Relevansi Enam Nasehat Imam Syafi’i Dengan Pendidikan

B. Relevansi Enam Nasehat Imam Syafi’i Dengan Pendidikan

1. Kecerdasan/intelegensi

Konsep Intelegensi menimbulkan kontroversi dan debat panas, sering kali sebagai reaksi terhadap gagasan bahwa setiap orang punya kapasitas mentalumum yang dapat diukur dan dikuantifikasikan dalam angka. Inteligensi adalah suatu istilah yang popular. Hampir semua orang sudah mengenal istilah tersebut, bahkan mengemukakannya. Seringkali kita dengar Konsep Intelegensi menimbulkan kontroversi dan debat panas, sering kali sebagai reaksi terhadap gagasan bahwa setiap orang punya kapasitas mentalumum yang dapat diukur dan dikuantifikasikan dalam angka. Inteligensi adalah suatu istilah yang popular. Hampir semua orang sudah mengenal istilah tersebut, bahkan mengemukakannya. Seringkali kita dengar

inter dan lego, inter yang berarti diantara, sedangkan lego berarti memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk memilih suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran. (John, 2011:134)

Menurut Wangmuba inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi. K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian. Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan Menurut Wangmuba inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi. K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian. Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan

Intelegensi merupakan potensi bawaan yang sering dikaitkan dengan berhasil tidaknya anak belajar disekolah. Dengan kata lain, intelegensi dianggap sebagai faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya anak disekolah. Kecerdasan (Inteligensi) secara umum dipahami pada dua tingkat yakni: kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Sternberg dalam Santrock mengatakan bahwa secara umum intelegensi dibedakan menjadi 3 diantaranya:(Syaiful, 2011:135)

a. Inteligensi Analitis Yaitu kecerdasan yang lebih cenderung dalam proses penilaian objektif dalam suatu pembelajaran dalam setiap pelajaran, selalu mendapatkan nilai yang bagus dalam setiap hasil ujian. Misalnya: seorang individu dalam ujian disetiap pelajarannya selalu mendapatkan nilai di atas rata-rata.

b. Inteligensi Kreatif Yaitu kecerdasan yang lebih cenderung pada sifat-sifat yang unik, merancang hal-hal yang baru. Misalnya: seorang peserta didik b. Inteligensi Kreatif Yaitu kecerdasan yang lebih cenderung pada sifat-sifat yang unik, merancang hal-hal yang baru. Misalnya: seorang peserta didik

c. Inteligensi Praktis Yaitu kecerdasan yang berfokus pada kemampuan untuk menggunakan, menerapkan, mengimplementasikan, dan mempraktikan. Misalnya: seorang individu mendapatkan skor rendah dalam tes IQ tradisional, tetapi dengan cepat memahami masalah dalam kehidupan nyata, contohnya dalam pembelajaran praktikum di laboratorium, akan cepat memahami karena dibantu dengan berbagai peralatan dan media. Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap individu memiliki tingkat

intelegensi yang berbeda. Perbedaan intelegensi itu, dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut: (Fauziah, 2011:47)

a. Pengaruh faktor bawaan Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ) orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( + 0,10 – +0,20 ).

b. Pengaruh faktor lingkungan Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah b. Pengaruh faktor lingkungan Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah

c. Stabilitas inteIigensi dan IQ Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas intelegensi tergantung perkembangan organik otak.

d. Pengaruh faktor kematangan Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya (berkaitan erat dengaan umur).

e. Pengaruh faktor pembentukan Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti disekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).

f. Minat dan pembawaan yang khas Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan- dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi f. Minat dan pembawaan yang khas Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan- dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi

g. Kebebasan Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode- metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. (Fauziah, 2011:48)

Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seseorang, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.

2. Motivasi

Pengaruh motivasi terhadap seseorang tergantung seberapa besar motivasi itu mampu membangkitkan motivasi seseorang untuk bertingkat laku. Dengan motivasi yang besar, maka seseorang akan melakukan sesuatu pekerjaan dengan lebih memusatkan pada tujuan dan akan lebih intensif pada proses pengerjaannya. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri seseorang yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegaitan belajar dan memberikan arah pada kegiatna belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai.

Motivasi dapat dibedakan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sejalan dengan itu pula, Suryabrata juga membagi motivasi menjadi 2 yaitu: a) motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi karena adanya rangsangan dari luar; dan b) motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi meskipun tidak mendapat rangsangan dari luar. (Sardiman, 2005:189)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar pada dasarnya ada dua yaitu: motivasi yang datang sendiri dan motivasi yang ada karena adanya rangsangan dari luar. Kedua bentuk motivasi belajar ini sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar. Setiap motivasi itu bertalian erat hubungan dengan tujuan atau suatu cita-cita, maka makin tinggi harga suatu tujuan itu, maka makin kuat motivasi seseorang untuk mencapai tujuan. Purwanto mengatakan bahwa fungsi motivasi ada 3 sebagai berikut: (Hasibuan, 2003:104).

a. Motivasi itu mendorong manusia untuk berbuat atau bertindak, motivasi ini berfungsi sebagai penggerak atau sebagai motor yang memberikan energi kepada seseorang untuk melakukan sesuatu.

b. Motivasi itu menentukan arah perbuatan ke arah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita, dalam hal ini motivasi mencegah penyelewengan dari jalan b. Motivasi itu menentukan arah perbuatan ke arah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita, dalam hal ini motivasi mencegah penyelewengan dari jalan

c. Motivasi itu menyeleksi perbuatan kita, artinya menentukan perbuatan mana yang dilakuan dilakukan, yang serasi, guna mencapai tujuan itu dengan mengenyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.

Dalam kajian teori motivasi ada yang dikenal dengan teori kebutuhan. Teori ini dikemukakan oleh A.H. Maslow yang mengemukakan bahwa orang termotivasi untuk melakukan sesuatu karena didasari adanya kebutuhan dalam dirinya, yang terbagi menjadi 5 (lima) kebutuhan sebagai berikut:

a. Kebutuhan fisiologis yang merupakan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup atau juga disebut kebutuhan pokok yang terdiri dari kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal

b. Kebutuhan rasa aman yang meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja dan jaminan hari tua

c. Kebutuhan sosial yang berupa kebutuhan-kebutuhan seseorang untuk diterima dalam kelompok tertentu yang menyenangkan bagi dirinya

d. Kebutuhan penghargaan seperti halnya kabutuhan bagi seorang pegawai yang bekerja dengan baik tentu ingin mendapat penghargaan dan pengakuan dari atasan ataupun pujian dari teman kerjanya atas prestasinya.

e. Kebutuhan aktualisasi diri yang berupa kebutuhan yang muncul dari seseorang dalam proses pengembangan potensi dan kemampuannya untuk menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. (Hasibuan, 2003:107).

3. Ketekunan

Tekun berarti bersungguh-sungguh dan terus menerus dalam bekerja meskipun mengalami kesulitan, hambatan dan rintangan. Dalam menuntut ilmu pengetahuan, kita tidak boleh setengah-setengah karena ilmu pengetahuan itu sangat penting bagi kehidupan. Sikap tekun menjadikan diri kita lebih terampil dan mumpuni dalam bidang yang kita tekuni. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ada dua macam yaitu:

a. Faktor internal, yaitu faktor yang timbul dari dalam anak itu sendiri Faktor ini meliputi: (Nur Azizah, 2010: 22)

1) Faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Yang termasuk faktor ini adalah panca indra yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, seperti mengalami sakit, cacat tubuh atau perkembangan yang tidak sempurna, berfungsinya kelenjar tubuh yang membawa kelainan tingkah laku.

2) Faktor psikologis, baik yang bersifat bawaan atau yang diperoleh, faktor ini terdiri atas:

3) Faktor intelek yang meliputi faktor potensial, yaitu kecerdasan dan bakat serta faktor kecakapan nyata, yaitu prestasi yang dimiliki

4) Faktor non intelek yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat kebutuhan, motivasi, emosi dan penyesuaian diri.

5) Faktor kematangan fisik maupun psikis.

b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berada dari luar si anak. Faktor ini meliputi: (Nur Azizah, 2010: 23)

1) Faktor keluarga Keluarga sangat menentukan sekali pola tingkah laku anak, bagaimana orang tua mendidik anak, hubungan anggota keluarga, keadaan rumah, keadaan ekonomi keluarga, dan latar belakang kebudayaan keluarga sangat harmonis tanpa konflik akan memberi dorongan anak untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu di madrasah yang didudukinya, anak dapat hidup tenang, nyaman, tanpa terusik oleh kondisi lingkungan keluarga di rumah.

2) Faktor sekolah

a) Metode Pembelajaran Metode pembelajaran yang dibawakan oleh guru yang

kurang baik akan mempengaruhi belajar anak yang tidak baik pula. Ini terjadi karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga keterangan guru menjadi kurang jelas dan akibatnya siswa menjadi malas belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, maka metode pembelajaran harus diusahakan tepat, efisien dan efektif.

b) Relasi guru-siswa Relasi guru siswa yang baik akan membuat siswa menjadi

menyukai guru, juga mata pelajaran yang diberikannya, sehingga siswa berminat dengan sebaik-baiknya. Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara akrab menyebabkan proses menyukai guru, juga mata pelajaran yang diberikannya, sehingga siswa berminat dengan sebaik-baiknya. Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara akrab menyebabkan proses

c) Relasi siswa dengan siswa Menciptakan relasi yang baik antara siswa adalah perlu,

agar dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap ketekunan belajar siswa.

3) Faktor masyarakat Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh

terhadap ketekunan belajar murid, pengaruh ini terjadi karena keberadaan dalam masyarakat. (Nur Azizah, 2010: 24)

a) Kegiatan siswa dalam masyarakat Kegiatan

menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya, tetapi jika siswa terlalu banyak ambil kegiatan dalam kegiatan masyarakat akan terganggu belajarnya, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktu, perlu kiranya membatasi siswa dalam masyarakat.

siswa

dapat

b) Media massa Media yang baik akan memberi pengaruh yang baik terhadap siswa dan juga terhadap belajarnya, begitu pula sebaliknya. Adapun media-media tersebut adalah bioskop, radio, televisi, surat kabar, majalah, buku-buku komik dan lain-lain. Jadi perlu sekali siswa mendapatkan bimbingan yang cukup bijaksana baik dari pihak pendidik maupun orang tua.

c) Teman bergaul Agar siswa dapat belajar dengan baik maka perlu diusahakan mempunyai teman bergaul yang baik, pembinaan pergaulan yang baik serta pengawasan dari orang tua atau pendidik harus cukup bijaksana.

d) Bentuk kehidupan masyarakat Kehidupan masyarakat disekitar siswa juga berpengaruh terhadap ketekunan siswa, masyarakat yang terdiri dari orang yang tidak terpelajar akan berpengaruh jelek terhadap anak yang belajar di situ. Sebaliknya jika lingkungan anak adalah orang- orang yang terpelajar, baik-baik, antusias dengan cita-cita yang luhur, maka akan terpengaruh dengan apa yang ada di sekitarnya, adalah perlu mengusahakan dengan lingkungan belajar yang baik dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap anak didik atau siswa, sehingga dapat belajar dengan sebaik-baiknya.

4) Sikap siswa di sekolah Ketekunan belajar siswa diartikan sebagai suatu kekuatan pendorong bagi siswa untuk lebih aktif dan bersungguh dalam menuntut ilmu di madrasah baik yang berasal dari dalam diri maupun dari luar. Pola tingkah laku siswa yang memiliki ketekunan belajar adalah sebagai berikut:

a) Aktif mengikuti pelajaran

b) Memperhatikan penjelasan guru b) Memperhatikan penjelasan guru

d) Kesediaan bertanya terhadap hal-hal yang belum jelas

e) Tekun berlatih

f) Menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya

g) Mencatat hah-hal yang dianggap penting

h) Kerajinan belajar di rumah. (Nur Azizah, 2010: 25)

4. Media

Secara harfiah kata media memiliki arti “perantara” atau “pengantar”. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, media adalah alat (sarana) komunikasi. Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication Technology/AECT) di Amerika membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yan digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi.Dan agak berbeda batasan yang diberikan oleh NEA (National Education Association) berpendapat bahwa media adalah segala benda yang dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Menurut Raharjo dalam buku terbitan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, definisi “media adalah: a). Media merupakan wadah atau tempat dari pesan yang oleh sumbernya akan diteruskan kepada sasarannya pesan tersebut, b). Materi yang ingin disampaikan adalah pesan pengajaran, dan tujuan yang ingin disampaikan adalah terjadinya proses

belajar”. (Sukarno, 2009:9)

Sementara itu Purnamawati dan Eldarni mengemukakan “Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belaja r”. Pada artikel yang sama Heinich, Molenda, Russel menyatakan bahwa media adalah: “A medium (plural media) is a channel of communication, example include film, television, diagram, printed materials, computers, and instructors. (Media adalah saluran komunikasi termasuk film, televisi, diagram, materi tercetak, komputer, dan instruktur”.

Sedangkan menurut Oemar Hamalik dalam bukunya Fatah Syukur, mendefinisakan “Media sebagai teknik yang digunakan dalam rangka lebih

mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah”. (Sukarno, 2009:10)

Berdasarkan uraian yang panjang dari beberapa ahli tentang batasan media pembelajaran dalam pendidikan, dapat penulis simpulkan ciri-ciri umum yang terkandung dalam pengertian media yaitu :

a. Media pembelajaran (intruction) memiliki pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas.

b. Media pembelajaran digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru serta siswa dalam proses pembelajaran.

c. Media pembelajaran memiliki pengertian fisik yang dikenal sebagai hardware (perangkat keras), yaitu suatu benda yang dapat dilihat, di dengar atau di raba dengan panca indera.

d. Media pembelajaran memiliki pengertian non fisik yang dikenal sebagai software (perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat di dalam perangkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada siswa.

e. Media adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk meyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, dapat membangkitkan semangat, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran pada diri siswa. (Sukarno, 2009:11)

Suatu proses belajar mengajar, terdapat dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan media pengajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pengajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, antara lain tujuan pengajaran, jenis tugas dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa.

Guru hendaknya dapat menggunakan peralatan yang lebih ekonomis, efisien dan mampu dimiliki oleh sekolah serta tidak menolak digunakannya peralatan teknologi modern yang relevan dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. (Asnawir, 2002:17) Sedangkan menurut Yusuf Hadimiarso, dalam “Teknologi Komunikasi Pendidikan”, hambatan-hambatan

komunikasi yang sering timbul disebabkan oleh:

a. Verbalisme ketergantungan pada penggunaan kata-kata lisan untuk memberikan penjelasan.

b. Kekacauan penafsiran, misalkan istilah yang sama dapat ditafsirkan berbeda.

c. Perhatian yang bercabang, tidak dapat memusatkan perhatian.

d. Tidak ada tanggapan, proses berfikir tidak berlangsung.

e. Kurang perhatian.

f. Keadaan fisik lingkungan belajar yang mengganggu. (Yusufhadi, 1986: 109)

5. Memiliki guru

Guru dituntut untuk dapat membentuk kompetensi dan kualitas pribadi anak didiknya. Untuk mencapai hal demikian timbul pertanyaan, sebenarnya peran apa saja yang harus dimiliki oleh seorang guru sehingga anak didik bisa berkembang optimal?, Cukupkah peran guru seperti yang telah disampaikan di atas ataukah ada peran lain yang harus dilakoni seorang guru?, Beragam pertanyaan tadi dapat menyebabkan beban mental bagi seorang calon guru ataupun guru yang sudah lama mengabdi. Apakah saya mampu menjadi guru yang ideal?, Peran apa yang harus saya lakoni untuk menjadi guru yang ideal?, Demikian pertanyaan yang timbul dalam hati seorang guru yang berniat mengabdikan sisa hidupnya di dunia pendidikan.

Pertanyaan tersebut sebelumnya telah menggugah sejumlah pengamat dan ahli pendidikan. Mereka telah meneliti peran-peran apa yang harus dimiliki seorang guru supaya tergolong kompeten dalam pembelajaran maupun pergaulan di masyarakat.

Para pakar pendidikan di Barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang harus dilakoni. Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young, Manan serta Yelon dan Weinstein. Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai berikut : (Muhaimin, 2006:138)

a. Guru Sebagai Pendidik Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Peran guru sebagai pendidik (nurturer) berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.

b. Guru Sebagai Pengajar Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, b. Guru Sebagai Pengajar Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal,

c. Guru Sebagai Pembimbing Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggungjawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks. Sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut:

Pertama , guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai. Kedua, guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis. Ketiga, guru harus memaknai kegiatan belajar. Keempat, guru harus melaksanakan penilaian.(Abuddin, 2007:237)

d. Guru Sebagai Pengelola Pembelajaran Guru harus mampu menguasai berbagai metode pembelajaran. Selain itu ,guru juga dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan d. Guru Sebagai Pengelola Pembelajaran Guru harus mampu menguasai berbagai metode pembelajaran. Selain itu ,guru juga dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan

e. Guru Sebagai Anggota Masyarakat Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya. Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.

f. Guru sebagai administrator Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Guru akan dihadapkan pada berbagai tugas administrasi di sekolah. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

g. Guru Sebagai Penasehat Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.(Abuddin, 2007:120)

h. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator) Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan. Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.

i. Guru Sebagai Emansipator Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan dan menyadari bahwa kebanyakan insan merupakan “budak” stagnasi kebudayaan. Guru mengetahui bahwa

pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari “self image” yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari

perasaan tertolak dan rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang dicampakkan secara moril dan mengalami berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.

j. Guru Sebagai Evaluator Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.

k. Guru Sebagai Kulminator Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan k. Guru Sebagai Kulminator Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan

Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran. (Abuddin, 2007:196)

6. Menempuh jalur pendidikan

Jalur pendidikan nasional adalah meliputi dasar, menengah, tinggi dan nonformal. Tingkat pendidikan dasar merupakan program pendidikan nasional di Indonesia yang melandasi jenjang menengah. Dalam menunjang terselenggaranya kependidikan dasar, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai tanggung jawab dalam hal pengelolaan, pembangunan, pengadaan, dan pembinaan. Pemerintah melalui kementrian, dapat juga menjadi partner kademik yang baik dengan memberikan penghargaan, beasiswa prestasi, dll.(Fathurrahman, 2012:16)

Adapun jalur pendidikan terbagi menjadi tiga sebagai berikut:

a. Pendidikan Formal Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan

formal didefinisikan sebagai berikut “pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan

dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”.

1) Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang di perlukan dalam masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.

2) Pendidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakatnyang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampun lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.

3) Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki tingkat kemampuan tinggi yang bersifat akademik dan atau profesinal sehingga dapat menerapkan, mengembangkan dan /atau menciftakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam rangka pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahtraan manusia.

Sedangkan menurut Axin mendefinisikan pendidikan formal sebagai kegiatan belajar yang di sengaja, baik oleh warga belajar maupun

pembelajarnya didalam suatu latar yang di struktur sekolah. Sehubungan dengan pendidikan formal tersebut, menurut faisal berpendapat bahwa pendidikan formal adalah pendidikan sistem persekolahan. Disampin itu, ia juga mencoba memberi ciri-ciri pendidikan formal secara lebih rinci, yakni terstandardisasi legalitas formalnya, jenjangya, lama belajarnya, paket kurikulumnya, persyaratan pengelolannya, persyaratan usia dan tingkat pengetahuan peserta didiknya, perolehan dan keberartian ijazahnya, prosedur evaluasi belajarnya, sekuensi penyajian materi dan latihan-latihannya, persyaratan presensinya, waktu liburannya, serta sumbangan pendidikanya. (Suprijanto, 2012:5-6)

Dari definsi dan pendapat-pendapat tersebut, dapat di simpulkan bahwa pendidikan formal mempunyai ciri:

1) Merupakan sistem persekolahan

2) Berstruktur

3) Berjenjang

4) Penyelenggaraannya disengaja.

b. Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal dapat didefinisikan sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Sedangkan menurut Axin, pendidikan nonformal adalah kegiatan belajar yang disegaja oleh warga belajar dan pembelajar di dalam suatu latar yang diorganisasi (berstruktur) yang terjadi di luar sistem persekolahan.

Adapun menurut Faisal pendidikan nonformal mempunyai ciri sebagai berikut: (Ikhsan, 2005:21)

1) Berjangka pendek pendidikannya

2) Program pendidikannya merupakan paket yang sangat khusus

3) Persyaratan pendaftarannya lebih fleksibel

4) Sekuensi materi lebih luwes

5) Tidak berjenjang kronologis

6) Perolehan dan keberartian ijazah tadak seberapa terstandardisasi. Contoh: kursus, penataran, dan latihan.

Sementara itu, menurut Kleis ciri-ciri pendidikan nonformal adalah sebagai berikut:

1) Biasanya berkaitan dengan misi yang mendesak dan praktis

2) Tempat pendidikan bisanya diluar kelas atau di situasi belajar yang sebenarnya

3) Bukti memiliki ilmu pengetahuan di nilai dari keterampilannya, bukan dari sertifikatnya

4) Biasanya tidak terlalu terikat dengan ketentuan yang ketat

5) Isi, staf atau strukturnya tidak terorganisasi

6) Peserta biasanya bersifat sukarela

7) Biasanya merupakan aktivitas sampingan

8) Pelajaran jarang bertingkat dan berurutan

9) Biaya pendidikan biasanya lebih murah dari pendidikan formal

10) Persyaratan penerimaan pesertanya lebih ringan 10) Persyaratan penerimaan pesertanya lebih ringan

12) Tidak terbatas untuk peserta dan kurikulum tertentu, tetapi dapat diperbarui dan di kembangkan. Dari pendapat Klies mengenai ciri-ciri pendidikan nonformal, jika di terapkan di Indonesia perlu penyesuaian. Contohnya ciri nomor 3 di mana “bukti memiliki ilmu pengetahuan tidak di nilai dari sertifikatnya, tetapi dari keterampilannya”, kenyataan yang sering kita lihat di negeri kita bahwa pada pendidkan nonformal kursus Inggris misalnya, sertifikat TOEFL di perlukan untuk melanjutkan pendidikan S-2 atau S-3. Di samping itu, terdapat tumpang-tindih, seperti ciri-ciri nomor 4 dan 12, keduanya menjelaskan hal yang sama, yaitu ketentuan tidak ketat (luwes). Pada ciri no. 6 “peserta biasanya bersifat sukarela”, sebaiknya tidak di camtumkan karena pada setiap pendidikan yang diikuti, baikpendidikan nonformal, formal, ataupun informal, peserta bersifat sukarela. (Ikhsan, 2005:22)

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat di simpulkan bahwa pendidikan nonformal sekurang-kurangnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Merupakan pendidikan luar sistem persekolahan

2) Jarang berjenjang

3) Tidak ketat ketentuan-ketentuannya.

c. Pendidikan Informal Pendidikan informal menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah jalur pendidikan kelurga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Sementara menurut Axin, pendidikan informal adalah pendidikan di mana warga belajar tidak sengaja belajar dan pembelajar tidak sengaja untuk membantu warga belajar.

Adapun ciri-ciri pendidikan informal seperti yang diungkapkan oleh Faisal antara lain sama sekali tidak terorganisasi, tidak berjenjang kronologis, tidak ada ijazah, tidak diadakan dengan maksud menyelenggarakan pendidikan, lebih merupakan hasil pengalaman belajar individual-mandiri. Contoh: pendidikan sebagai akibat dari fungsi keluarga, media massa, acara keagamaan, pertunjukan seni, hiburan, kampanye, partisipasi dalam organisasi, dan lain-lain. (Ikhsan, 2005:23)