Permasalahan dalam Galatama
C. Permasalahan dalam Galatama
72 Rekap Kompetisi XIII Galatama
1. Permasalahan Suap di Galatama
Belum genap putaran pertama edisi perdana kompetisi Galatama terlewati, kabar mengejutkan datang dari Parkesa 78. Melalui surat pemberitahuan resmi bernomor 07/U/PA/VII/79 tanggal 14 Juli 1979 yang ditandatangani Acub Zainal selaku pimpinan Parkesa 78, menyebutkan bahwa kesebelasan Galatama Parkesa
78 dinyatakan bubar oleh karena kasus suap yang melibatkan para pemainnya73. Tentu saja kabar tersebut mengejutkan banyak pihak, mengingat dalam urutan klasemen sementara Parkesa 78 berada di empat besar. Aneh rasanya sebuah klub yang berada dipapan atas klasemen secara tiba-tiba dibubarkan oleh sang pemilik. Kasus ini berawal dari upaya seorang bandar judi yang menyuap Yafeth Sibi, seorang pemain Parkesa 78, agar mengalah dalam pertandingan melawan Cahaya Kita pada awal Juli.
Upaya suap terhadap para pemain Parkesa 78 kembali terbongkar saat ucapan Chaidir yang juga pemain Parkesa 78 terekam oleh media. Dari pihak Parkesa 78 meminta yang bersangkutan agar diberi kelonggaran untuk tidak bermain selama 2 bulan. Akibat dari pembubaran ini beberapa pemain telah dipulangkan. Tercatat 15 orang kembali ke Jayapura, 1 pulang ke Medan, 9 lainnya asal Bogor kembali ke rumah masing-masing74.
Dua hari kemudian, kabar baik datang dari Parkesa 78. Melalui surat pemberitahuan resmi 08/U/PA/VII/79 tertanggal 16 Juli 1979, pembubaran Parkesa 78 dibatalkan. Pembatalan tersebut didasari oleh perkembangan kondisi dan situasi terbaru dari pihak klub. Mengingat hasrat yang menyala-nyala dari
73 Pos Kota, 15 Juli 1977 74 Pos Kota, 7 Juli 1977
lxxxi lxxxi
PSSI, sendiri selaku induk organisasi, melalui Ali Sadikin turut gembira atas pembatalan pembubaran Parkesa 78. PSSI sendiri termasuk pihak yang mendesak agar Parkesa 78 tetap utuh, namun tidak berarti melepas sanksi bagi pemainnya yang terlibat suap. PSSI menyarankan kepada Parkesa78 agar menyelesaikan masalah suap secara intern, dan bila perlu diambil tindakan tegas bagi pemain yang terlibat suap. Tidak sampai di situ, dalam rapat pengurus harian tanggal 20 Juli 1979, PSSI memutuskan pengukuhan pemecatan terhadap Yafeth Sibi sebagai pemain Parkesa 78, serta tidak diperkenankan untuk memperkuat kembali Perserikatan maupun klub Galatama yang menjadi anggota PSSI. Empat orang pemain Parkesa 78 lainnya diberi peringatan keras, mereka adalah Baco Ivak Dalam, Frederik Sibi, Saul Sibi, dan Yulius Wolf. Ali Sadikin juga meminta bantuan polisi dalam mengungkap kasus suap ini secara tuntas76.
Terlepas sanksi yang dijatuhkan oleh PSSI, kemelut di Parkesa 78 dapat dikatakan terselesaikan secara silaturahmi dan kekeluargaan dengan saling memaafkan. Hal tersebut terlihat dari pembicaran secara kekeluargaan dari pihak klub dan Yafeth Sibi serta beberapa pemain yang diduga terlibat suap. Pihak klub sendiri masih menginginkan Yafeth Sibi kembali untuk menjadi keluarga Parkesa
75 Surat Pemberitahuan Resmi Parkesa 78 nomor 08/U/PA/VII/79 tertanggal 16 Juli 1979 76 Pos Kota, 21 Juli 1979
lxxxi
78, namun keputusan dari PSSI berkata lain. Usai kasus suap ini Parkesa 78 memutuskan untuk pindah markas ke Palembang77. Setelah Parkesa 78, kini giliran Warna Agung yang dilanda isu suap. Dugaan suap dalam tubuh Warna Agung sebenarnya sudah lama berhembus, hampir bersamaan ketika melanda Parkesa 78. Namun saat itu masih samar, dan tidak ada kelanjutan yang berarti sampai kompetisi menginjak bulan November 1979. Pada 16 November 1979 PSSI secara resmi menjatuhkan skorsing terhadap Marsely Tambayong 2 tahun dan Endang Tirtana 1 tahun dalam masa percobaan 6 bulan. Skorsing ini dijatuhkan terkait kasus suap yang melanda Warna Agung dalam lanjutan kompetisi Galatama saat melawan Niac Mitra bulan sebelumnya. Kedua pemain tersebut menurut Ali Sadikin terbukti bersalah meski belum menerima uang dari bandar, dan niat untuk disuap sudah ada.
Ali Sadikin menilai kasus suap yang menimpa Warna Agung tidak lepas dari tanggung jawab pelatih. Sebagaimana diketahui melalui penyelidikan, Jefri Suganda, yang dikenal sebagai tukang judi, dapat dengan bebas keluar masuk mess dan bergaul dengan para pemain Warna Agung. Jefri Suganda adalah orang yang sama yang diketahui melakukan suap terhadap Yafeth Sibi, pemain Parkesa
79. Kecurigaan suap muncul dari pihak klub yang menilai pertandingan kontra Niac Mitra berjalan tidak beres. Warna Agung yang lebih dulu unggul dengan skor 3-1 mampu disamakan oleh Niac Mitra. Proses terjadinya dua gol penyeimbang inilah yang dianggap oleh pihak Warna Agung tidak wajar.
77 Pos Kota, 27 Juli 1979
lxxxi
Ternyata dalam penyelidikan diketahui muncul nama seorang makelar dari bandar judi, tidak lain adalah Jefri Suganda78.
Jefri hanya seorang makelar kecil, di belakangnya baik yang terkait langsung dengan Jefri maupun tidak, diketahui ada 14 orang lagi yang berasal dari Jakarta dan Semarang. Mereka sudah tidak asing lagi di kalangan judi bola, termasuk juga yang terlibat dalam kasus suap Merdeka Games 1978. Nama-nama bandar dan makelar yang ada dalam daftar PSSI adalah: Ya Sen, Tje Sen, Tje Khong, Jefry Gunawan, Bie Tek, Bon Hin , Yusin, Siddik, Oker, Akian ( Jakarta), Oey Tjon Liat alias Arief Hidayat, Samino Budiman, Oey Tjien Hiang, Tek Kong ( Semarang )79.
Terkait kasus suap yang melanda klub Galatama dan diduga juga terjadi di Perserikatan, PSSI mengeluarkan sebuah pernyataan resmi tanggal 16 November 1979 berjudul “Pendirian dan Sikap PSSI Terhadap Kemelut Suap”. Dalam pernyataan tersebut PSSI menegaskan bahwa persoalan suap yang terjadi di dunia olahraga, khususnya sepak bola, bukanlah semata-mata persoalan olahraga saja, namun juga telah menjadi persoalan masyarakat, bangsa dan negara. Sebagai tindak lanjut, PSSI mengundang setiap elemen masyarakat untuk mendorong pemerintah ataupun lembaga negara menciptakan suatu peraturan atau perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum bahwa tindak penyuapan di bidang olahraga merupakan pelanggaran tindak pidana dan diancam dengan sanksi yang sesuai dan dapat dibenarkan oleh ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Secara organisatoris ke dalam, PSSI dalam menegakkan
78 Pos Kota, 17 November 1979 79 Pos Kota, 18 November 1979
lxxx lxxx
Meski sudah lama tidak muncul, kini kembali terdapat upaya penyuapan yang melibatkan klub Jaka Utama. Secara internal, pihak klub telah menjatuhkan skorsing bagi pemainnya. PSSI sendiri telah mengambil upaya lebih serius dalam mengatasi kasus suap. Berdasarkan surat keputusan no. 21/9/81, pada tanggal 9 Oktober 1981 dibentuk dan dilantik Tim Peneliti dan Penanggulangan Kasus Suap (TPPKS) yang terdiri atas Mursanto selaku ketua. Keempat anggota lainnya adalah Sardjono , Hadi Suwarno, Mus Sobagjo, Lucien Pahala. TPPKS bertugas untuk meneliti setiap kasus suap yang muncul sampai tuntas. Diharapakan melalui TPPKS kasus suap dapat diminimalisir bahkan dihilangkan jika mampu. Tentunya TPPKS tidak berkerja sendiri tapi bersama-sama dengan Galatama dan Persrikatan dalam menangani kasus suap. Pembentukan TPPKS merupakan sebuah langkah maju dan kongkret dari PSSI81.
Kasus suap tetap saja terjadi dalam kompetisi IV, salah satu korbannya kali ini adalah Pardedetex. TD Pardede, pemilik klub terpaksa membubarkan klub dan mengundurkan diri dari kompetisi, lantaran beberapa pemainnya diyakini terlibat suap. Kasus yang menimpa Pardedetex ini menambah daftar panjang skandal suap yang menimpa persepakbolaan Indonesia82. Antusias penonton
80Pendirian dan Sikap PSSI Terhadap Kemelut Suap, 16 November 1979 81Pos Kota, 10 Oktober 1981 82Majalah Tempo, 18 Februari 1984, hal 60
lxxx
Galatama pada kompetisi kali ini mulai menurun dibandingkan kompetisi sebelumnya. Galatama perlahan mengalami kemunduran karena kasus suap terus saja terjadi dan pemain asing tidak lagi bermain. Keadaannya sangat berbeda seperti saat Niac Mitra diperkuat pemain asing, tim tuan rumah yang menjamu Niac Mitra, selalu mendapat penonton yang lebih banyak dari biasa. Tidak diragukan bahwa pemain asing memang memiliki daya tarik bagi penonton untuk datang ke stadion83.
Pardedetex bukan satu-satunya korban suap di kompetisi IV, Cahaya Kita juga terlibat. Bedanya, Cahaya Kita diputus terlibat suap olah PSSI setelah merampungkan seluruh pertandingan di grup timur. Dalam surat kepuusan PSSI bernomor 28/IV/1984 yang ditandatangani oleh Kardono memutuskan untuk membekukan segala kegiatan klub Cahaya Kita. Inilah untuk pertama kali PSSI menindak anggota Galatama. Menurut Nugraha Besoes, keputusan ini diambil PSSI karena semenjak tahun 1979 sampai 1984, Cahaya Kita terlibat kasus suap. Hal itu didasarkan pada laporan pemain dan pengurus klub itu sendiri. Secara materi Cahaya Kita juga telah kehilangan banyak pemain. Banyak dari mereka yang dipecat oleh Kaslan Rosidi (Bos Cahaya Kita) sendiri karena dugaan terlibat suap84.
Mohammbad Barmen, ketua klub Assyabab, menilai masih suburnya praktek suap tidak lepas dari kurang tegasnya sikap yang diambil oleh PSSI. Selanjutnya Barmen mengambil contoh, M Asik , Budi Santoso dan Bujang Nasril ( pemain Jaka Utama) yang terkena skorsing 5 tahun karena suap, ternyata
83Wawancara dengan Rudi William Ketjes, , 25 Agustus 2007 84Majalah Tempo , 21 April 1984, hal 64
lxxx lxxx
Pada waktu yang hampir bersamaan ‘pengadilan’ anti-suap PSSI, menjatuhkan skorsing kepada Jimmy Sukisman, bendahara Caprina. Jimmy terbukti berusaha melakukan suap terhadap para pemain Makassar Utama, pada pertengahan Maret 1984. Bagi Herlina Kasim, pemilik Caprina, menilai sanksi atas Jimmy sebagai langkah gegabah. Jimmy hanya pemain kecil, bandar besar masih berkeliaran diluar sama. Apapun keputusan PSSI, Herlina tetap saja kecewa. Tidak kurang dari 120 juta rupiah digelontorkan untuk membina Caprina, tapi tidak cukup mehanan praktik suap yang melibatkan Caprina86. Merasa tidak sanggup lagi membina Caprina, Herlina lalu memutuskan untuk melepas Caprina, dan pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat Bali.
2. Permasalahan Wasit di Galatama
Kinerja wasit pada semenjak kompetisi III, memang mendapat sorotan dari Liga dan PSSI sendiri. Ketegasan sikap dan prinsip keadilan yang dinilai kurang, sering menjadi penyulut keributan dalam pertandingan. Kondisi serupa juga
85Ibid, hal 65 86Ibid, hal 66
lxxx lxxx
Joppie De Fretes, selaku Ketua Komisi Wasit PSSI di bawah kepemimpinan Kardono periode 1987-1991, mengakui wibawa ‘korps baju hitam’ memang sedang anjlok dan kualitasnya dinilai masih rendah. Memasuki tahun 1988, sebuah langkah maju ditempuh PSSI guna meningkatkan mutu wasit. Sebanyak 34 wasit terbaik pemegang lisensi C-1 dari seluruh Indonesia dikumpulkan di Senayan. Mereka adalah saringan dari 351 wasit C-1 yang aktif di Indonesia. Dalam pertemuan itu, dibahas segala macam masalah perwasitan, tukar pengalaman sembari memperdalam pengetahuan tentang peraturan dalam pertandingan. PSSI mengharapkan ada penyeragaman pemahaman bagi wasit tentang peraturan pertandingan sekaligus pola bertindak dalam kepemimpinan dalam sebuah laga. Melalui penataran ini, para wasit diharapkan untuk bersikap tegas tanpa keraguan dalam setiap keputusannya di lapangan. Kamarudin Panggabean, tokoh bola asal Medan, mengingatkan segala upaya dalam
87 Majalah Tempo. 8 Januari 1988 hal 37
lxxxi lxxxi
3. Sponsor dan Pendanaan Kompetisi Galatama
Beberapa klub di Galatama umumnya merupakan suatu perkumpulan sepak bola dibawah naungan dari perusahaan. Pendanaan untuk membiayai sebuah klub Galatama ditanggung oleh manajemen klub. Uang untuk membiayai klub Galatama bersumber pada alokasi dana yang diberikan oleh perusahaan atau badan yang menaunginya. Alternatif lain adalah donasi dan penjualan tiket. Cara memperoleh pendanaan sepenuhnya diserahkan pada masing-masing klub. Klub- klub Galatama tentu saja tidak memiliki kemampuan memperoleh pendanaan yang sama.
Selama kompetisi I sampai V ada beberapa klub yang mengundurkan diri dari Galatama disebabkan masalah finansial. Tingginya biaya untuk mengelola klub dalam kompetisi menjadi penyebab beberapa klub menarik diri dari Galatama. Pihak Liga menyadari sepenuhnya, jika tidak ada upaya pendanaan secara menyeluruh dalam Galatama, eksistensi klub akan semakin berkurang. Pada tahun 1985 upaya Galatama dalam mencari pendanaan menemui hasil positif. Piala Liga, kompetisi extra Galatama, berhasil memperoleh sponsor. Sebuah perusahaan susu dengan nama produk Milo, sanggup memberikan dana 75 juta rupiah untuk satu musim kompetisi Piala Liga. Keberhasilan dalam memperoleh sponsor ini berlanjut hingga kompetisi Piala Liga V.
88Ibid
Kompetisi reguler Galatama baru mendapat bantuan dana dari sponsor pada kompetisi IX dan X. Kali ini sebuah perusahaan rokok asal kota Malang, PT. Bentoel bersedia menjadi sponsor. Andi Darussalam, sekretaris Liga, mengakui bahwa Galatama hampir tenggelam dan suntikan dana dari Bentoel memberi dukungan yang sangat berarti bagi Galatama. Dana yang dianggarkan Bentoel untuk menyokong Galatama cukup banyak . Jumlah alokasi dana dari Bentoel untuk Galatama tidak kurang dari 350 juta rupiah. Di tengah tren penonton yang menurun, upaya Bentoel mendanai Galatama ini terbilang nekat. Kris Bintoro, kepala bagian promosi Bentoel, mengatidakan bahwa perusahaan melihat sepak bola masih bisa diandalkan sebagai media promosi, selain juga ingin mengankat kembali semarak yang ada di Galatama89.
Upaya dari Bentoel ini tentunya diimbangi dengan timbal balik wajib dari Galatama. Klub Galatama yang menjadi tuan rumah dalam laga kompetisi harus memasang umbul-umbul, spanduk, dan alat-alat promosi lainnya yang bertuliskan Bentoel. Liga juga harus mengupayakan agar setidaknya delapan pertandingan diliput penuh dan masuk siaran TV. Galatama tidak hanya menjadi penerima dana sponsor saja dari pihak Bentoel, tapi juga secara aktif sebagai agen penjualan produk rokok. Setiap klub ditargetkan menjual 50.000 pak rokok kepada penonton. Pemilik klub tidak kurang akal tentunya dengan penjualan ini. Setiap rokok akan dijual satu paket dengan karcis tertentu90.
Terlepas dari penjualan rokok, setiap klub tentunya berupaya mendapatkan penonton sebanyak mungkin. Semakin banyak penonton berarti semakin banyak
89Majalah Tempo, 3 Desember 1988, hal 40 90Ibid 89Majalah Tempo, 3 Desember 1988, hal 40 90Ibid
Kompetisi XI dan XII tidak lagi mendapat bantuan dari sponsor. Klub kembali mengandalkan pemasukan dari penonton. Kompetisi XIII, sponsor kembali lagi ke Galatama. Sebuah perusahaan besar Spectrum dengan produk bernama Kodak sanggup membantu Liga membiayai kompetisi dengan dana 1,25 milyar rupiah. Bantuan dana terbesar yang pernah diterima Galatama. Sebagai konsekuensi, Spectrum menginginkan upaya promosi yang besar pula lewat Galatama, sehingga pada kompetisi XIII digunakan sistem double round robin, setiap klub bertemu dengan lawan yang sama sebanyak empat kali dalam satu
wilayah dalam babak penyisihan 92 . Pendanaan dalam mengelola klub Galatama ada yang dilakukan secara
mandiri. Sebagai contoh adalah Pelita Jaya. Klub yang berada dibawah asuhan Bakrie Bersaudara itu mampu sedikit mendobrak kelesuan yang dalam dua musim sebelumnya melilit Galatama. Yaitu kurang ketatnya persaingan antar tim dan sedikitnya penonton. Stadion Menteng Jakarta, tidak kurang didatangi 10.000
91Ibid, halaman 41 92 Majalah Sportif, No.238 tahun 1993, hal 50 91Ibid, halaman 41 92 Majalah Sportif, No.238 tahun 1993, hal 50
Bahkan Abu Rizal, berani mengatakan bahwa dengan sepinya penonton Pelita Jaya masih tetap untung. Tidak ada klub Galatama lain yang berani bicara seperti ini. Sudah banyak contoh klub Galatama gulung tikar karena masalah keuangan. Ucapan Abu Rizal ini tidak asal-asalan, bukan dengan didukung Bakrie Bersaudara lantas klub ini jauh dari merugi. Kunci utama pembiayaan Pelita Jaya terletak pada multi sponsor. Tidak kurang dari 21 sponsor yang mengontrak Pelita Jaya dengan total pemasukan 300 juta rupiah93.
Klub ini turun ke lapangan dengan peralatan lengkap. Ada beberapa ribu suporter datang menggunakan kaos bertuliskan nama klub di setiap laga kandang. Para sponsor selalu mengelilingi pemain saat berlaga di kandang, terserak di stadion, berjejer dalam berbagai bentuk papan iklan. Misalnya: Panin Bank, Garuda Indonesia Airways, British Petrolium dan Indo Milk. Khusus Indo Milk, kontraknya bernilai 150 juta rupiah setahun, sebagai timbal balik, nama perusahaan susu ini terpampang jelas di bagian depan kostum Pelita Jaya. Selama setahun pengeluaran klub mencapai sektar 150 juta rupiah dengan demikian baru kali ini ada klub Galatama mampu mendapatkan laba, dalam jumlah besar pula. Abu Rizal menyebutkan bahwa dalam mengelola klub bola harus bisa menggabungkan 3 aspek: olahraga, bisnis, dan hiburan. Prinsip itulah yang selalu dipegang Bakrie Bersaudara dalam mengelola Pelita Jaya94.
4. Catatan Lain di Galatama
93Majalah Tempo, 25 Oktober 1986, hal 33 94 Ibid 93Majalah Tempo, 25 Oktober 1986, hal 33 94 Ibid
78) dan Sigit Harjojudanto (Arseto) yang sama sekali tidak memiliki pemain asing. Soeparjo Pontjowinoto sendiri memiliki pandangan lain soal pemain asing. Asalkan pemain asing itu berkualitas maka tidak ada masalah. Jika pandangan semua orang di PSSI seperti Soeparjo, maka pemain sekaliber Fandi Ahmad tidak perlu pulang kampung. Dalam surat keputusan itu tercantum pertimbangan yang menyebut bahwa Pemain asing dapat merupakan hambatan dan saingan bagi pertumbuhan potensi pemain-pemain nasional (lokal). Banyak kalangan merasa janggal atas keputusan itu. Liga Utama yang telah memperoleh hak otonomi memiliki AD/ART yang membenarkan impor pemain asing. Justru aturan itu didobrak sendiri oleh PSSI dari atas95. Padahal hanya ada 6 pemain asing yang memperkuat 3 klub Galatama.
95Majalah Tempo, 25 Juni 1983, hal 69
Kalangan sepak bola sendiri ada yang kurang sependapat dengan keputusan larangan pemain asing. Kadir Yusuf, orang yang oleh Ali Sadikin diserahi tugas menyusun konsep Galatama, merasa terpukul. Bagi Kadir, Galatama ibarat seorang bayi di mana ia telah menjadi bidan yang membantu kelahirannya. Menurut Kadir, untuk menggairahkan persepakbolaan, pemain asing secara selektif mutlak diperlukan, apalagi menuju arah professional. Pemain asing juga dapat dijadikan teladan bagi pemain lokal. Maladi, sesepuh PSSI, justru menegaskan bahwa pemain asing itu lebih baik dari pelatih asing. Lain lagi dengan Kosasih Purwanegara (mantan Ketua Umum PSSI) yang menilai bahwa pemain asing bukan saja menjadi contoh ikut menunjang persepakbolaan Indonesia. Asal dibatasi dan dilihat dulu mutunya, kehadiran mereka tidak apa- apa96. Banyak yang mengharapkan agar pemain asing tidak dilarang, hanya saja perlu selektif bagi klub Galatama.
Terkait larangan pemain asing, surat resmi PSSI baru diterima Niac Mitra pada 16 Juni 1983, ketika pertandingan melawan Arsenal. Pertandingan yang menjadi laga perpisahan bagi Fandi Ahmad dan David Lee. Pada saat laga berjalan, Fandi Ahmad yang mendapat kepungan dari 3 pemain belakang Arsenal (Graham Rix, David O’leary, Chris Whyte), mampu lolos dan mencetak gol pertama di menit 37. Pada menit ke-83, pemain ujung kanan, Djoko Malis, mencetak gol kedua setelah menerima umpan manis dari Fandi Ahmad. Sepanjang pertandingan David Lee mampu meredam sejumlah serangan yang dibangun oleh Arsenal. Sampai peliut akhir dibunyikan skor bertahan 2-0 untuk
96Ibid
Niac Mitra. Pertandingan ini diakhiri dengan kegembiraan sekaligus kesedihan bagi Niac Mitra97.
Sedikit catatan, Arsenal merupakan tim papan atas divisi utama liga Inggris. Sepanjang kompetisi tahun 1981 – 1984, Arsenal berada di posisi 5, 10, dan 698. Saat pertandingan melawan Niac Mitra, Arsenal diperkuat oleh 4 pemain internasional (Pat Jennings, Graham Rix, Kenny Sansom dan Alan Sunderland). Materi pemain Arsenal saat dikalahkan Niac Mitra sama dengan yang diturunkan saat mengalahkan PSSI Selection 5-0. Dapat dikatakan pertandingan ini sebagai sindiran halus bagi PSSI dari Fandi Ahmad99.
b. Pengakuan dari Luar Negeri atas Pemain Galatama Untuk kesekian kalinya pemain sepak bola Indonesia, mencoba mengadu
nasib di negara lain. Pemain itu adalah Ricky Yacob (Arseto). Sebelum Ricky bermain di luar negeri, Risdianto, Iswadi Idris, Abdul Kadir, Ristomoyo dan Robby Darwis terlebih dahulu bermain di negara tetangga. Bedanya, jumlah transfer dan gaji pemain tidak pernah diumumkan. Sebuah klub sepak bola ternama Jepang, Matsushita mengontrak Ricky selama 1 tahun. Sebelumnya pemain Thailand, Withaya juga menandatangani kontrak dengan klub yang sama. Kepindahan Ricky ke Jepang merupakan buah rekomendasi dari Withaya kepada Yoji Mizugichi, bos Matsushita. Menurut Withaya, Ricky adalah pemain berbakat dengan kemampuan luar biasa. Ricky boleh berbangga, selain kemampuannya diakui klub Jepang, nilai kontrak dan gajinya pun bernilai tinggi. Untuk
97Jawa Pos, 17 Juni 1983 98 http://www.rssf.com/engpaul/FLA/1983-84.html, 99Wawancara dengan Rudy William Keltjes, 25 Agustus 2007 97Jawa Pos, 17 Juni 1983 98 http://www.rssf.com/engpaul/FLA/1983-84.html, 99Wawancara dengan Rudy William Keltjes, 25 Agustus 2007
Kepindahan Ricky merupakan kehilangan bagi Arseto dan tim nasional. Selama ini Ricky adalah pemain kunci Arseto. Sinyo Aliandoe, selaku pelatih melihat hal ini tetap positif demi perkembangan karir bagi Ricky dan kebanggaan bagi Arseto. Ricky juga tergabung dalam tim nasional juara SEA Games 1987101. Keberadaannya di Jepang tidak berlangsung lama, Ricky hanya beberapa bulan saja memperkuat Matsushita. Cedera membuat Ricky tidak mampu memberikan penampilan terbaiknya di Jepang. Setelah kembali ke Indonesia, dengan cedera yang masih membekap, Ricky memutuskan untuk kembali ke Arseto102.
100 Majalah Tempo, 12 Agustus 1989, hal 39 101Ibid 102PSSI. 70 Tahun PSSI, 2001, Jakarta: PSSI, hal 150