Kehidupan Beragama, Sosial Masyarakat dan Adat Istiadat Penduduk Desa Parpaudangan

4. Kehidupan Beragama, Sosial Masyarakat dan Adat Istiadat Penduduk Desa Parpaudangan

4.1. Kehidupan Beragama

Agama merupakan pedoman hidup yang sangat penting bagi manusia. Dengan adanya pedoman hidup maka akan membuat manusia menjadi tentram, damai, tabah dan tawakkal ulet serta percaya diri, berani berjuang untuk menegakkan kebenaran, kesiapan mengabdi dan berkorban. Tanpa agama manusia akan terombang- ambing dalam kehidupan tanpa tujuan. Agama merupakan sumber kehidupan dan kebahagian di dunia dan di akhirat.

Masyarakat Desa Parpaudangan adalah masyarakat yang mengutamakan toleransi. Hal ini terlihat karena masyarakat Desa Parpaudangan terbagi kepada tiga aliran agama yang dianut oleh masyarakat tersebut. Sebagian masyarakat Desa Parpaudangan Masyarakat Desa Parpaudangan adalah masyarakat yang mengutamakan toleransi. Hal ini terlihat karena masyarakat Desa Parpaudangan terbagi kepada tiga aliran agama yang dianut oleh masyarakat tersebut. Sebagian masyarakat Desa Parpaudangan

Kehidupan beragama masyarakat Desa Parpaudangan sangatlah damai. Karena, masyarakat Desa Parpaudangan sangat menghargai dan menghormati keyakinan sesama penduduk di desa tersebut. Perbedaan agama yang dianut oleh masyarakat Desa Parpaudangan tidak pernah menimbulkan gesekan ataupun perselisihan di antara sesama masyarakat desa tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat yang menganut agama Kristen dan Katolik taat kepada ajarannya dan masyarakat yang menganut agama Islam taat kepada ajaran agamanya.

Mayoritas penduduk Desa Parpaudangan beragama Islam, namun bagi minoritas seperti Kristen dan Katolik tetap bisa bersosialisasi dan hidup rukun beragama dalam satu desa. Sebagian masyarakat Desa Parpaudangan taat menjalankan ibadahnya, walaupun sebagian dari penduduk masih ada yang menjalankan agama sebagai rutinitas, begitu juga bagi yang beragama Islam yang lebih mayoritas, sebahagiannya kurang dalam mengamalkan nilai- nilai Islam dan tidak mau mengetahui apakah yang diamalkan tesebut telah sesuai dengan syari’at Islam atau belum. Namun di setiap mesjid dan mushalla tetap dilaksanakan shalat berjama’ah pada malam harinya, seperti maghrib, isya dan subuh. Begitu juga dengan siangnya yaitu zhuhur dan asar, tetapi siang harinya kebanyakan masyarakat melakukan shalat sendiri-sendiri. Hal ini dikarenakan di siang hari kebanyakan masyarakat melakukan pekerjaan sehari-harinya seperti berkantor, berdagang dan lain-lain. Begitu juga dengan agama-agama lainnya seperti umat Kristen dan Katolik yang setiap hari minggunya rutin ke gereja untuk beribadah. (Desa Parpaudangan 2016)

Tabel 3.5 Agama Penduduk Desa Parpaudangan

No. Nama Agama Jumlah Jiwa

1. Islam 3.892 jiwa

2. Kristen 173 jiwa

3. Katolik

94 jiwa

Sumber Data: Data Statistik Desa Parpaudangan Dari tabel di atas diketahui bahwa mayoritas masyarakat Desa Parpaudangan adalah pemeluk agama Islam. Walaupun demikian tidak pernah terjadi perselisihan antara penduduk Desa Parpaudangan dalam hal beda keyakinan. Hal ini karena masyarakat Desa Parpaudangan menjunjung tinggi toleransi dalam bermasyarakat.

4.2. Sosial Kemasyarakatan

Masyarakat Desa Parpaudangan dalam struktur sosialnya membentuk kelompok-kelompok sosial, yaitu berkeluarga, berkampung, bermarga dan beralam. Pada umumnya Desa Parpaudangan dihuni oleh komunitas Batak Islam. Suku Batak mempunyai beberapa macam marga, diantaranya adalah Marga Sagala, Marga Munthe, Marga Ritonga, Marga Hasibuan, Marga Nainggolan dan lain sebagainya. Dalam tiap-tiap marga dipimpin oleh seorang raja yang masing-masing memimpin marga itu adalah raja Hatobangon. (Desa Parpaudangan 2016)

4.3. Adat Istiadat Masyarakat Desa Parpaudangan

Adat adalah tata cara hidup untuk mengatur keberadaan hubungan antara manusia, individu, karena adat itu juga tidak bisa kita lupakan dalam kehidupan sehari-hari selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Adat Istiadat merupakan peraturan yang mengatur perilaku masyarakat.

Mengenai adat istiadat di Desa Parpaudangan secara singkat dapat dikemukakan bahwa adat dan budaya yang berlaku di masyarakat pada umumnya adalah adat istiadat Batak atau Hela dan Babere. Artinya, dalam setiap acara perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan, maka pihak perempuan dibawa oleh pihak laki-laki ke rumah orang tua laki-laki. Garis keturunan yang dipakai adalah garis keturunan dari pihak laki-laki (Patrilineal). Disamping adat Batak, berlaku juga adat Jawa bagi pendatang yang bersuku jawa. Namun, dikarenakan suku jawa adalah pendatang maka adat Jawa tidak begitu mencolok di masyarakat Desa Parpaudangan. (Desa Parpaudangan 2016)

Adapun adat istiadat Desa Parpaudangan dalam hal kelahiran, perkawinan, kematian dan kewarisan adalah sebagai berikut:

a. Kelahiran Upacara kelahiran seorang anak di Desa Parpaudangan adalah suatu peristiwa yang membahagiakan bagi orang tuanya, telebih lagi apabila anak yang lahir adalah anak laki-laki. Seorang bayi yang lahir tesebut, jika umurnya telah sampai 1 atau 2 minggu maka anak tesebut akan dibawa ke luar rumah atau yang disebut dengan istilah patuekkon yang dipandu oleh seorang yang dituakan di Desa tesebut. Kemudian orang tua anak tersebut akan mengumumkan nama anaknya kepada para hadirin. Setelah hal itu terlaksana, maka dilaksanakan pemotongan rambut oleh seorang nenek sekaligus didoakan anak tersebut oleh ustadz yang diundang agar sehat dan a. Kelahiran Upacara kelahiran seorang anak di Desa Parpaudangan adalah suatu peristiwa yang membahagiakan bagi orang tuanya, telebih lagi apabila anak yang lahir adalah anak laki-laki. Seorang bayi yang lahir tesebut, jika umurnya telah sampai 1 atau 2 minggu maka anak tesebut akan dibawa ke luar rumah atau yang disebut dengan istilah patuekkon yang dipandu oleh seorang yang dituakan di Desa tesebut. Kemudian orang tua anak tersebut akan mengumumkan nama anaknya kepada para hadirin. Setelah hal itu terlaksana, maka dilaksanakan pemotongan rambut oleh seorang nenek sekaligus didoakan anak tersebut oleh ustadz yang diundang agar sehat dan

b. Perkawinan Dalam masalah perkawinan, adat yang dipakai adalah adat batak yang disebut dengan Dalihan Natolu apabila terjadi perkawinan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yang kedua-duanya sama orang batak, akan tetapi marganya tidak sama. Apabila terjadi perkawinan satu marga, maka seorang penghulu membuangnya dari adat karena ini adalah merupakan sebuah kesepakatan yang dibuat oleh penghulu dan raja supaya dapat ditaati. (Desa Parpaudangan 2016)

c. Kematian Pada masyarakat Desa Parpaudangan bila salah seorang penduduk meninggal dunia, pihak keluarga yang meninggal akan menghubungi kaum kerabat yang dekat terlebih dahulu yang ada di lingkungan tersebut. Setelah itu baru ada pemberitahuan meninggal dan dilkukan pemukulan kentong sebagai pemberitahuan kepada masyarakat kampung bahwa ada yang meninggal dunia di kampung tersebut. Setelah mengetahui siapa yang meninggal dunia, maka masyarakat secara spontan akan mendatangi rumah keluarga yang mendapat kemalangan tersebut, dan para keluarga dekatnya mengadakan musyawarah tentang di mana tempat pemakamannya serta jam berapa dimakamkan. Kemudian setelah itu, pergilah beberapa orang untuk menggali kuburan. Khusus para ibu-ibu menghibur keluarga yang ditinggalkan dengan membaca al-Qur’an serta surat Yasin sampai menunggu kuburan selesai digali dan sambil menunggu keluarga yang jauh sampai ke rumah duka. Setelah kuburan selesai digali, maka mayat tersebut segera dimandikan.

Setelah mayat dimandikan, kemudian mayat tersebut dikapani. Setelah selesai dikapani lalu mayat tersebut dishalatkan. Sebelum

dishalatkan salah satu ahli warisnya akan mewakili ahli waris lainnya untuk meminta maaf kepada seluruh kaum kerabat yang datang atas segala kesalahan yang dilakukan si mayat selama hidupnya dan apabila ada hutang piutangnya segera berurusan kepada ahli warisnya, setelah prosesi itu selesai barulah si mayat dishalatkan. Setelah selesai dishalatkan, selanjutnya mayat dimasukkan ke dalam keranda, sebelum diusung bersama-sama ke tempat pemakaman, para ahli warisnya kembali meminta izin kepada seluruh orang yang datang berta’ziah seandainya ada suatu perbuatan atau kesalahan yang dilakukan si mayat selama hidupnya di dunia, ahli waris meminta kerelaan dengan keikhlasan kepada para peta’ziah. Setelah ahli waris selesai meminta izin selanjutnya dijawab oleh salah seorang perwakilan dari peta’ziah untuk jawaban rela atau tidak mengizinkan atas perbuatan atau kesalahan si mayat. Setelah selesai diizinkan barulah dibawa ke tempat pemakaman. Sesampainya di tempat pemakaman, mayat tersebut dimasukkan ke liang lahat oleh 2-3 orang dari pihak keluarga untuk menguburkannya, sebelum meninggalkan kubur terlebih dahulu diadakan acara doa bersama di tempat pemakaman tersebut.

Pada malam harinya secara berturut-turut selama tiga malam diadakan pembacaan surat al-Ikhlas di rumah keluarga almarhum. Pada malam ketiga diadakan doa bersama untuk memintakan doa terhadap keluarga yang meninggal tersebut. Acara ini disebut juga doa doa meniga hari. Kemudian pada malam ke tujuh juga diadakan doa bersama begitu juga pada malam empat puluh hari dan seratus hari wafatnya almarhum. (Desa Parpaudangan 2016)

d. Warisan Sistem kewarisan di Desa Parpaudangan adalah sistem kewarisan batak, yang mana warisan turun kepada anak laki-laki. Dalam pembagian harta pusaka juga kepada anak laki-laki dan d. Warisan Sistem kewarisan di Desa Parpaudangan adalah sistem kewarisan batak, yang mana warisan turun kepada anak laki-laki. Dalam pembagian harta pusaka juga kepada anak laki-laki dan

Pembagian warisan biasanya mempertimbangkan kehidupan ekonomi keluarga mereka yang telah ada. Mana yang paling membutuhkan, itu yang dilebihkan hartanya. Akan tetapi, yang mendominasi adalah kepada anak laki-laki. Pembagian harta warisan di Desa Parpaudangan dilakukan terlebih dahulu sesuai kesepakatan para ahli waris. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka harta warisan dibagi menurut ilmu mawaris. (Desa Parpaudangan 2016)

BAB IV

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG SEWA-MENYEWA POHON DURIAN DI DESA

PARPAUDANGAN KECAMATAN KUALUH HULU KABUPATEN LABUHANBATU UTARA

1. Pelaksanaan Sewa-Menyewa Pohon Durian Di Desa Parpaudangan

Sewa-menyewa pohon durian di Desa Parpaudangan pertama kali dilakukan oleh penduduk Desa Parpaudangan pada tahun 1980 dan masih berlangsung sampai sekarang. Sewa-menyewa ini dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan karena pemilik pohon durian ingin melakukan rutinitas lainnya. Apabila pemilik pohon durian yang penjagaan dan mengambil buahnya tanpa menyewakannya kepada penyewa maka pemilik pohon durian harus meluangkan waktu yang banyak untuk menjaga pohon durian tersebut. Sedangkan bagi penyewa yang menjadi alasan melakukan penyewaan pohon durian adalah keuntungan yang ingin didapat dari hasil penjualan durian.

Sewa-menyewa pohon durian ini dilakukan pada saat pohon durian sudah berbuah, dan buah duarian tersebut akan matang dalam jangka waktu sebulan kemudian. Penyewa akan melihat pohon dan buah durian yang tersebut, kemudian penyewa memperkirakan jumlah buah durian yang telah dilihatnya. Dikarenakan penyewa ingin mendapatkan keuntungan pada saat panen maka penyewa memperhitungkan jumlah buah yang telah dihitungnya dengan setengah harga jual buah durian pada saat panen. Selanjutnya, penyewa dan pemilik pohon durian membuat kesepakatan harga dan melakukan perjanjian sewa-menyewa dengan ketentuan sebagai berikut:

e. Penyewa wajib membayar uang sewa pada saat perjanjian dilakukan. f. Jangka waktu sewa-menyewa pohon durian adalah satu kali masa panen

dan harus sampai buah durian tersebut habis semua. g. Selama dalam jangka waktu sewa-menyewa, yang mengambil buah dan

mengurus pohon durian adalah penyewa.

h. Segala akibat yang muncul selama jangka waktu sewa-menyewa menjadi resiko oleh masing-masing pihak.(Mukhlis 2016)

Selain itu, dalam perjanjian sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan, pohon durian yang disewa adalah seluruh pohon durian milik si pemilik, baik yang berbuah maupun yang tidak berbuah.(Sukirno 2016) Dan apabila penyewa tidak berkeinginan untuk menyewa beberapa pohon dari total keseluruhan pohon dengan alasan penyewa sudah pernah menyewa pohon tersebut dan menghasilkan buah yang tidak layak untuk dijual maka penyewa diperbolehkan untuk melakukan hal tersebut. (Sitorus 2017)

Pada sewa-menyewa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan, harga sewa didasarkan pada banyak buah durian yang ada disetiap pohon durian. Pohon durian yang memiliki buah yang banyak sekitar 250 sampai 300 buah biasanya harga sewanya sebesar Rp 1.100.000 (satu juta seratus ribu rupiah). Sedangkan pohon durian yang buahnya sedikit biasanya harga sewanya dihitung secara pengelompokan. Misalnya, empat pohon memiliki buah sekitar 40-50 buah perpohonnya, maka harga sewanya dihitung keseluruhan dari keempat pohon tersebut, biasanya kalau buahnya 40-50 buah harga sewanya Rp 700.000 (tujuh ratus ribu rupiah). Disamping itu, pohon durian yang dalam keadaan tidak berbuah juga termasuk objek sewa dengan harga sewa yang dimasukkan pada harga sewa pohon durian yang berbuah. Artinya, harga sewa pohon durian yang berbuah sekaligus mencakup pohon yang sedang dalam keadaan tidak berbuah. Namun, harga sewa pohon durian dipengaruhi oleh harga jual durian dipasaran. Apabila harga buah durian dipasaran rendah maka rendah pula harga sewa pohon durian. Sebaliknya apabila harga buah durian dipasaran mahal maka mahal pula harga sewa pohon durian. (Ritonga. 2017)

Berdasarkan wawancara dengan bapak Rabiun Harahap, bahwa di tahun 2014 bapak Rabiun Harahap menyewakan pohon duriannya sebanyak 10 pohon. Pada saat itu harga sewa seluruh pohon durian yang disepakatinya dengan penyewa adalah Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Begitu juga di tahun 2015, ia masih menyewakan seluruh pohon duriannya Berdasarkan wawancara dengan bapak Rabiun Harahap, bahwa di tahun 2014 bapak Rabiun Harahap menyewakan pohon duriannya sebanyak 10 pohon. Pada saat itu harga sewa seluruh pohon durian yang disepakatinya dengan penyewa adalah Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Begitu juga di tahun 2015, ia masih menyewakan seluruh pohon duriannya

Bapak Suprayetno mengatakan bahwa ia menyewa pohon durian semenjak tahun 2012. Kerugian yang pernah dialaminya adalah saat ia pertama kali menyewa pohon durian karena beberapa pohon durian yang disewanya memiliki buah dengan rasa yang tidak enak. Sehingga buah durian tersebut kurang laku di pasaran. Selain itu, buah yang jatuh sebelum matang juga menyebabkan kerugian padanya saat menyewa pohon durian. (Suprayetno. 2017)

Sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan ada dua bentuk. Pertama, penyewa boleh memilih pohon mana yang akan disewanya. Kedua, penyewa menyewa seluruh pohon durian yang dimiliki pemilik baik yang berbuah maupun tidak berbuah dengan harga yang dimasukkan kepada harga sewa durian yang berbuah.

Dari hasil wawancara yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui beberapa hal yang menjadi alasan dilakukannya sewa-menyewa pohon durian oleh masyarakat Desa Parpaudangan, yaitu sebagai berikut:

a. Adanya keuntungan yang diperoleh oleh pemilik pohon dan penyewa. b. Memberikan keluangan waktu bagi pemilik pohon untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. c. Tertolongnya ekonomi pemilik pohon durian dan penyewa

Pada sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan terdapat dua masalah objek sewa yang menjadi pokok permasalahan sewa-menyewa dalam Islam, yaitu: Pada sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan terdapat dua masalah objek sewa yang menjadi pokok permasalahan sewa-menyewa dalam Islam, yaitu:

2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sewa-Menyewa Pohon Durian

Sebelum membahas tinjauan hukum Islam terhadap sewa-menyewa pohon durian, perlu kita ketahui terlebih dahulu pengertian hukum Islam itu sendiri. Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. (Syarifuddin. 2008. 5) Secara sederhana pengertian hukum yaitu “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikuti untuk seluruh anggotanya”.

Bila kata “hukum” menurut defenisi di atas dihubungkan kepada kata “Islam” atau “Syara’”, maka “Hukum Islam” akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan Rasul SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam. (Syarifuddin. 2014. 6) Ahli ushul mendefenisikan hukum Islam ialah “Khitab (titah) Allah yang menyangkut tindak tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan”. (Syarifuddin. 2014. 52)

Bertitik tolak dari defenisi hukum Allah SWT atau hukum Islam yang disebutkan di atas, semua ahli ushul baik yang klasik maupun yang kontemporer membagi atau mengelompokkan hukum Syara’ menjadi dua, yaitu:

a. Hukum Taklifi Hukum taklifi adalah titah Allah SWT yang berhubungan dengan tuntutan dan pilihan. (Syarifuddin. 2008. 310) Dari segi yang dituntut, taklifi a. Hukum Taklifi Hukum taklifi adalah titah Allah SWT yang berhubungan dengan tuntutan dan pilihan. (Syarifuddin. 2008. 310) Dari segi yang dituntut, taklifi

a) Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali ditinggalkan sehingga orang yang meninggalkan patut mendapat ancaman Allah. Hukum taklifi dalam bertuk ini disebut ijab. b) Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbutan itu dituntut untuk dilaksanakan, terhadap yang melaksanakan berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa. Tuntutan seperti ini disebut nadb. c) Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, dengan arti yang dituntut

Bila seseorang meninggalkannya maka ia telah patuh kepada yang melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran dalam bentuk pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti ia menyalahi tuntutan Allah. Karenanya patut mendapat ancaman dosa. Tuntutan dalam bentuk ini disebut tahrim. d) Tuntutan untuk meninggalkan atau larangann secara tidak pasti, dengan arti masih mungkin ia meninggalkan larangan itu. Orang yang meninggalkan larngan berarti ia telah mematuhi yang melarang. Karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak pastinya larangan ini, maka yang tidak meninggalkan larangan ini tidak mungkin disebut menyalahi yang melarang. Karenanya ia tidak berhak mendapat ancaman dosa. Larangan dalam bentuk ini disebut karaha. e) Titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, baik mengerjakn maupun

harus

meninggalkannya.

meninggalkan. Karenanya bila ia melakukan perbuatan itu atau tidak ia tidak diberi ganjaran dan tidak pula dapat ancaman. Hukum dalam bentuk in disebut ibahah. (Syarifuddin. 2008. 310)

b. Hukum Wadh’i Hukum wadh’i ketentuan-ketentuan yang diletakkan sebagai pertanda atau untuk ditaati dengan baik, karena mempengaruhi terwujudnya perbuatan-perbuatan taklif lain yang terkait langsung dengan ketentuan-ketentuan wadh’i tersebut. Hukum wadh’i ada beberpa macam yaitu:

a) Sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. Bila sebab itu terdapat, berlangsunglah hukum taklifi, seandainya sebab itu tidak ada maka hukum taklifi dianggap tidak ada. Hukum wadh’i dalam bentuk in disebut “sebab”. b) Sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi. Bila syarat itu belum terpenuhi, maka hukum taklifii belum dianggap ada. Hukum wadh’i dalam bentuk ini disebut “syarat”. c) Sesutu yang dijadikan pembut hukum sebgai penghlang berlangsungnya hukum taklifi. Bila hal tersebut ada pada waktu pelaksanaan hukum taklifi, maka hukum taklifi itu menjadi tidak berlaku. Hukum wadh’i ini disebut mani’. d) Shah yaitu akibat hukm dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’. e) Bathal yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’. f) Azimah yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil uum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya.

g) Rukhshah yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu. (Syarifuddin. 2008. 313-314)

Berdasarkan pengertian hukum Islam yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diketahui bahwa sewa-menyewa tergolong kepada hukum taklifi, yaitu ibahah atau kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sewa-menyewa, termasuk juga sewa menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara. Meskipun boleh untuk dilakukan, sewaa-menyewa baru sah untuk dilakukan apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Terpenuhinya rukun dan syarat dalam sewa menyewa adalah termasuk kepada hukum wadh’i. Oleh sebab itu pada bab ini akan dianalisa rukun dan syarat sewa-menyewa pohon durian.

2.1. Analisis terhadap Pelaksanaan Sewa-menyewa Pohon Durian di

Desa Parpaudangan

Sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan, telah memenuhi rukun sewa dalam Islam. Permasalahan yang terdapat pada sewa-menyewa pohon durian adalah pada syarat objek sewa. Objek sewa pada sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan adalah nilai buah durian ketika sudah matang. Selain itu, pohon yang disewa penyewa adalah seluruh pohon durian yang dimiliki pemilik pohon. Oleh sebab itu akan dianalisa dua hal tesebut.

Pertama, objek sewa pada sewa-menyewa pohon durian adalah nilai buah durian ketika matang. Dalam Islam objek sewa-menyewa disyaratkan:

a. Manfaat dari pekerjaan harus yang dibolehkan syara’, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.

b. Manfaat dari pekerjaan harus diketahui oleh kedua pihak sehingga tidak muncul pertikaian dan perselisihan di kemudian hari. c. Manfaat dari objek yang akan diijarahkan sesuatu yang dapat dipenuhi secara hakiki. d. Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari persengketaan atau perbantahan. e. Perbuatan yang di-ijarah-kan bukan perbuatan yang diwajibkan bagai musta'jir seperti sholat, puasa dan lain-lain f. Pekerjaan yang di-ijarah-kan menurut kebiasaan dapat di-ijarah-kan. g. Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna

sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat yang akan menjadi obyek al-ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. (Haroen 2000, 233)

Dalam Islam, objek sewa disyaratkan harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Objek sewa pada sewa-menyewa pohon durian adalah nilai buah durian ketiaka sudah matang. Sewa-menyewa pohon durian dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan ketika pohon durian sudah berbuah, dan buah tesebut akan panen dalam jangka waktu kurang lebih sebulan dari waktu akad sewa dilakukan. Biasanya pada saat itu buah durian telah melalui masa buang busuk. Sehingga telah tampak baiknya dan sudah dipastikan bahwa buah yang tersisah dari masa buang busuk menurut kebiasaan akan menjadi buah yang matang.

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW.

Artinya: Hadits ‘Abdullah bin Umar ra., bahwasa Rasulullah saw. melarang memperjualbelikan buah-buahan dipohonnya sampai sehingga nampak baiknya. Beliau mencegah penjual dan pembelinya. (HR. Bukhari dan Muslim)(Baqi 1993, 331-332)

Ibnu Umar menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “sehingga nampak baiknya” adalah hingga hilang darinya penykit dengan sebab tampai membaik. Seperti dijelaskan oleh Imam Muslim dalam riwayatnya melalui jalu Syu’bah dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, “dikatakan kepada Ibnu Umar, apakah maksud tampak masak? Dia menjawab: hilang penyakitnya”. (Al-Asqalani. 2005. 342)

Pada hadits di atas, terdapat dalil bahwa yang dimaksud dengan “tampak masak” adalah makna yang lebih dari sekedar munculnya buah- buahan itu (masih putik). Adapun sebab munculnya larangan itu adalah karena kekhawatiran akan adanya unsur penipuan akibat banyaknya penyakit yang menimpa buah-buahan pada awal kemunculannya hingga tampak tanda-tanda akan masak. (Al-Asqalani. 2005. 344) Oleh sebab itu, manfaat yang menjadi objek sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan telah dapat diketahui secara sempurna. Karena, sewa-menyewa pohon durian dilakukan setelah buah durian tersebut melewati masa buang busuk. Sehingga, dapat dipastikan bahwa buah yang tersisa dari masa buang busuk akan menjadi buah matang. Maka dapat disimpulkan bahwa syarat objek sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan telah terpenuhi.

Kedua, pohon durian yang disewa penyewa adalah seluruh pohon durian milik pemilik pohon. Maksudnya adalah, ketika pemilik pohon memiliki 7 (tujuh) pohon durian dan yang berbuah hanya 6 (enam) pohon, lalu penyewa menyewa pohon duriannya, maka harga sewa 6 (enam) pohon yang disewa tersebut mencakup pohon durian yang tidak berbuah. Apabila pohon durian yang tidak berbuah ketika akad sewa dilakukan, kemudian berbuah pada saat pohon yang berbuah panen maka harus ditunggu sampai buah pohon durian yang baru berbuah tersebut panen seluruhnya. Sedangkan dalam Islam salah satu rukun sewa-menyewa adalah adanya Kedua, pohon durian yang disewa penyewa adalah seluruh pohon durian milik pemilik pohon. Maksudnya adalah, ketika pemilik pohon memiliki 7 (tujuh) pohon durian dan yang berbuah hanya 6 (enam) pohon, lalu penyewa menyewa pohon duriannya, maka harga sewa 6 (enam) pohon yang disewa tersebut mencakup pohon durian yang tidak berbuah. Apabila pohon durian yang tidak berbuah ketika akad sewa dilakukan, kemudian berbuah pada saat pohon yang berbuah panen maka harus ditunggu sampai buah pohon durian yang baru berbuah tersebut panen seluruhnya. Sedangkan dalam Islam salah satu rukun sewa-menyewa adalah adanya

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" . (Depag RI. 2005. 388)

Ayat di atas menjelaskan tentang seorang dari kedua wanita itu berkata kepada Ayahnya untuk mempekerjakan seorang pemuda untuk menggembala atau mengurus domba piaraannya dengan memberikan gaji. Sesungguhnya, ia adalah orang yang paling baik yang engkau pekerjakan, karena tenaganya kuat dan seseorang yang dapat dipercaya. (Quthb. 2001.

41) Dari ayat di atas diketahui bahwa jelasnya manfaat dari ijarah yang di sarankan oleh wanita tersebut, yaitu untuk mengembala atau mengurus domba piaraannya.

Pada bentuk sewa-menyewa pohon durian yang kedua, manfaat yang menjadi objek sewa-menyewa tidak dapat diketahui secara sempurna. Karena manfaat yang menjadi objek sewa pada sewa-menyewa pohon durian dalah buahnya ketika sudah matang. Sedangkan, pada saat akad sewa dilakukan pohon tersebut tidak dalam keadaan berbuah, sehingga manfaat yang ingin diperoleh tidak dapat dikethaui secara sempurna bahkan pohon tersebut tidak bermanfaat karena tidak berbuah.

Sewa-menyewa pohon durian yang tidak bermanfaat sama halnya memakan harta orang lain secara batil. Karena ketika pohon durian yang disewa tersebut berbuah maka penyewa memperoleh keuntungan Sewa-menyewa pohon durian yang tidak bermanfaat sama halnya memakan harta orang lain secara batil. Karena ketika pohon durian yang disewa tersebut berbuah maka penyewa memperoleh keuntungan

         

             



Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama- suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah SWT. adalah Maha Penyayang kepadamu. (Depag RI. 2005. 83)

Ayat ini memberikan kesan bahwa larangan ini merupakan tindakan penyucian terhadap sisa-sisa kehidupan jahiliah yang masih bercokol pada masyarakat Islam. Diiringinya hati kaum muslimin dengan seruah ini “Hai orang-orang yang beriman!” Dihidupkannya konsekuensi dan konsekuensi sifat, yang dengan sifat itulah Allah SWT. memanggil mereka untuk dilarang dari memakan harta secara batil. Memakan harta secara batil ini meliputi semua cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau tidak dibenarkan Allah SWT., yakni dilarang oleh-Nya. Di antaranya dengan cara menipu, menyuap, berjudi, menimbun barang-barang kebutuhan pokok untuk menaikkan harganya, dan semua bentuk jual beli yang haram, serta sebagai pemukanya adalah riba. Dikecualikanlah dari larangan ini aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela antara penjual dan pembeli. (Quthb. 2001. 342) Dari uraian di atas, maka dapat dikethui bahwa bentuk sewa-menyewa pohon durian yang kedua tidak memenuhi rukun sewa- menyewa.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Dari uraian teori dan analisis terhadap permasalahan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpiulan sebagai berikut:

1.1. Sewa-menyewa pohon durian dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan pada saat pohon durian sudah berbuah dan telah melewati masa buang busuk. Manfaat yang menjadi objek sewa- menyewanya adalah nilai buah durian yang belum matang tersebut ketika sudah matang. Sedangkan harga sewa pohon durian diambil berdasarkan perhitungan jumlah banyak buah pada pohon yang disewa dengan setengah harga jual buah durian matang pada saat sewa-menyewa dilakukan. Terdapat dua bentuk praktik sewa- menyewa pohon durian yang dilakukan masyarakat Desa Parpaudangan, yaitu:

a. Bentuk pertama, penyewa boleh memilih pohon mana yang akan disewanya. b. Bentuk kedua, pohon yang disewa penyewa adalah seluruh pohon durian milik pemilik baik yang berbuah maupun yang tidak berbuah.

1.2. Hukum Sewa-menyewa pohon durian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parpaudangan adalah sebagai berikut:

a. Pada bentuk sewa-menyewa pohon durian yang pertama hukumnya adalah sah karena telah memenuhi rukun dan syarat ijarah. b. Pada bentuk sewa-menyewa pohon durian yang kedua hukumnya adalah batal karena terdapat salah satu rukun ijarah yang tidak terpenuhi, yaitu manfaatnya tidak ada.

2. Saran

2.1. Kepada masyarakat Desa Parpaudangan yang melakukan sewa- menyewa pohon durian bentuk yang kedua agar dapat meninggalkan peraktek sewa-menyewa pohon durian tersebut. Karena sewa- menyewa seperti itu sama halnya memakan harta orang lain secara batil. 2.2. Kepada ulama yang ada di Desa Parpaudangan Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara, hendaklah dalam melakukan pengajian atau tausyiah untuk memberikan pendalaman pemahaman agama terutama dalam bidang muamalah, sehingga masyarakat Desa Parpudangan dapat menjalanka syari’at Islam dalam setiaap sendi kehidupan serta mengetahui apa yang diperbolehlan dan apa yang dilarang oleh syara’.