SEWA-MENYEWA POHON DURIAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Parpaudangan Kecamatan Kuluh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara)

Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Sebagai Salah Satu Syarat Guna Meraih Gerlar Sarjana Hukum Pada Jurusan Ekonomi Syariah

Oleh :

ASNUL UMAIR SIREGAR NIM: 1313030319 JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG 2017 M /1438H

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Sewa-Menyewa Pohon Durian Ditinjau dari

Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Parpaudangan Kecamatan Kualuh

Hulu Kabupaten Labuahanbatu Utara”. Disusun oleh Asnul Umair Siregar NIM. 1313030319 pada Fakultas Syari’ah Jurusan Ekonomi Syariah. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh praktek sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan. Sewa-menyewa pohon durian dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan ketika pohon durian tersebut sudh berbuah dan sudah melewati masa buang busuk. Manfaat yang menjadi objek sewa-menyewa pohon durian ini adalah nilai buah durian ketika sudah matang. Ketika pohon durian masih berbuah belum matang penyewa datang melihat buah tersebut. Kemudian pemilik pohon dengan penyewa membuat kesepakatan harga sewa yang dihitung berdasarkan jumlah banyak buah yang ada di pohon dikalikan setengah harga jual buah durian matang pada saat akad sewa dilakukan. Jangka waktu sewa sampai buah durian habis panen seluruhnya. Kemudian pemilik pohon dan penyewa melakukan akad sewa. Sewa-menyewa pohon durian ini, dalam prakteknya ada dua bentuk. Pertama, penyewa dibolehkan memilih pohon durian mana yang ingin ia sewa. Kedua, penyewa menyewa seluruh pohon durian yang dimiliki pemilik baik yang berbuah maupun yang tidak berbuah. Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research). Penelitian ini juga didukung oleh penelitian kepustakaan (library research) sebagai landasan teori atau perbandingan antara ketentuan dalam hukum Islam dengan kenyataan yang terjadi. Sedangkan metode analisis yang penulis gunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Setelah penulis melakukan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa bentuk sewa- menyewa pohon durian yang pertama hukumnya sah karena terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan bentuk sewa-menyewa pohon durian yang kedua hukumnya batal karena tidak terpenuhi salah satu rukunnya.

ABSTRACT

This thesis entitled "Lease-Rent Durian Tree Reviewed from

Islamic Law (Case Study in Desa Parpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu

Kabupaten Labuahanbatu Utara." Prepared by Asnul Umair Siregar NIM 1313030319 at Faculty of Shari'ah Department of Sharia Economics The formulation of problem in this research is how the review of Islamic law against the lease of durian trees made by the people of Parpaudangan Village. The writing of this thesis is motivated by the practice of leasing the durian tree by Parpaudangan villagers. The rental of durian tree is done by the people of Parpaudangan Village when the durian tree is sudh bears fruit and has passed the period of rotten.The benefits that become the object of the lease of this durian tree is the value of durian fruit when it is ripe. When durian tree still bear immature tenants come to see the fruit.Then the owner of the tree with the tenant to make the agreement of the rental price is calculated based on the number of bu lots ah that is in the tree multiplied by half the price of the durian fruit when the contract is ripe. Rental period until the durian fruit is completely harvested. Then the owner of the tree and the tenant do the lease contract. Rent of this durian tree, in practice there are two forms. First, the tenant is allowed to choose which durian tree he wants to rent. Second, the tenant rents a whole durian tree owned by both the fruitful and unfruitful owner. Type of research in writing this thesis is field research (field research). This research is also supported by library research as the theoretical base or comparison between the provisions in Islamic law and the fact that happened. While the method of analysis that the authors use is descriptive qualitative analysis method. After the authors do the research then it can be concluded that the form of rent durian trees first law is legitimate because fulfilled harmonious and the conditions. While the form of rent-rent of the second durian tree is void because it is not fulfilled one of the rukun’s.

KATA PENGANTAR ﻢﯿﺣ ﺮﻟا ﻦﻤﺣ ﺮﻟا ﻢﺴﺑ

Segala puji beserta syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sewa-Menyewa Pohon Durian di Tinjau dari Hukum Islam (Studi

kasus di Desa Parpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten

Labuhanbatu Utara”. Shalawat bertangkaikan salam penulis doakan kepada Allah semoga disampaikan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah berjuang keras untuk mengembangkan ajaran Islam sebagai RahmatanLil’alamin. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) program Strata Satu (S.1) pada jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang. Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya dan tak terhingga Penulis sampaikan kepada orang yang sangat berarti dalam kehidupan Penulis, Ayahanda Junaidi dan Ibunda Lismawati. Ucapan terima Kasih yang sebesar-besarnya Penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberi dukungan baik materil maupun moril dalam menyelesaikan skripsi ini kepada:

1. Bapak Dr. H. Eka Putra Wirman M.A, selaku Rektor IAIN Imam Bonjol Padang dan kepada Pembantu Rektor I, II dan III, Bapak Dr. H. Muchlis Bahar, Lc, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah beserta Pembantu Dekan I, Bapak Nurus Shalihin, M.Si, Ph.D, Pembantu Dekan II, Ibu Dra. Hj. Surwati, MA dan Pembantu Dekan III, Bapak Dr.

Efrinaldi, M. Ag.

2. Bapak M. Yenis, SH, M.Pd., MH, dan Ibu Duhriah, M.Ag selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan yang telah memberikan banyak arahan dan waktunya kepada Penulis dalam perkuliahan maupun penulisan skripsi.

3. Bapak Drs. Abd. Rauf, M.Ag. selaku pembimbing I dan Penasehat

Akademik (PA) dan ibu Duhriah, M.Ag selaku pembimbing II yang

senantiasa memberi bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan studi di IAIN Imam Bonjol Padang

4. Tim penguji yang telah memberikan bimbingan serta ilmunya kepada penulis.

5. Kepada Bapak Bupati Labuhanbatu Utara, Camat Kualuh Hulu dan Kepala Desa beserta masyarakat Desa Parpaudangan yang telah memberikan izin dan memberikan data yang jelas untuk penulisan skripsi ini.

6. Pimpinan perpustakaan Intitut dan perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang beserta staf yang telah menyediakan fasilitas kepustakaan, sehingga memudahkan penulis dalam

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumalah Penduduk Desa Parpaudangan ............................................. 47 Tabel 3.2 Tingkat pendidikan Penduduk Desa Parpaudangan ...................... 48 Tabel 3.3 Potensi Pertnian Desa Parpaudangan ................................................. 49 Tabel 3.4 Potensi Peternakan Desa Parpaudangan ........................................... 50 Tabel 3.5 Agama Penduduk Desa Parpaudangan ................................................ 52

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial, yang hidup bermasyarakat, tolong menolong, dan bantu membantu dalam menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan. Manusia tidak bisa hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari tanpa adanya bantuan dan pertolongan dari orang lain. Oleh sebab itu, sikap tolong-menolong dan bantu-membantu harus dikembangkan oleh individu dalam masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Surat Al-maidah (5) : 2

Artinya: Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan aniaya. (QS. Al-Maidah: 2)( Depag RI 2005, 106 )

Ayat di atas menjelaskan betapa pentingya sikap tolong menolong dan bantu membantu antar sesama guna memenuhi kebutuhan hidup sehri-hari. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari manusia melakukan berbagai macam kegiatan seperti: jual beli, bertani, berdagang, buruh, pinjam-meminjam dan ada yang melakukan sewa-menyewa atau Ijarah. Boleh dikatakan pada dasarnya al-ijarah itu adalah salah satu aktivitas antara dua belah pihak yang melakukan akad guna untuk membantu salah satu pihak dan saling meringankan serta termasuk tolong menolong yang telah dianjurkan agama

Menurut bahasa ijarah berarti upah atau ganti atau imbalan. Karena itu, lafaz ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan suatu kegiatan, atau upah karena melakukan sesuatu aktivitas. Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Hal ini sama artinya dengan menjual manfaat sesuatu benda bukan menjual ‘ain dari benda itu sendiri.( Karim 1993, 29-30)

Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.(Haroen 2000, 228) Kebolehan al-ijarah ini di dasarkan pada firman Allah dalam surah al-Qashash ayat 26:

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. Al-Qashasah: 26)(Depag RI. 2005. 388 )

Hadits Nabi saw.

Artinya: Dari Abi Sa’id ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. bersabda Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya. (HR. ‘Abd ar-Razzaq dan al-Baihaqi). (Al-Asqalani. 1990. 389)

Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.(Syafei 2001, 122)

Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H/1292-1350 M), pakar fiqh Hanbali, menyatakan bahwa pendapat jumhur pakar fiqh itu tidak didukung oleh al-Qur’an, as-Sunnah, ijmak dan qiyas. Menurutnya, yang menjadi prnsip dalam syari’at Islam adalah bahwa suatu materi yang berevolusi secara bertahap, hukumnya sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan, susu dan bulu pada kambing. Oleh sebab itu, Ibn al-Qayyim menyamakan antara manfaat dengan materi dalam wakaf. Menurutnya, manfaatpun boleh diwakafkan, seperti mewakafkan manfaat rumah untuk ditempati dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk dimanfaatkan susunya. Dengan demikian, menurutnya tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan basisnya tetap utuh, seperti susu kambing, bulu kambing, dan manfaat rumah, karena kambing dan rumah itu menurutnya tetap utuh.(Haroen 2000, 229-230)

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun ijarah, menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada empat, yaitu:

a. ‘Akid (orang yang berakad).

b. Sewa/imbalan.

c. Manfaat.

d. Sighat (ijab dan qabul).(Haroen 2000, 231) Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut:

a. Berakal dan mumayiz, namun tidak disyaratkan baligh. Tidak dibenarkan mempekerjakan anak yang belum mumayiz dan belum berakal. (Haidar. 2005. 105-106) Amir syarifuddin menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah dewasa, berakal sehat, dan bebas dalam bertindak dalam artian tidak dalam paksaan. (Syarifuddin. 2003. 218) Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah. Namun mereka mengatakan, apabila seorang anak yang mumayyiz yang melakukan akad al- ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu baru dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.(Haroen. 2000. 232)

b. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang di antaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. (Haroen. 2000. 232) Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT. dalam surah an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah SWT. adalah Maha Penyayang kepadamu. (Depag RI. 2005. 83)

Ayat ini memberikan kesan bahwa larangan ini merupakan tindakan penyucian terhadap sisa-sisa kehidupan jahiliah yang masih bercokol pada masyarakat Islam. Diiringinya hati kaum muslimin dengan seruah ini “Hai orang-orang yang beriman!” Dihidupkannya konsekuensi dan konsekuensi sifat, yang dengan sifat itulah Allah SWT. memanggil mereka untuk dilarang dari memakan harta secara batil. Memakan harta secara batil ini meliputi semua cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau tidak dibenarkan Allah SWT., yakni dilarang oleh-Nya. Di antaranya dengan cara menipu, menyuap, berjudi, menimbun barang-barang kebutuhan pokok untuk menaikkan harganya, dan semua bentuk jual beli yang haram, serta sebagai pemukanya adalah riba. Dikecualikanlah dari larangan ini aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela antara penjual dan pembeli. (Quthb. 2001. 342)

c. Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek al-ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat di tangan penyewa. (Haroen. 2000. 232-233) Pengetahuan yang dapat mencegah terjadinya persengketaan diperoleh dengan beberapa hal. Pertama, dengan melihat benda yang ingin disewa atau dengan mendeskripsikannya, apabila ia dapat dipastikan dengan deskripsi. Kedua, dengan menjelaskan masa penyewaan, seperti sebulan, setahun, atau lebih banyak dan c. Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek al-ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat di tangan penyewa. (Haroen. 2000. 232-233) Pengetahuan yang dapat mencegah terjadinya persengketaan diperoleh dengan beberapa hal. Pertama, dengan melihat benda yang ingin disewa atau dengan mendeskripsikannya, apabila ia dapat dipastikan dengan deskripsi. Kedua, dengan menjelaskan masa penyewaan, seperti sebulan, setahun, atau lebih banyak dan

d. Obyek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.

e. Obyek al-ijarah itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. (Rozlinda. 2005. 106) Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang nonmuslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka. (Haroen. 2000. 233)

f. Yang disewakan itu bukan fardhu dan bukan kewajiban bagi orang yang disewa (ajir) sebelum dilakukannya ijarah. Hal tersebut karena seseorang yang melakukan pekerjaan yang wajib dikerjakannya, tidak berhak menerima atas pekerjaan itu. (Muslich. 2010. 324) Misalnya, menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa-menyewa seperti ini tidak sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa.

g. Obyek ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa-menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad pohon bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian. (Haroen. 2000. 235) g. Obyek ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa-menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad pohon bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian. (Haroen. 2000. 235)

ﺭﺎﺠَﺘﺳﺍ ِﻦﻣ َﻝﺎَﻗ ﻢّﻠﺳﻭ ﻪﻴَﻠﻋ ُﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲِﺒﻨﻟﺍ ﻥَﺃ ﻪﻨﻋ ُﺍ ﻲﺿﺭ ﺪﻴﻌﺳ ﻲِﺑَﺃ ﻦﻋ (ﻰﻘﻬﻴﺒﻟﺍﻭ ﻕﺍﺯﺮﻟ ﺍ ﺪﺒﻋ ﻩﺍﻭﺭ) .ﻩﺮﺟَﺃ ﻪﻤَﻠﻌﻴْﻠَﻓ ﺍﺮﻴِﺟَﺃ

Arinya :Dari Abi Sa’id ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. bersabda Barangsiapa yang menyewa tenaga kerja, hendaklah ia menyebutkan baginya upahnya. (HR. ‘Abd ar-Razzaq dan Baihaqi) (Al-Asqalani. 1990. 389)

Hadits di atas adalah dalil pensyaratan penyebutan nilai upah atau gaji. Ketidakjelasan mengenai hal ini akan menyebabkan timbul persengketaan yang ditentang oleh Islam. Di samping nilai upah atau gaji harus disebutkan, batasan tugan dan kerja seorang pekerja harus disebutkan sebab ia merupakan salh satu ganti. Untuk itu wajib diketahui secara pasti. (Al Bassam. 2006. 76)

Kejelasan tentang upah kerja ini diperlukan untuk menghilangkan perselisihan antara kedua belah pihak. Penentuan upah atau sewa ini boleh didasarkan kepada urf atau adat kebiasaan. Misalnya, sewa (ongkos) kendaraan angkutan kota, bus atau becak yang sudah lazim berlaku, mekipun tanpa menyebutkannya hukumnya sah. (Muslich. 2010. 326)

i. Ulama Hanafiyah mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa. (Haroen. 2000. 235)

Masyarakat desa Parpaudangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga mempraktekkan al-ijarah. Desa Parpaudangan yang berpenduduk sekitar 4100 orang terbagi kedalam tiga golongan pekerjaan, 30% di antaranya petani sayur-mayur, 35% wiraswasta dan 35% petani kelapa sawit. 15 orang dari petani sawit tersebut menanam pohon durian di dalam kebunnya. Praktek sewa-menyewa yang sering dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan dalam bidang perkebunan adalah sewa-menyewa pohon durian. Sewa-menyewa pohon durian ini dilakukan pada saat pohon durian mulai berbuah kecil. Penyewa akan melihat pohon dan buah durian yang masih kecil- kecil tersebut, kemudian penyewa memperkirakan jumlah buah durian yang telah dilihatnya, lalu penyewa memperhitungkan jumlah buah tersebut dengan setengah harga jual buah durian pada saat panennya. Selanjutnya, penyewa dan pemilik pohon durian membuat kesepakatan harga sewa lalu membuat perjanjian sewa-menyewa dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Penyewa wajib membayar uang sewa pada saat perjanjian dilakukan.

b. Jangka waktu sewa-menyewa pohon durian adalah satu kali masa panen dan harus sampai buah durian tersebut habis semua.

c. Selama dalam jangka waktu sewa-menyewa, yang mengambil dan mengurus pohon dan buah durian adalah penyewa.

d. Segala akibat yang muncul selama jangka waktu sewa-menyewa ditanggung oleh masing-masing pihak.(Mukhlis 2016)

Selain itu, dalam perjanjian sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan, pohon durian yang disewa adalah seluruh pohon durian milik si pemilik, baik yang berbuah maupun yang tidak berbuah. Misalnya, si A memiliki pohon durian

sebanyak 9 pohon di dalam kebun sawitnya, yang berbuah pada saat itu hanya 7 pohon. Maka si B yang ingin menyewa pohon milik si A harus menyewa semua pohon durian milik si A, yaitu 9 pohon. Di samping itu, apabila pohon durian yang dimiliki si A yang di sewa si B tidak bersamaan panennya, maka harus ditunggu sampai pohon yang buahnya belum panen (jatuh) tersebut panen dan habis.(Sukirno 2016) Dalam sewa-menyewa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan harga sewa didasarkan pada banyak buah durian yang ada disetiap pohon durian. Pohon durian yang memiliki buah yang banyak sekitar 250 sampai 300 buah biasanya harga sewanya sebesar Rp 1.100.000 (satu juta seratus ribu rupiah). Sedangkan pohon durian yang buahnya sedikit biasanya harga sewanya dihitung secara keseluruhan. Misalnya, empat pohon memiliki buah sekitar 40-50 buah perpohonnya, maka harga sewanya dihitung keseluruhan dari keempat pohon tersebut, biasanya kalau buahnya 40-50 buah harga sewanya Rp 700.000 (tujuh ratus ribu rupiah). Disamping itu, pohon durian yang dalam keadaan tidak berbuah juga termasuk objek sewa dengan harga sewa yang dimasukkan pada harga sewa pohon durian yang berbuah. Artinya, harga sewa pohon durian yang berbuah sekaligus mencakup pohon yang sedang dalam keadaan tidak berbuah.(Harahap 2017)

Dengan demikian, sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan terkesan bertentangan dengan sewa-menyewa dalam Islam. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam bagaimana sesungguhnya tinjauan hukum Islam terhadap sewa-menyewa pohon durian yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Parpaudangan. Hasil penelitian ini akan dituangkan dalam skripsi dengan judul “ SEWA-MENYEWA

POHON DURIAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM STUDI KASUS

DESA PARPAUDANGAN KEC. KUALUH HULU KAB. LABUHANBATU UTARA”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan?

3. Pertanyaan Penelitian

Adapun yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan?

b. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpudangan?

4. Siknifikasi Penelitian

4.1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas penelitian ini

bertujuan:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan Kec. Kualuh Hulu Kab. Labuhanbatu Utara

b. Untuk mengetaui tinjauan hukum Islam terhadap sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan Kec. Kualuh Hulu Kab. Labuhanbatu Utara.

4.2. Kegunaan Penelitian 4.2. Kegunaan Penelitian

b. Hasil penelitian ini sebagai media informasi dikalangan masayarakat pada umumnya sewa-menyewa pohon durian yang sesuai dengan syariat Islam.

5. Telaah Pustaka

Pembahasan yang terkait dengan sewa-menyewa sudah ada ditulis sebelumnya dalam bentuk karya ilmiah oleh Apeng Kurniawan (301.214) dengan judul kontrak sewa kebun karet di desa petapahan kecamatan gunung toar kabupaten kekuatan singingi riau ditinjau dari hukum Islam. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam kajian ini adalah bagaimana pandangan hukum islam terhadap pelaksanaan kontrak kebun karet di Desa Petapahan Kecamatan Gunung Toar Kabupaten Kuantan Singingi Riau ditinjau dari hukum Islam. Penulis skripsi ini menyimpulkan bahwa pelaksanaannya berbeda dengan ketentuan ijarah dan ada syarat yang tidak terpenuhi. Selain itu juga kontrak tersebut merugikan orang lain.

Dengan demikian penulis skripsi ini berkesimpulan bahwa pelaksanaan kontrak sewa kebun karet yang dilakukan oleh masyarakat Desa Petapahan Kecamatan Gunung Toar Kabuaten Kuantan Singingi Riau itu bertentangan dengan hukum Islam dan hukumnya tidak boleh karena merugikan salah satu pihak.

Dari pengamatan penulis, belum ada yang membahas tentang sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan Kec. Kualuh Hulu Kab. Labuahanbatu Utara dan yang dibahas oleh Apeng Kurniawan berbeda, karena Apeng Kurniawan membahas tentang kontrak sewa kebun karet sedangkan penulis membahas tentang sewa-menyewa pohon durian.

6. Kerangka Teori

Dalam kamus besar istilah fiqh, ijarah diartikan dengan mengupah yaitu mengupah seseorang atau beberapa orang untuk mengerjakan suatu pekerjaan.(Mujieb 1994, 144) Sedangkan menurut Syekh Syamsudin Abu Abdillah, kata al-ijarah dengan kasrah pada huruf hamzahnya adalah nama suatu upah (buruhan). Menurut istilah adalah bentuk akad yang jelas manfaat dan tujuannya, serah terima secara langsung dan dibolehkan dengan pembayaran (ganti) yang telah diketahui. (Abdillah 1995, 194) Selain itu Wahbah az-Zuhaili juga memberikan penjelasan mengenai al-ijarah, menurut bahasa yaitu jual beli manfaat .

Secara Istilah Menurut Idris Ahmad bahwa upah (ujrah) berarti “mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.” (Suhendi. 2010. 155) Sedangkan Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional defenisi ijarah adalah akad memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. (MUI. 2001. 55)

Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:

a. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua belah pihak yang ditandai adanya sighat (ijab dan kabul).

b. Adanya imbalan tertentu.

c. Mengambil manfaat. (Ibrahim. 2009. 314)

7. Metode Penelitian

7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (field research). Dalam penelitian lapangan ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan permasalahan berasal dari responden dengan menggunakan metode interview.

7.2. Sumber Data Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. (Adi. 2004. 57). Pada penelitian ini data primer diperoleh dari masyarakat Desa Parpaudangan Kec. Kualuh Hulu Kab. Labuhanbatu Utara yang melakukan sewa-menyewa pohon durian, baik penyewa maupun yang menyewakan pohon durian.

b. Data skunder, yaitu data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam dokumen dan publikasi. (Adi. 2004. 57) Data skunder pada penelitian ini diperoleh dari buku atau kitab perpustakaan yang dapat membantu dalam penelitian ini guna melengkapi data yang diteliti.

7.3. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data penulisan menggunakan beberapa

teknik antara lain :

a. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja, yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala yang diselidiki. Dalam hal ini penulis mengamati sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan.

b. Wawancara, yaitu salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi b. Wawancara, yaitu salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi

7.4. Teknik Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Deskriptif Kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan kejadian yang sesungguhnya yang terjadi di lapangan.

8. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap penulisan proposal skripsi ini, agar tersusun secara sistematis dan terarah, maka dalam penulisan karya ilmiah ini diurutkan dalam V (lima) bab. Pada masing-masing bab terdapat sub-sub bab yang terkait antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I sebagai bab pendahuluan, maka di dalamnya dituangkan latar belakang masalah, rumusan masalah, penjelasan judul, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab II mengenai landasan teoritis yang terdiri dari pengertian dan dasar hukum ijarah, rukun dan syarat ijarah, manfaat dan hikmah ijarah.

Bab III berisikan beberapa sisi tentang Desa Parpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.

Bab IV mengenai tinjauan hukum Islam tentang sewa-menyewa pohon durian di Desa Parpaudangan.

Bab V berisikan kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SEWA-MENYEWA (IJARAH)

1. Pengertian dan Dasar Hukum Sewa-menyewa (Ijarah)

1.1. Pengertian Sewa-menyewa (Ijiarah)

Lafal al-Ijarah dalam bahasa arab ﺮﺟﺎﻳ - ﺮﺟﺍ berarti upah,

sewa, jasa atau imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan mu'amalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh, kuli dan lain sebagainya. Secara etimologi ada beberapa pengertian ijarah yang dikemukakan oleh ulama fiqih yaitu:

a. Menurut Sayid Sabiq:

Artinya: Ijarah diambil dari kata “Arjun” yaitu penggantian maka dari itu pahala juga digantikan upah” (Sabiq. 1987.7)

b. Menurut Abdurrahman al-Jaziri

Artinya: Ijarah menurut bahasa merupakan masdar sima’i bagi fi’il “ajara” setimbang dengan “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir ( dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan (al-Jaziri 1972, 94)

Di dalam kamus besar istilah fiqh, ijarah diartikan dengan mengupah yaitu mengupah seseorang atau beberapa orang untuk mengerjakan suatu pekerjaan.(Mujieb 1994, 144) Sedangkan menurut Syekh Syamsudin Abu Abdillah, kata al-ijarah dengan kasrah pada huruf hamzahnya adalah nama suatu upah (buruhan). Menurut istilah adalah bentuk akad yang jelas manfaat dan tujuannya, serah terima secara langsung dan dibolehkan dengan pembayaran (ganti) yang telah diketahui. (Abdillah 1995, 194) Selain itu Wahbah az-Zuhaili juga memberikan penjelasan mengenai al-ijarah, menurut bahasa yaitu jual beli manfaat .

Berdasarkan defenisi di atas maka secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu. Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh.

a. Menurut Hanafiyah:

Artinya: Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.(Muslich. 2010. 316)

b. Menurut Malikiyah dan Hanabilah:

Artinya: Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.(Haroen. 2000. 229)

c. Menurut Syafi’iyah:

Artinya: Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.(Haroen. 2000. 228)

d. Menurut Sayid Sabiq:

Artinya: Ijarah secara Syara’ ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

e. Menurut Hasbie As-Shiddiq:

Artinya: Akad yang objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat. (al- Jaziri. 1972. 29)

f. Menurut Idris Ahmad bahwa upah (ujrah) berarti “mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.” (Suhendi. 2010. 155)

g. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional defenisi ijarah adalah akad memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. (MUI. 2001. 55)

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka akad al-ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditujukan kepada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka akad al-ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditujukan kepada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai

Artinya: Rasulullah saw. Melarang penyewaan mani hewan pejantan.

(HR. Al-Bukhari, Ahmad ibn Hanbal, an-Nasa’i, dan Abu Daud dari ‘Abdullah ibn ‘Umar) (Hamidy. Imron. Fanany. 1994. 1650)

Syarih berkata hadits-hadits dalam bab Larangan atas upah persetubuhan pejantan ini menurut jumhur ulama menunjukkan bahwa menjual sperma pejantan dan menyewakannya adalah haram, karena tidak dapat dinilai, tidak dapat diketahui serta tidak dapat ditentukan secara pasti, baik tentang keadaannya maupun jumlahnya. (Hamidy. Imron. Fanany. 1994. 1651) Demikian juga para ulama fiqh tidak membolehkan al-ijarah terhadap nilai tukar uang, seperti dirham dan dinar, karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya, sedangkan dalam al-ijarah yang dituju adalah manfaat dari suatu benda.

Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H/1292-1350 M), pakar fiqh Hanbali, menyatakan bahwa pendapat jumhur pakar fiqh itu tidak didukung oleh al-Qur’an, as-Sunnah, ijmak dan qiyas. Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam syari’at Islam adalah bahwa Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H/1292-1350 M), pakar fiqh Hanbali, menyatakan bahwa pendapat jumhur pakar fiqh itu tidak didukung oleh al-Qur’an, as-Sunnah, ijmak dan qiyas. Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam syari’at Islam adalah bahwa

Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:

d. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua belah pihak yang ditandai adanya sighat (ijab dan kabul).

e. Adanya imbalan tertentu.

f. Mengambil manfaat. (Ibrahim. 2009. 314) Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab di atas tentang

pengertian ijarah, maka dapat dipahami ijarah menurut bahasa adalah jual manfaat atas benda atau jasa dengan adanya imbalan atau upah, sedangkan menurut istilah ijarah adalah akad atau transaksi yang bertujuan mengambil manfaat atas suatu barang atau jasa tanpa menguarangi materi benda tersebut dan benda tesebut boleh dimanfaatkan dengan jangka waktu tertentu (sesuai dengan kesepakatan) dengan adanya uang imbalan atau sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan terhadap benda tersebut. Dari pengertian ijarah dapat diketahui pula bahwa kontrak sewa merupakan bagian dari ijarah, karena kontrak sewa merupakan suatu akad untuk melakukan sesuatu baik secara tertulis maupun lisan. Kontrak sewa pengertian ijarah, maka dapat dipahami ijarah menurut bahasa adalah jual manfaat atas benda atau jasa dengan adanya imbalan atau upah, sedangkan menurut istilah ijarah adalah akad atau transaksi yang bertujuan mengambil manfaat atas suatu barang atau jasa tanpa menguarangi materi benda tersebut dan benda tesebut boleh dimanfaatkan dengan jangka waktu tertentu (sesuai dengan kesepakatan) dengan adanya uang imbalan atau sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan terhadap benda tersebut. Dari pengertian ijarah dapat diketahui pula bahwa kontrak sewa merupakan bagian dari ijarah, karena kontrak sewa merupakan suatu akad untuk melakukan sesuatu baik secara tertulis maupun lisan. Kontrak sewa

1.2. Dasar Hukum Sewa-Menyewa (al-ijarah)

Para ulama fiqh mengatakan bahwa yang menjadi dasar dibolehkannya akad al-ijarah berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’, yaitu:

1.2.1 Dalam al-Qur’an

Firman Allah dalam surat az-Zukhruf, ayat 32 yang berbunyi:

Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Depag RI. 2005. 491)

Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman seraya menyangkal usulan mereka “apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu” artinya, apakah mereka memegang perbendaharaan Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman seraya menyangkal usulan mereka “apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu” artinya, apakah mereka memegang perbendaharaan

penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat” yakni, dalam kehidupan dunia, “dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” dari dunia.

Mengingat penghidupan para hamba serta rezeki duniawi mereka berada di tangan Allah SWT. yang mana Dia-lah yang membagikannya diantara para hamba, Dia memperluas rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan bagi siapa saja yang dikehendaki berdasarkan kebijaksanaan-Nya, maka rahmat duniawi- Nya yang mana tertinggi darinya adalah rahmat kenabian dan risalah tentu lebih utama dan layak berada di Tangan Allah SWT. (As-Sa’di. 2012. 465)

Dalam ayat ini terdapat peringatan atas hikmah Allah SWT. dalam hal melebihkan sebagian orang atas yang lain di dunia “agar sebagian mereka dapat memperguanakan sebagian yang lain,” yaitu agar sebagian dari mereka menguasa atas sebagian yang lain dalam tugas, pekerjaan dan perindustrian. Andai semua orang sama dari segi kekayaan, pasti tidak ada yang saling memerlukan satu sama lain dan pasti bayak kepentingan dan manfaat mereka yang terbengkalai. (As- Sa’di. 2012. 466)

Di samping itu, para ulama fiqh juga beralasan kepada firman Allah dalam surat ath-Thalaq ayat 6 yang berbunyi:

Artinya: ...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya... (Depag RI. 2005. 558)

Ayat ini menjelaskan bahwa apabila perempuan yang telah kamu ceraikan itu menyusukan anakmu, berilah mereka upah atas kerjanya menyusukan itu dengan upah yang baik. Dan hal ini dirundingkan atau dimusyawarahkan dengan perempuan itu mengenai bagaimana cara penyelenggaraan penyusuan anakmu itu. (Binjai. 2006. 611)

Dalam surat al-Qashash, ayat 26 Allah juga berfirman:

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" . (Depag RI. 2005. 388)

Ayat di atas menjelaskan tentang seorang dari kedua wanita itu berkata kepada Ayahnya untuk mempekerjakan seorang pemuda untuk menggembala atau mengurus domba piaraannya dengan memberikan gaji. Sesungguhnya, ia adalah orang yang paling baik yang engkau pekerjakan, karena tenaganya kuat dan seseorang yang dapat dipercaya. Ketika mengutarakan hal itu, wanita itu tidak malu- malu, tidak gemetar dan tidak takut jika dituduh buruk. Karena ia berjiwa bersih dan suci perasaannya. Sehingga, ia tak takut terhadap sesuatu, juga tidak gagap dan tidak berputar-putar, ketika mengajukan tawarannya itu kepada orang tuanya. Hal ini dikarenakan Musa adalah orang yang menjaga pandangannya dan bersih hatinya.

Wanita itu juga demikian, menjaga martabatnya, dan bersifat amanah. (Quthb. 2001. 41)

1.2.2 Dalam Sunnah Diantaranya adalah sabda beliau yang mengatakan:

Artinya: Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan

sebelum kering keringat mereka. (HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, ath-Tabrani dan at-Tarmizi). (Al-Asqalani. 1990. 389)

Hadits di atas menerangkan kewajiban membayar upah/gaji pekerja setelah tugas yang diwajibkannya selesai. Pembayaran tersebut dilakukan segera, hal ini dikarenakan seseorang bekerja tidak lain karena kebutuhannya terhadap uang. Dia amat membutuhkan penerimaan upahnya yang merupakan konpensasi atas kerja dan jerih payahnya. Memperlambat pemberian upah adalah bentuk penundaan yang paling berat dan termasuk kezhaliman yang paling zhalim. Tidak membayar upah pekerja/buruh adalah penyebab murka Allah SWT. di mana Dia akan menjadi musuh bagi orang yang memperkerjakannya dan tidak membayar upahnya setelah pekerja itu menyelesaikan tugasnya. (Al Bassam. 2006. 74)

Dalam riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri Rasul SAW. bersabda:

Artinya: Dari Abi Sa’id ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. bersabda

Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya. (HR. ‘Abd ar-Razzaq dan al-Baihaqi). (Al-Asqalani. 1990. 389)

Hadits ini adalah dalil pensyaratan penyebutan nilai upah atau gaji. Ketidakjelasan mengenai hal ini akan menyebabkan timbul persengketaan yang ditentang oleh Islam. Di samping nilai upah atau gaji harus disebutkan, batasan tugas dan kerja seorang pekerja harus disebutkan sebab ia merupakan salah satu ganti. Untuk itu wajib diketahui secara pasti. (Al Bassam. 2006. 76)

Selanjutnya dalam riwayat ‘Abdullah ibn ‘Abbas dikatakan:

Artinya: Rasulullah SAW. berbekam, lalu beliau membayar upahnya

kepada orang yang membekamnya. (HR. Al-Bukhari,)(al- Bukhari. 2007. 403)

Hadits di atas menerangkan bahwa upah hasil kerja bekam adalah boleh atau mubah dimanfaatkan, tidak diharamkan. Sebab jika upah itu diharamkan tentu Rasulullah SAW. tidak akan Hadits di atas menerangkan bahwa upah hasil kerja bekam adalah boleh atau mubah dimanfaatkan, tidak diharamkan. Sebab jika upah itu diharamkan tentu Rasulullah SAW. tidak akan

1.2.3 Landasan Ijma’

Mengenai hukum ijarah para ulama sepakat. Tidak ada seorangpun ulama yang membantah kesepaakatan (Ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi, itu tidak dianggap. (Sabiq. 2009. 124). Umat Islam pada masa sahabat juga telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. (Syafe’i. 2001. 124)

2. Rukun dan Syarat Sewa-Menyewa (al-ijarah)

2.1. Rukun Sewa-Menyewa (al-ijarah)

Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan penyewaan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa- menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al- ijarah itu ada empat, yaitu:

a. Orang yang berakad.

b. Sewa/imbalan

c. Manfaat.

d. Sighat (ijab dan qabul). (Haroen. 2000. 231) Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad,

sewa/imbalan dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya.

2.2. Syarat-Syarat Sewa-Menyewa (al-ijarah)

Sebagai sebuah transaksi umum, al-ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang Sebagai sebuah transaksi umum, al-ijarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang

dibenarkan mempekerjakan anak yang belum mumayiz dan belum berakal. (Haidar. 2005. 105-106) Amir syarifuddin menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah dewasa, berakal sehat, dan bebas dalam bertindak dalam artian tidak dalam paksaan. (Syarifuddin. 2003. 218) Akan tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah. Namun mereka mengatakan, apabila seorang anak yang mumayyiz yang melakukan akad al- ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu baru dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.(Haroen. 2000. 232)

k. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang di antaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. (Haroen. 2000. 232) Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT. dalam surah an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

Ayat ini memberikan kesan bahwa larangan ini merupakan tindakan penyucian terhadap sisa-sisa kehidupan jahiliah yang masih bercokol pada masyarakat Islam. Diiringinya hati kaum muslimin dengan seruah ini “Hai orang-orang yang beriman!” Dihidupkannya konsekuensi dan konsekuensi sifat, yang dengan sifat itulah Allah SWT. memanggil mereka untuk dilarang dari memakan harta secara batil. Memakan harta secara batil ini meliputi semua cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau tidak dibenarkan Allah SWT., yakni dilarang oleh-Nya. Di antaranya dengan cara menipu, menyuap, berjudi, menimbun barang-barang kebutuhan pokok untuk menaikkan harganya, dan semua bentuk jual beli yang haram, serta sebagai pemukanya adalah riba. Dikecualikanlah dari larangan ini aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela antara penjual dan pembeli. (Quthb. 2001. 342)

l. Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek al-ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat di tangan penyewa. Dalam masalah penentuan waktu sewa ini, ulama Syafi’iyah memberikan syarat yang ketat. Menurut mereka, apabila seorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan harga sewa Rp. 150.000,00 sebulan, maka akad sewa-menyewa batal, karena dalam akad seperti ini diperlukan pengulangan akad baru setiap bulan dengan harga sewa baru pula. Sedangkan kontrak rumah yang telah disepakati selama satu tahun itu, akadnya tidak diulangi setiap bulan. Oleh sebab itu,

menurut mereka, akad sebenarnya belum ada, yang berarti al- ijarah pun batal (tidak ada). Disamping itu, menurut mereka, sewa-menyewa dengan cara di atas menunjukkan tenggang waktu tidak jelas, apakah satu tahun atau satu bulan. Berbeda halnya jika rumah itu disewa dengan harga sewa Rp. 1.000.000,00 setahun, maka akad seperti ini adalah sah, karena tenggang waktu sewa jelas dan harganyapun ditentukan untuk satu tahun. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad seperti itu adalah sah dan bersifat mengikat. Apabila seseorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan harga sewa Rp. 100.000,00 sebulan, maka menurut jumhur ulama, akadnya sah untuk bulan pertama, sedangkan untuk bulan selanjutnya apabila kedua belah pihak saling rela membayar sewa dan menerima sewa seharga Rp.100.000,00 maka kerelaan ini dianggap sebagai kesepakatan bersama, sebagaimana halnya dalam bai’ al-mu’athah (jual beli tanpa ijab qabul, tetapi cukup dengan membayar uang dan mengambil barang yang dibeli). (Haroen. 2000. 232-233) Pengetahuan yang dapat mencegah terjadinya persengketaan diperoleh dengan beberapa hal. Pertama, dengan melihat benda yang ingin disewa atau dengan mendeskripsikannya, apabila ia dapat dipastikan dengan deskripsi. Kedua, dengan menjelaskan masa penyewaan, seperti sebulan, setahun, atau lebih banyak dan lebih sedikit dari itu. Ketiga, dengan menjelaskan pekerjaan yang diinginkan. (Sabiq. 2009. 152)