tersebut sudah merupakan masalah penerapan hukum yang diselenggarakan dalam tingkat teknis birokrasi.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat diberikan oleh
peneliti antara lain: 1.
Persoalan teknis birokrasi tersebut tidak boleh menghambat atau membelokkan maksud ditetapkannya kebijakan perizinan pendirian rumah
ibadat, karena bagaimanapun prinsipnya hal itu dilakukan justru utamanya untuk melindugi HAM, khususnya kebebasan beragama. Sebagai ketetapan
pemerintah, izin bukan sumber kewenangan baru melainkan keputusan yang menimbulkan hubungan hukum baru. Izin merupakan keputusan yang bersifat
konstitutif yaitu melahirkan adanya hubungan hukum yang tercermin dalam hak dan kewajiban yang baru.
2. Pemohon yang semula belum diperkenankan mendirikan rumah ibadat,
dengan IMB rumah ibadat menjadi berhak atau dapat mendirikannya. Oleh karena itu izin sering disebut
”keputusan mencipta.” Sistem perizinan dalam pendirian rumah ibadat tidak bertentangan dengan HAM. Bahkan, secara
yuridis merupakan salah satu instrumen pemerintahan yang berfungsi untuk terpenuhinya HAM itu sendiri. Oleh karena itu, prinsip itu tidak boleh
dicederai dengan adanya persoalan-persoalan teknis birokratis yang dapat menyayat-nyayat makna dan tujuan tersebut.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan sarana dan prasarana ibadat tersebut terutama dilakukan atas peran serta masyarakat yang mencerminkan besarnya kesadaran beragama masyarakat.
Atas prakarsa dan swadaya masyarakat yang makin meningkat, jumlah tempat peribadatan terus bertambah sehingga diharapkan akan semakin memudahkan dan
memberikan perasaan nyaman dan khusus bagi setiap umat dalam menunaikan ibadahnya. Dengan meningkatnya jumlah sarana dan prasarana ibadat tersebut,
maka kesempatan umat beragama untuk menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing makin luas. Dalam rangka membina kerukunan hidup antar
umat beragama sehingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa yang harmonis, kegiatan musyawarah antar umat beragama terus ditingkatkan. Kegiatan yang
dilakukan meliputi antara lain musyawarah antar umat beragama, musyawarah antara umat berbagai agama, dan musyawarah cendekiawan berbagai agama.
Pembangunan rumah ibadat tidaklah semata-mata untuk keperluan ibadat ritual
saja, tetapi juga untuk melakukan aktivitas sosial yang dianggap senafas dengan pemahaman agama itu sendiri. Jadi, sekali lagi, dalam konteks ini, masalah
pendirian rumah ibadat dipandang sebagai persoalan hak asasi manusia HAM karena termasuk wahana memanifestasikan agama dan keyakinan. Namun, secara