Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Pada Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi

5.2 Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Pada Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi

Dalam upaya mencapai suatu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan, Starbucks Coffee harus terus meningkatkan kualitas dan mengejar standar pasar yang terus meningkat. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan memenuhi standar pasar itu diaplikasikan dalam bentuk sertifikasi, yaitu sertifikasi CAFÉ Practices. Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Salah satu skema sertifikasi yang digunakan di Toraja dan sangat berpengaruh pada rantai perkopian di daerah tersebut adalah CAFÉ Practices ( Neilson, 2007). CAFÉ Practices merupakan skema sertifikasi yang hanya digunakan oleh Starbucks Coffee (TNC). Tujuan utama dari skema sertifikasi CAFÉ Practices adalah menciptakan satu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan, dengan cara:

1. Meningkatkan kualitas produk

2. Menciptakan transparansi transaksi jual beli agar tidak ada pihak yang dirugikan

3. Adanya tanggung jawab sosial yang terkait dalam satu rantai produksi

4. Serta terciptanya kegiatan produksi hingga konsumsi yang ramah lingkungan

(C.A.F.E. Practice Generic Evaluation Guedlines 2.0, 2007) “Skema sertifikasi CAFÉ Practices baru diterapkan di Toraja pada tahun

2008 ”, (Pak Sarjana, Kepala KUD Sane/UUO Agribisnis Toraja). Selama melakukan tinjauan antara keempat poin penilaian CAFÉ Practices, poin ke 1 dan

3 lah yang memiliki dampak pada perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan. Dalam penggunaan istilah operasionalnya dalam penelitian ini, aspek tanggung jawab sosial diartikan sebagai jaminan terjalinnya aktivitas jual beli kopi antar aktor.

Sketsa 5.1 Respon aktor terhadap penerapan aspek peningkatan kualitas produk. (Sumber: Pengolahan data 2013)

5.2.1 Aspek Peningkatan Kualitas

Berdasarkan Sketsa 5.1 dapat dilihat bahwa yang respon penerapan aspek peningkatan kualitas produk terdiri dari berbagai aktor.

a. Respon tengkulak kategori 1

Untuk daerah Toraja Utara dan Tana Toraja, tengkulak relasi melakukan respon kategori 1. Respon kategori 1 terdiri dari aktivitas penyortiran kopi kulit tanduk, agar meminimalisir adanya kopi kulit tanduk yang tidak sesuai standar. Hal ini dilakukan karena petani di Toraja Utara dan Tana Toraja tidak terlalu memahami standar yang sesuai dengan sertifikasi CAFÉ Practices.

Ketidak tahuan akan standar kualitas kopi ini merupakan implikasi dari faktor ekonomi dan budaya yang menyebabkan petani kopi di Toraja acuh terhadap perawatan dan proses penanaman pohon kopi. Seperti dijelaskan pada bagian sub kajian karakter manusia (5.1.1.1, 5.1.1.2 & 5.1.1.3), kontribusi hasil produksi kopi tidak terlalu signifikan terhadap pendapatan para petani kopi di Toraja dan Tana Toraja. Ditambah lagi budaya Toraja menuntut mereka untuk mencari pendapatan yang tinggi agar dapat melaksanakan satu upacara kematian yang biayanya sangat mahal. Petani lebih memilih mengirim anak mereka merantau untuk mencari uang sebanyak mungkin. Untuk memenuhi kebutuhan makan, mereka makan dari pada hasil tanaman sendiri. Hampir setiap keluarga di Toraja memiliki sawah padi. Beras hanya cukup dikonsumsi sendiri, mereka tidak menjual hasil tanamannya.

Hal ini berdampak pada tengkulak relasi yang harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk menyewa tenaga kerja tambahan sebagai penyortir kopi kulit tanduk. Pak Lukas contohnya, dia mengajak anak-anak sekitar rumahnya untuk menyortir kopi yang dia beli dari petani maupun tengkulak kecil ( Gambar 5.6).

Gambar 5.6 Penyortiran kopi kulit tanduk oleh anak-anak. (Sumber: Survey lapang 2012)

Oleh Karena itu, banyak tengkulak relasi yang mungkin tidak mempunyai modal untuk menyortir kopi agar tidak ditolak penjualan kopinya oleh KUD Sane, menurunkan status tengkulak relasinya menjadi tengkulak yang hanya membeli kopi dari petani. Akibat hal ini, maka pola mata rantai lokal kopi menjadi bertambah satu simpul.

b. Respon tengkulak kategori 2

Berbeda dengan kondisi yang ada di Enrekang, Karena kontribusi produksi kopi sangat besar terhadap pendapatan mereka, maka petani ikut memahami sedikit mengenai perawatan dan penanaman kopi yang baik agar kopi yang dihasilkan sesuai dengan standar CAFÉ Practices. Umumnya petani memahami keterampilan menanam dari belajar dengan petani maupun tengkulak yang terlebih dahulu telah berhasil dan telah lama menjadi relasi KUD Sane, salah satunya belajar dengan Pak Burhanudin asal Baraka.

Sedangkan untuk tengkulak, mereka melakukan respon kategori dua, yaitu melakukan penyuluhan kepada petani yang ingin belajar dan melakukan penyortiran dari kopi yang dibeli dari petani. Pahamnya petani untuk menanam sesuai standar tidak serta merta membuat tengkulak langsung menjual kopinya ke KUD. Hal ini dilakukan agar peluang kopi yang terjual semakin tinggi karena tuntutan pemenuhan kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan Toraja, aspek peningkatan kualitas tidak terlalu berdampak signifikan pada pola mata rantai lokal kopi di Enrekang.

Sketsa 5.2 Respon aktor terhadap penerapan aspek jaminan jual beli antar aktor. (Sumber: Pengolahan data 2013)

5.2.2 Aspek Jaminan Jual Beli Antar Aktor

Pada poin jaminan jual beli (Sketsa 5.2), CAFÉ Practices mengutamakan terciptanya suatu sistem pembelian kopi yang berkelanjutan dengan memberi kepercayaan / rewarding kepada tengkulak yang konsisten menjual kopinya pada KUD Sane yaitu berupa perpanjangan kontrak relasi. Jadi, setiap tengkulak relasi yang dianggap tidak konsisten menjual kopinya ke KUD akan dicabut status relasinya. Jika kita melihat rewarding dari sisi perusahaan, ini merupakan satu cara agar mengurangi usaha penyortiran oleh KUD.

a. Respon tengkulak kategori 1

Adanya poin jaminan jual beli ini berpengaruh pada tengkulak sehingga terjadi dua respon yang berbeda. Gugurnya beberapa relasi yang tidak konsisten dari awalnya berjumlah ratusan hingga saat ini hanya berjumlah 28 relasi, membuat relasi yang kontraknya diperpanjang harus semakin ketat membeli dan menyortir kopi tanduk agar tidak ditolak penjualannya oleh KUD Sane. Respon kategori 1 terjadi di Toraja Utara dan Tana Toraja, yaitu tengkulak beralih menjadi tengkulak perantara. Tengkulak perantara merupakan tengkulak yang membeli kopi dari petani dan menjual lagi ke tengkulak relasi.

Tengkulak Toraja umumnya banyak yang gugur dari tengkulak relasi karena sulit memperoleh kopi dari petani, dan jika ada hanya sedikit. Sedikitnya kopi yang didapat dari petani diakibatkan faktor sosial, ekonomi dan budaya seperti yang dibahas pada sub bab 5.1.1.1, 5.1.1.2 dan 5.1.1.3 serta adanya pesaing di Toraja, yaitu Toarco yang akhirnya berdampak sistemik kepada tengkulak relasi KUD. Hal ini mengakibatkan tidak tertutupnya modal untuk menyewa pekerja sortir. Ditambah lagi biaya transport menuju tempat pembelian oleh KUD sangat tidak sebanding dengan kopi yang diperoleh dari petani.

Oleh karena itu, banyak tengkulak relasi di Toraja Utara dan Tana Toraja menjadi tengkulak perantara yang menyebabkan munculnya simpul baru dan membuat pola mata rantai nilai lokal kopi di Toraja Utara maupun Tana Toraja semakin panjang.

b. Respon tengkulak kategori 2

Berbeda dengan Enrekang yang petaninya konsisten menanam dan merawat pohon kopi walau harga kopi turun, tidak menyebabkan adanya penambahan simpul. Respon yang dilakukan oleh tengkulak Enrekang hanya berupa penyuluhan perawatan dari tengkulak relasi kepada petani agar kopi dapat berproduksi dengan konsisten sehingga baik untuk prospek jangka panjang kehidupan para petani. Sama seperti aspek poin peningkatan kualitas, aspek jaminan jual beli juga tidak merubah simpul mata rantai nilai lokal kopi di Enrekang.