Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Sebelum Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices (1997-2007)

5.3.1 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Sebelum Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices (1997-2007)

Sketsa 5.3 dan 5.4 menjelaskan bagaimana pola mata rantai nilai kopi sebelum diterapkannya skema sertifikasi CAFÉ Practices. Pola mata rantai sebelum penerapan sertifikasi dibagi kedalam dua tahap, yaitu 1997-2004 dan 2005-2007. Dasar dari pembagian dua waktu tersebut adalah pada 1997, KUD terbuka pada siapapun yang ingin menjadi relasi penjualan dengan KUD, dan ini berlangsung hingga tahun 2004 disaat KUD berhenti membuka bebas relasinya. Kemudian tahap kedua, yaitu 2005-2007, yaitu masa dimana KUD berhenti terbuka pada relasi yang masuk dan sebelum penerapan CAFÉ Practices.

5.3.1.1 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi (1997-2004)

Pada sketsa 5.3, kita dapat melihat arus distribusi kopi bersumber dari berbagai aktor, mulai dari petani hingga tengkulak. Hal ini dikarenakan Starbucks yang saat itu baru memasuki pasar kopi terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi relasi (menjual kopi produksinya ke KUD Sane). Hal yang mempengaruhi lainnya adalah harga kopi yang saat itu tinggi disaat terjadi krisis ekonomi, membuat petani berlomba menjual kopi sebanyak mungkin ke pada siapapun yang ingin membeli.

Pada fase ini, terdapat dua pola mata rantai nilai di Toraja Utara dan Tana Toraja. Ada petani yang langsung menjual kopi ke KUD dan ada pula yang menjualnya ke tengkulak relasi. Petani yang langsung menjual kopi ke KUD saat ini agaknya lebih menguntungkan karena harga jual kopi tanduknya tidak terpotong oleh aktor perantara seperti tengkulak. Hal ini dapat terjadi karena KUD masih membuka relasi dan saat krisis harga kopi melambung tinggi membuat petani tertarik langsung menjual ke KUD. Pola kedua adalah petani yang tetap menjual ke tengkulak. Dapat disimpulkan pada fase ini, simpul mata rantai nilai kopi lokal di Toraja Utara maupun Tana Toraja berjumlah 1-2 simpul sebelum sampai ke KUD.

Toraja Utara dan Tana Toraja yang memang sudah lebih dulu berkecimpung dalam mata rantai kopi di Sulawesi menampakan volume produksi yang cukup besar dibanding Enrekang. Berdasarkan wawacara yang dilakukan kepada seorang informan di Enrekang:

“Enrekang memang masih baru berkecimpung dalam rantai kopi di Sulawesi, yaitu sekitar tahun 1997, saat krismon. Ketika itu, harga kopi yang ada

di Toraja tinggi, membuat kami berpikir untuk mencoba juga. Kebetulan, KUD Sane juga melakukan penyuluhan untuk bagaimana menanam kopi dengan baik. Karena tuntutan ekonomi, kami mencoba peruntungan di bidang kopi. Saat memulai bertani kopi, luas tanah yang saya miliki hanya 0,5 Ha .” (Pak Burhanudin, Petani &Tengkulak).

Pernyataan Pak Baraka di atas mengisyaratkan bahwa pengusahaan kopi bagi masyarakat Enrekang masih baru, sehingga pada saat itu, hanya ada sedikit aktor dalam rantai kopi yaitu petani. Petani di Enrekang sangat diuntungkan dengan adanya KUD sebagai pembeli kopi mereka. Dari hasil pengusahaan kopi, Pak Burhan mampu menghidupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pak Burhan mengakui bahwa beliau adalah pelopor pengusahaan kopi di Enrekang, khususnya Baraka. Jika dibandingkan dengan di Toraja, jumlah simpul mata rantai nilai di Enrekang sebelum sampai ke KUD hanya satu, yaitu petani. Hal ini akan berubah pada fase 2005-2007.

Sketsa 5.3 Pola mata rantai saat awal KUD Sane masuk di Sulawesi Selatan 1997-2004. (Sumber: Pengolahan data 2013)

Tabel 5.2 Aktivitas Utama dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan sebelum penerapan CAFÉ Practices. (Sumber: Pengolahan data 2013)

5.3.1.2 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi (2005-2007)

Pada Sketsa 5.4, dapat dilihat adanya perubahan. Petani yang awalnya banyak langsung menjual kopi ke KUD pada saat itu hanya menjual kopinya ke tengkulak. Hal ini terjadi karena dua faktor. Pertama, KUD sudah menutup pembukaan peluang menjadi relasi dan faktor kedua adalah harga kopi yang sudah mulai menurun (Lihat Grafik 1, BAB 1). Di Toraja jumlah simpul mata rantai nilai tidak ada lagi yang hanya berjumlah satu. Pada fase ini, mata rantai nilai lokal di Toraja Utara maupun Tana Toraja berjumlah 2 simpul sebelum sampai ke KUD.

“Di Toraja itu petani kopinya hanya ikut-ikutan nanem sebenernya, kalo harga tinggi berbondong-bondong semua nanem, tapi kalo harga turun, pada ga

nanem. Kalo kopi murah, kadang mereka malah membiarkan kebun kopinya terlantar, jadi sayang, padahal kalo dirawat, potensi menghasilkan jumlah kopi yang lebih besar itu sangat mungkin. Penduduk Toraja dan Tana Toraja nanem. Kalo kopi murah, kadang mereka malah membiarkan kebun kopinya terlantar, jadi sayang, padahal kalo dirawat, potensi menghasilkan jumlah kopi yang lebih besar itu sangat mungkin. Penduduk Toraja dan Tana Toraja

Hal ini dibuktikan dengan persenan pendapatan hasil kopi dari keseluruhan pendapatan. Kopi , hanya berperan sekitar 20 % di Toraja Utara dan 13 % di Tana Toraja dari keseluruhan pendapatan (Neilson, 2009).

Berbeda dengan Toraja, jumlah petani yang ada di Baraka semakin meningkat malah semakin bertambah. Berdasarkan pengakuan informan,

“ Saya itu bisa dibilang pelopor keberhasilan produksi kopi di Enrekang, saya awalnya hanya punya tanah buat nanem 0,5 Ha, tapi karena setiap ada

pemasukan, saya Tanam buat beli tanah, sekarang saya punya tanah 4 Ha. Terus penduduk sekitar yang melihat keberhasilan saya dan melihat pohon kopi saya yang bagus, mereka pada minta ajarin. Jadi ya sekarang banyak petani yang mulai mencari nafkah sebagai petani kopi, dan dari pendapatan yang diterima, kopi menyumbang sebesar 70% dari keseluruhan pendapatan ”, (Burhanudin, Baraka-Enrekang).

Penutupan peluang menjadi relasi oleh KUD membuat masyarakat Baraka yang mulai mencoba pengusahaan kopi menjual kopinya ke Pak Burhan karena dia yang memiliki relasi dan dianggap senior. Akibat penutupan peluang menjadi relasi oleh KUD adalah munculnya simpul baru di sistem mata rantai nilai kopi Enrekang (Baraka), yaitu menjadi dua simpul yang awalnya hanya satu simpul dihitung sebelum sampai ke tangan KUD (Sketsa 5.4). Kendati demikian, petani tetap termotivasi untuk mengusahakan tanaman kopi. Hal ini juga tidak lepas dari keberhasilan Pak Burhanudin yang mampu meluaskan perkebunannya hasil dari pengusahaan tanaman kopi.

Sketsa 5.4 Pola mata rantai kopi di Sulawesi Selatan 2005-2007. (Sumber: Pengolahan data 2013)