Sifat Akad, Akibat Hukum dan Macam-Macam Sewa-Menyewa (al- Ijarah)

3. Sifat Akad, Akibat Hukum dan Macam-Macam Sewa-Menyewa (al- Ijarah)

3.1. Sifat Akad Sewa-Menyewa (al-ijarah)

Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad al-ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad al-ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiyah, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, maka akad al-ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad al-ijarah. (Haroen. 2000. 236)

3.2. Akibat Hukum Sewa-Menyewa (al-Ijarah)

Akibat hukum dari ijarah yang shahih adalah tetapnya hak milik atas manfaat bagi musta’jir (penyewa), dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi mu’jir (yang menyewakan). Hal ini oleh karena akad ijarah adalah akad mu’awadhah, yang disebut dengan jual beli manfaat.

Dalam ijarah fasidah, apabila musta’jir telah menggunakan barang yang disewakan maka ia wajib membayar uang sewa yang berlaku (ujratul mitsli). Menurut Hanafiyah, kewajiban membayar ujratul mitsli berlaku apabila rusaknya akad ijarah tersebut karena syarat yang fasid, bukan karena ketidakjelasan harga, atau tidak menyebutkan jenis pekerjaannya. Dalam hal ijarah fasidah karena dua hal yang disebutkan terakhir ini, maka upah atau uang sewa harus dibayar penuh. Menurut Imam Zufar dan Syafi’i, dalam ijarah fasidah, upah atau uang sewa harus dibayar penuh, seperti halnya dalam jual beli. (Muslich. 2010. 329)

3.3. Macam-Macam Sewa-Menyewa (al-Ijarah)

Dilihat dari segi obyeknya, akad al-ijarah dibagi para ulama fiqh kepada dua macam, yaitu yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan (jasa), yaitu:

a. Al-ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa- menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat nenyatakan boleh dijadikan obyek sewa-menyewa.

b. Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjaan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, menurut para ulama fiqh, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti jenis buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi, b. Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjaan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, menurut para ulama fiqh, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti jenis buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi,

a) Ijarah Khusus Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. (Syafe’i. 2001. 133) Apabila orang yang dipekerjakan ini bersifat pribadi, maka seluruh pekerjaan yang ditentukan untuk dikerjakan menjadi tanggungjawabnya. (Haroen. 2000. 236)

b) Ijarah Musytarak Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain. (Syafe’i. 2001. 134) Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila obyek yang dikerjakannya itu rusak di tangannya, bukan karena kelalaian dan kesengajaan, maka ia tidak boleh ditunut ganti rugi. Apabila kerusakan itu terjadi atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka menurut kesepakatan pakar fiqh ia wajib membayar ganti rugi. (Haroen. 2000. 237)