Lahirnya Galatama

C. Lahirnya Galatama

Sampai dengan tahun 1978, Perserikatan merupakan satu-satunnya, kompetisi sepak bola tingkat nasional yang diselenggarakan oleh PSSI. Kompetisi tersebut merupakan bagian dari program kerja PSSI dalam pembinaan dan peningkatan kualitas sepak bola nasional. Tentu saja Persrikatan merupakan pemasok utama pemain tim nasional sepak bola dalam berlaga di kejuaraan internasional. Meski demikian perjalanan yang telah dilalui oleh Perserikatan tidak selamanya mulus. Kondisi dan situasi keamanan dan politik di negeri ini turut mempengaruhi kalender kompetisi Perserikatan. Sedikit gambaran persepakbolaan Indonesia pada akhir tahun 1970-an sebelum Galatama berlangsung, adalah minimnya prestasi. Hal tersebut terlihat dari hasil turnamen sepak bola yang diikuti oleh PSSI di dalam maupun luar negeri yang membawa hasil yang mengecewakan. Dari sejumlah turnamen yang diikuti sepanjang tahun 1970 – 1978, PSSI hanya mampu sekali berprestasi sebagai juara selebihnya gagal di babak penyisihan, semifinal dan final 21. Tentu saja hal tersebut cukup mengecewakan bagi publik pencinta sepak bola tanah air mengingat pada dekade sebelumnya Indonesia mencatat prestasi yang membanggakan dalam turnamen antar negara atau internasional yang digelar baik di dalam maupun luar negeri.

21www.rsssf.com/tablesi/indo-intres.html

Raihan prestasi yang minim selama tahun 1970-an itulah yang kemudian membuat para tokoh-tokoh sepak bola memunculkan wacana sepak bola bayaran sebagai alternatif untuk membuat Indonesia kembali berjaya di level internasional. Melihat kenyataan ini, PSSI melihat kemunduran itu semata-mata disebabkan oleh cara pengelolaan sepak bola, serta tidak adanya jaminan sosial yang konstan bagi pemain, sehingga menimbulkan rasa ketidakseriusan dan enggan untuk berprestasi ke arah yang lebih baik lagi.22 PSSI kemudian mengambil kesimpulan untuk memecahkan persoalan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perombakan sistem manajemen yang lebih memperhatikan kehidupan sosial pemain.

Terlepas dari permasalahan minimnya prestasi, wacacana tentang sepak bola profesioanal sempat muncul pada pertengahan 1970-an. Menurut rencana liga itu akan dibentuk tanggal 8 Agustus 1976, lengkap dengan pengurusnya dan delapan klub anggota. Kedelapan klub itu adalah Pardedetex, Jayakarta, Warna Agung, Beringin Putra, Bangka Putra, Buana Putra dan Tunas Jaya. Klub-klub tersebut merupakan anggota dari masing-masing perserikatan yang menaunginya. Sebagai contoh Jayakarta, Warna Agung, Beringin Putra, Tunas Jaya adalah anggota dari Persija. Sisanya, Bangka Putra berada dibawah PSBB dan Pardedetex dibawah PSMS. Ide yang dimatangkan lewat diskusi di Balai Sidang Senayan, Jakarta pada tanggal 15 s/d 16 Mei 1976 itu tidak sempat menemui bentuk yang pasti. Kegagalan penuangan bentuk sepak bola professional itu, disebabkan klub-klub yang ingin melepaskan status amatir mereka tersebut belum begitu siap untuk melangkah. Setelah kemungkinan diperhitungkan lewat neraca

22Pos Kota, 1 Maret 1979 22Pos Kota, 1 Maret 1979

Namun demikian, hal tersebut tidak sepenuhnya memupus ide sepak bola profesional. Setelah Bardosono melepas kewenangannya sebagai ketua umum PSSI, melalui Kongres PSSI 1977 di Semarang, terpilih Ali Sadikin sebagai penerus jabatan ketua umum PSSI lima tahun ke depan terhitung sejak bulan September 1977. Setahun kemudian, melalui SK ketua umum PSSI bernomor 27- XII/1977 tertanggal 18 Desember 1977, ditetapkanlah Kadir Yusuf sebagai Ketua Komisi Sepakbola Profesional. Dengan demikian sejak dikeluarkannya SK tersebut PSSI tidak lagi hanya membina sepak bola amatir, tetapi juga memberdayakan sepak bola profesional, sebagai bagian dari wahana menyeleksi pemain untuk dipilih memperkuat tim nasional.

Kadir Yusuf yang dikenal begitu mendalami sepak bola, mencoba mempersiapkan perangkat peraturan dan segala sesuatunya yang diperlukan untuk mewujudkan konsep sepak bola profesional yang telah diusung dalam rapat sebelumnya. Hal ini terutama terkait dengan masalah manajemen sepak bola. Berangkat dari hasil bahasan dan penelitian, bisa dirasakan bahwa pada saat itu Indonesia belum mungkin terjun langsung ke dalam dunia sepak bola profesional seperti di Eropa, sehingga kemudian diputuskan, bahwa pengurus PSSI belum bisa merealisasikan sepak bola profesional. Namun demikian pengurus PSSI

23 PSSI, 1987, Laporan Empat Tahunan PSSI 1983-1987, Jakarta: PSSI, halaman 30 23 PSSI, 1987, Laporan Empat Tahunan PSSI 1983-1987, Jakarta: PSSI, halaman 30

Berkenaan dengan hal itu, salah satu topik yang akan disampaikan pimpinan PSSI dalam sidang paripurna tahun 1978 adalah masalah pengembangan sepak bola ke arah profesional atau non-amatir. Perumus konsep tersebut adalah Ketua Bidang Organisasi PSSI, Soeparjo Poncowinoto, berdasarkan bahan-bahan dari Kadir Yusuf. Dari inti permasalahan yang akan dituangkannya dalam sidang paripurna PSSI, Soeparjo mengatakan bahwa perkembangan sepak bola di Indonesia menuntut adanya suatu lembaga untuk mengurus persoalan yang timbul dengan kaitan non-amatir.

Wacana pembentukan lembaga profesional sebagai jalan keluar terkait masalah sepak bola non-amatir memang sempat diutarakan dalam siding paripurna. Namun, Poncowinoto menjelaskan bahwasanya untuk saat itu belum bisa diterapkan secara langsung. Beberapa alasannya antara lain, dikatakan bahwa klub profosional itu belum mungkin hidup dari hasil penjualan karcis pertandingan semata. Bagi PSSI, pemain yang sudah meneken kontrak dalam klub profosional, tidak mungkin bisa dimanfaatkan lagi untuk memperkuat tim dalam turnamen yang bersifat amatir. Oleh karena itu Poncowinoto mengusulkan sebuah

jalan tengah 24 . Jalan tengah yang akan diperkenalkan itu bernama Liga Sepakbola Utama

(Galatama). Menurut Poncowinoto, pemain dari klub yang akan bergabung dalam liga itu nantinya masih berstatus amatir, hanya saja klubnya ditata secara

24 PSSI, 1979, Galatama Mencatat Sejarah, Jakarta: PSSI, halaman 29 24 PSSI, 1979, Galatama Mencatat Sejarah, Jakarta: PSSI, halaman 29

sebagian hal yang akan ditertibkan lewat Liga 25 . Akhirnya, melalui Sidang Pengurus Paripurna tahun 1978, PSSI

membentuk Komisi Galatama. Tidak hanya Galatama, PSSI juga menetapkan lahirnya tiga lembaga lain yaitu Galakarya, Galasiswa, dan Galanita 26 . Untuk

pimpinan Bidang Lembaga-lembaga tersebut selama tiga bulan dipegang langsung oleh Ketua Umum PSSI, dalam hal ini Ali Sadikin. Disusul kemudian ditetapkannya Sjarnoebi Said, sebagai Ketua Pelaksana Bidang Lembaga- lembaga. Pemilihan tersebut beralasan, mengingat sebelum digelarnya Sidang Pengurus Paripurna 1978, Sjarnoebi Said telah diangkat sebagai Ketua Bidang Liga. Selama dalam jabatan tersebut Sjarnoebi bertugas melakukan kunjungan- kunjungan ke daerah-daerah mensosialisasikan konsep Galatama, selain ingin

mendapatkan dukungan dari Komda PSSI 27 . Untuk menindaklanjuti konsep Galatama, Sjarnoebi mengadakan

pertemuan pertama dengan para calon anggota Galatama pada 17 Oktober 1978 di

25 Ibid

26 Galakarya : Liga Sepakbola Karyawan, Galasiswa: Liga Sepakbola Mahasiswa

Galanita : Liga Sepakbola Wanita 27 Edy Elison, 2005, PSSI Alat Perjuangan Bangsa, Jakarta: PSSI, halaman 42 Galanita : Liga Sepakbola Wanita 27 Edy Elison, 2005, PSSI Alat Perjuangan Bangsa, Jakarta: PSSI, halaman 42

1978 28 . Ternyata rencana semula untuk menggelar laga perdana kompetisi

Galatama sebelum tahun 1979, tidak dapat dilaksanakan, mengingat pembenahan administrasi klub, termasuk setiap peserta diwajibkan memiliki deposit uang di bank sebagai persyaratan belum terpenuhi secara keseluruhan. Rapat Pengurus Harian PSSI akhirnya menetapkan 17 Maret 1979 sebagai hari pembukaan Kompetisi Galatama dengan peserta 14 klub, menggunakan sistem kompetisi home and away, setiap klub akan saling bertemu dua kali.

28 PSSI, 1979, Galatama Mencatat Sejarah, Jakarta: PSSI, halaman 30