Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
A. Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
1. Latar Belakang Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir
a. Situasi Indonesia Sebelum Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir
Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Sukarno mengambil langkah menghindari konfrontasi senjata dengan Inggris yang mewakili Sekutu saat tiba di Indonesia dan dengan Jepang yang masih di Indonesia. Kedatangan Sekutu justru meningkat ketegangan di Indonesia. Kriminalitas meningkat dan menjadi hal yang biasa terjadi diantara interniran, Sekutu dan orang Indonesia. Aksi penculikan, pembunuhan dan penyerobotan menimpa mereka yang dianggap mementingkan diri sendiri atau dicurigai berpihak pada lawan. Ledakan kekerasan tak jarang meletus di berbagai tempat (Nasution, 1977: 7). Ketidakpuasan lain menyangkut hubungan baik Pemerintah presidensiil dengan Jepang dan sikap lunak saat Presiden Sukarno saat berpidato di Ikada (Anderson, 1988: 198).
Para pemuda tidak menyukai kebijakan diatas. Berbagai perlawanan terhadap Sekutu dan juga Jepang terjadi di berbagai wilayah namun kebanyakan tidak menemui hasil. Di Jakarta, para pemuda masih bisa dikontrol Pemerintah. Kota Bandung, Semarang dan Surabaya dikuasai Sekutu lewat pertempuran besar. Wilayah lainnya seperti Kupang, Banjarmasin, Makasar, Manado jatuh ke tangan Sekutu sepanjang bulan September hingga pertengahan Oktober 1945. Pemerintahan Indonesia di wilayah tersebut tidak mampu berbuat banyak (Reid, 1996: 76 dan 83).
Pada awal Oktober 1945 muncul semacam kesepakatan diantara pemuda yang sadar politik agar kelemahan yang mereka pandang dari Pemerintah harus dihentikan (Anderson, 1988: 198). Perkembangan berikutnya terjadi dengan cepat. PPKI berubah menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945 (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 86). Presiden Sukarno menguraikan tugas KNIP yaitu menyatakan keinginan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka, mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, supaya terpadu di segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebagsaan yang bulat dan erat, membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum serta membantu memimpin dan menyelenggarakan cita-cita bangsa dan di daerah membantu Pemerintahan Daerah meningkatkan kesejahteraan umum (Anderson, 1988: 138). lx
Memasuki bulan Oktober 1945 sejumlah anggota KNIP tidak puas terhadap sistem presidensial. Mereka menginginkan sistem presidensiil menjadi parlementer. Dengan demikian, KNIP akan diserahi fungsi legislatif dan Pemerintahan akan bertanggung jawab pada KNIP. Dasar yang dipakai ialah Pasal
4 dalam Aturan Peralihan UUD 1945 yang dapat memberikan jalan bagi KNIP untuk berperan sebagai badan konstitusional. UUD 1945 secara nyata tidak berbau Jepang. Namun kekuasaan besar yang dimiliki Presiden akan dapat menimbulkan tuduhan bahwa Presiden dipengaruhi Jepang. Dengan adanya badan yang demokratis akan berguna untuk menghilangkan tuduhan tersebut dan mempercepat pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.
Untuk itu, 50 anggota KNIP menandatangani petisi kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta agar KNIP diberi fungsi badan legislatif. Petisi tersebut diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 7 Oktober 1945. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui perubahan yang diusulkan KNIP. Keluarlah Maklumat Pemerintah No. X pada 16 Oktober 1945 (Kahin, 1995: 190; Anderson, 1988: 200). Menurut Maklumat Pemerintah No. X, KNIP diberi fungsi Untuk itu, 50 anggota KNIP menandatangani petisi kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta agar KNIP diberi fungsi badan legislatif. Petisi tersebut diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 7 Oktober 1945. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui perubahan yang diusulkan KNIP. Keluarlah Maklumat Pemerintah No. X pada 16 Oktober 1945 (Kahin, 1995: 190; Anderson, 1988: 200). Menurut Maklumat Pemerintah No. X, KNIP diberi fungsi
Pada 17 Oktober 1945 KNIP kembali bersidang. KNIP memutuskan menyetujui dua resolusi dengan tujuan kedalam dan keluar. Selain itu dibentuk pula BP KNIP dimana Sutan Sjahrir terpilih menjadi ketua (Osman Raliby, 1953: 58; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 38).
Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Surat Keputusan mengenai peran BP KNIP untuk secara luas turut menentukan garis besar halauan negara namun tidak dalam usaha perinciannya karena merupakan hak tunggal presiden. Selain itu, BP KNIP bersama presiden menyusun hukum-hukum yang berkaitan dengan semua bidang pemerintahan. Hukum tersebut dijalankan pemerintah yaitu presiden dibantu para menteri dan para pembantu menteri (Kahin, 1995: 192).
Memasuki bulan November 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik tanggal 1 November 1945. Maklumat itu dipengaruhi sikap Sekutu yang menyatakan menghargai cita-cita Indonesia dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (Engelen et al, 1997: 232). Maklumat tersebut antara lain berisi uraian pertikaian Indonesia dan Belanda. Untuk menyelesaikannya, Pemerintah mengusahakan agar Indonesia mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan dan pemerintahannya. Berkenaan dengan itu, hak milik asing tidak akan disita. Maklumat tersebut menjadi halauan politik pemerintahan selanjutnya (Osman Raliby, 1953: 525; Nasution, 1977: 119).
Selanjutnya, KNIP berusaha membuka kebebasan mendirikan partai- partai. Hal itu dilakukan agar demokrasi berkembang di Indonesia. Pada awalnya
hanya terdapat satu partai di Indonesia yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Pembentukan PNI sebagai partai negara tersebut menimbulkan berbagai kritik (Nasution, 1977: 114). PNI dikecam karena kurang mewakili seluruh golongan. Para pemimpin Islam dan tokoh besar gerakan bawah tanah kurang terwakili dalam PNI. Sejumlah besar tokoh PNI dekat dengan Jepang sehingga PNI dianggap kesinambungan Jawa Hokokai dari masa Jepang. Keberadaan PNI dapat menimbulkan tumpang tindih dengan peran KNIP. Namun sejak dari awal berdirinya terdapat perbedaan diantara para tokoh PNI sendiri (Anderson, 1988: 114). Pada 31 Agustus 1945 Pemerintah mengeluarkan Maklumat yang membekukan pembentukan PNI karena pembentukan Komite Nasional lebih penting untuk didahulukan (Osman Raliby, 1953: 29; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 49).
Pada 30 Oktober 1945 BP KNIP mengusulkan sistem satu partai agar diganti dengan sistem multi partai untuk mencerminkan semua aliran politik penting di Indonesia (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 104). Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui usulan tersebut. Kemudian dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang antara lain berisi Pemerintah menyukai terbentuknya berbagai macam partai politik (Osman Raliby, 1953: 529; Nasution, 1977: 114). Keberadaan partai Pada 30 Oktober 1945 BP KNIP mengusulkan sistem satu partai agar diganti dengan sistem multi partai untuk mencerminkan semua aliran politik penting di Indonesia (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 104). Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui usulan tersebut. Kemudian dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang antara lain berisi Pemerintah menyukai terbentuknya berbagai macam partai politik (Osman Raliby, 1953: 529; Nasution, 1977: 114). Keberadaan partai
Di luar Jakarta, partai-partai telah dirintis pembentukannya sebelum Maklumat tanggal 3 November 1945. Malahan terbentuknya partai-partai tidak mematuhi keinginan tokoh pusatnya. Reaksi di daerah mengenai maklumat tersebut bukanlah pemberian hak mendirikan partai melainkan pengakuan atas kenyataan yang telah ada. Beberapa partai seperti Masyumi dan Partai Sosialis memang telah dirintis pembentukannya sebelum terjadi perubahan dalam KNIP. Kelahiran partai-partai lain hanya menunggu waktu saja.
b. Perkembangan Kekuatan Bersenjata di Indonesia Kebijakan Pemerintah Sukarno yang penting adalah keputusan tidak
membentuk organisasi tentara setelah pembubaran PETA (Pembela Tanah Air). Pembubaran PETA diputuskan pimpinan militer Jepang pada 17 Agustus 1945 karena Jepang tidak mungkin meneruskan PETA yang diciptakan untuk memerangi Sekutu. Perintah pembubaran PETA berlangsung lancar dimana para anggota PETA di daerah dilucuti dengan berbagi alasan. Kebanyakan PETA tidak melakukan perlawanan. Pembubaran PETA dipermudah dengan adanya Konferensi PETA se-Jawa sejak 14 Agustus. Pembubaran PETA juga disepakati dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945. Keberadaan PETA dianggap tidak menguntungkan dimata Sekutu. Sebagai ganti PETA, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi bagian Badan Penolong Keluarga Korban Perang.
Namun tindakan pemerintah yang tidak membentuk tentara menyebabkan kebanyakan kalangan pemuda dan pejuang bersenjata beranggapan bahwa hal itu merupakan suatu kelambatan dan kesalahan besar pemerintah. Maksud didirikan BKR hanya untuk memelihara ketentraman setempat belaka yang sesuai dengan strategi diplomasi Sukarno-Hatta. Namun jelas kehadiran BKR tidak memuaskan kalangan pemuda dan pejuang bersenjata yang memiliki semangat bertarung dan kekuatan senjata. Disamping itu BKR baik di Pusat maupun di daerah tidak berada dibawah Presiden melainkan berada dibawah KNIP dan KNI Daerah (Jahja Muhaimin, 1971: 26; Anderson, 1988: 120).
Menjelang akhir September 1945 ternyata BKR menjadi kurang efektif. Oleh karena itu pada 5 Oktober 1945, Pemerintah mengeluarkan suatu maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Keesokan hari Suprijadi diangkat menjadi Menteri Keamanan Keamanan Rakyat. Pada 14 Oktober 1945 Pemerintah mengangkat bekas Mayor Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), Oerip Soemohardjo menjadi Kepala Staf Umum (KSU) Angkatan Perang dengan tugas menyusun dan merencanakan pengembangan TKR.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengeluarkan keputusan bahwa TKR sebagai organisasi yang membawahi BKR.
Hal ini dimaksudkan agar tentara-tentara bekas PETA, Heiho, KNIL dan laskar- laskar serta barisan rakyat lainnya dapat lebih bersatu (Anderson, 1988: 261).
Selain pengangkatan KSU, ditunjuk pula Suprijadi menjadi Menteri Pertahanan Selain pengangkatan KSU, ditunjuk pula Suprijadi menjadi Menteri Pertahanan
Meskipun telah ada pengumuman pembentukan TKR, terbentuknya tentara lebih merupakan inisiatif setempat. Disamping itu telah menjadi kebiasaan jika komandan tentara dipilih sendiri oleh para bawahannya. Apabila ada pengangkatan dari pemerintah pusat, belum tentu para bawahan mau menerima calon dari pusat. Demikian pula yang terjadi dengan pengangkatan Oerip Soemohardjo menjadi KSU TKR dimana para panglima di daerah tidak menyukai pengangkatan tersebut (Nasution, 1977: 277).
Pembubaran PETA ternyata berdampak dalam upaya membentuk tentara Indonesia yang padu dibawah wewenang pemerintahan sipil pusat. Ketika PETA dibubarkan, para mantan PETA kembali ke daerah masing-masing. Banyak dari mereka lalu mengumpulkan pemuda setempat entah sesama mantan PETA, Seinendan, organisasi pemuda yang bersifat kemiliteran atau berdasar kemampuan dan wibawa pribadi. Tentara Indonesia mulai terbentuk sejak itu namun sering tanpa tuntunan dari atas sehingga tentara cenderung mandiri dari Pemerintah (Anderson, 1988: 128).
KSU TKR Oerip Sumohardjo membentuk Markas Besar TKR di Yogyakarta. Setelah itu wilayah Jawa dibagi menjadi 10 Divisi dan Sumatera menjadi 6 Divisi. Pembagian tersebut dianggap terburu-buru sehingga kurang efisien. Struktur Markas TKR pun demikian besar hingga Oerip Sumohardjo tidak lagi bisa mengatur dengan baik perkembangan TKR. Hal tersebut diakibatkan pula persaingan antara para mantan PETA dan KNIL dalam TKR.
Kehadiran TKR belum memuaskan banyak pihak terutama para mantan PETA dan KNIL. Banyak yang menilai bahwa TKR mencerminkan keraguan
pemerintah yang lebih mengutamakan pendekatan diplomasi dalam perjuangangannya. Pemerintah berusaha menghindari citra fasis, militeristis dan
sebagainya sekaligus membangun penampilan bangsa Indonesia yang cinta damai. Selain itu TKR bersifat kerakyatan dan masih mengutamakan keamanan dalam negeri. Menurut para mantan PETA dan KNIL, keamanan dalam negeri seharusnya bisa dikontrol oleh pemerintah sendiri (Jahja Muhaimin, 1971: 30; Nasution, 1977: 72).
Hubungan antara pemerintah dengan kalangan tentara tetap belum lancar kareana KSU TKR belum secara nyata memimpin. Oerip Sumohardjo yang menduduki jabatan KSU ditolak kedudukannya sebagai pemimpin militer tertinggi. Oerip hanya dianggap mengepalai kantor umum TKR. Kementerian Pertahanan juga belum ada karena Suprijadi ditunjuk Pemerintah menjadi Menteri Pertahanan tidak pernah muncul dan tidak pula diketahui keberadaannya. Oleh karena itu para panglima tentara di daerah membuat suatu Konferensi untuk mengatur ketentaraan Indonesia. Konferensi dilangsungkan di Yogyakarta pada
12 November 1945 dan dipimpin Oerip Sumohardjo. Konggrges dihadiri hampir semua panglima divisi dan komandan resimen, Wakil Pemerintah Pusat Suljohadikusumo dan para Jenderal tituler yaitu Paku Buwono (PB) XII, Hamengkubuwono (HB) IX, Mangkunegoro (MN) VII dan Paku Alam (PA)VIII.
Pembicaraan dalam kongres tidak bisa dikontrol KSU yang sebenarnya memimpin kongres tersebut. Wakil Pemerintah Pusat juga tidak dapat Pembicaraan dalam kongres tidak bisa dikontrol KSU yang sebenarnya memimpin kongres tersebut. Wakil Pemerintah Pusat juga tidak dapat
Disamping TKR yang telah terbentuk, berbagai badan perjuangan atau laskar tetap diperbolehkan berdiri (Nasution dalam Jahja Muhaimin, 1971: 30). Kehadiran badan perjuangan selama revolusi tidak hanya menjadi sarana melakukan perlawanan. Badan perjuangan juga menjadi identitas kelompok dan tempat bertahan hidup pemuda. Perkembangan selanjutnya, badan-badan perjuangan berafiliasi dengan partai-partai-politik. tindakan tersebut bermakna untuk mempertahankan kemerdekaan sekaligus membela membela dan menjaga kepentingan kekuatan politik yang diikutinya (Julianto Ibrahim, 2004: 99). Beberapa badan perjuangan yang ada antara lain Laskar Rakyat, Barisan Banteng, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Hizbullah dan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI).
Badan perjuangan sering terlihat seperti tentara dengan pemakaian atribut tentara, sikap yang mereka tunjukkan serta organisasinya yang menyerupai tentara. Terkadang diantara badan-badan perjuangan terjadi perselisihan satu sama lain atau dengan tentara resmi. Kondisi tersebut bisa menjadi rawan karena pertikaian badan perjuangan sering menggunakan senjata. Memang selain tentara pemerintah, badan-badan perjuangan memiliki persenjataan sendiri. Persenjataan badan perjuangan terkadang lebih bagus dari tentara resmi. Kebanyakan persenjataan badan perjuangan merupakan rampasan dari tentara Jepang. Oleh karena mereka enggan menyerahkan persenjataannya kepada Pemerintah meski ada instruksi sebelumnya. Bahkan persenjataan yang mereka miliki akan dipertahankan hingga mati karena untuk mendapatkannya juga dengan taruhan nyawa (Wawancara dengan Soemaryono, 27 Juli 2009).
Kehadiran badan perjuangan membuat terjadinya persaingan dengan tentara biasa. Persaingan menyangkut hal-hal seperti penguasaan senjata, upaya mempertahankan eksistensi dan mendapat dukungan dari rakyat. Hal tersebut membuat sering terjadi bentrokan antara tentara dan badan perjuangan. Terjadi pula persaingan antara Pemerintah dengan Markas Besar Tentara yang ingin menguasai badan perjuangan atau laskar. Tentara ingin agar badan perjuangan atau laskar agar melebur dalam tentara sementara pemerintah lewat Kementerian Pertahanan berusaha memasukkan badan perjuangan atau laskar dibawah pengaruhnya (Sundhaussen, 1988: 40).
2. Pemerintahan Parlementer Sjahrir
a. Pembentukan Pemerintahan Sjahrir Perubahan penting berikutnya dalam politik Indonesia adalah
pembentukan kabinet parlementer. Upaya itu dirintis pada 1 November 1946 saat BP KNIP mendesak presiden agar mempertimbangkan pengalihan tanggung
jawab menteri kepada legislatif. Presiden Sukarno menyetujui hal tersebut dengan jawab menteri kepada legislatif. Presiden Sukarno menyetujui hal tersebut dengan
Perubahan sistem kabinet sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945. Namun kebanyakan lembaga-lembaga Republik juga bersifat sementara. Oleh karena itu perubahan kabinet dapat dilakukan dengan dibuat dalam bentuk konvensi dengan corak dari Inggris. Perubahan tersebut tak lepas dari kinerja Pemerintah Soekarno yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan umum. Kekecewaan bertambah setelah kedatangan Sekutu di Indonesia. Pihak Sekutu dan terutama Belanda nampak enggan menerima keberadaan Sukarno sebagai pemimpin meskipun beberapa usaha telah dilakukan kabinet. Sikap Kabinet Sukarno yang berusaha menghindari sikap revolusioner justru menimbulkan kekecewaan dari kekuatan-kekuatan revolusioner di daerah terutama para pemuda (Anderson 1988: 206).
Pada 14 November 1945 Sjahrir mengumumkan anggota kabinetnya. Kabinet baru ini terdiri dari para pejabat non-politikus yang kompeten dan tercatat tidak turut bekerja sama dengan Jepang (Kahin, 1995: 213). Susunan menteri dalam kabinet Sjahrir, yaitu:
1). Perdana Menteri
: Sutan Sjahrir
2). Menteri Dalam Negeri
: Sutan Sjahrir
3). Menteri Luar Negeri
: Sutan Sjahrir
4). Menteri Penerangan : Amir Syarifuddin 5). Menteri Keamanan Rakyat : Amir Syarifuddin 6). Menteri Keuangan
: Sunario Kolopaking 7). Menteri Pendidikan
: T.G.S Moelia
8). Menteri Kehakiman
: Suwandi
9). Menteri Sosial
: Adjidarmo
10). Menteri Kesehatan : Darmasetiawan 11). Menteri Perekonomian
: Darmawan Mangunkusumo 12). Menteri Tenaga Kerja
: Putuhena
13). Menteri Pekerjaan Umum
: Putuhena
14). Menteri Perhubungan
: Rasad
Berkenaan dengan pembentukan pemerintahan baru, Pemerintah mengeluarkan Maklumat tanggal 14 November 1945 yang diantaranya menyatakan Pemerintah pertama bersifat sementara sehingga pembaharuan perlu dilakukan untuk menyempurnakan usaha pemerintah menuju demokrasi (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, 1999: 149).
Pada 17 November 1945 Kabinet Sjahrir mengeluarkan pernyataan yang diantaranya menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak berubah dan sesuai dengan yang tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Kabinet akan tetap menuntut kemerdekaan Indonesia yang sepenuhnya dengan memperhatikan kaidah negara merdeka dalam hubungan internasional dan juga kewajiban membangun tatanan dunia baru berdasarkan cita-cita perjanjian perdamaian dunia (Charter for Peace) (Engelen et al, 1997: 219). Berkenaan dengan politik dalam negeri, kabinet akan memperhatikan hal-hal (Engelen et al, 1997: 220; Osman Raliby, 1953: 103) sebagai berikut:
1). Menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan rakyat; 2). Mencapai koordinasi segala tenaga rakyat didalam usaha menegakkan Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan peri kemanusiaan;
3). Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat diantaranya dengan jalan pembagian makanan; 4). Berusaha mempercepat keberesan tentang Oeang Republik Indonesia (ORI). Beragam tanggapan muncul setelah susunan kabinet diumumkan. Suara
dari koran-koran tidak dalam satu pendapat terhadap susunan kabinet. Sukiman (Ketua Masjumi) memprotes keberadaan kabinet Sjahrir yang dianggap menyalahi UUD 1945. Beberapa golongan pemuda revolusioner dan para mantan menteri Kabinet Sukarno kecewa dengan susunan kabinet (Engelen et al, 1997:218).
Protes-protes terhadap kabinet Sjahrir disebabkan oleh susunan dalam kabinet sendiri. Sjahrir dan Amir mendominasi posisi menteri-menteri yang penting. Perwakilan Kristen dalam kabinet dianggap terlalu besar sementara tidak ada tokoh Islam yang berwibawa dalam kabinet. Beberapa menteri ternyata pernah mendapat jabatan tinggi selama masa Jepang. Tak banyak tokoh gerakan bawah tanah bahkan tidak ada tokoh pemuda yang masuk kabinet ini. sebagian besar menteri bisa dikatakan merupakan kawan-kawan dari Sjahrir atau Amir sendiri. Kabinet ini juga dianggap berbau Belanda karena sebagian menteri pernah menjadi pejabat saat Belanda berkuasa (Anderson, 1988: 226). Kabinet terlalu dianggap bersifat teknokrat dan tidak revolusioner (Engelen et al, 1997:218). Kekecewaan bertambah setelah program kabinet yang diumumkan pada 17 November 1945 dinilai tidak revolusioner (Anderson, 1988: 229).
Meskipun mendapat kritik, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memiliki pertimbangan tersendiri dalam menyusun kabinet. Keduanya menyusun kabinet untuk mematangkan sikap Indonesia menghadapi diplomasi dengan Sekutu- Belanda. Beberapa menteri seperti Moelia dan Soewandi merupakan ahli dibidangnya yang diakui sejak masa Hindia Belanda (Engelen et al, 1997:218).
Pada 5 Desember dilakukan perubahan kabinet. Sunario Kolopaking digantikan oleh Soedarsono, Soerachman kembali masuk kabinet menggantikan posisi Adjidarmo dan Amir Sjarifuddin melepas jabatan Menteri Penerangan kepada Muhammad Natsir pada bulan Januari 1946 (Anderson, 1988: 330; Soebadio Sastrosatomo, 1987: 200).
b. Sutan Sjahrir Sutan Sjahrir muncul dalam politik nasional ketika perubahan politik
Indonesia tengah dimulai akibat ketidakpuasan terhadap kinerja Pemerintahan Presidensiil. Sjahrir telah lama menjadi tokoh pergerakan nasional dan sempat diasingkan Belanda akibat aktivitasnya. Oleh karena itu Sjahrir juga dikenal tokoh nasionalis tua lainnya. Namun umur Sjahrir yang relatif muda membuatnya dapat dekat dengan pemuda terutama di Jakarta saat pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, Sjahrir tidak turut bekerja sama dengan Jepang. Sjahrir yakin bahwa Jepang akan kalah dari Sekutu. Ia lalu membangun jaringan bawah tanah yang sebagian besar merupakan pemuda terutama dari Asrama Mahasiswa Kedokteran. Oleh karena itu, Sjahrir mendapat dukungan luas pemuda Jakarta ketika naik ke politik nasional (Anderson, 1988: 198 dan 61).
Sjahrir sendiri sangat mendambakan kebebasan untuk setiap orang, dimana individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggung jawab terhadap cita-cita dan tindak-perbuatannya masing-masing. Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata. Cita-cita kebebasan dan kemandirian manusia yang telah mendorong Sjahrir memilih sosialisme sebagai paham politiknya. Menurutnya sosialisme dibutuhkan untuk melaksanakan revolusi sosial di Indonesia. Oleh karena itu sosial-demokrasi pada Sjahrir pada tempat pertama berarti sosialisme kerakyatan yang tujuannya adalah membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia (Ignas Kelden dalam www.komunitasdemokrasi.or.id).
Pada awal November 1945, Sjahrir membuat pamflet terkenal yang berjudul “Perdjoeangan Kita”. Isi pokok pamflet tersebut antara lain catatan pahit dari ciri masa pendudukan Jepang. Pamflet tersebut juga membahas akibat dari Perang Dunia II seperti naiknya nasionalisme, yang dianggap Sjahrir menjual diri terhadap Jepang. Sjahrir juga membahas doktrinasi negatif Jepang dalam organisasi-organisasi yang didirikannya yang terlihat dalam sikap militeristis dan fasis. Dampak dari doktrinasi tersebut terasa setelah Perang Dunia II berakhir dalam bentuk penyerahan, kekejaman dan teror terhadap orang Belanda, Indo dan minoritas Indonesia yang dianggap pro Belanda. Oleh karena itu Sjahrir menyerukan pembersihan unsur-unsur “kolaborator” Jepang dan usaha pengembangan prinsip sosialisme kemanusiaan yang sesuai pemikiran pemuda Indonesia (Anderson, 1988: 219).
Berkenaan dengan situasi internasional, Sjahrir mengatakan adanya pertentangan besar antara kekuatan kapitalisme Inggris dan Amerika Serikat dan kelemahan Republik akibat pendudukan Jepang. Sjahrir beralasan bahwa karena letak Indonesia yang berada dalam lingkungan kapitalisme Inggris dan Amerika Serikat membuat Indonesia akan banyak tergantung kedua negara tersebut. Untuk mengatasinya adalah perlu dilakukan diplomasi cerdas untuk memengaruhi Inggris dan Amerika Serikat agar tidak membantu Belanda.
Pamflet tersebut nampaknya tidak menyebar luas namun memiliki pengaruh yang nyata. Banyak nasionalis yang tersinggung atas serangan Sjahrir terhadap nasionalisme yang muncul selama Perang Dunia II. Para pemuda juga terkena serangan Sjahir dan cukup mengena karena pamflet itu muncul saat puncak pertempuran Surabaya. Namun pamflet tersebut menjadi salah satu analisa mengenai kondisi yang muncul setelah Perang Dunia II dan memberikan sudut pandang yang menyeluruh tentang masa depan gerakan kemerdekaan Indonesia (Anderson, 1988: 223).
Dengan demikian, Sjahrir berusaha agar Republik Indonesia tak runtuh namun perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis. Ia mengarsiteki perubahan kabinet dari sistem Presidensil menjadi Parlementer dimana kabinet bertanggung jawab kepada KNIP, yang telah diberikan fungsi legislatif. RI lalu menganut sistem multi partai. Tatanan ini sesuai dengan arus politik pasca Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme.
Kepada rakyat, Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti kekerasan. Dengan demikian Sjahrir ingin menunjukkan kepada dunia bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis. Hal itu sesuai dengan suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca Perang Dunia II. Perjuangan Indonesia tidak seperti propaganda buruk dari Belanda tentang Indonesia (Ignas Kleden dalam www.komunitasdemokrasi.or.id).
c. Kebijakan Sjahrir Setelah Menjadi Perdana Menteri Tak lama setelah menjadi Perdana Menteri, pada 17 November 1945,
Sjahrir bersama beberapa anggota kabinet berunding dengan Belanda di Jakarta dibawah pimpinan Panglima Sekutu di Indonesia. Namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan nyata (Osman Raliby, 1953: 102; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, 1999: 162).
Pada 19 November 1945 Sjahrir memerintahkan semua kekuatan senjata di Jakarta agar keluar dari ibukota. Keputusan itu ditempuh untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang tenang dan damai untuk kegiatan internasional dan tempat diplomasi. Sjahrir menambahkan bahwa perintah itu merupakan permintaan dari Sekutu dalam perundingan antara Indonesia, Inggris dan Belanda.
Sekutu sebagai imbalannya menyetujui Indonesia membuka Kantor Penghubung Tentara di Jakarta. Kantor tersebut memiliki tugas sebagai perwakilan TKR sekaligus memelihara hubungan dengan Pemerintah Pusat RI dan Markas Besar Sekutu. Kantor Penghubung Tentara dikepalai oleh Kapten M.T. Haryono yang memiliki tanggung jawab langsung kepada Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (Engelen et al, 1997: 222).
Kota Jakarta praktis dikuasai tentara Sekutu setelah terjadi pengosongan dari kekuatan senjata Indonesia (Engelen et al, 1997: 230). Jakarta bertambah kacau setelah kekuatan senjata Indonesia keluar dari Jakarta. Hampir tiap hari terjadi insiden senjata yang melibatkan tentara Sekutu atau NICA dengan rakyat. Situasi makin tidak terkendali setelah sejumlah tokoh dan petinggi Indonesia mendapat serangan dari dari NICA. Perdana Menteri Sjahrir bahkan hampir tewas karena ulah oknum NICA yang brutal (Soebagjio, 1981: 172). Tempat-tempat strategis di Jakarta juga diduduki Sekutu. NICA Belanda makin merajalela di Jakarta. Dilakukan pembersihan di sekitar Jakarta oleh Inggris dan Belanda. Lalu lintas kota tertutup dan pemasukan diblokade. Distribusi bahan pangan ke Jakarta pun terhambat. Pasar dan warung mendapat teror. Kantor-kantor yang belum diduduki Sekutu tidak berjalan normal karena para pegawai banyak yang hilang, terhalang pertempuran atau harus mencari makan di luar (Nasution, 1977: 261).
Meskipun mendapat perlakukan yang tidak menyenangkan, pemerintah tidak mengubah politik damai dan politik diplomasi sesuai Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Pemerintah terus berusaha menentramkan hati rakyat yang marah atas berbagai teror yang terjadi dan menjaga agar rakyat tetap mengikuti politik pemerintah tersebut (Nasution, 1977: 180). Namun situasi Jakarta yang makin tidak nyaman memaksa Pemerintah memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Kepindahan tersebut terjadi pada 6 Januari 1946 dengan upacara penyambutan dilakukan hari berikutnya (Kedaulatan Rakjat, 7 Januari 1946). Meskipun ibukota telah pindah dari Jakarta, Perdana Menteri dan Kementerian Luar Negeri masih tetap di Jakarta dalam rangka menjaga hubungan diplomasi dengan Sekutu. Hanya di akhir pekan Perdana Menteri akan pergi ke Yogyakarta mengadakan sidang kabinet.
Sementara itu hasil Kongres Tentara di Yogyakarta menimbulkan polemik baru. Pengangkatan panglima besar dan menteri pertahanan oleh Kongres Tentara tidak disetujui pemerintah. Perdana Menteri Sjahrir berpegang pada kekuasaannya untuk menentukan siapa menterinya termasuk menteri pertahanan. Terjadi tarik ulur yang lama mengenai siapa yang akan menduduki jabatan menteri dan panglima besar (Nasution, 1977: 278). Akhirnya Amir Sjarifuddin tetap menjadi Menteri Pertahanan sementara Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945 (Anderson, 1988: 276).
Pelantikan Sjahrir menjadi Perdana Menteri memulai persaingan antara pemerintah dengan militer. Sjahrir dan Amir menyadari “kebebasan” dan permusuhan dari tentara akan menghambat langkah mereka membatasi peran Sudirman. Jenderal Sudirman dan rekan-rekannya merasa tersinggung dengan tuduhan terselubung pemerintah yang menganggap keptutusan mereka terhubung dengan militersime dan fasis. Perbedaan mengenai konsepsi ketentaraan antara Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin dengan Jenderal Soedirman cukup lebar.
Sudirman dengan cepat muncul menjadi penarik mereka yang menentang pemerintahan Sjahrir (Anderson, 1988: 277).
Kebijakan lain Kabinet Sjahrir yaitu pengiriman bahan pangan ke Bandung. Kota Bandung yang memiliki banyak kamp APWI dimana bagian utara Bandung jatuh ke penguasaan Sekutu sekitar bulan Oktober 1945. Pada 21 November 1945, iring-iringan perbekalan Sekutu dari Jakarta ke Bandung dihadang. Sejak itu, kota Bandung terisolir karena upaya berikutnya pada 9 Desember 1945 untuk mengantarkan perbekalan yang dikawal parjurit Gurkha juga gagal karena dihadang pejuang lokal. Berdasarkan hal tersebut, Sekutu meminta bantuan Pemerintah Indonesia untuk mengawal perbekalan pangan ke Bandung dengan alasan rasa kemanusiaan bagi para APWI dan bukan untuk tujuan militer. Pemerintah menyetujui permintaan tersebut karena upaya itu akan membantu proses pengakuan kedaulatan Indonesia dari dunia internasional (Saleh, 1995: 49 dan Aboe Bakar Loebis, 1992: 138).
Pelaksanaan pengiriman bahan pangan ke daerah pendudukan Sekutu dilakukan oleh Akademi Militer Tangerang (MA). Pengiriman pertama dilakukan menuju Bandung pada 11 Desember 1945 yang dipimpin Mayor Daan Mogot, Direktur MA. Tidak banyak hambatan yang diterima saat taruna MA memasuki daerah pendudukan Sekutu. Kesulitan baru dirasakan justru saat melewati daerah Indonesia sendiri. Gangguan muncul dari TKR dan laskar perjuangan setempat yang hampir menggagalkan pengiriman tersebut.
Tugas pertama tersebut berhasil dilakukan dengan baik. Kesuksesan itu dilanjutkan dengan pengiriman berikutnya oleh taruna MA hingga dua kali. Pengiriman terakhir dilakukan Taruna MA pada pertengahan bulan Januari 1946 dimana pengiriman berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan dengan Peristiwa Bandung Lautan Api. Saat rombongan MA kembali ke Tangerang, terjadi Peristiwa Lengkong yang menewaskan puluhan taruna MA dan Direktur MA sendiri, Daan Mogot (Saleh, 1995: 50).
d. Persatuan Perjuangan Naiknya Sjahrir menjadi Perdana Menteri dengan cepat mendapat tantangan. Kabinet Sjahrir diserang dalam dua hal yaitu dalam komposisi kabinet dan program kabinet terutama kebijakan untuk lebih mengutamakan diplomasi daripada perlawanan bersenjata. Ditengah perkembangan berbagai organisasi dan kelemahan pemerintah, muncullah sosok Tan Malaka (Anderson, 1988: 298).
Tan Malaka memiliki pengalaman politik yang luas. Ia pernah menjadi guru yang membawanya menjadi Ketua PKI. Akan tetapi Tan Malaka segera Tan Malaka memiliki pengalaman politik yang luas. Ia pernah menjadi guru yang membawanya menjadi Ketua PKI. Akan tetapi Tan Malaka segera
Tan Malaka dalam pengasingannya sempat melancarkan kampanye yang menggagalkan pemberontakan PKI pada tahun 1926. Kegagalan pemberontakan PKI membuat Tan Malaka sangat dibenci PKI. Sejak itu pula Tan Malaka berpindah-pindah tempat untuk menghindari aparat negara yang disinggahinya. Pada tahun 1942 secara diam-diam Tan Malaka kembali ke Indonesia di Medan. Ia berhasil mendapat pekerjaan sebagai juru tulis di Banten (Donald Hindley, 1992: 212-213).
Kehidupnnya yang terpencil di Banten membuat Tan Malaka tidak terlibat dalam “kolaborator” atau dalam kelompok bawah tanah selama masa penjajahan Jepang. Tan Malaka juga tidak terlibat dalam proses proklamasi meskipun ada di tempat kelompok pemuda di Jakarta. Pertemuannya dengan Ahmad Subardjo pada 25 Agustus 1945 merupakan kemunculan pertamanya dengan kelompok elit setelah lama dalam pengasingan (Anderson, 1988: 307).
Pada 2 Desember 1945 Tan Malaka mengeluarkan pemikirannya dalam pamflet berjudul “Moelihat”. Moeslihat merupakan pemikiran Tan Malaka mengenai situasi Indonesia terutama setelah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Pamflet tersebut menjadi semacam tandingan pamflet Perdjuangan Kita dari Sjahrir. Tan Malaka baru benar-benar muncul setelah Muhammad Yamin menulis pamflet mengenai dirinya dan pejuangannya. Terbitnya pamflet Yamin bersamaan dengan mulai munculnya ketidakpuasan terhadap Kabinet Sjahrir pada akhir Desember 1945 (Anderson, 1988: 314 dan 318).
Pada awal tahun 1946, Tan Malaka menghadiri Kongres Rakyat di Purwokerto. Kongres tersebut menginginkan adanya persatuan nasional untuk melawan Sekutu. Tan Malaka pun diberi kesempatan berpidato dalam kongres tersebut. Diakhir pidatonya, Tan Malaka menyatakan Minimum Program untuk revolusi (Kedaulatan Rakjat, 6 Januari 1946; Anderson, 1988: 318), yang berisi:
1). Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%;
2). Pemerintahan rakyat (dalam arti sesuai halauan pemerintah sesuai kemauan rakyat); 3). Tentara rakyat (dalam arti sesuai halauan tentara sesuai kemauan rakyat); 4). Melucuti tentara Jepang; 5). Mengurus tawanan perang bangsa Eropa; 6). Menyita dan menyelenggarakan pertanian musuh; 7). Menyita dan menyelenggarakan perindustrian musuh. Minimum Program tersebut menjadi perdebatan selama bulan-bulan
berikutnya. Pasal 1, 6 dan 7 bisa dibilang bertentangan dengan Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November dan program Pemerintah. Hal itu menjadi tantangan bagi Pemerintah dan pemerintah mencoba untuk menghadangnya. Pada
11 November 1946, Partai Sosialis yang merupakan partai Pemerintah mengirim surat terbuka yang menghimbau untuk menggabungkan semua organisasi dan partai politik dalam barisan nasional dengan program bersama. Akan tetapi Brisan Nasional tersebut tidak pernah berjalan (Anderson, 1988: 321).
Pada 15-16 Januari 1946 diselenggarakan kongres kedua di Surakarta yang dihadiri sekitar 133 organisasi. Daya tarik Minimun Program dan Tan Malaka sendiri membuat kongres tersebut dihadiri banyak organisasi. Kongres juga mengundang Pemerintah namun wakil Pemerintah tidak ada yang datang. Tan Malaka kembali berpidato di hari pertama kongres. Ia menyatakan perluanya persatuan untuk perjuangan dan pentingnya Minimum Program untuk perjuangan. Jenderal Soedirman juga hadir dan berpidato. Jenderal Soedirman menyatakan lebih baik dibom atom daripada tidak merdeka 100%. Perbedaan antara Pemerintah dengan yang menentang kebijakannya mulai nyata.
Setelah Tan Malaka selesai berpidato, nama Persatuan Perjuangan (PP) ditetapkan sebagai nama front persatuan rakyat. “Panitia Kecil” lalu dibentuk dan merumuskan secara nyata usul pengorganisasian dari badan baru tersebut. Hari kedua Panitia Kecil menyerahkan usul-usulnya seperti bentuk dari organisasi baru tersebut kepada Kongres. Kongres menyetujui usulan dari Panitia Kecil dan mendesak Pemerintah agar mengambil langkah sesuai Minimum Program PP (Anderson, 1988: 323).
2. Kabinet Sjahrir II
a. Terbentuknya Kabinet Sjahrir II PP terus berkembang dan mencangkup berbagai macam organisasi di
Indonesia seperti PKI, Masyumi, PS, BPRI, Barisan Banteng dan lain-lain. Pemerintah meyadari bahwa PP tengah tumbuh dan dapat menjadi ancaman
terhadap kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Bahkan keanggotaan PP dianggap lebih representatif daripada KINP (Anderson, 1988: 324).
Tekanan terhadap kabinet Sjahrir makin kencang memasuki bulan Februari tahun 1946. Hal itu terlihat dalam pawai besar PP di Yogyakarta pada Tekanan terhadap kabinet Sjahrir makin kencang memasuki bulan Februari tahun 1946. Hal itu terlihat dalam pawai besar PP di Yogyakarta pada
Pada 26 Februari 1946, Sjahrir secara rahasia mengajukan pengunduran diri sebagai Perdana Menteri kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno baru mengumumkan pengunduran diri Sjahrir dalam Konggres KNIP di Surakarta yang dimulai 28 Februari 1946. PP nampak diatas angin dengan pengunduran diri Sjahrir. Apalagi Presiden Sukarno memberikan mandat kepada PP membentuk kabinet baru. Upaya PP untuk membentuk kabinet baru tidak berhasil karena unsur-unsur dalam PP berbeda pendapat dalam beberapa hal seperti alokasi posisi dan kepentingan sosial (Kahin, 1995: 221; Anderson, 1988: 344).
Kegagalan PP membuat Presiden Sukarno menunjuk kembali Sjahrir agar membentuk kabinet yang baru. KNIP setuju penunjukan Sjahrir namun dengan tambahan agar kabinet diperluas untuk lebih mencerminkan perwakilan aliran politik utama di Indonesia. Sjahrir yang menjadi formatur kabinet sepakat dengan hal tersebut namun menginginkan pemilihan anggota tetap ditangannya. Sjahrir bersama Sukarno dan Hatta selama seminggu berunding mengenai pemilihan menteri. Kabinet baru Sjahrir dengan beberapa perubahan (Kahin, 1995: 221). Susunan menteri dari Kabinet Sjahrir II yang diresmikan pada 13 Maret 1946 (Barisan Rakjat, No. 16 Maret 1946), yaitu:
1). Perdana Menteri
: Sjahrir
2). Menteri Luar Negeri
: Sjahrir
3). Menteri Dalam Negeri
: Soedarsono
4). Menteri Kesehatan : Darmasetiawan 5). Menteri Keuangan
: Surachman Tjokroadisurjo 6). Menteri Perdagangan dan Industri
: Darmawan Mangunkusumo 7). Menteri Pertanian dan Persediaan
: Rasad
8). Menteri Pertahanan : Amir Syarifuddin 9). Menteri Kehakiman
: Suwandi
10). Menteri Pengajaran
: Moh.Syafei
11). Menteri Penerangan : Mohammad Natsir 12). Menteri Sosial
: Maria Ulfah Santoso 13). Menteri Agama
: Moh. Rasjidi
14). Menteri Perhubungan
: Abdul Karim
15). Menteri Pekerjaan Umum
: Putuhena
16). Menteri Negara
: Wikana
Kabinet Sjahrir II terdapat pula jabatan Menteri Muda. Mereka yang menjadi menteri muda yaitu Agus Salim, Samadikun, Leimena, Syarifudin Prawiranegara, Samsu Harya Udaya, Saksono, Aruji Kartawninata, Hadi, T.G.S. Moelia, Abdul Madjid Djojohadiningrat, Juanda dan Laoh. Hanya Perdana Menteri, Menteri Penerangan, Menteri Agama dan Menteri Negara yang tidak memiliki menteri muda (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 239). Kabinet yang baru masih didominasi kelompok Sjahrir. Meskipun mendapat serangan kuat dari PP, Kabinet Sjahrir II diberi mandat kekuasaan legislatif yang jelas oleh KNIP dalam sidangnya di Solo pada 28 Februari hingga 2 Maret 1946 (Kahin, 1995: 223).
Mandat yang menjadi politik Kabinet ke dalam dan keluar negeri tersebut (Kedaulatan rakjat, 6 Maret 1946), yaitu:
1). Berunding atas pengakuan negara Republik Indonesia (100%); 2). Mempersiapkan rakyat dan negara disegala lapangan politik,
ketentaraan, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia;
3). Mencapai susunan pemerintah pusat dan daerah yang demokratis; 4). Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan produksi dan
pembagian makanan dan pakaian; 5). Tentang perusahaan dan perkebunan yang penting hendaknya ole pemerintah diambil tindakan-tindakan seperlunya, hingga memenuhi maksud sebagai termaktub dalam Undang-Undang Dasar pasal 33 (hal kesejahteraan sosial).
Perkembangan berikutnya, Sjamsu Harja Udaja dan Samadikun menolak pengangkatannya sebagai menteri dalam Kabinet (Simanjuntak, 2003: 34). Pada
25 Juni 1946 Darmawan Mangunkusumo menjadi Menteri Kemakmuran yang merupakan gabungan Kementerian Pangan dan Persediaan dan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan (Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).
b. Kriris Politik Maret 1946
Para pemimpin PP tidak puas terhadap kabinet Sjahrir II. Sikap tersebut diperjelas saat PP mengadakan rapat raksasa di Madiun pada 15 Maret 1946. Rapat tersebut tidak dihadiri peserta sebanyak rapat PP sebelumnya karena tidak lebih dari 40 anggota yang datang. Anggota yang mundur terutama dari organisasi politik yang berhalauan sosialis. Meskipun demikian, beberapa peserta yang masih ada berasal dari badan-badan perjuangan seperti BPRI, Hizbullah, Barisan Banteng dan Laskar Rakyat. Jenderal Sudirman juga mengirim delegasi ke kongres itu. Rapat itu menyatakan antara lain menentang politik diplomasi dengan Belanda dan lebih mendukung kebijakan perang (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 242). Selain rapat, PP juga mengadakan pawai besar yang antara lain menyatakan menentang kebijakan diplomasi Pemerintah (Wawancara dengan Handoyo Leksono, 22 Juni 2009).
Pemerintah segera bertindak terhadap para penentangnya. Pada 17 Maret 1946, pasukan pemerintah menangkap para tokoh penting seperti Tan Malaka, Abikusno Tjokrosujoso, Chairul Saleh, Sukarni, Suprapto, Muhammad Yamin dan Wondoamiseno. Akibat penangkapan tersebut, PP menjadi lumpuh terutama di Jawa (Kahin, 1995: 223).
Awal mula penangkapan berasal dari percakapan antara Perdana Menteri Sjahrir dengan Aboe Bakar Loebis pada 10 Maret 1946. Perdana Menteri Sjahrir merasa sulit untuk menjalankan perundingan apabila ada penentangan keras di daerah pedalaman. Aboe Bakar Loebis kemudian ke Yogyakarta dan berunding dengan Soebadio dan Menteri Dalam Negeri Soedarsono berkenaan dengan keluhan Sjahrir. Mereka berdua menemui Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin di Surakarta. Perundingan lalu dilakukan. Atas perintah Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan, diputuskan agar Tan Malaka dan para pemimpin PP ditangkap. Surat penangkapan ditandatangani kedua Menteri yang diberikan pada Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet.
Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet kemudian menghadap Presiden Sukarno. Presiden Sukarno menyetujui perintah penangkapan tersebut dan menyediakan sejumlah uang dan pinjaman mobil. Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet lalu menuju Madiun pada 17 Maret 1946 karena disana tengah Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet kemudian menghadap Presiden Sukarno. Presiden Sukarno menyetujui perintah penangkapan tersebut dan menyediakan sejumlah uang dan pinjaman mobil. Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet lalu menuju Madiun pada 17 Maret 1946 karena disana tengah
Menanggapi penangkapan para tokohnya, unsur-unsur PP tidak tinggal diam. Serangkaian perundingan dilakukan untuk mencapai kompromi. Pada 22 dan 27 Maret 1946, PP mengirim delegasi menemui Presiden Sukarno untuk meminta penjelasan dan mendesak dibebaskannya para tahanan politik PP. Pemerintah sempat pula mengirim utusan menemui para tahanan namun tidak terjadi kesepakatan (Anderson, 1988: 361). PP lalu mengirim Mosi ke pemerintah meminta penjelasan lengkap mengenai penangkapan tersebut (Kedaulatan Rakjat,
6 April 1946). Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri baru mengumumkan penangkapan tersebut pada 22 Maret 1946. Alasan melakukan penangkapan tersebut adalah untuk menyelamatkan masyarakat dan pertahanan negara dalam masa genting tersebut (Kedaulatan Rakjat, 23 Maret 1946). Keterangan lebih lengkap mengenai penangkapan tersebut baru dijelaskan pada 1 April 1946 Anderson, 1988: 359).
c. Kebijakan-Kebijakan Penting Kabinet Sjahrir II Sjahrir tetap melanjutkan kebijakan diplomasi dengan Belanda setelah kembali memimpin kabinet. Beberapa pertemuan digelar antara pihak Indonesia dengan Belanda. Persetujuan pendahuluan yang dikenal dengan Rumusan Jakarta atau Batavia Concept disepakati kedua belah pihak. Bagian penting dari kesepakatan itu ialah pengakuan de facto Indonesia atas Jawa, Sumatera lalu kesepakatan kedua belah pihak untuk duduk sebagai mitra sejajar didalam struktur c. Kebijakan-Kebijakan Penting Kabinet Sjahrir II Sjahrir tetap melanjutkan kebijakan diplomasi dengan Belanda setelah kembali memimpin kabinet. Beberapa pertemuan digelar antara pihak Indonesia dengan Belanda. Persetujuan pendahuluan yang dikenal dengan Rumusan Jakarta atau Batavia Concept disepakati kedua belah pihak. Bagian penting dari kesepakatan itu ialah pengakuan de facto Indonesia atas Jawa, Sumatera lalu kesepakatan kedua belah pihak untuk duduk sebagai mitra sejajar didalam struktur
Hoge Veluwe menjadi tempat perundingan antara Delegasi Indonesia dengan Pemerintah Belanda. Perundingan berlangsung 14-24 April 1946. Pihak Indonesia diwakili oleh Soewandi, A.K. Pringgodigdo dan Soedarsono sementara pemerintah Belanda diwakili Perdana Menteri Schermerhorn, Menteri Sosial W. Dress, Menteri Urusan Daerah Seberang J. Longemann, Menteri Luar Negeri J.H. Van Roijen dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.J. Van Mook (Ide Anak Agung Gde Agung, 1995: 79).
Sebelum perundingan dimulai, telah terjadi gejolak di Belanda. Kesepakatan di Jakarta yang dihasilkan sebelumnya ditolak kabinet Belanda. Hal itu berdampak pada jalannya perundingan kemudian. Misalnya Belanda mengajukan gagasan yang dikenal sebagai Protokol 14 April 1946. Tentu saja hal tersebut ditolak delegasi Indonesia yang menginginkan bentuk perjanjian antar dua negara yang sederajat seperti dalam Rumusan Jakarta bukan bentuk protokol. Perundingan tidak menemui titik temu meskipun kedua pihak berpendapat bahwa semua pokok permasalahan bisa dibicarakan. Waktu pemilihan umum di Belanda yang dekat dengan waktu perundingan membuat pemerintah Belanda tidak mau mengambil resiko mengambil keputusan besar.
Perundingan Hoge Veluwe tidak membuahkan hasil yang nyata. Meskipun demikian, perundingan telah memberikan manfaat bagi kedua pihak mengenai pendirian masing-masing. Akan tetapi Soedarsono, salah satu anggota delegasi Indonesia, dalam suatu wawancara pers menyatakan perundingan Hoge Veluwe merupakan kegagalan. Pernyataan Soedarsono tersebut menjadi pendapat umum di Indonesia bahwa perundingan Hoge Veluwe telah gagal sama sekali (Ide Anak Agung Gde Agung, 1995: 84).
Pernyataan Soedarsono tersebut memiliki dampak yang luas di Indonesia. Perundingan tidak menghasilkan apa-apa dan delegasi Indonesia pulang dengan tangan kosong. Kegagalan perundingan Hoge Veluwe membuat posisi Sjahrir menjadi sulit. Partai-partai politik dan Persatuan Perjuangan mengecam Sjahrir Pernyataan Soedarsono tersebut memiliki dampak yang luas di Indonesia. Perundingan tidak menghasilkan apa-apa dan delegasi Indonesia pulang dengan tangan kosong. Kegagalan perundingan Hoge Veluwe membuat posisi Sjahrir menjadi sulit. Partai-partai politik dan Persatuan Perjuangan mengecam Sjahrir
Meskipun perundingan Hoge Veluwe tidak menghasilkan sesuatu, Inggris terus mendorong Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan persengketaan diantara mereka. Inggris memiliki perhitungan mengenai kekuatan militer Indonesia dan Belanda. Kenyataan pula bahwa tentara India turut dipakai Sekutu untuk tugas di Indonesia. Apabila tidak terjadi penyelesaian yang cepat, Nehru yang akan memperoleh kekuasaan di India pasti tidak akan mengizinkan pemakaian tentara India di Indonesia. Inggris mengharapkan penyelesaian masalah Indonesia dan Belanda terjadi sebelum semua tentara Inggris ditarik dari Indonesia (Nasution, 1992: 64).
Kebijakan Pemerintahan Sjahrir yang juga mengundang perhatian mengenai keberadaan tentara Jepang dan para interniran. Pasca berakhirnya Perang Dunia II, banyak tentara Jepang yang masih berada di Indonesia dan sejumlah besar tawanan dan interniran perang masih terjebak di daerah pedalaman pulau Jawa. Pada 30 November 1945, dilakukan perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Sekutu. Perundingan tersebut menyepakati bahwa pelaksanaan pengangkutan tawanan perang dan sipil Sekutu akan dilakukan Indonesia. Indonesia akan membawa para tawanan dari daerah pedalaman ke wilayah pelabuhan terutama Jakarta, Semarang dan Surabaya. Mengenai pasukan Jepang, mereka akan dilucuti senjatanya pihak Indonesia untuk kemudian dibawa ke tempat penampungan di Riau (Engelen et al, 1997: 223).
Sesuai tugasnya, Inggris sempat mencoba untuk mengurus dan membawa tawanan wanita dan anak-anak dari Belanda di Magelang dan Ambarawa pada Desember 1945. Akan tetapi karena kurangnya tenaga maka Inggris tidak mampu menduduki dan menguasai Semarang, Salatiga Magelang dan Ambarawa untuk menjaga para tawanan Belanda tersebut. Malahan upaya Sekutu membebaskan tawanan Belanda mengakibatkan terjadinya pertempuran Palagan Ambarawa. Inggris kemudian harus kembali ke Semarang (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 238). Pertempuran itu pula yang mencuatkan nama Jenderal Sudirman.
Pemerintah kemudian mengadakan konferensi di Solo mengenai APWI dan tawanan Jepang yang dihadiri seluruh Panglima dan komandan resimen TKR. Para panglima dan komandan resimen TKR menyetujui maksud pemerintah untuk menyelenggarakan pengangkutan APWI dan tawanan Jepang. Pada 24 Desember
1945 tercapai kesepakatan antara TKR dan Sekutu dimana TKR akan mengangkut APWI dan tawanan Jepang jika tidak ada tentara Inggris (Nasution, 1992: 55).
Untuk melaksanakan tugas pengangkitan interniran dan tentara Jepang dibentuklah POPDA (Panitia Onteoek Penyingkiran Djepang dan APWI) yang dipimpin Jenderal Mayor Sudibjo. TKR dilibatkan tugas POPDA. Berkenaan dengan hal tersebut dan karena tugas POPDA yang bersifat internasional maka Kantor Penghubung Tentara diperluas perannya untuk mengurusi langsung operasi pemulangan APWI dan tentara Jepang (Engelen et al, 1997: 223).
Pada 19 Januari 1946 kembali berlangsung pertemuan antara Indonesia dengan Inggris di Jakarta. Pertemuan tersebut menyepakati beberapa hal (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 253), antara lain:
1). Indonesia akan mulai memindahkan seluruh APWI dari tempat mereka sekarang ke Jakarta; 2). Indonesia bertanggung jawab dalam menyerahkan APWI dalam keadaan baik kepada Sekutu di Jakarta; 3). Indonesia akan mengurus transportasi dan keamanan dalam perjalanan APWI dari pedalaman ke Jakarta; 4). Sekutu akan mengambil alih tanggung jawab APWI begitu diserahakan Indonesia di Jakarta; 5). Sekutu menjamin APWI yang telah diserahkan tidak akan dipersenjatai. Berkaitan dengan Jepang, diputuskan antara lain: 1). Sekutu dan Indonesia berkeinginan memindahkan secepatnya Jepang
dari Jawa; 2). Seluruh persenjataan perang akan dimusnahkan dibawah pengawasan Sekutu dan Indonesia; 3). Jakarta menjadi tempat pengumpulan Jepang. Atas usaha Jenderal Mayor Abdul Kadir dan Sudibyo dari POPDA maka
pada 2 April 1946 disepakati cara-cara penyingkiran APWI dan tawanan Jepang. Rombongan pertama APWI pertama berangkat pada 24 April 1946 di Jawa
Tengah ke Jakarta. Pada 28 April 1946 rombongan Jepang pertama dari Jawa Timur menuju Riau (Nasution, 1992: 55).
Berkenaan dengan persenjataan milik Jepang, pada 15 Mei 1946 di Jakarta dilakukan upacara resmi penyerahan persenjataan dari Jepang ke Sekutu. Dengan pimpinan Jenderal Nishimura, para pembesar Jepang menyerahkan pedangnya kepada Sekutu (Nasution, 1992: 60).
Pihak Belanda menyampaikan protes kepada Inggris karena kesepakatan mengenai pemindahan tawanan perang dan interniran tidak melibatkan Belanda dalam berunding. Belanda merasa dirugikan dan diperlakukan tidak sebagai pihak yang berdaulat di Indonesia. kesepakatan itu berarti mengakui Indonesia sebagai suatu pemerintahan dan sangat memperlemah posisi Belanda sendiri (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 254). Namun pengangkutan tetap dilaksanakan Indonesia.
Tugas pengangkutan APWI dan Jepang bukan tugas yang mudah bahkan cenderung berbahaya. Ancaman gangguan dapat muncul dari Jepang yang telah kalah perang, gangguan para prajurit Belanda dan terkadang Inggris bahkan dari orang Indonesia sendiri yang menganggap pelaksanaan tugas itu berarti membantu NICA (Aboe Bakar Loebis, 1992: 139). Kecurigaan pemuda terhadap penyingkiran APWI dan Jepang cukup besar. Saat itu sebagian orang Jepang dipergunakan Belanda untuk menjaga kepentingannya seperti di Plaju dan sungai Gerong. Kecurigaan diperparah dengan sebagian orang Belanda yang diserahkan ternyata dipesenjatai kembali dalam milisi atau tugas NICA untuk menyerang Republik (Nasution, 1992: 55).
Pada akhir Juni 1946 kementerian Pertahanan lewat Kantor Penghubung Tentara menyatakan bahwa pengangkutan tentara Jepang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur telah usai dengan baik (Kedaulatan Rakjat, 25 Juni 1946). Rombongan Jepang telah selesai semua disingkirkan tepatnya pada 18 Juni 1946. Pengangkutan APWI lebih lama selesai karena banyak hal yang diperdebatkan (Nasution, 1992: 55).
Kebijakan militer yang juga menimbulkan pertentangan ialah masalah struktur dan batas kekuasaan Kementrian Pertahanan dan pengangkatan pimpinan divisi. Pada 23 Februari 1946 dibentuk panitia untuk reorganisasi Kementerian Pertahanan, Tentara dan keberadaan laskar. Bukan hal yang mudah bagi panitia tersebut dalam menjalankan tugas. Terdapat persaingan diantara Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara sehingga Panitia tersebut baru memberikan rekomendasi resmi terakhir pada 25 Mei 1946. Rekomendasi panitia tersebut membuat struktur administrasi Kementerian Pertahanan lebih luas dari Tentara. Polisi Tentara pun bertanggung jawab pada Kementerian Pertahanan. Panitia juga mengusulkan pengurangan jumlah Divisi di Jawa dari 10 menjadi 7. Usul tersebut bisa diterima namun terjadi sengketa di Divisi III baru (Pekalongan, Kedu, Yogyakarta) dan Divisi IV baru (Surakarta, Semarang, Madiun).
Panglima Divisi III Jenderal Mayor Soedarsono menolak Sarbini sebagai Kepala Staf Divisi III dan menginginkan Umar Djoy sebagai Kepala Stafnya.
Pemerintah mengalah dan mengangkat Umar Djoy sebagai Kepala Staf Divisi III. Saat Soediro akan dilantik sebagai Panglima Divisi IV, Sutarto dan bawahannya menolak pengangkatan Soediro sebagai Panglima Divisi IV. Pemerintah pun mengalah dan mengangkat Sutarto sebagai Divisi IV dengan Soediro sebagai Panglima Cadangan. Soediro lalu ditempatkan sebagai Panglima Divisi III yang baru menggantikan Jenderal Mayor Soedarsono. Namun penempatan Soediro kembali ditolak dan Jenderal Mayor Soedarsono tetap menjadi Panglima Divisi III (Anderson, 1988: 406; Nasution, 1992:).
Kebijakan Pemerintahan Sjahrir yang juga mengundang kontroversi yaitu pendidikan politik tentara. Sebenarnya Kongres Tentara di Yogyakarta telah mengusulkan pembentukan badan pendidikan tentara. Pelaksanaannya dilakukan pada 24 Januari 1946 dengan membentuk suatu komisi yang bertugas menetapkan pola dasar tentang pendidikan tentara. Disamping itu dibentuk pula badan pendidikan. Badan pendidikan ini kemudian disesuaikan dengan konsepsi Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dimana tentara memiliki keyakinan politik yang teguh dimana Amir nampaknya mengambil contoh dari Tentara Merah Uni Sovyet (Nugroho Notosusanto et al, 1985:44).
Pembentukan Komisi Staf Pendidikan Tentara Republik Indonesia dilakukan pada 21 Januari 1946. Maksud didirikannya Staf Pendidikan tersebut menurut Kementerian Pertahanan adalah untuk menghilangkan sifat buruk dari penjajahan Belanda dan terutama penjajahan Jepang. Kedudukan Staf Pendidik berada dibawah Kementerian Pertahanan. Kewajiban dari para Staf Pendidikan adalah untuk mendidik politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum agar para tentara berjiwa tinggi seperti cita-cita rakyat Indonesia. Untuk melakukan hal tersebut, Staf Pendidikan akan melatih dan mendidik para opsir pendidik sesuai garis-garis yang ditetapkan pemerintah serta mengusahakan cara pendidikannya (Kedaulatan Rakjat, 20 Februari 1946).
Staf pendidikan membawahi korps Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) yang terdiri dari 55 opsir politik. Pada awalnya kebanyakan opsir diambil dari Pesindo sampai munculnya protes dari partai-partai lain. Para opsir disebar ke seluruh Indonesia dimana disediakan 5 opsir politik di tiap divisi. Kedudukan para opsir tersebut dalam bebas dari panglima divisinya. Hal itu dilakukan untuk menjamin indoktrinasi bebas dari intervensi Markas Besar Tentara (Sundhaussen, 1988: 46). Staf Pendidikan yang diberikan pangkat perwira tinggi ini dikepalai Soekono Djojopratikno dan dibantu Wijono, Sumarsono, Anwar Tjokroaminoto, Faried Ma’ruf, Abdoel Mukti dan Moestopo. Diantara pimpinan staf pendidikan, hanya Moetopo yang memiliki pengalaman dalam bidang militer di PETA (Kedaulatan Rakjat, 20 Februari 1946 dan Sundhaussen, 1988: 46).
Menanggapi keputusan Kementerian Pertahanan, banyak perwira yang memprotes keberadaan para perwira Pepolit tersebut saat rapat kerja pertama antara perwira Markas Besar Tentara dengan para panglima divisi dilakukan.
Mereka juga tidak suka campur tangan para staf Pepolit dalam divisinya. Pangkat tinggi yang diberikan kepada para staf Pepolit menimbulkan pula ketidakpuasan di kalangan tentara. Markas Besar Tentara saat itu belum mengeluarkan solusi sehingga terjadi perbedaan sikap para panglima divisi terhadap keberadaan staf Pepolit. Sejumlah panglima mengizinkan staf Pepolit dalam divisinya sementara yang lain justru menolak mentah-mentah (Sundhaussen, 1988: 47).
Markas Besar Tentara pada 20 April 1946 mengeluarkan keputusan membentuk Dewan Penasehat pimpinan tentara yang bertugas memberikan pertimbangan politik kepada Markas Besar. Kemudian para panglima divisi juga diminta melakukan hal serupa. Keputusan tersebut terkait dengan keberadaan Pepolit dimana kalangan tentara ingin menyingkirkan para staf Pepolit. Pihak tentara banyak mengangkat para tokoh pemuda terkemuka dalam Dewan Penasehatnya yang diantara mereka yang diangkat cenderung memiliki pandangan menentang pemerintah.
Upaya Pemerintahan Sjahrir lain yang juga penting dalam diplomasi adalah tawaran bantuan beras dari Indonesia kepada India yang sedang menghadapi bahaya kelaparan. Tawaran tersebut diberikan Perdana Menteri Sjahrir pada 7 April 1946 dan diberitakan di India pada 8 April 1946. Pemimpin India, Jawaharlal Nehru mengucapkan terima kasih atas tawaran beras dari Indonesia kepada Perdana Menteri Sjahrir dan pemimpin Indonesia lain. Nehru menambahkan akan berusaha memenuhi permintaan Indonesia menyediakan bahan pakaian. Perwakilan pemerintah India segera dikirim ke Jakarta untuk merundingkan pengiriman beras tersebut (Nasution, 1992: 60).
Persiapan barter segera dilakukan. Pemerintah India giat menyiapkan kapal-kapal untuk dikirim ke Indonesia. Kapal-kapal tersebut akan membawa bahan pakaian, alat pertanian dan sebagainya yang sangat dibutuhkan rakyat. Indonesia pun serius mempersiapkan pengiriman beras. Suatu komite dibentuk untuk melakukan persiapan pengiriman beras. Di daerah yang surplus beras, digiatkan pengumpulan beras.
Pemerintah Belanda menentang pengiriman beras tersebut. Van Mook beralasan di kota-kota pendudukan Sekutu mengalami kesukaran pangan akibat blokade tentara Indonesia hingga harus mengimpor pangan dari Brazil. Van Mook pun menyatakan pengiriman beras hendaknya melewati jalur Republik-Inggris- India yang tentu saja melewati Belanda yang “berdaulat”.
Pihak India langsung mendesak Sekutu agar menghilangkan hambatan Belanda. Pada 2 Mei 1946 disepakati bahwa Republik hanya akan mengirim setengah dari jumlah beras yang dijanjikan sebelumnya ke India. Sisanya Pihak India langsung mendesak Sekutu agar menghilangkan hambatan Belanda. Pada 2 Mei 1946 disepakati bahwa Republik hanya akan mengirim setengah dari jumlah beras yang dijanjikan sebelumnya ke India. Sisanya
Muncul reaksi di dalam negeri atas kesepakatan tersebut. Jenderal Sudirman menyetujui pengiriman beras ke India namun menolak jika pengiriman beras ditujukan kepada Sekutu. Pihak Tentara, partai politik, badan perjuangan dan rakyat juga tidak dapat menerima pemberian beras kepada Sekutu. Pemberian beras kepada India banyak didukung karena memang mulia. Sebaliknya, jika memberi beras kepada Sekutu sama dengan memberi makan NICA, yang ingin menguasai kembali Indonesia. Pada 24 Mei 1946 di Karawang, berbagai partai dan badan perjuangan dan tentara seperti Barisan Banteng, Masyumi, Pesindo, Hizbullah dan lain-lain mengajukan resolusi terhadap pemerintah. Pada intinya mereka menyatakan keberatan mengenai pengiriman beras kepada Sekutu. Apabila Pemerintah tidak menggubris resolusi tersebut maka mereka tidak bertanggung jawab atas keamanan pengiriman beras (Nasution, 1992: 62).
Pelaksanaan pengiriman beras kepada India mulai direalisasikan pada bulan Juni 1946. Indonesia berhasil mengirimkan sebagian besar bantuan yang dijanjikan. Sebagai gantinya, Indonesia menerima berbagai alat pertanian, tekstil dan lain-lain. Namun dampak terpenting dari pengiriman beras tersebut terletak pada aspek politik dimana Indonesia membuktikan mampu menyediakan beras bagi India sekaligus mematahkan propaganda Belanda di dunia internasional (Mani, 1989: 126).
d. Situasi Politik Nasional Pasca Perundingan Hoge Veluwe Setelah kembali dari Hoge Veluwe, Van Mook mengajukan usul-usul baru dari Belanda. Usul tersebut berupa rancangan protokol yang antara lain berisi pengakuan de facto Republik atas Jawa, bahwa negara Indonesia Serikat tetap menjadi bagian Kerajaan Belanda dan penolakan atas tuntutan Republik untuk ikut mengatur perwakilan dari Kalimantan dan Indonesia Timur untuk perundingan berikutnya.
Pemerintah Republik Indonesia mempelajari usul-usul tersebut dengan rahasia. Secara tegas Pemerintah menolak persetujuan yang berbentuk protokol dan menginginkan perjanjian antar negara yang sederajat. Usul balasan dari
Perdana Menteri Sjahrir ke Belanda yang disampaikan secara rahasia, berisi menuntut kekuasaan de facto atas Jawa, Sumatera termasuk kota-kota pendudukan Sekutu, menolak ikatan kerajaan, menuntut pengiriman tentara Belanda dihentikan dengan kesanggupan Republik untuk tidak menambah pasukan dan menolak pengakuan Belanda selama masa peralihan. Namun usulan rancangan protokol Belanda dan usulan balasan Indonesia yang seharusnya bersifat rahasia justru dipublikasikan oleh Pemerintah Belanda. Radio Belanda di daerah pendudukan di Bandung dan alat publikasi lain segera menyebarluaskan publikasi tersebut. Pemerintah Indonesia sebenarnya masih menyimpan rahasia tersebut.
Pada 28 Juni 1946 Perdana Menteri Sjahrir kembali mengajukan usul tentang pemberlakuan terlebih dahulu gencatan senjata dengan syarat penghentian pengiriman tentara Belanda ke Indonesia dan pemindahan pasukan. Belanda tidak menolak usul gencatan senjata namun menolak persyaratan yang diajukan Indonesia dan justru menuntut status quo kedudukan dan jaminan keamanan garis-garis perhubungan di seperti Jakarta-Bandung.
Pengumuman usulan balasan Indonesia oleh Belanda kian meningkat suasana panas di Indonesia. Pengumuman yang dilakukan Belanda tersebut menimbulkan kekecewaan mendalam di Indonesia. Banyak yang kemudian menafsirkan bahwa penangkapan tokoh PP pada bulan Maret tahun 1946 merupakan desakan dari Inggris dan Belanda untuk melumpuhkan perlawanan rakyat (Nasution, 1992: 321).
Partai-partai politik dan Persatuan perjuangan serta pemuda-pemuda kecewa karena Sjahrir dianggap tidak memperjuangkan Indonesia yang merdeka 100% dalam perundingan dengan Belanda. Mereka juga menyesalkan delegasi Indonesia dalam pembicaraan Hoge Veluwe yang juga dianggap tidak memperjuangkan prinsip kemerdekaan 100% (Ide Anak Agung Gde Agung, 1995: 104). Oleh karena itu mereka membentuk Konsentrasi Nasional yang tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 100% namun tetap berdiri dibelakang Pemerintah (Kedaulatan, 6 Mei 1946).
Gentingnya situasi membuat Wakil Presiden Hatta membuka beberapa bagian usul perundingan dengan Belanda yang sebenarnya masih bersifat rahasia pada perayaan Isra’ Mi’raj pada 27 Juni 1946, di Yogyakarta. Dalam kesempatan tersebut, Hatta mengungkapkan bahwa pengakuan de facto atas wilayah Jawa dan
Sumatera dituntut terlebih dahulu Pemerintah Indonesia dari Belanda. Wilayah- wilayah lain di Indonesia baru akan diadakan plebisit setelah tiga tahun, yaitu apakah akan bergabung dengan Indonesia atau tetap dibawah Belanda (Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).
Menteri Penerangan memberi keterangan tambahan antara lain usul balasan kepada Belanda tidak untuk mengembalikan bagian-bagian wilayah Indonesia kepada Belanda. Apabila ada wilayah yang enggan masuk Indonesia maka wilayah tesebut tidak akan dilepaskan begitu saja. Perjuangan tetap untuk menuju Negara Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Keterangan dari Menteri Penerangan dan Pidato Wakil Presiden segera mengundang reaksi. Masyumi, PBI dan PNI meminta Presiden agar membuka seluruh usulan balasan kepada Belanda. Selain itu agar susunan kabinet dirombak terutama Kementerian Pertahanan, Kemakmuran dan Dalam Negeri (Kedaulatan Rakjat, 29 Juni 1946).