Hikmah dan Berakhirnya Akad Sewa-Menyewa (Al-Ijarah)

4. Hikmah dan Berakhirnya Akad Sewa-Menyewa (Al-Ijarah)

4.1. Hikmah Sewa-Menyewa (Ijarah)

Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehidupan manusia. (Ya’qub. 1994. 46) Seseorang tidak akan mampu menyelesaikan Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehidupan manusia. (Ya’qub. 1994. 46) Seseorang tidak akan mampu menyelesaikan

Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil, namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan dan upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Adapun hikmah dibolehkannya ijarah, yaitu:

a. Membina ketentraman dan kebahagiannya Dengan adanya iiarah akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan musta’jir sehingga akan menciptakan kedamaian di hati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberikan jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari- harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah SWT.

b. Memenuhi nafkah keluarga Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah keluarganya, yang meliputi isteri, anak-anak dan tanggungjawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban tersebut dapat terpenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalah surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah SWT. dan ketahuilah bahwa Allah SWT. Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Baqarah: 233) (Depag RI. 2005. 37)

c. Memenuhi hajat hidup masyarakat

Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarakat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil dari itu. Ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong-menolong antar sesama.

d. Menolak kemungkaran Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh orang yang menganggur. Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan. (Ya’qub. 1994. 46-47)

4.2. Berakhirnya Sewa-Menyewa (Ijarah)

Penyewaan adalah akad yang mengikat. Kedua orang yang berakad tidak berhak membatalkannya karena ia adalah akad tukar- menukar, kecuali apabila ada sesuatu yang mengharuskan pembatalan, seperti cacat, sebagaimana akan dijelaskan. Penyewaan tidak batal dengan kematian salah satu dari dua orang yang berakad, selama apa yang diakadkan masih dalam kondisi baik. Ahli warislah yang akan menduduki posisi keluarganya yang meninggal, baik dia adalah pemilik barang maupun penyewa. Pendapat ini berbeda dengan pendapat para ulama mazhab Hanafi, para ulama Zahiriah, asy-Sya’bi, ats-Tsauri, dan Laits bin Sa’ad. (Sabiq. 2009. 163)

Penyewaan juga tidak batal dengan dijualnya barang sewaan kepada penyewa atau lainnya. Apabila pembeli bukanlah penyewa maka dia menerima barang tersebut setelah berakhirnya masa penyewaan. (Sabiq. 2009. 163) Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila:

a. Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang.

b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.

c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-ijarah menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat manurut mereka boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.

d. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah itu menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya seseorang digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad al-ijarah itu hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran atau dilanda banjir. (Haroen. 2000. 237.238)