: Aditif : ∑ ∝ = , ∑ = , ∑ = ... (3.6) Homogen :∑ = ... (3.7) Simetri : = ... (3.8) Model AIDS yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

= ∗ + ∑ � +

∗ + � + �

Keterangan :

i, j = 1,2,3,4,5 yang masing-masing menunjukkan kelompok komoditas buah wi = proporsi pengeluaran buah ke-i ( = / )

, , = parameter regresi pj = harga buah ke-j (Rp)

x = total pengeluaran buah-buahan (Rp) P* = indeks harga Stone

x1 = Jumlah anggota rumah tangga (orang)

Pendugaan parameter dilakukan dengan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression). Adapun buah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah buah jeruk, rambutan, duku, pisang, dan pepaya. Kelima buah tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa konsumsi kelima buah tersebut cukup besar di Provinsi Lampung.

... (3.2)


(28)

3.2.2 Respon Perubahan Permintaan Kuantitas Akibat Perubahan Harga dan Pendapatan

Untuk menentukan elastisitas, baik elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, maupun elastisitas pengeluaran dalam penelitian ini diperoleh dari penurunan model permintaan AIDS.

Penurunan rumus elastisitas dapat dituliskan sebagai berikut: 1. Elastisitas pengeluaran

Diketahui bahwa : = � Sehingga diperoleh:

= �

Dapat diubah menjadi:

ln qi = ln wi + ln X – ln pi

∂ ln qi = ∂ ln wi+ ∂ ln X - ∂ ln pi

Dengan menurunkan persamaan (3.13) terhadap X maka: �

� � = �

� � + � � � � −

� � � = � ⁄� ln � +

= � � ln � + = � ln �� +

Berdasarkan persamaan (3.9) diketahui �

� � =

Maka persamaan (3.17) dapat diubah menjadi: � ln

� ln � = +

� = +

... (3.10)

... (3.11)

... (3.12) ... (3.13)

... (3.14) ... (3.15) ... (3.16)

... (3.17)

... (3.18)

... (3.19) ... (3.20)


(29)

2. Elastisitas harga sendiri

Dengan menurunkan persamaan (3.13) terhadap pi maka diperoleh:

� ln � ln =

� ln + � ln � � ln −

� ln � ln = � ⁄� ln

= � ln� −

Berdasarkan persamaan (3.9) diketahui : �

� =

Maka persamaan (3.23) dapat diubah menjadi: � ln

� ln = −

� = −

3. Elastisitas harga silang

Sama halnya seperti penurunan pada elastisitas harga sendiri di atas, dengan menurunkan persamaan (3.13) terhadap pj maka diperoleh:

� ln � ln =

� ln + � ln � � ln −

� ln � ln = � ⁄� ln

= � ln

Berdasarkan persamaan (3.9) diketahui: �

� ln =

Maka persamaan (3.29) dapat diubah menjadi: � ln

� ln =

� =

Elastisitas harga biasanya merupakan bilangan yang bernilai negatif. Jika harga suatu barang naik, maka jumlah permintaan akan turun (Pindyck and Rubinfeld, 2007). Elastisitas harga merupakan negatif jika kurva permintaan yang bersesuaian

... (3.21) ... (3.22) ... (3.23) ... (3.24) ... (3.25) ... (3.26) ... (3.27) ... (3.28) ... (3.29) ... (3.30) ... (3.31) ... (3.32)


(30)

adalah downward sloping (Henderson and Quandt, 1980). Nilai elastisitas yang besar menunjukkan bahwa jumlah barang yang diminta adalah sangat responsif terhadap perubahan harga. Permintaan dikatakan elastis jika persentase perubahan pada jumlah yang diminta lebih besar daripada persentase perubahan pada harga barang tersebut, yaitu nilai elastisitas lebih besar dari 1 (satu). Permintaan merupakan elastis unit jika persentase perubahan jumlah yang diminta adalah sama dengan persentase perubahan pada harga, dimana elastisitas harga adalah sama dengan 1 (satu). Sedangkan jika persentase perubahan jumlah yang diminta lebih kecil daripada persentase perubahan harga barang tersebut, yaitu elastisitas bernilai kurang dari 1 (satu), maka permintaan adalah tidak elastis (Binger and Hoffman, 1988).

Pada umumnya elastisitas harga untuk suatu barang tergantung dari ada atau tidaknya barang lain yang dapat menggantikannya (Pindyck and Rubinfeld, 2007). Apabila ada barang substitusi lain yang sepadan, kenaikan harga akan menyebabkan konsumen mengurangi pembelian barang itu dan menggantinya dengan barang lain. Dengan demikian permintaan menjadi sangat elastis terhadap harga. Jika tidak ada barang substitusi yang sesuai, maka permintaan cenderung akan tidak elastis.

Elastisitas silang bisa bernilai positif atau negatif. Nilai tersebut yang menentukan hubungan antara kedua barang apakah komplementer, substitusi, ataukah netral.

1. Jika nilai elastisitas silang adalah kurang dari 0 (nol), eij < 0, maka hubungan

kedua barang adalah komplementer. Apabila terjadi peningkatan pada harga suatu barang, misalnya harga barang x1, maka akan menyebabkan

permintaan terhadap barang lainnya (x2) mengalami penurunan. Begitu pula

sebaliknya.

2. Jika nilai elastisitas lebih besar dari 0 (nol), eij > 0 maka hubungan kedua

barang adalah substitusi atau saling menggantikan. Apabila terjadi peningkatan pada harga suatu barang, misalnya harga barang x1, maka akan

menyebabkan permintaan terhadap barang lainnya (x2) mengalami

peningkatan. Begitu pula sebaliknya.

3. Jika nilai elastisitas sama dengan 0 (nol), eij = 0, berarti kedua barang tidak

mempunyai hubungan kegunaan (netral). Apabila terjadi peningkatan pada harga suatu barang, misalnya harga barang x1, maka tidak akan berpengaruh

terhadap permintaan barang lainnya (x2).

Pada persamaan (3.20) di atas masih merupakan elastisitas terhadap total pengeluaran buah-buahan itu sendiri. Elastisitas pendapatan diperoleh dengan meregresikan total pengeluaran buah-buahan dengan total pendapatan rumahtangga. Data pendapatan diperoleh dari proksi terhadap nilai pengeluaran rumah tangga. Model regresi yang digunakan dalam analisis ini adalah model double log, yaitu sebagai berikut :

ln X = a + b ln Y ... (3.33) Keterangan:

X : pengeluaran buah total


(31)

Nilai elastisitas pendapatan diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

t = b x i ... (3.34) Keterangan :

t : elastisitas pendapatan

b : koefisien regresi

i : elastisitas pengeluaran terhadap total pengeluaran buah-buahan.

Berdasarkan nilai elastisitas pendapatan, maka barang tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu barang normal, inferior, dan barang mewah.

1. Jika nilai elastisitas pendapatan lebih besar dari 1 (satu), t > 1, maka

merupakan barang mewah.

2. Jika nilai elastisitas pendapatan lebih besar dari 0 (nol) tetapi lebih kecil dari 1 (satu), 0 < t < 1, maka merupakan barang normal.

3. Jika nilai elastisitas pendapatan lebih kecil dari 0 (nol), t < 0, maka

merupakan barang inferior.

3.2.3 Respon Perubahan Permintaan Kualitas Akibat Perubahan Harga dan Pendapatan

Respon perubahan permintaan kualitas dilihat dari nilai elastisitas kualitas. Elastisitas kualitas yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi elastisitas kualitas sehubungan dengan pendapatan dan harga silang. Elastisitas kualitas dapat dirumuskan sebagai perbedaan antara elastisitas pengeluaran dan elastisitas kuantitas (Harianto, 1994). Secara matematis:

� = ��− � �

... (3.35)

Persamaan pengeluaran dan kuantitas dapat dirumuskan sebagai fungsi dari harga sendiri, harga buah lain, dan pendapatan. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

ei = f (pi, pc, Y) ... (3.36)

qi = f (pi, pc, Y) ... (3.37) Berdasarkan fungsi ini, maka model yang digunakan dapat dituliskan sebagai berikut:

� = ∝ + ∝ + ∝ � + ∝ lnY + ∝ + � ... (3.38)

= ∝ + ∝ + ∝ �+ ∝ lnY + ∝ + � ... (3.39)

Keterangan:

ei = pengeluaran pada buah ke-i per minggu (Rp)

qi = kuantitas buah ke-i yang dikonsumsi per minggu (kg)

Y = pendapatan rumah tangga per kapita per minggu (Rp) pi = harga buah i (Rp)

pc = harga buah lain (harga silang) (Rp)


(32)

Seperti yang sudah disebutkan bahwa elastisitas kualitas merupakan selisih antara nilai elastisitas pengeluaran dan elastisitas kuantitas. Berdasarkan model persamaan yang telah dibuat pada persamaan (3.39) maka rumus elastisitas kualitas kaitannya dengan pendapatan dalam penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut:

= ∝ − ∝ ... (3.40) Sedangkan rumus elastisitas kualitas kaitannya dengan harga silang adalah sebagai berikut:

= ∝ − ∝ ... (3.41) Keterangan:

� = elastisitas kualitas

α = koefisien regresi

ei = pengeluaran pada buah ke-i per minggu (Rp)

qi = kuantitas buah ke-i yang dikonsumsi per minggu (kg)

Elastisitas kualitas berkaitan dengan pendapatan yang bernilai positif menunjukkan bahwa peningkatan pada tingkat pendapatan akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan dari segi kualitas. Sebaliknya, elastisitas kualitas yang bernilai negatif menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan akan menyebabkan terjadinya penurunan permintaan dari segi kualitas. Elastisitas kualitas berkaitan dengan harga silang yang bernilai positif menunjukkan bahwa peningkatan pada harga buah lain menyebabkan permintaan untuk buah tersebut akan meningkat dari segi kualitas. Sebaliknya, elastisitas kualitas berkaitan dengan harga silang yang bernilai negatif menunjukkan peningkatan pada harga buah lain menyebabkan terjadinya penurunan pada permintaan buah tersebut dari segi kualitas.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Pengeluaran Rumah Tangga di Provinsi Lampung

Secara garis besar pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk konsumsi pangan dan non pangan. Pengeluaran pangan meliputi pengeluaran untuk kelompok padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, dan makanan lainnya. Sedangkan pengeluaran non pangan antara lain meliputi pendidikan, kesehatan, dan rekreasi. Pengeluaran untuk pangan dan bukan pangan pada dasarnya saling berkaitan. Dalam kondisi pendapatan terbatas, pemenuhan kebutuhan pangan akan didahulukan sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi pangan (BPS, 2013).

Jika dilihat dari pangsa pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga tahun 2013, diketahui bahwa pengeluaran rumah tangga di Provinsi Lampung masih didominasi oleh pengeluaran pangan, yaitu sebesar 54.81 persen. Pola sama yang secara umum terjadi pada rumah tangga di Indonesia. Hal


(33)

ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga dihabiskan untuk pengeluaran pangan.

Jika dilihat dari beberapa tahun, persentase rata-rata pengeluaran konsumsi pangan cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 persentase pengeluaran rata-rata untuk konsumsi pangan sebesar 49.99 persen dan pada tahun 2008 meningkat menjadi sebesar 51.89 persen. Angka persentase ini cenderung terus meningkat hingga mencapai 54.81 persen pada tahun 2013. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Pengeluaran Rata-rata per kapita sebulan untuk pangan dan non pangan di Provinsi Lampung tahun 2007-2013

Tahun Kelompok

Pangan Bukan Pangan

2007 49.66 50.34

2008 51.89 48.11

2009 52.20 47.80

2010 53.42 46.58

2011 53.35 46.65

2012 54.83 45.17

2013 54.81 45.19

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)

Apabila pangsa pengeluaran pangan dijadikan sebagai indikator kesejahteraan rumah tangga, berarti dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan rumahtangga di Provinsi Lampung masih rendah daripada tingkat kesejahteraan rata-rata rumahtangga di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata-rata-rata pengeluaran pangan rumahtangga di Provinsi Lampung yang masih lebih besar dibandingkan persentase pengeluaran pangan di Indonesia, dimana diketahui bahwa dari data BPS (2013) menyebutkan bahwa rata-rata rumahtangga di Indonesia mengalokasikan sebesar 50.61 persen dari pendapatannya untuk kebutuhan pangan.

Pada kondisi terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan cenderung membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil (Soekirman, 2000) dalam Mauludyani et al. (2008). Hal ini berbeda dengan keadaan yang ada di Provinsi Lampung, peningkatan pendapatan setiap tahunnya ternyata tidak dibarengi dengan penurunan pada pengeluaran pangan, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Pengeluaran pangan cenderung meningkat dari kurun waktu 2007-2013.

Apabila dilihat lebih detail pada pengeluaran kelompok pangan maka dapat diketahui bahwa pengeluaran untuk konsumsi pangan didominasi oleh pengeluaran pada jenis komoditi padi-padian dan umbi-umbian, yang notabene-nya merupakan pangan sumber karbohidrat. Secara rinci persentase pengeluaran jenis komoditi pangan terhadap total pengeluaran pangan di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 5.


(34)

Tabel 5. Persentase pengeluaran kelompok pangan terhadap total pengeluaran pangan Provinsi Lampung tahun 2013

Kelompok Komoditi Persentase (%)

- Padi-padian 20.04

- Umbi-umbian 0.57

- Ikan 6.55

- Daging 2.69

- Telur dan susu 5.87

- Sayur-sayuran 12.29

- Kacang-kacangan 3.50

- Buah-buahan 3.96

- Minyak dan lemak 3.96

- Bahan minuman 4.75

- Bumbu-bumbuan 2.10

- Konsumsi lainnya 2.04

- Makanan dan minuman jadi 17.47

- Tembakau dan sirih 14.22

Jumlah 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)

Pada Tabel 5 diketahui bahwa pengeluaran pangan untuk padi-padian dan umbi-umbian masih sangat tinggi dibandingkan pengeluaran untuk masing-masing jenis komoditi pangan lainnya. Seperti halnya keadaan yang terjadi pada rumah tangga di Indonesia pada umumnya, keadaan yang sama juga terjadi di Provinsi Lampung. Sebagian besar pengeluaran pangan dialokasikan untuk membeli pangan sumber karbohidrat (20.61 persen).

Pada dasarnya bukan hanya kebutuhan akan karbohidrat saja yang perlu dicukupi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan pangan lain seperti sumber protein, vitamin, dan mineral juga perlu untuk diperhatikan, terutama untuk pangan sumber vitamin dan mineral seperti buah-buahan yang kerap dilupakan terkait pemenuhannya. Dapat dilihat dari persentase pengeluaran komoditi buah terhadap total pengeluaran pangan yang masih relatif kecil (3.96 persen). Jika dihubungkan dengan tingkat pendapatan, keadaan tersebut juga dimungkinkan terjadi karena masih rendahnya tingkat pendapatan rata-rata di Provinsi Lampung. Keterbatasan pendapatan tersebut yang menyebabkan unit rumah tangga lebih mendahulukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan pokok lainnya, seperti sumber karbohidrat sebagai sumber energi untuk melakukan berbagai kegiatan, dan juga pangan lainnya seperti ikan, sayuran, minyak, dan sebagainya, sehingga buah-buahan menjadi komoditi yang kurang diperhatikan pemenuhan kebutuhan konsumsinya.

Secara umum, konsumsi buah rumahtangga di Provinsi Lampung berbeda pada tiap tingkat pendapatan. Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen memiliki kecendrungan konsumsi buah yang berbeda dengan konsumsi buah konsumen pada kelompok pendapatan lainnya. Pada Tabel 6 disajikan secara rinci pangsa pengeluaran buah-buahan yang dianalisis terhadap total pengeluaran buah rumahtangga pada berbagai tingkat pendapatan.


(35)

Tabel 6. Pangsa pengeluaran buah-buahan terhadap total pengeluaran buah rumah tangga pada tiap golongan pendapatan di Provinsi Lampung tahun 2013

Jenis buah Golongan Pendapatan

Bawah Menengah Atas

Jeruk 0.084 0.198 0.245

Rambutan 0.313 0.203 0.080

Duku 0.136 0.152 0.158

Pisang 0.271 0.163 0.116

Pepaya 0.019 0.022 0.024

Apel 0.028 0.098 0.131

Durian 0.031 0.013 0.036

Salak 0.022 0.047 0.038

Jambu 0.012 0.013 0.014

Semangka 0.009 0.019 0.017

Lain-lain 0.075 0.072 0.141

Total 1.000 1.000 1.000

Sumber: Hasil olahan (2015)

Dapat dilihat bahwa pada tingkat pendapatan bawah dan menengah, buah rambutan memiliki pangsa pengeluaran buah terbesar, yaitu berturut-turut sebesar 31.30 persen dan 20.30 persen terhadap pengeluaran buah total. Hal ini dapat dimaklumi dilihat dari harga buah rambutan yang relatif murah dibanding buah lainnya. Dalam kondisi pendapatan yang terbatas, rumahtangga golongan pendapatan bawah cenderung akan memilih konsumsi buah dengan harga yang relatif murah agar kebutuhan konsumsinya akan buah tetap dapat terpenuhi.

Pada golongan pendapatan atas diketahui pangsa pengeluaran buah terbesar ada pada buah jeruk dengan pangsa pengeluaran sebesar 24.54 persen terhadap total pengeluaran buah. Hal yang sama juga ditemui oleh Sriwijayanti et al. (2004) dalam penelitiannya, dimana diketahui pangsa pengeluaran buah terbesar pada golongan pendapatan atas terdapat pada buah jeruk. Pada golongan pendapatan atas, pangsa pengeluaran buah terbesar ada pada buah dengan harga yang relatif tinggi, yaitu buah jeruk, disusul kemudian duku, dan durian. Dapat dipahami bahwasanya rumahtangga golongan pendapatan atas cenderung mengkonsumsi buah tersebut karena tingginya harga buah menyebabkan buah-buah tersebut memiliki nilai prestise yang lebih tinggi dibanding buah lain.

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa semakin tinggi pendapatan, maka pangsa pengeluaran yang digunakan untuk mengkonsumsi buah rambutan dan pisang akan semakin menurun. Sebaliknya, pangsa pengeluaran yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi buah jeruk, duku, pepaya, dan apel, akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya pendapatan. Rumahtangga pada tingkat pendapatan bawah cenderung mengkonsumsi jenis buah-buahan yang harganya relatif rendah yang kemudian seiring dengan peningkatan pendapatan, konsumsinya akan cenderung menurun. Sebaliknya, pada buah yang harganya relatif tinggi, konsumsinya cenderung meningkat seiring dengan peningkatan pada pendapatan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hartoyo (1997) dimana dengan meningkatnya pendapatan


(36)

maka diduga akan menyebabkan terjadinya perubahan selera konsumen, yaitu dari selera buah-buahan yang lebih murah ke buah-buahan yang lebih mahal.

4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Buah-buahan

Pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan akan suatu komoditi. Dalam penelitian ini faktor yang dilihat adalah harga buah itu sendiri, harga buah lain, pengeluaran, serta jumlah anggota rumah tangga. Pendugaan model permintaan buah-buahan dilakukan dengan menggunakan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression) yang terdiri dari lima persamaan pangsa pengeluaran buah-buahan, yaitu buah jeruk, rambutan, duku, pisang, dan pepaya. Pangsa pengeluaran yang dimaksud menunjukkan persentase pengeluaran jenis komoditi buah terhadap total pengeluaran buah. Adapun dugaan parameter untuk masing-masing jenis buah dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Dugaan parameter masing-masing jenis buah

Jenis Buah Harga Penge-luaran Jumlah anggota rumah tangga Jeruk

Ram-butan

Duku Pisang Pepaya Lainnya

Jeruk 0.0221 -0.0717 *

0.0031 0.0130 0.0278 *

0.0057 0.1022 ***

-0.1261 *** Rambutan -0.0717

*

0.0035 0.0155 0.0682 0.0019 -0.0174 -0.1699 ***

0.1609 *** Duku 0.0031 0.0155 0.0762 -0.0529 0.0370

* -0.0789 ** 0.1256 *** -0.0505 Pisang 0.0130 0.0682 -0.0529 0.0132 -0.0529

***

0.0114 -0.0937 **

0.0419 Pepaya 0.0278

*

0.0019 0.0370 *

-0.0529 ***

-0.0208 *

0.0070 -0.0024 0.0038 Lain-lain 0.0057 -0.0174 -0.0789 0.0114 0.0070 0.0721 0.0381 -0.1261

Sumber: Hasil olahan (2015) Keterangan:

*** : 1 % ** : 5 % * : 10%

Dalam pendugaan model fungsi permintaan, dilakukan pembatasan-pembatasan agar hasil yang diperoleh benar-benar mencerminkan dan sesuai dengan teori permintaan. Adapun pembatasan yang dilakukan adalah terkait syarat adding up, simetry, dan homogeneity dalam fungsi permintaan. Berdasarkan hasil estimasi, diketahui bahwa koefisien parameter telah memenuhi syarat-syarat dari adding up, simetry, dan homogeneity. Hal ini dapat diketahui dengan menjumlahkan parameter intercep antar persamaan yang sama dengan satu, dan penjumlahan koefisien parameter antar persamaan sama dengan nol, serta koefisien estimasi antar persamaan adalah simetri.

Jika dibandingkan dengan hasil koefisien parameter dengan tanpa restriksi, diketahui bahwa koefisien parameter yang diperoleh tidak memenuhi syarat-syarat dalam fungsi permintaan, yaitu adding up, simetry, dan homogeneity (Lampiran 2). Hal ini berarti koefisien parameter yang dihasilkan tidak sesuai dengan teori permintaan. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan hasil estimasi dengan restriksi sesuai dengan syarat-syarat dalam teori fungsi permintaan.


(37)

Secara umum diketahui bahwa permintaan buah dipengaruhi oleh harga, baik itu harga buah sendiri, harga buah silang, pengeluaran, dan jumlah anggota rumahtangga. Dari hasil estimasi pada Tabel 7 diketahui bahwa terdapat 16 koefisien dugaan parameter atau sebesar 33.33 persen yang nyata pada taraf nyata 10 persen. Semua koefisien dugaan parameter memiliki tanda yang sesuai dengan harapan kecuali pada koefisien dugaan parameter harga buah sendiri pada buah pepaya yang memiliki tanda negatif. Hal ini dapat dijelaskan dimana saat terjadi peningkatan pada harga pepaya, maka penurunan jumlah buah pepaya yang diminta lebih besar dibandingkan peningkatan harganya sehingga pangsa pengeluaran pepaya pun akan semakin kecil.

4.3 Respon Perubahan Permintaan Kuantitas Akibat Perubahan Harga dan Pendapatan

Nilai elastisitas dapat digunakan untuk melihat respon perubahan permintaan, baik akibat perubahan harga maupun akibat perubahan pendapatan. Untuk melihat respon perubahan permintaan akibat perubahan harga dapat dilihat dari nilai elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. Nilai elastisitas diperoleh dengan menggunakan rumus pada persamaan (3.26) dan (3.32). Adapun hasil perhitungan elastisitas secara rinci ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai elastisitas harga sendiri dan harga silang pada masing-masing jenis buah

Jenis buah Harga

Jeruk Rambutan Duku Pisang Pepaya Lainnya Jeruk -0.787 -0.693 0.030 0.126 0.268 0.055 Rambutan -0.250 -0.988 0.054 0.238 0.007 -0.061 Duku 0.022 0.109 -0.465 -0.372 0.260 -0.554 Pisang 0.052 0.274 -0.213 -0.947 -0.213 0.046 Pepaya 1.434 0.100 1.911 -2.732 -2.076 0.362 Lain-lain 0.029 -0.087 -0.396 0.057 0.035 -0.638 Sumber: Hasil olahan (2015)

Berdasarkan Tabel 8 di atas, diketahui bahwa nilai elastisitas harga sendiri untuk semua buah-buahan memiliki tanda yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan harga buah yang bersangkutan, maka jumlah buah tersebut yang diminta akan turun. Dari hasil analisis terhadap semua jenis buah-buahan diketahui bahwa hampir semua buah yang dianalisis memiliki nilai elastisitas permintaan yang inelastis. Buah jeruk, rambutan, duku, pisang, dan buah lain inelastis terhadap perubahan harga sendiri, dapat dilihat dari nilai elastisitasnya berturut-turut yaitu sebesar -0.787, -0.988, -0.465, -0.947, dan -0.638. Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu (Hartoyo, 1997; Sriwijayanti, 2004) yang menyebutkan bahwa perubahan harga sendiri tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan jumlah buah-buahan yang diminta. Wardani (2007) juga menemukan hal yang sama, dimana pada buah jeruk dan pisang relatif inelastis terhadap perubahan harganya sendiri. Permintaan untuk buah-buahan cenderung inelastis karena buah termasuk komoditi yang dibutuhkan, terkait kandungan vitamin


(38)

yang terkandung di dalamnya. Semakin penting suatu komoditi, permintaannya akan cenderung inelastis. Oleh karena itu, peningkatan atau penurunan harga sendiri pada buah tidak akan terlalu berpengaruh terhadap jumlah buah yang diminta.

Dari semua buah yang dianalisis, terdapat satu buah yang sensitif terhadap perubahan harga, yaitu buah pepaya dengan nilai elastisitas harga sendiri sebesar -2.076. Peningkatan pada harga buah pepaya sebesar 10 persen, akan menyebabkan jumlah buah pepaya yang diminta turun sebesar 20.76 persen. Hal ini diduga terjadi karena karakteristik buah pepaya yang ketersediaannya selalu ada sepanjang tahun dengan harga yang relatif murah. Oleh karena itu jika terjadi peningkatan pada harga buah pepaya, akan menyebabkan konsumen cenderung berpindah konsumsinya dari buah pepaya ke buah lain dengan kandungan vitamin yang relatif sama seperti yang ada dalam buah pepaya.

Jika dilihat dari tanda elastisitas harga silang, diketahui bahwa terdapat nilai elastisitas yang bertanda positif dan negatif pada masing-masing jenis buah yang dianalisis. Nilai elastisitas silang yang bernilai negatif menunjukkan bahwa hubungan kedua buah adalah komplementer, sedangkan nilai yang positif menunjukkan bahwa hubungan kedua buah adalah substitusi. Jika dilihat dari besaran nilai elastisitas harga silang diketahui bahwa sebagian besar buah memiliki nilai elastisitas silang yang kurang dari satu, yang menunjukkan bahwa buah-buah tersebut relatif tidak responsif terhadap perubahan harga buah lain.

Pada buah jeruk, elastisitas harga silangnya terhadap harga rambutan bernilai negatif (-0.693) yang menunjukkan bahwa hubungan kedua buah tersebut adalah bersifat komplementer sedangkan elastisitas jeruk terhadap harga duku bernilai positif (0.030) yang menunjukkan hubungan kedua buah tersebut adalah bersifat substitusi. Jika harga buah duku meningkat sebesar 10 persen, maka jumlah jeruk yang diminta akan meningkat sebesar 3 persen. Begitu pula nilai elastisitas jeruk terhadap harga pisang, pepaya, dan buah lain memiliki nilai yang positif, namun kurang dari 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pada harga buah-buah tersebut, maka jumlah buah jeruk yang diminta juga akan meningkat, namun dengan peningkatan yang lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan pada harga buah-buah tersebut. Dapat dilihat dari besaran elastisitas harga silang, diketahui bahwa jumlah buah jeruk yang diminta relatif kurang responsif terhadap perubahan pada harga buah-buah lainnya yang ditunjukkan dengan nilai elastisitasnya yang kurang dari satu.

Buah rambutan memiliki nilai elastisitas harga silang yang negatif terhadap harga buah jeruk dan buah lain dengan nilai elastisitas masing-masing yaitu sebesar -0.250 dan -0.061. Peningkatan pada harga buah jeruk dan buah lain sebesar 10 persen akan menyebabkan jumlah buah rambutan yang diminta turun sebesar kurang dari 10 persen. Pada nilai elastisitas harga silang rambutan terhadap harga duku, pisang, dan pepaya memiliki tanda yang positif yaitu berturut-turut sebesar 0.054, 0.238, dan 0.007. Elastisitas silang yang bertanda positif menunjukkan bahwa hubungan rambutan terhadap buah duku, pisang, dan buah lain adalah substitusi. Peningkatan pada harga buah-buah tersebut akan menyebabkan jumlah buah rambutan yang diminta akan mengalami peningkatan. Berdasarkan nilai elastisitas tersebut juga diketahui bahwa jumlah buah rambutan yang diminta cenderung kurang sensitif terhadap perubahan harga buah-buah lainnya (jeruk, duku, pisang, pepaya, buah lain).


(1)

The SAS System The REG Procedure Model: MODEL5 Dependent Variable: vl5

Number of Observations Read 66 Number of Observations Used 66

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 39623768 5660538 2.08 0.0604 Error 58 158018035 2724449

Corrected Total 65 197641803

Root MSE 1650.59047 R-Square 0.2005 Dependent Mean 2677.75944 Adj R-Sq 0.1040 Coeff Var 61.64073

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1453.49040 16766 0.09 0.9312 lp1 1 -773.33529 1149.58899 -0.67 0.5038 lp2 1 -48.19259 632.70384 -0.08 0.9395 lp3 1 -635.12110 1460.37681 -0.43 0.6652 lp4 1 -130.98818 602.52414 -0.22 0.8287 lp5 1 595.59602 580.84779 1.03 0.3094 lY 1 780.56247 629.77294 1.24 0.2202 lx1 1 1711.43191 597.98424 2.86 0.0058


(2)

The SAS System The REG Procedure Model: MODEL6 Dependent Variable: qn1

Number of Observations Read 66 Number of Observations Used 66

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 0.63181 0.09026 11.11 <.0001 Error 58 0.47099 0.00812

Corrected Total 65 1.10280

Root MSE 0.09011 R-Square 0.5729 Dependent Mean 0.09280 Adj R-Sq 0.5214 Coeff Var 97.10043

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 -1.17312 0.91534 -1.28 0.2051 lp1 1 -0.06847 0.06276 -1.09 0.2798 lp2 1 -0.02324 0.03454 -0.67 0.5038 lp3 1 -0.09748 0.07973 -1.22 0.2264 lp4 1 -0.00417 0.03289 -0.13 0.8995 lp5 1 0.01471 0.03171 0.46 0.6446 lY 1 0.23884 0.03438 6.95 0.0001 lx1 1 0.12715 0.03265 3.89 0.0003


(3)

The SAS System The REG Procedure Model: MODEL7 Dependent Variable: qn2

Number of Observations Read 66 Number of Observations Used 66

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 0.00992 0.00142 1.34 0.2466 Error 58 0.06116 0.00105

Corrected Total 65 0.07108

Root MSE 0.03247 R-Square 0.1396 Dependent Mean 0.00809 Adj R-Sq 0.0357 Coeff Var 401.56297

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 0.27121 0.32985 0.82 0.4143 lp1 1 -0.00076 0.02262 -0.03 0.9731 lp2 1 0.01586 0.01245 1.27 0.2078 lp3 1 -0.06463 0.02873 -2.25 0.0283 lp4 1 -0.00480 0.01185 -0.40 0.6871 lp5 1 -0.00633 0.01143 -0.55 0.5820 lY 1 0.02402 0.01239 1.94 0.0575 lx1 1 0.02489 0.01176 2.12 0.0387


(4)

The SAS System The REG Procedure Model: MODEL8 Dependent Variable: qn3

Number of Observations Read 66 Number of Observations Used 66

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 0.10398 0.01485 8.49 0.0001 Error 58 0.10153 0.00175

Corrected Total 65 0.20551

Root MSE 0.04184 R-Square 0.5060 Dependent Mean 0.02689 Adj R-Sq 0.4463 Coeff Var 155.60306

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 -1.38891 0.42498 -3.27 0.0018 lp1 1 0.00206 0.02914 0.07 0.9438 lp2 1 -0.00360 0.01604 -0.22 0.8234 lp3 1 0.01046 0.03702 0.28 0.7785 lp4 1 0.00816 0.01527 0.53 0.5950 lp5 1 0.01401 0.01472 0.95 0.3453 lY 1 0.09103 0.01596 5.70 <.0001 lx1 1 0.07391 0.01516 4.88 <.0001


(5)

The SAS System The REG Procedure Model: MODEL9 Dependent Variable: qn4

Number of Observations Read 66 Number of Observations Used 66

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 0.01226 0.00175 0.90 0.5129 Error 58 0.11286 0.00195

Corrected Total 65 0.12511

Root MSE 0.04411 R-Square 0.0980 Dependent Mean 0.01884 Adj R-Sq -0.0109 Coeff Var 234.09273

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 0.66994 0.44806 1.50 0.1403 lp1 1 -0.03396 0.03072 -1.11 0.2736 lp2 1 -0.01357 0.01691 -0.80 0.4255 lp3 1 -0.05198 0.03903 -1.33 0.1881 lp4 1 -0.00436 0.01610 -0.27 0.7876 lp5 1 0.02733 0.01552 1.76 0.0836 lY 1 0.00635 0.01683 0.38 0.7075 lx1 1 0.00468 0.01598 0.29 0.7706


(6)

The SAS System The REG Procedure Model: MODEL10 Dependent Variable: qn5

Number of Observations Read 66 Number of Observations Used 66

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 8.24981 1.17854 3.51 0.0033 Error 58 19.48973 0.33603

Corrected Total 65 27.73954

Root MSE 0.57968 R-Square 0.2974 Dependent Mean 0.95164 Adj R-Sq 0.2126 Coeff Var 60.91373

Parameter Estimates Parameter Standard

Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 0.71836 5.88815 0.12 0.9033 lp1 1 -0.03146 0.40373 -0.08 0.9382 lp2 1 -0.57526 0.22220 -2.59 0.0122 lp3 1 0.09384 0.51288 0.18 0.8555 lp4 1 0.04590 0.21160 0.22 0.8290 lp5 1 0.21009 0.20399 1.03 0.3073 lY 1 0.13310 0.22117 0.60 0.5497 lx1 1 0.52262 0.21001 2.49 0.0157