Manusia / Aktor Dalam Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi

5.1.1 Manusia / Aktor Dalam Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi

Selain kaitan dengan karakter fisik, sistem mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan juga memiliki kaitan kuat dengan peranan manusia/aktor di dalamnya. Karakter manusia yang berbeda dipengaruhi oleh beberapa indikator. Beberapa karakter yang mempengaruhi para aktor dalam setiap pengambilan keputusan atau suatu tindakan dibagi kedalam tiga kelompok, sosial, ekonomi dan Budaya (Goledge, 1997). Indikator yang diambil dalam karakter sosial dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan para aktor, sedangkan dari ekonomi adalah besar kontribusi kopi pada keseluruhan pendapatan (khusus petani), sedangkan dari sisi budaya adalah ikatan dengan acara seremonial serta aturan dalam pengaturan status kepemilikan tanah.

5.1.1.1 Tingkat Pendidikan Aktor Dalam Sistem Mata Rantai Nilai

a. Petani kopi

Berdasarkan hasil observasi dengan beberapa petani di Sulawesi Selatan, umumnya mereka lulusan SD bahkan ada yang tidak lulus. Di Toraja Utara contohnya “ Saya mah SD aja ga lulus” (Ibu Nita, petani kopi Toraja Utara). Hal ini juga terjadi di Tana Toraja dan Enrekang. Terdapat hal menarik pada petani di Enrekang, tingkat pendidikan rendah tidak menjamin petani selalu diam tanpa inisiatif. Pak Burhanudin misalnya, beliau adalah seorang petani di Baraka, dilihat dari perjalanannya sebagai petani, Pak Burhanudin termasuk ulet sehingga dapat masuk ke dalam dunia perkopian Sulawesi Selatan. Pak Burhanudin lebih melihat dampak jangka panjang dalam pengusahaan kopi. Jika konsisten dalam bidang Berdasarkan hasil observasi dengan beberapa petani di Sulawesi Selatan, umumnya mereka lulusan SD bahkan ada yang tidak lulus. Di Toraja Utara contohnya “ Saya mah SD aja ga lulus” (Ibu Nita, petani kopi Toraja Utara). Hal ini juga terjadi di Tana Toraja dan Enrekang. Terdapat hal menarik pada petani di Enrekang, tingkat pendidikan rendah tidak menjamin petani selalu diam tanpa inisiatif. Pak Burhanudin misalnya, beliau adalah seorang petani di Baraka, dilihat dari perjalanannya sebagai petani, Pak Burhanudin termasuk ulet sehingga dapat masuk ke dalam dunia perkopian Sulawesi Selatan. Pak Burhanudin lebih melihat dampak jangka panjang dalam pengusahaan kopi. Jika konsisten dalam bidang

Sedangkan petani di Toraja Utara maupun Tana Toraja umumnya hanya menanam jika harga kopi tinggi dan bekerja hanya musim panen. Mereka jarang merawat pohon kopi, seperti memotong pucuk yang terlalu tinggi dan menanam tanaman penaung, bahkan saat harga kopi rendah, mereka lebih memilih tidak mengolah kebun kopinya, atau jika pun ada kopi hanya hasil yang tumbuh secara alami tanpa ada usaha pemeliharaan. Dalam kasus penelitian ini, status pendidikan pada petani tidak menjadi penghalang untuk memajukan pengusahaan pertanian kopi. Hal ini tergantung sifat dan karakter individu masing-masing yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan budaya.

b. Tengkulak Relasi

Berdasarkan hasil penelitian, tengkulak yang memiliki ikatan jual beli dengan KUD adalah tengkulak relasi. Hasil wawacara dengan tengkulak relasi, umumnya mengindikasikan bahwa tengkulak lebih melihat prospek jangka panjang dari industri kopi. Umumnya, tengkulak mengenyam pendidikan lebih tinggi atau memiliki kemampuan baca dan berhitung lebih baik dibanding petani bisaa.

“ Saya lulusan D3 di Toraja, tapi saya lebih memilih kembali berkecimpung di bidang perkopian, karena sepertinya prospeknya bagus ” (Lukas, tengkulak Toraja Utara).

Pak Lukas telah cukup lama memiliki relasi dengan KUD, dia mengatakan bahwa lebih baik konsisten menjual kopi pada satu perusahaan, karena relasi akan sulit dibangun jika kita tidak konsisten.

c. KUD Sane

Berbeda denga petani dan tengkulak, sumber daya manusia yang direkrut di KUD Sane secara umum lebih memiliki keterampilan. Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah yang cukup ahli dan memiliki pengetahuan mengenai pertanian dan ekonomi. Tenaga ahli di KUD Sane umumnya didatangkan dari Jawa, Berbeda denga petani dan tengkulak, sumber daya manusia yang direkrut di KUD Sane secara umum lebih memiliki keterampilan. Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah yang cukup ahli dan memiliki pengetahuan mengenai pertanian dan ekonomi. Tenaga ahli di KUD Sane umumnya didatangkan dari Jawa,

5.1.1.2 Kontribusi Pengusahaan Kopi Pada Pendapatan Petani

a. Toraja Utara

Kontribusi penjualan kopi di Toraja Utara hanya 21 % dari keseluruhan pendapatan yang diperoleh (Neilson et al, 2011). Sisa pendapatan diperoleh dari kiriman anak yang bekerja di luar Toraja (remittance). Selain itu, dari 23 rumah tangga di Toraja Utara, hanya satu keluarga yang terindikasi menggantungkan pendapatannya pada kopi (Shonk, 2012). Kontribusi yang diberikan kopi kepada petani nantinya dapat dijadikan penjelasan atas fenomena yang terjadi setelah diterapkannya skema sertifikasi.

b. Tana Toraja

Tidak seberapa jauh dengan Toraja Utara yang kontribusi kopi dibawah 50%, di Tana Toraja besarnya hanya 13 % (Neilson et al, 2011). Dan sisanya menggantungkan hidup pada kiriman anak yang bekerja di luar Toraja. Fenomena ini hanya terjadi di Toraja dan akan berbeda dengan karakter Enrekang, khususnya Baraka. Kecilnya kontribusi kopi ini akan lebih jelas lagi dibahas pada karakter budaya masyarakat Toraja.

c. Enrekang

Berbeda dengan petani kopi di Toraja Utara dan Tana Toraja, petani kopi Enrekang khususnya Kecamatan Baraka sangat besar menggantungkan pendapatannya pada kopi.

“ Kalo dikira-kira, petani di sini 70 % pendapatannya ya dari kopi, sisanya menanam sayur atau salak. Kopi harganya bagus, dan sepertinya pasarnya jelas. Kalo ga dari kopi, buat makan pasti susah ” (Burhanudin, Petani

& Tengkulak).

Berdasarkan bahasan mengenai kontribusi kopi terhadap pendapatan petani, terdapat variasi di tiga lokasi berbeda. Besaran kontribusi dari kopi pada keseluruhan pendapatan petani akan sangat berpengaruh pada respon petani jika sertifikasi CAFÉ Practices diterapkan. Respon ini dapat dilihat dan akan masuk kedalam bahasan penerapan skema sertifikasi CAFÉ Practices pada sub bab 5.2.

5.1.1.3 Pengaruh Budaya Pada Pengusahaan Kopi

a. Toraja Utara dan Tana Toraja

Toraja Utara dan Tana Toraja memiliki kesamaan budaya yang kental. Upacara adat yang khas asal Toraja ternyata sampai saat ini masih sangat kuat diterapkan di lingkungan penduduk desa. Salah satunya adalah upacara adat pemakaman. Dalam melaksanakan upacara adat pemakaman penduduk Toraja membutuhkan biaya yang sangat besar dan dalam kepercayaan mereka, salah satu biaya terbesar digunakan untuk merancang dan menghias makam (Gambar 5.1).

Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk upacara pemakaman sangat mahal, masyarakat Toraja harus tetap melaksanakan upacara

Gambar 5.1 Contoh makam adat Toraja.

pemakaman jika ada keluarga yang meninggal. (Sumber: Survey lapang 2012) Bagi kerabat yang berduka, mereka harus membawa bingkisan jika sedang melayat. Bingkisan itu bisa berupa kerbau atau bisa juga babi. Jika tidak membawa bingkisan, mereka akan malu dan dianggap sebagai keluarga yang tidak memiliki jiwa sosial.

Oleh karena itu, umumnya masyarakat Toraja lebih memilih merantau untuk mencari uang sebanyak mungkin agar dapat dikirim untuk melakukan upacara pemakaman maupun membeli kerbau atau babi sebagai bingkisan untuk keluarga yang berduka. Inilah alasan mengapa jika harga kopi turun, penduduk

Toraja enggan menanam kopi, karena hasil yang diperoleh tidak seberapa. Jika harga kopi tinggi, penduduk Toraja bersedia menanam kopi kembali.

Selain acara seremonial, faktor kepemilikan tanah juga sangat berperan. tanah yang dimiliki petani kopi di Toraja adalah tanah adat yang merupakan warisan nenek moyang. Adanya ikatan dengan tanah adat mengakibatkan petani tidak bisa menjual dan mereka tidak akan bisa membeli tanah orang lain dengan bebas (Sarjana, Kepala KUD Sane). Jika dikaitkan dengan skala ekonomi, jumlah produksi kopi yang dihasilkan dari luas tanah yang sempit akan sedikit, bahkan cenderung menurun. Ikatan yang kuat dengan tanah adat menghambat petani memperbesar skala produksi kopinya. Jumlah produksi kopi pun tidak proporsional dengan biaya angkut (ongkos transport) yang ada. Petani yang luas tanahnya sempit, menanam kopinya hanya saat kopi memiliki harga tinggi. Sedangkan saat harga kopi turun, pohon kopi tidak dirawat. Petani umumnya hanya mengusahakan kopi saat musim panen (Neilson, 2007). Akan sulit memang menggantungkan pendapatan pada kopi, terlebih lagi tuntutan memperoleh pendapatan besar untuk upacara pemakaman selalu jadi masalah utama. Oleh karena itu banyak generasi muda yang memilih merantau untuk mencari uang sebanyak mungkin agar nantinya dapat dikirim ke desa. Hal inilah yang menyebabkan jumlah produksi kopi di Toraja tidak terlalu besar, padahal kualitas kopi di sini sudah diakui bagus oleh pasar ( Neilson, 2007).

b. Enrekang

Jauh berbeda dengan Toraja yang memiliki ikatan kuat dengan budayanya, kegiatan produksi dan penjualan kopi oleh petani di Enrekang sama sekali tidak terikat dengan budaya maupun adat. Kontribusi kopi yang tinggi pada pendapatan menggambarkan dengan jelas bahwa kopi adalah mata pencaharian utama. Selain itu, status kepemilikan tanah di Enrekang sama pada daerah lain di Indonesia pada umumnya, tanah bisa dibeli jika antara dua pihak pemilik dan pembeli setuju. Seperti yang dikatakan Pak Burhanudin, bahwa saat ini dia punya tanah perkebunan kopi seluas 4 Ha, padahal awalnya tidak seluas itu. Karena dia terus mendapat keuntungan dengan konsisten menanam dan merawat kopi, untung yang dia peroleh disisihkan untuk membeli tanah baru untuk digarap.

Berdasarkan perbandingan tiga lokasi yang berbeda pada penelitian ini, selain pendidikan dan kontribusi pengusahaan kopi pada pendapatan, ikatan budaya juga memiliki peran sangat kuat dalam pengusahaan kopi di Sulawesi Selatan terutama dalam ikatan dengan tanah adat.