Dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

C. Dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

1. Situasi Selama Perdana Menteri Sjahrir Diculik

Setelah meninggalkan Sjahrir, Mayor Jusuf kembali ke ke Surakarta serta mengantar Iwa dan Yamin ke Tawangmangu. Di Tawangmangu, mereka menceritakan penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada para tahanan politik. Para tahanan memberikan reaksi beragam terhadap tindakan tersebut, ada yang cemas, ada yang menganggapnya sebagai tindakan ceroboh, namun ada pula yang senang dengan penculikan terhadap Sjahrir. Pada 28 Juni 1946 sore hari Yusuf Mayor

Yusuf, Iwa dan Yamin kembali ke Yogyakarta. Mereka menyampaikan hal serupa kepada Buntaran dan Bhoeddhyarto Martoatmodjo serta Ahmad Soebardjo. Reaksi senang muncul saat ketiga orang tersebut mengetahui penculikan Sjahrir. Mereka mengharapkan terbentuknya pemerintahan baru, yang mungkin seperti pemerintahan presidensiil dahulu. Namun Yusuf belum berhasil menemui Jenderal Mayor Soedarsono (Nasution, 1992: 330; Anderson, 1988: 421).

Keesokan hari setelah Sjahrir menghilang di Surakarta, diadakan sidang kabinet yang dihadiri sisa anggota kabinet yang ada. Dalam sidang tersebut, diputuskan bahwa Presiden Sukarno dengan persetujuan kabinet akan mengambil alih pemerintahan untuk sementara waktu. Dewan Pertahanan Negara dengan ketua Presiden Sukarno akan dibentuk untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Diumumkan pula Indonesia dalam keadaan darurat karena serangan dan ancaman serangan dari musuh sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 sub A dan B UU No.6 Tahun 1946 tentang keadaan bahaya dan mengingat Pasal 12 UUD 1945 (Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).

Situasi di Surakarta agak mencekam selama Sjahrir diculik. Pasukan Pesindo yang merupakan pendukung pemerintahan mulai bergerak dan menduduki beberapa tempat di Surakarta dari Jawa Timur. Selama sehari penuh pada tanggal 28 Juni 1946 kota Surakarta menjadi sepi. Kantor Pemerintahan Rakyat dan Tentara telah kosong lantaran para pemimpinnya telah diamankan di Resimen XXV. Mereka baru pulang setelah Presiden Sukarno mengucapkan pidato agar membebaskan Sjahrir (Karkono Kamajaya, 1993: 16). Wilayah Yogyakarta, kesatuan-kesatuan Siliwangi bergerak masuk dan bersiaga di bagian barat Yogyakarta. Penjagaan keamanan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan Pemuda Indonesia Maluku (PIM). Selain itu Polisi Tentara dan para pemuda yang setia terhadap pemerintah terutama tokoh terkemuka Pesindo berkumpul di sekitar Gedung Kepresidenan. Hampir semua dari mereka memakai persenjataan (Aboe Bakar Loebis, 1992: 164).

Meskipun suasana cukup mencekam, masyarakat luas belum mengetahui adanya penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta sepanjang hari pada 28 Juni 1946. Kabar mengenai diculiknya Sjahrir memang tidak diumumkan Pemerintah. Namun upaya-upaya keras dilakukan Pemerintah untuk mencari Perdana Menteri Sjahrir dan merundingkan pembebasannya. Disamping itu

Pemerintah mengirim kawat ke Jakarta agar terjadi gencatan senjata di sepanjang garis pertempuran dengan Belanda. Hal itu dilakukan pemerintah untuk menjaga kemungkinan agar Belanda tidak memanfaatkan situasi dengan melakukan suatu serangan selama Sjahrir diculik (Anderson, 1988: 421).

2. Proses Pembebasan Perdana Menteri Sjahrir

Menjelang sore hari tanggal 28 Juni 1946 Jenderal Mayor Soedarsono menemui Sukiman dari Masyumi yang juga merupakan tokoh penentang pemerintah. Jenderal Mayor Soedarsono bersama Kepala Intelejen Angkatan Darat Kolonel Sutjipto berhasil menemui Sukiman yang tengah berpidato dalam rapat Masyumi. Jenderal Mayor Soedarsono lantas memberi tahu Sukiman mengenai penculikan Sjahrir dan meminta Sukiman mengumumkannya dalam rapat tersebut. Sukiman langsung mengumumkan kabar tersebut. Ia lalu mengajukan pertanyaan yang telah ada dalam pikiran para peserta rapat, apa yang harus dilakukan pemerintah setelah Perdana Menteri menghilang (Anderson, 1988: 422). Tindakan Jenderal Soedarsono menyebabkan berita penculikan Sjahrir cepat menyebar. Malam harinya, Pemerintah segera menanggapi meluasnya kabar penculikan Sjahrir dengan mengumumkan bahwa Presiden Sukarno dengan persetujuan kabinet, mengambil alih kekuasaan pemerintah sampai kondisi normal kembali (Kedaulatan Rakjat, 29 Juni 1946). Kabinet Sjahrir menjadi demisioner.

Jenderal Mayor Soedarsono pagi hari setelah pengumuman dari Presiden Sukarno mengumpulkan Buntaran Martoatmodjo, Boedhyarto Martoatmodjo,

Muhammad Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, Ahmad Subardjo dan Chaerul Saleh di markas Divisi III. Jenderal Mayor Soedarsono memberitahukan kepada mereka

bahwa Jenderal Sudirman memintanya untuk mengumpulkan para penasehat politiknya dan politisi agar menyusun daftar kabinet baru yang akan diajukan kepada Presiden Sukarno. Permintaan tersebut bisa dilakukan dengan tambahan suatu “konsep” yang dibuat Yamin yaitu Dewan Pimpinan Politik. Dewan tersebut menjadi semacam kabinet inti yang bisa disamakan dengan Dewan Pertahanan Negara. Setelah itu Jenderal Mayor Soedarsono membawa rancangan- rancangan diatas kepada Jenderal Soedirman sebelum Soedirman berangkat ke Surakarta. Tidak terlalu jelas apa yang menjadi keinginan Jenderal Soedirman terhadap rancangan-rancangan tersebut (Anderson, 1988: 423).

Keesokan hari pada 30 Juni 1946 Jenderal Soediman kembali lagi ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat yang dengan para pemimpin pemerintahan. Rapat itu menjadi ajang konfrontasi penuh kemarahan. Sukarno, Hatta dan Amir Sjarifuddin mencurigai Jenderal Soerdiman mengetahui keberadaan Perdana Menteri Sjahrir dan meminta Jenderal Soedirman agar menggunakan pengaruhnya agar Sjahrir dibebaskan. Namun Jenderal Soedirman rupanya menolak melakukan apapun sehingga rapat terlihat menemui jalan buntu Jenderal Soedirman kembali pergi ke Surakarta dengan memerintahkan Jenderal Mayor Soedarsono secara lesan agar melapor padanya keesokan harinya (Anderson, 1988: 424).

Petang harinya, Pemerintah melakukan tindakan yang sangat penting. Presiden Sukarno berpidato lewat radio yang antara lain mendesak agar para penculik segera membebaskan Sjahrir. Sukarno menambahkan tindakan penculikan terhadap Sjahrir merupakan tindakan melawan hukum. Sukarno melanjutkan bahwa dengan adanya penculikan tersebut, posisi Indonesia juga akan melemah (Reid, 1996: 161). Rencana para penculik yang terlihat berhasil saat Presiden Sukarno mengambil alih kekuasaan justru berubah karena Presiden Sukarno mencela penculikan terhadap Sjahrir (Sundhaussen, 1988: 51).

Pidato Presiden Sukarno membuahkan hasil. Perdana Menteri Sjahrir dan rombongan dibebaskan pada malam harinya dan dibawa ke Surakarta. Pembebasan Sjahrir dilakukan perwira bawahan terpercaya Kolonel Sutarto yaitu Letkol Suadi Suromihardjo, Letkol Iskandar, dan Mayor Soeharto. Setelah bebas, Sjahrir bertolak ke Jakarta dengan pesawat dari Surakarta (Anderson, 1988: 426). Presiden Sukarno tetap memegang kekuasaan meski Sjahrir telah bebas. Kabinet tidak dikembalikan lagi seperti semula namun Sjahrir tetap menjabat Menteri Luar Negeri (Simanjuntak, 2003: 37).

3. Perkembangan Setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas

Jenderal Mayor Soedarsono menghadap Jenderal Soedirman di Surakarta ketika Sjahrir dibebaskan. Dalam pertemuan itu, Jenderal Soedirman mengungkapkan pemerintah hendak menangkap Jenderal Mayor Soedarsono namun ditolak Jenderal Soedirman. Setelah berdiskusi dengan Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Sutjipto, Kolonel Sutarto dan Mayor Mursito, lalu dikeluarkanlah surat sebaran atas nama tentara bahwa kelompok yang melakukan penculikan merupakan kelompok yang berjuang atas kemerdekaan 100%. Untuk mencegah tindakan keras dari Pemerintah, Jenderal Soedirman akan ke Yogyakarta menemui Pemerintah. Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto akan menyusul kemudian (Anderson, 1988: 428).

Pemerintah mulai bertindak terhadap kelompok penculik setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas. Jenderal Mayor Soedarsono diperlemah kedudukannya dengan mengangkat Kepala Staf Divisi III Umar Djoy sebagai wakil Sultan HB

IX dalam bidang militer di Dewan Pertahanan Negara. Keputusan itu ditempuh agar Umar Djoy lebih memihak pemerintah daripada atasannya. Langkah berikutnya dengan melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh penentang yang bekerja sama dengan kelompok penculik. Pada 1 Juli 1946, pemerintah memberikan wewewang kepada Polisi Negara Yogyakarta menangkap Buntaran dan Bhoeddyarto Matoatmondjo, Chaerul Saleh, Mohammad Saleh, Sajuti Melik, Ahmad Subardjo, Ibnu Parna, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Sumantoro dan lain-lain. Keesokan hari, para tahanan dipindahkan ke penjara Wirogunan. Iwa dan Yamin lolos dari upaya penangkapan.

Bersamaan dengan penangkapan para tokoh, Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto kembali ke Yogyakarta. Mereka waspada karena tingkat

kegiatan polisi yang luar biasa. Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto menemui Umar Djoy yang lalu menunjukkan surat perintah penangkapan kepada

Jenderal Mayor Soedarsono. Kemudian disepakati mengerahkan pasukan untuk menjaga markas divisi dan melakukan patroli untuk memantau kegiatan kesatuan Jenderal Mayor Soedarsono. Kemudian disepakati mengerahkan pasukan untuk menjaga markas divisi dan melakukan patroli untuk memantau kegiatan kesatuan

Sementara itu Iwa dan Yamin berada di rumah Mayor Yusuf. Kemudian Iwa berangkat ke Surakarta. Jenderal Mayor Soedarsono setelah tahu keberadaan Yamin bersama Mayor Yusuf lalu mendesak mereka ke Wiyoro. Umar Djoy lalu membawa surat dari Jenderal Soedirman agar Jenderal Mayor Soedarsono menemuinya di Surakarta. Umar Djoy, Jenderal Mayor Soedarsono dan Yamin kemudian segera ke Surakarta. Tak terlalu jelas apa yang dibicarakan di Surakarta. Jenderal Soedirman nampaknya marah atas penangkapan para tokoh setelah Sjahrir bebas. Ia lalu memerintahkan Jenderal Mayor Soedarsono membebaskan mereka untuk kemudian menghadap Presiden dan meminta Presiden untuk merubah kabinet.

Jenderal Mayor Soedarsono kembali ke Yogyakarta dan membebaskan para tahanan politik di penjara Wirogunan. Para tahanan tersebut dibawa ke Wiyoro. Disana Yamin menulis sejumlah Maklumat agar diserahkan pada Presiden. Pada 3 Juli 1946, Jenderal Mayor Soedarsono bersama para mantan tahanan politik menemui Presiden Sukarno. Jenderal Mayor Soedarsono diijinkan menghadap Presiden dan menyerahkan maklumat yang ditulis Yamin. Setelah itu, Jenderal Mayor Soedarsono ditangkap bersama dan para mantan tahanan lain. Kejadian itu dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli (Anderson, 1988: 429). Mayor A. K. Yusuf baru ditangkap saat berada di Kalasan, Yogyakarta (Iwa Kusuma Sumantri. 1965: 144).