LANDASAN TEORI

3. Konflik Politik

a. Pengertian Konflik

Tidak ada masyarakat yang terbebas dari konflik. Kita tidak dapat menghilangkan konflik, yang bisa dilakukan hanya mengurangi jumlah konflik dan mencegah semakin mendalam dan meluasnya suatu konflik. Keberadaan konflik yang selalu terjadi dalam masyarakat bersumber dari hubungan sosial (social relation) yang merupakan hakekat suatu masyarakat (Maswadi Rauf, 1992: 77).

Ralf Dahrendorf (1986: 197) menerangkan tiap masyarakat selalu berubah, dan memperlihatkan pertentangan dan konflik dibanyak bidang. Unsur- unsur dalam masyarakat sendiri yang menyumbang disintegrasi dan perubahan. Kemudian berdirinya suatu masyarakat disebabkan paksaan segelintir anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya.

Salah satu bentuk konflik sosial dalam masyarakat adalah konflik politik. Konflik politik dapat dikelompokkan ke dalam konflik sosial karena terjadi dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif. Konflik politik dapat menimbulkan disintegrasi nasional seperti halnya konflik sosial, malah berdampak langsung bagi disintegrasi nasional jika konflik politik menjadi berlarut-larut tanpa penyelesaian yang pasti (Maswadi Rauf, 1992: 80).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 587), konflik berarti percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Soerjono Soekanto (1982: 89) mendefinisikan konflik sebagai suatu proses dimana orang-perorangan atau kelompok manusia untuk memenuhi tujuannya.

Maswadi Rauf (2002: 2) mengartikan konflik sebagai setiap pertentangan atau perbedaan antara paling tidak dua orang atau kelompok. Lewis A. Coser dalam Veeger (1990: 211) menerangkan konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber- sumber kekayaan yang jumlahnya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya ingin memperoleh barang yang ia inginkan namun juga berusaha memojokkan lawan-lawannya.

Konflik politik sendiri ialah setiap konflik yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat penguasa politik dan jabatan yang diduduki oleh penguasa politik, termasuk kepentingan penguasa politik (Maswadi Rauf, 2001: 22).

Ramlan Surbakti dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 244) mendefinisikan konflik politik sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam usaha mendapatkan dan atau mempertahankan sumber- sumber keputusan yang akan dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Konflik antara dua orang karena perbedaan pendapat tidak selalu menyangkut politik. Konflik bisa menyangkut politik jika perbedaan yang ada melibatkan lembaga politik.

Kesimpulannya, konflik politik merupakan persaingan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang melibatkan penguasa politik. Umumnya, masalah yang dipertentangkan berkaitan dengan kebijakan yang akan dan sedang dilaksanakan pemerintah.

b. Macam-Macam Konflik

Ramlan Sur bakti (1992: 149) membagi konflik dalam dua bentuk yaitu: 1). Konflik berwujud kekerasan, umumnya terjadi dalam masyarakat

atau negara yang belum memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara dan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga. Misalnya: huru-hara, pemogokan, pengajuan petisi, pembangkangan sipil dan dialog;

2). Konflik yang tidak berwujud kekerasan, kerap terjadi di negara atau masyarakat yang memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara, dan memiliki mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga. Misalnya: demonstrasi, pemogokan, pengajuan petisi, pembangkangan sipil dan dialog.

Kedua konflik di atas termasuk konflik yang bisa diselesaikan lewat kompromi atau kerjasama antara kedua belah pihak yang saling menguntungkan meskipun hasilnya tidak optimal.

Menurut Paul Conn dalam Ramlan Surbakti (1992: 144), jenis konflik yaitu: 1). Zero-sum Conflict: konflik yang bersifat antagonis dan tidak mungkin diadakan kerjasama atau kompromi diantara pihak yang berkonflik; 2). Non Zero-sum Conflict: konflik yang dapat diselesaikan baik itu dengan kompromi maupun kerjasama yang menguntungkan kedua pihak, meskipun hasilnya tidak optimal.

c. Karakteristik Konflik Politik

Ted Robert Gurr yang dikutip Maswadi Rauf (2001: 7) menjelaskan ciri- ciri konflik ialah: 1). Terdapat dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik; 2). Sikap permusuhan masing-masing pihak yang berkonflik; 3). Adanya penggunaan kekerasan untuk menghancurkan, melukai atau

menghambat lawan; 4). Interaksi pihak-pihak yang bertikai bersifat terbuka sehingga dengan

pengamat independen mudah mendeteksi adanya konflik. Sementara Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing

(1992: 83), mengungkapkan beberapa ciri konflik politik yaitu:

1). Perbedaan besar diantara masyarakat mengenai obyek politik; 2). Polarisasi yang lebih jelas dalam masyarakat; 3). Keterlibatan penguasa politik dalam konflik.

d. Pemicu Konflik Politik Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 81)

menyatakan konflik politik dapat terjadi karena perbedaan pandangan tentang penguasa politik, sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki penguasa politik

dan mengenai keputusan politik. Menurut O’Brien, Scharg dan Martin yang dikutip Astrid S. Soesanto

(1983: 104), konflik sering terjadi karena: 1). Ketidaksepahaman dalam anggota kelompok mengenai tujuan

masyarakat yang semula menjadi pegangan kelompok; 2). Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang disepakati; 3). Norma-norma kelompok yang dihayati oleh para anggotanya bertentangan satu sama lain; 4). Sanksi dalam norma melemah dan tidak konsekuen dijalankan; 5). Tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma

kelompok. Menurut Soerjono Soekanto (1982: 94), yang menjadi penyebab konflik adalah perbedaan antara individu-individu atau kelompok-kelompok, kebudayaan, kepentingan dan sosial.

Maurice Duverger (2003: 159) mengungkapkan bahwa konflik berasal dari antagonisme politik yaitu:

1). Sebab-sebab individual: a). bakat-bakat individual: dimana ada manusia yang memiliki bakat alami lebih dari manusia yang lain dan cenderung berada di atas angin, untuk menjamin kekuasaan;

b). sebab-sebab psikologis: perbedaan dalam kecenderungan psikologis dimana individu-individu tertentu cenderung mematuhi individu lain. Sebaliknya, ada individu yang cenderung menguasai yang lain.

Kedua hal di atas bukan merupakan dua alasan berbeda dari antagonisme politik namun merupakan dua aspek dari antagonisme politik menuju ke konflik. 2). Sebab-sebab kolektif (Maurice Duverger, 2003: 188), yaitu

perjuangan kelas, konflik rasial dan konflik antar kelompok horizontal.

Ralf Dahrendorf dalam Veeger (1990: 214) menyatakan masyarakat terdiri dari penguasa dan orang yang dikuasai. Dualisme ini mengakibatkan kepentingan-kepentingan yang berbeda dan bisa saja saling berlawanan. Lalu, perbedaan tersebut dapat memunculkan kelompok-kelompok yang berbenturan.

Dahrendorf melanjutkan bahwa situasi konflik dalam masyarakat, secara mudah bisa dipahami jika dilihat sebagai konflik mengenai keabsahan wewenang penguasa. Penguasa berusaha mempertahankan kepentingannya, agar keabsahan kedudukannya makin kokoh. Mereka akan mencurigai dan menghambat oposisi, dimana oposisi sering disamakan dengan aksi subversi. Sebaliknya, pihak yang dikuasai yang memiliki perbedaan dengan penguasa, akan mempermasalahkan setiap penyimpangan wewenang yang ada (Veeger, 1990: 216).

Akar konflik di Indonesia pasca kemerdekaan adalah perbedaan pandangan dan kepentingan mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perbedaan tersebut terjadi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok diluar pemerintah. Pertentangan yang muncul sering kali berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang umumnya mendapat perhatian dari masyarakat.

e. Dampak Konflik Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan A.B. Tangdiling (1992 : 79) menyatakan dampak munculnya konflik adalah hancurnya kehidupan bermasyarakat yang terkena konflik. Bahkan hubungan sosial yang buruk itu dapat memunculkan disintegrasi politik.

Soerjono Soekanto (1982: 98) menyebutkan bahwa dampak konflik yang berkembang dalam masyarakat, yaitu: 1). Bertambahnya solidaritas in-group karena terdapat persinggungan

dengan kelompok lain;

2). Apabila pertentangan terjadi dalam satu kelompok maka yang terjadi adalah retaknya persatuan kelompok; 3). Perubahan kepribadian orang-perorangan; 4). Hancurmya harta benda dan jatuhnya korban jiwa; 5). Akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak. Lewis A. Coser menyebutkan bahwa dampak konflik tidak selalu bersifat

negatif. Justru konfliklah yang memberikan banyak kepada keberlangsungan kelompok dan mempererat hubungan antar anggota kelompok. Adanya musuh bersama akan membuat integrasi kedalam kelompok, menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat anggota-anggota kelompok melupakan perselisihan intern diantara mereka sendiri (Veeger, 1990: 212).

f. Penyelesaian Konflik Konflik memang gejala alami dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan

sosial namun bisa dikurangi. Keinginan mengakhiri konflik bisa karena rasa lelah atau bosan para pelaku dan keinginan untuk mencurahkan tenaga ke hal-hal lain.

Simmel dalam Doyle Paul Johnson (1986: 273) mengemukakan cara mengakhiri konflik yaitu menghilangkan dasar dari tindakan-tindakan pihak yang berkonflik, kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pihak lain, kompromi, perdamaian dan ketidakmungkinan untuk berdamai.

Beberapa cara yang sering dipakai untuk mengakhiri konflik (Hendropuspito, 1989: 250) yaitu:

1). Conciliato: mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan bersama untuk berdamai; 2). Mediasi: menyelesaikan konflik lewat jasa perantara atau mediator. Mediator umumnya memiliki wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat;

3). Arbitrasi: menyelesaikan konflik lewat pengadilan dengan hakim sebagai pembuat keputusan. Keputusan dari arbiter atau hakim mengikat dan harus ditaati kedua belah pihak;

4). Coercion: menyelesaikan konflik dengan mengunakan paksaan fisik atau psikologis. 5). Detente: mengurangi ketegangan diantara pihak yang bertikai. Cara ini merupakan persiapan untuk melakukan pendekatan dalam rangka pembicaraan mengenai langkah-langkah perdamaian.

Sedangkan Maswadi Rauf (2001: 10) memberikan dua cara penyelesaian konflik politik, yaitu cara persuasif untuk mencari titik temu diantara pihak-pihak

yang berkonflik dan cara koersif dengan menggunakan kekerasan fisik untuk yang berkonflik dan cara koersif dengan menggunakan kekerasan fisik untuk

Astrid S. Susanto (1983: 103) menyatakan proses integrasi juga merupakan proses konflik (fase disorganisasi dan disintegrasi). Fase-fase dalam integrasi yaitu akomodasi, koperasi, koordinasi dan asimilasi.

4. Subversi

a. Pengertian Subversi Subversi berasal dari bahasa latin yaitu subversus, yang berarti

menggulingkan. Dalam bahasa Inggris, subversi (subversion) berarti gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah (Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Amir Muhsin, 1987: 280). Subversi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1096) ialah penggulingan kekuasaan atau pemerintahan dengan jalan melemahkan kepercayaan (kesetiaan) rakyat kepada pemerintah.

Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Pnps No 11 Tahun 1963 mengenai pemberantasan kegiatan subversi, subversi merupakan manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan (bijgleged), suatu lanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara-cara tertutup (covert), sering pula dibarengi atau disusul tindakan kekerasan yang terbuka (Niniek Suparni, 1990: 95). Departemen Pertahanan dan Keamanan Indonesia menyatakan subversi yaitu kegiatan yang dilancarkan pihak secara terselubung dan secara tidak sah terhadap kepentingan negara sasaran (Djoko Prakoso et al, 1987: 280).

Kesimpulannya subversi merupakan usaha untuk menjatuhkan pemerintahan yang ada dengan cara yang tidak sah yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang sulit dipertemukan.

b. Penyebab Subversi Setiap bangsa dan negara menginginkan agar kehidupan bernegaranya

terwujud dalam keselarasan yang dinamis antara kepentingan yang terdapat pada rakyat dan pemerintahan yang mengelola sumber daya dalam wilayah negara. Kenyataannya tidak demikian karena pada suatu masa akan terjadi pertentangan kepentingan yang sulit dipertemukan penyelesaiannya. Akibatnya kemungkinan terjadi ketegangan politik sebelum berlangsungnya suatu peperangan (Bambang Poernomo, 1984: 117). Pertentangan politik dalam negara kerap terjadi karena ketidakselarasan antara kehendak negara yang akan dilaksanakan pemerintah dengan keinginan sekelompok orang yang memiliki kekuatan sosial-politik dalam suatu negara (Bambang Poernomo, 1984: 118).

Penjelasan umum UU Pnps No 11 Tahun 1963 menyatakan bahwa subversi merupakan manifestasi pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan, lanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara tertutup, sering pula disusul tindakan kekerasan yang terbuka (Niniek Suparni, 1990: 95).

Menurut Djoko Prakoso et al (1987: 289) subversi memiliki beberapa sumber yaitu dari luar negeri atau dalam negeri dari orang-orang negara yang bersangkutan, simpatisan atau orang yang diperalat atau memiliki persamaan kepentingan. Biasanya subversi berlandaskan kepentingan nasional dengan motivasi politik terselubung yang dalam prakek sering tercampur. Djoko Prakoso et al melanjutkan bahwa meski sumber subversi berlainan namun keduanya dapat bekerja sama, sehingga tercipta pola yaitu pola subversi asing dengan bantuan unsur dalam negeri, subversi dalam negeri yang dibantu pihak asing dan subversi dalam negeri yang berdiri sendiri.

c. Ruang Lingkup Subversi Menurut penjelasan UU No.11 Pnps Tahun 1963 tentang pemberantasan

kegiatan subversi, subversi selalu terkait dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dikehendaki golongan yang berkepentingan. Namun bidang non politik bisa dihubungkan dengan tindakan subversi (Niniek Suparni, 1990: 95).

Keputusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 22 Februari 1969 No. 89/Kr/1968 antara lain menetapkan unsur penting dalam tindak pidana subversi adalah latar belakang politik, yang harus selalu dibuktikan di muka sidang setiap unsur delik yang dituduhkan. Menurut putusan lain MA tanggal 17 Juli 1971 No. 28K/Kr/1969 memberikan pertimbangan lain dimana latar belakang tindak pidana subversi dalam kaitanya dengan kekuatan politik dan asing dan lainnya tidak memerlukan karena yang perlu disimpulkan yaitu unsur delik-delik subversi yang dari perbuatan nyata terdakwa (Bambang Poernomo, 1984: 122).

Sementara dalam putusan MA No. 364 K/Kr/1980 tanggal 26 Januari 1984 menyatakan istilah politik harus dipandang luas dan bukan semata sebagai practical politics atau partai politik melainkan sebagai kebijakan negara dalam ekonomi, sosial dan budaya (Djoko Prakoso et al, 1987: 287)

Oemar Seno Adji (1984: 159) menyatakan pengertian luas dalam UU No.11 Pnps Tahun 1963 bisa memancing hakim untuk memasukkan delik-delik yang semula tidak dimaksudkan untuk tindak pidana subversi ke dalam tindak pidana subversi. Oemar Seno Adji melanjutkan bahwa perumusan yang luas dalam tindak pidana subversi dan delik politik, yang memiliki fungsi perlindungan keamanan atau keselamatan negara, membuka hakim untuk mengadakan interpretasi extensif.

Ruang lingkup subversi (Djoko Prakoso et al, 1987: 289) yaitu: 1). Bidang Ideologi: sasaran ditujukan pada kelemahan-kelemahan

dalam bidang ideologi; 2). Bidang Politik: mempertentangkan perbedaan antar kekuatan sosial guna memudahkan subversi infiltrasi terhadap kekuatan sosial yang ada, ditujukan untuk bisa mendukung tujuan politik dari pihak yang melakukan subversi;

3). Bidang Ekonomi: mengacau pelbagai macam ekonomi khususnya bidang-bidang vital yang jika berhasil akan memberikan dampak psikologis dan ekonomi kegoncangan masyarakat sasaran subversi, secara sistematis mengenai bidang-bidang tertentu dalam bidang ekonomi dengan maksud untuk dapat dimanipulasi guna kepentingan masyarakat dan menghambat atau menghancurkan usaha-usaha pembangunan ekonomi yang telah dicapai;

4). Bidang Sosial-Budaya: mempertentangkan perbedaan-perbedaan di bidang sosial-budaya secara eksplosif dalam masyarakat, memasukkan nilai-nilai baru di bidang sosial budaya untuk menimbulkan frustasi atau keragu-raguan dan melemahkan integritas persatuan dan kepribadian bangsa;

5). Bidang Pertahanan-Keamanan: melemahkan potensi militer yang ada, memisahkan hubungan rakyat, pertahanan dan keamanan daerah, dan menimbulkan kekacauan serta ketidakpastian dalam masyarakat.

Djoko Prakoso et al (1987: 296) menambahkan bahwa subversi memiliki sifat yang spontan dan spektakuler, pragmatis dalam menghadapi masalah dan memakai isu dari masalah-masalah yang timbul pada suatu waktu.

d. Kegiatan Subversi Kegiatan subversi adalah menguasai keadaan, menciptakan keadaan yang

menguntungkan bagi yang melakukan dengan tujuan intermedier antara lain meruntuhkan negara dari dalam, menjatuhkan pemerintahan yang sah, menarik negara sasaran kedalam pengaruh atau blok negara penggerak/pengendali/pelaku subversi dan menimbulkan kerugian baik materi atau imateri kepada negara/pemerintahan yang sah.

Subversi dilakukan dengan menimbulkan perpecahan dan pengrusakan diberbagai bidang, penyelewengan usaha yang mencapai dan memelihara tujuan dan kepentingan nasional, gangguan keamanan negara, berbagai ancaman dibanyak bidang dari negara sasaran subversi, dengan sasaran pemerintahannya agar melemah dengan menggunakan berbagai saluran di negara tersebut (Niniek Suparni, 1991: 15).

Djoko Prakoso et al (1987: 290) mengungkapkan bahwa kegiatan subversi dalam negeri ada yang bersifat konsepsional dimana mereka yang melakukan subversi telah memiliki tujuan, rencana dan program tertentu untuk mengubah atau mengganti sistem sosial atau pemerintah yang ada. Ada pula kegiatan subversi yang tidak bersifat konsepsional karena memaksakan perubahan namun tanpa memiliki rencana tertentu sebagaimana perubahan yang dimiliki.

Menurut Pasal 1 UU No.11 Pnps Tahun 1963, yang temasuk kegiatan subversi yaitu: 1). Kegiatan yang bermaksud atau diketahui memiliki potensi negatif

atau destruktif terhadap ideologi negara Pancasila atau GBHN, kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara dan perekonomian yang diselenggarakan atau berdasar keputusan Pemerintah atau berpengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat banyak;

2). Bersimpati terhadap musuh negara atau negara yang tidak bersahabat dengan Indonesia; 3). Merusak bangunan umum atau perseorangan atau badan yang dilakukan secara luas; 4). Melakukan kegiatan mata-mata; 5). Melakukan kegiatan sabotase; 6). Memikat tindak-tindak pidana tersebut di atas. Djoko Prakoso et al (1987: 296) menyatakan pola-pola yang digunakan

dalam subversi yaitu:

1). Mengadakan gerakan yang mudah ditiru di tempat-tempat lain; 2). Kampanye diawali dalam surat kabar atau selebaran untuk memicu

demostrasi atau gerakan; 3). Umumnya gerakan dimulai dari golongan kecil yang diharapkan akan mendapat dukungan luas dalam masyarakat; 4). Sasaran utama biasanya pemerintah dan tiap gerakan didukung pers; 5). Kerap bertujuan untuk menggiring opini umum yang sesuai pendapat

kelompok. Djoko Prakoso et al (1987: 296) menyatakan pula bahwa beberapa pola

sumber yang digunakan dalam subversi yaitu: 1). Pola luar negeri, yaitu pola merah (komunis), pola putih (anti

komunis) dan pola New Left; 2). Pola dalam negeri, yaitu: a). Pola subvesi dalam bidang seperti pertentangan ideologi, konsepsi politik, kepercayaan/agama dan sosial (sosial-ekonomi, kedaerahan, kesukuan); komunis) dan pola New Left; 2). Pola dalam negeri, yaitu: a). Pola subvesi dalam bidang seperti pertentangan ideologi, konsepsi politik, kepercayaan/agama dan sosial (sosial-ekonomi, kedaerahan, kesukuan);

e. Metode Subversi Bentuk subversi yaitu intimidasi, insinuasi, provokasi, intervensi,

penetrasi, sabotase, spionase, penghasutan, adu domba dan lain-lain. Strategi subversi yang dilakukan bisa jangka pendek, menengah, panjang dan dalam lingkup lokal, regional, global (Niniek Suparni, 1991: 15).

Djoko Prakoso et al (1987: 313) menyatakan subversi dijalankan lewat: 1). Spionase: usaha memperoleh secara tidak sah keterangan-keterangan

untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan negara; 2). Sabotase: usaha kejahatan dan tindakan yang sengaja dilakukan dengan ilegal untuk merusak, membuat agar tidak dapat dipakai, menghilangkan sesuatu benda atau tanaman, membinasakan binatang, menggagalkan atau menghambat program pemerintah sehingga menimbulkan akibat yang luas yang membahayakan negara dalam ekonomi, psikologis, politik atau pertahanan-keamanan;

3). Penggalangan: usaha membuat atau menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi subversi; 4). Infiltrasi: usaha ilegal memasuki wilayah negara tempat-tempat yang tertentu yang sembunyi atau menyembunyikan identitas atau melalui jalan lain daripada yang telah ditentukan dengan maksud spionase, pengalangan, gangguan keamanan, pembentukan kekuatan bersenjata dan atau mengambil bagian memimpin pemberontakan bersenjata;

5). Gangguan keamanan dalam upaya subversi: usaha sengaja dan melawan hukum bersifat menyeluruh dan berdampak nasional dengan tujuan subversi, seperti demonstrasi liar, kriminalitas, propaganda liar, teror dan tindak pidana terhadap keamanan negara;

6). Pembentukan kekuatan bersenjata: usaha mempersiapkan kekuatan fisik bersenjata secara melawan hukum untuk mencapai subversi.

f. Gangguan Keamanan Tindak pidana yang termasuk gangguan keamanan keamanan negara

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikutip Wiryono

Prodjodikoro (1986: 193) yaitu: pasal 104 tentang makar terhadap kepala negara seperti membunuh, menghilangkan kemerdekaan atau membuat kepala negara tidak bisa menjalankan pemerintahan, pasal 106 tentang makar memasukkan Indonesia dibawah penguasaan asing dan pasal 107 tentang makar menggulingkan pemerintahan.

Gangguan keamanan lain dalam KUHP (pasal 108-129) yaitu pemberontakan, permufakatan untuk melakukan kejahatan, penyertaan istimewa, berhubungan dengan negara asing yang mungkin akan bermusuhan dengan negara, berhubungan dengan negara asing dengan tujuan agar asing membantu penggulingan pemerintahan, menyiarkan surat-surat rahasia, kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara, merugikan negara dalam perundingan diplomatik, kejahatan spionase, menyembunyikan mata-mata musuh, menipu dalam hal menjual barang keperluan negara (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 199).

Tindakan subversi terjadi karena ada upaya menjatuhkan pemerintahan dengan cara tidak sah. Biasanya subversi terjadi karena adanya pertentangan- pertentangan politik dalam suatu negara. Cara menjatuhkan pemerintahan bisa dengan dari demonstrasi atau aksi fisik seperti penganiayaan, penculikan dan pembunuhan terhadap diri kepala negara atau kepala pemerintahan.

5. Penculikan

a. Pengertian Penculikan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 223) menculik yaitu melarikan orang lain dengan maksud tertentu seperti dibunuh atau dijadikan sandera. Menurut KUHP Pasal 328 menyatakan barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum dibawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Jadi penculikan merupakan kegiatan melarikan orang lain dengan maksud-maksud tertentu, dan menjadikan orang tersebut dibawah kekuasaannya dengan berlawanan secara hukum.

b. Penyebab Penculikan Penculikan menurut KUHP merupakan salah satu bentuk kejahatan yaitu kejahatan melanggar kemerdekaan orang lain (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 388). Kartini Kartono (2005: 185) menyebutkan faktor eksternal atau sosial yang menstimulasi banyaknya kejahatan, antara lain:

1). Saat-saat penuh perubahan transformasi sosial dan ekonomi;

2). Pemerintah yang lemah dan korup, hukum dilanggar, tidak ada kontrol sosial dan sanksi tegas; 3). Konflik kebudayaan karena perubahan kehidupan rural ke pola urban lewat proses urbanisasi; 4). Terhambatnya mobilitas vertikal dan tidak mungkinnya penyaluran usaha meningkatkan status sendiri; 5). Kebudayaan judi yang serba kompleks dimana rakyat tidak percaya kebijakan pemerintah dan memunculkan sikap spekulatif untuk memenuhi kebutuhan;

6). Pengembangan secara keliru sikap-sikap mental pada zaman modern; Abdulsyani (1987: 21) menjelaskan beberapa fase timbulnya suatu

perbuatan jahat disebabkan oleh: 1). Sifat keserakahan manusia; 2). Sifat jahat yang muncul dari luar manusia sendiri; 3). Pengaruh iklim yang disertai faktor lain seperti pengalaman,

pendidikan dan moral; 4). Faktor individualistis dan intelektualistis dimana manusia bisa membuat pilihan dalam berbuat hal yang menyenangkan atau tidak; 5). Muncul dari faktor keturunan; 6). Adanya kemelaratan atau ketunaan akan kebutuhan hidup; 7). Pengaruh lingkungan terutama lingkungan sosial. Abdulsyani (1987: 44) lalu mengemukakan faktor yang dapat

menimbulkan kriminalitas, yaitu: 1). Faktor dalam diri manusia, yaitu: a). Sifat khusus seperti sakit jiwa, daya emosional, mental dan anomi (kebingungan); b). Sifat umum seperti umur, seks, kedudukan individu dalam masyarakat, pendidikan dan hiburan. 2). Sifat umum dalam individu, yaitu: a). Faktor ekonomi, seperti perubahan harga, pengangguran, urbanisasi; menimbulkan kriminalitas, yaitu: 1). Faktor dalam diri manusia, yaitu: a). Sifat khusus seperti sakit jiwa, daya emosional, mental dan anomi (kebingungan); b). Sifat umum seperti umur, seks, kedudukan individu dalam masyarakat, pendidikan dan hiburan. 2). Sifat umum dalam individu, yaitu: a). Faktor ekonomi, seperti perubahan harga, pengangguran, urbanisasi;

c. Jenis-Jenis Penculikan KUHP memberikan beberapa pasal yang memiliki kaitan dengan jenis penculikan (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 388), yaitu: 1). Menculik orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara (Pasal 328); 2). Menculik orang ke daerah lain padahal orang itu telah membuat perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu (Pasal 329); 3). Menculik anak yang belum cukup umur (Pasal 330 ayat 1); 4). Menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331); 5). Melarikan wanita (Pasal 332 ayat 1).

d. Fungsi dan Disfungsi Penculikan Penculikan seperti tertulis di atas merupakan salah satu bentuk kejahatan melanggar kemerdekaan orang lain. Kartini Kartono (2005: 175) menyatakan kejahatan merupakan tantangan bagi masyarakat karena:

1). Kejahatan yang berulang membuat demoralisir/merusak orde sosial; 2). Timbul rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan dan kepanikan di

masyarakat; 3). Terbuangnya materi dan energi dengan percuma; 4). Menambah beban ekonomi bagi sebagaian masyarakat. Kartini Kartono (2005: 176) menambahkan bahwa kejahatan memiliki

pengaruh sosial, yaitu: 1). Menumbuhkan solidaritas dalam kelompok-kelompok yang tengah diteror penjahat; 2). Muncullah kemudian tanda-tanda baru dengan norma susila yang lebih baik yang diharapkan mampu mengatur masyarakat dengan lebih baik dimasa datang;

3). Orang berupaya memperbesar hukum dan menambah kekuatan fisik lain untuk memberantas kejahatan.

Terpilihnya Sjahrir menjadi Perdana Menteri memberi harapan baru dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah kebijakan segera dibuat setelah kabinet mulai bekerja. Akan tetapi kebijakan Pemerintahan Sjahrir justru mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, terutama kelompok- kelompok yang berada diluar kabinet. Kebijakan Sjahrir dirasakan sangat kurang untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Sjahrir mulai terasa. Pertentangan antara Pemerintah dengan kelompok-kelompok penentangnya mulai muncul ke permukaan. Masing-masing pihak bersikeras mempertahankan sikap. Berbagai manuver untuk menjatuhkan satu sama lain mulai berlangsung. Situasi kian rumit karena kondisi Indonesia tidak kunjung membaik selama masa Pemerintahan Sjahrir.

B. Kerangka Berpikir

Tekanan Dari

Tujuan Nasional

Pemikiran Perdana

Luar

Kebijakan Pemerintahan Sjahrir

Mendukung

Menolak

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

Da mpa k

Keterangan: Kedatangan pihak Sekutu ke Indonesia telah membuat perbedaan pandangan di kalangan orang Indonesia sendiri dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Perpecahan makin terasa sejak Sjahrir menjadi Perdana Menteri.

Kebijakan-kebijakan Pemerintahan Sjahrir mengecewakan banyak pihak terutama kelompok-kelompok yang berada diluar pemerintah.

Perundingan dengan Sekutu dan ketegangan senjata antara rakyat dengan Sekutu di beberapa daerah makin menimbulkan kekecewaan terhadap Pemerintahan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir harus jatuh bangun menghadapi tekanan yang ada. Perpindahan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta justru memperjelas pola perpecahan perjuangan. Kota Surakarta yang berada dekat dengan ibukota turut terpengaruh oleh kondisi politik nasional. Tekanan yang makin besar dari luar kabinet memaksa Kabinet Sjahrir mengundurkan diri.

Situasi politik Indonesia terus memanas. Kebijakan Kabinet Sjahrir yang kembali terbentuk tetap mendapat sorotan. Situasi panas di berbagai daerah termasuk di Surakarta terus mengguncang Pemerintahan Sjahrir. Kelompok penentang Pemerintahan Sjahrir makin keras melancarkan aksi penentangannya. Kekuatan kelompok penentang tidak bisa diacuhkan begitu saja oleh Pemerintahan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir berusaha meredam meskipun belum efektif mengurangi tekanan kelompok penekan.

Pertentangan antara Kabinet Sjahrir dengan kelompok penentang terus berlanjut. Masing-masing pihak tetap mempertahankan sikap yang telah diambil. Ditengah-tengah pertentangan politik yang makin panas, Perdana Menteri Sjahrir menghilang di Surakarta. Peristiwa yang terjadi pada 27 Juni 1946 ini menimbulkan beberapa dampak yang luas.