Efisiensi Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Dilihat dari Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal
5.3.3 Efisiensi Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Dilihat dari Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal
Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Efektif dan efisien dalam penelitian ini dilihat dari berbagai sudut pandang, sudut pandang perusahaan dan sudut pandang masyarakat sebagai produsen. Efektif dan efisien dari sudut pandang perusahaan adalah jika tercipta suatu sistem jual beli kopi yang berkelanjutan setelah diterapkannya CAFÉ Practices. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat petani, semakin panjang mata rantai nilai kopi di suatu lokasi akibat penerapan sertifikasi, maka semakin tidak efisien penerapan sertifikasi diterapkan di lokasi tersebut. Semakin panjangnya mata rantai nilai kopi diindikasikan dari meningkatnya jumlah simpul pada sistem mata rantai nilai. Jika hal berlawanan terjadi, yaitu saat pola mata rantai nilai semakin pendek atau tetap dari pola mata rantai nilai sebelum diterapkan sertifikasi, maka sertifikasi yang digunakan efisien diterapkan di lokasi tersebut. Semakin pendek maupun tetapnya pola mata rantai nilai diindikasikan dari jumlah simpul yang berkurang ataupun tetap. Alasan dikatakannya semakin panjang mata rantai semakin tidak efisien penerapan sertifikasi adalah karena keuntungan yang didapat akan semakin kecil, khususnya bagi aktor dengan ordo terendah (petani). Sedangkan alasan mata rantai nilai Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Efektif dan efisien dalam penelitian ini dilihat dari berbagai sudut pandang, sudut pandang perusahaan dan sudut pandang masyarakat sebagai produsen. Efektif dan efisien dari sudut pandang perusahaan adalah jika tercipta suatu sistem jual beli kopi yang berkelanjutan setelah diterapkannya CAFÉ Practices. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat petani, semakin panjang mata rantai nilai kopi di suatu lokasi akibat penerapan sertifikasi, maka semakin tidak efisien penerapan sertifikasi diterapkan di lokasi tersebut. Semakin panjangnya mata rantai nilai kopi diindikasikan dari meningkatnya jumlah simpul pada sistem mata rantai nilai. Jika hal berlawanan terjadi, yaitu saat pola mata rantai nilai semakin pendek atau tetap dari pola mata rantai nilai sebelum diterapkan sertifikasi, maka sertifikasi yang digunakan efisien diterapkan di lokasi tersebut. Semakin pendek maupun tetapnya pola mata rantai nilai diindikasikan dari jumlah simpul yang berkurang ataupun tetap. Alasan dikatakannya semakin panjang mata rantai semakin tidak efisien penerapan sertifikasi adalah karena keuntungan yang didapat akan semakin kecil, khususnya bagi aktor dengan ordo terendah (petani). Sedangkan alasan mata rantai nilai
Jika dilihat dari sub bab 5.3.3, kita dapat melihat penambahan jumlah simpul dan tidak berubahnya jumlah simpul di lokasi yang berbeda. Bertambahnya jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai kopi terjadi di Toraja Utara dan Tana Toraja, yaitu dari 2 buah menjadi 3 buah simpul setelah diterapkannya sertifikasi CAFÉ Practices. Bertambahnya jumlah simpul yang ada di Toraja Utara dan Tana Toraja disebabkan oleh beberapa faktor (Gambar
5.7 ). Kontribusi pengusahaan kopi terhadap pendapatan masyarakat sangat kecil. Pengaruh dari masih adanya ikatan dengan tanah adat membuat petani sulit memperbesar skala produksi mereka. Berdasarkan hasil observasi, mereka mengatakan tanah yang mereka miliki dari warisan orang tua tidak luas sehingga sulit untuk meningkatkan produksi, ditambah lagi ada hama dan cuaca yang tidak menentu membuat produksi kopi cenderung menurun. Hal terkait pada kecilnya peran kopi pada pendapatan petani. Petani di Toraja yang masih ada ikatan kuat dengan tanah adat merasa jumlah produksi yang kecil dari kopi tidak mungkin dijadikan pendapatan utama dan kecilnya hasil dari pengusahaan kopi oleh petani membuat pengusahaan tanaman kopi juga rendah. Hal ini dilihat dari jarangnya petani merawat pohon kopi dan merawat kebun kopinya. Umumnya, petani di Toraja hanya bekerja saat masa panen saja (Neilson, 2007). Sedikitnya perawatan membuat hasil produksi kopi tidak stabil, terkadang menghasilkan, terkadang tidak. Selain masalah dari sisi petani, terdapat faktor lain yang berpengaruh. KUD bukanlah pembeli kopi tunggal di Toraja. Pesaing KUD adalah Toarco yang sejarahnya adalah aktor yang telah lama berperan dalam industri kopi Toraja sejak 1976. Walaupun memang KUD tidak sepenuhnya kehilangan kuota memperoleh kopi dari Toraja, namun adanya dua pembeli besar akan mengurangi jumlah kopi yang diperoleh. Ditambah lagi produksi kopi di Toraja relatif sedikit dan berdasarkan wawancara dengan petani kopi, ikatan emosional penduduk Toraja lebih dekat dengan Toarco karena dianggap berjasa
mempelopori pengusahaan kopi. Sedikitnya produksi kopi mengakibatkan tengkulak relasi tidak menjamin bisa selalu menjual kopi ke KUD. Dampak pada pola mata rantai nilai lokal kopi Toraja sangat terasa ketika diterapkannya skema sertifikasi. Aspek jaminan jual beli yang bertujuan memberi perpanjangan kontrak bagi relasi yang konsisten sulit diupayakan oleh tengkulak relasi Toraja. Hal ini disebabkan sulitnya memperoleh kopi dari petani. Selain itu, adanya peningkatan kualitas produk menuntut tengkulak relasi menyortir kopi kulit tanduk agar sesuai dengan standar sertifikasi. Sayangnya, penyortiran kopi kulit tanduk membutuhkan pekerja yang harus dibayar. Bagi tengkulak relasi yang tidak punya modal cukup membayar penyortir,ini menjadi kendala besar untuk menjual kopi ke KUD, karena kemungkinan besar kopi nya tidak akan dibeli. Oleh karena itu, bagi beberapa tengkulak yang tidak mendapatkan kopi dari petani dan tidak punya modal sendiri akan kehilangan status relasinya dan memilih jadi tengkulak perantara antara petani, dengan tengkulak relasi KUD, yang tidak harus menyortir kopi dari petani. Berbeda kasusnya dengan pola mata rantai nilai di Enrekang, tidak terjadi penambahan simpul di mata rantai nilai kopi Enrekang. Alasan pola mata rantai di Enrekang tetap juga dipengaruhi oleh beberapa faktor (Gambar 5.8).
Kontribusi pengusahaan kopi pada petani di Enrekang tergolong besar, yaitu sekitar 70 % dari keseluruhan pendapatan. Selain itu, berbeda dengan penduduk Toraja yang orientasi hidupnya adalah mecari uang untuk upacara adat, orientasi hidup petani Enrekang lebih cenderung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk menyekolahkan anak mereka. Karena kopi menjadi tumpuan utama penduduk Enrekang khusunya kecamatan Baraka, maka pengusahan kopi oleh petani sangatlah maksimal. Hal ini berdampak pada konsistensi produksi kopi yang baik. Perawatan kebun juga dilakukan secara berkala. Petani selalu konsisten menjual kopinya ke tengkulak relasi, dan hal ini berdampak sangat baik pada tengkulak relasi. Konsistensi penjualan kopi ke KUD dan kualitas yang dijual baik serta banyak, membuat KUD menjadikan Enrekang sebagai lokasi kunci agar tercipta keberlanjutan sistem mata rantai nilai kopi, mengingat jika mengandalkan kopi dari Toraja akan sangat rentan. Akibat
Kontribusi pengusahaan
Pengaruh Budaya.
Ada pesaing
tanaman kopi terhadap
(Toarco)
Orientasi hidup masyarakat
pendapatan masyarakat sangat
Toraja Utara maupun Tana
kecil.
Toraja adalah mencari uang sebanyak mungkin untuk
Kontribusi pengusahaan
dapat melaksanakan upacara
Penerapan sertifikasi kopi dalam pendapatan petani di
adat
Toraja Utara dan Tana Toraja Jaminan jual beli
masing-masing hanya sekitar 21 antar aktor: jika
Kepemilikan tanah hanya
tidak kontinu % dan 13 % dari keseluruhan
didasari oleh warisan orang
jual kopi maka pendapatan (Neilson et al, 2011).
tua (Tanah Adat). Tidak
ada peluang memperluas
status relasi akan
lahan perkebunan
dicabut
Jika kualitas tidak sesuai standar: maka kopi ditolak
Kopi tidak menjadi sumber pendapatan utama masyarakat, maka pengusahaan Tanaman kopi pun minim (perawatan kebun dan
pohon)
Hasil produksi sedikit
Tengkulak KUD sulit
Sebagian tengkulak
mendapatkan kopi
relasi kehilangan
dari petani
status relasisnya mengakibatkan statusnya turun satu tingkat jadi tengkulak
Tidak kontinu
perantara yang
menjual kopi ke KUD
mengumpulkan kopi
karena sulit dapat
tandukn dari petani:
kopi dan jika dapat, tidak ada biaya untuk
Muncul simpul baru
sortir
Gambar 5.7 Bagan faktor yang mempengaruhi munculnya simpul baru setelah diterapkannya CAFÉ Practices di Toraja Utara dan Tana Toraja. (Sumber: Pengolahan data 2013) Gambar 5.7 Bagan faktor yang mempengaruhi munculnya simpul baru setelah diterapkannya CAFÉ Practices di Toraja Utara dan Tana Toraja. (Sumber: Pengolahan data 2013)
Hasil evaluasi perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi menunjukan beberapa fakta. Jika kita melihat dari sudut pandang perusahaan Starbucks yang diwakili KUD, CAFÉ Practices efektif karena berhasil menciptakan suatu sistem jual beli kopi yang berkelanjutan. Selain itu sertifikasi membuat perusahaan lebih efisien dalam upaya meningkatkan kualitas karena petani dan tengkulaklah yang mengusahakan kopi agar memiliki kualitas baik agar dapat dijual ke perusahaan. Namun pada penelitian ini, efisien tidak dilihat dari sudut pandang perusahaan, melainkan dari sudut pandang masyarakat petani. Efisien dari sudut pandang perusahaan berbeda dengan sudut pandang masyarakat petani. Jika dilihat dari sudut pandang petani, penerapan CAFÉ Practices nyatanya menyulitkan tengkulak relasi menjual kopi ke perusahaan khususnya di Toraja. Kesulitan ini dikarenakan tidak optimalnya pengusahaan kopi saat di perkebunan oleh petani. Selain itu, kesulitan ini berdampak pada munculnya simpul baru yang mengakibatkan harga jual kopi oleh petani menjadi semakin rendah dan sangat merugikan petani Toraja. Pengelolaan perkebunan yang tidak optimal di Toraja membuat tengkulak relasi harus melakukan penyortiran agar mampu menyesuaikan standar pembelian KUD. Akibat dari peningkatan standar, tengkulak relasi yang tidak memiliki biaya untuk menyortir kopi yang dibeli dari petani akhirnya memilih menjadi tengkulak perantara. Selain itu, karena jumlah kopi dari petani sedikit, maka keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan onkos transport yang harus dikeluarkan untuk mendistribusikannya ke tempat pembelian. Oleh karena itu sebagian dari tengkulak relasi yang modalnya kecil memilih untuk menjadi tengkulak perantara dan menjual kopi yang dibeli dari petani ke tengkulak relasi. Munculnya simpul baru ini menandakan bahwa penerapan sertifikasi tidak efisien diterapkan di Toraja karena harus ada biaya lebih yang dikeluarkan agar mampu menyesuaikan standar perusahaan. Kasus yang berbeda terjadi di Enrekang. Pengelolaan perkebunan kopi lebih maksimal, maka tengkulak tidak lagi perlu khawatir akan kehilangan kesempatan menjual kopi ke KUD. Optimalisasi pengelolaan perkebunan oleh petani merupakan alasan mengapa tidak adanya biaya penyortiran yang dikeluarkan oleh tengkulak relasi.
Kontribusi pengusahaan
Orientasi hidup hanya untuk
Tidak ada pesaing.
Tanaman padi terhadap
menghidupi kebutuhan sehari-
KUD Sane adalah
hari dan menyekolahkan anak
pembeli kopi tunggal
pendapatan petani tinggi
Kontribusi pengusahaan kopi dalam pendapatan petani di Enrekang tinggi, yaitu sekitar 70
Penerapan sertifikasi % dari keseluruhan pendapatan
Jaminan jual beli antar aktor: jika
Kepemilikan Tanah di
kontinu jual kopi
Enrekang tidak terikat
maka status relasi
dengan warisan nenek moyang. Pembelian Tanah
akan dicabut
bebas asalkan antara pihak
penjual dan pembeli
Jika kualitas tidak
menjalin sebuah kesepakatan
sesuai standar:
jual beli
maka kopi ditolak
Kopi menjadi sumber pendapatan utama masyarakat Enrekang (khususnya kecamatan Baraka):
Tercipta optimalisasi pengusahaan kopi di perkebunan kopi agar dapat terus menjual dan
men dapat penghasilan dari kopi
Konsisten memproduksi kopi
Tengkulak KUD konsisten membeli kopi dari petani
Tengkulak tetap memiliki status
sebagai relasi:
Tidak ada
Tengkulak konsisten
penambahan
jual kopi ke KUD
simpul
Gambar 5.8 Bagan faktor yang menjelaskan alasan tidak berubahnya pola mata rantai nilai kopi lokal di Enrekang. (Sumber: Pengolahan data 2013)
Oleh karena itu, jumlah simpul yang tetap antara sebelum dan setelah penerapan CAFÉ Practices menandakan bahwa efisiensi penerapan CAFÉ Practices tercapai di Enrekang (Sketsa 5.6).
Sketsa 5.6 Pola simpul (mata rantai) sebelum dan sesudah penerapan CAFE Practices. (Sumber: Pengolahan data