Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Setelah Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices ( ≥ 2008)

5.3.2 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Setelah Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices ( ≥ 2008)

Berdasarkan pengamatan dampak yang dihasilkan oleh tiap unit standar sertifikasi CAFÉ Practices, aspek peningkatan kualitas dan aspek jaminan jual beli dapat berdampak pada perubahan pola mata rantai nilai, yaitu berdampak pada meningkatnya jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai di Sulawesi Selatan khususnya Toraja Utara dan Tana Toraja (Sketsa 5.5).

Aspek peningkatan kualitas menyebabkan tengkulak relasi yang ada harus memiliki kopi kulit tanduk yang sesuai dengan kriteria pembelian oleh KUD. Ketergantungan pendapatan petani kopi di Toraja terhadap kopi yang kecil, mengakibatkan tanaman kopi tidak terlalu maksimal terawat sehingga jumlah produksi juga sedikit. Ketergantungan pendapatan petani terhadap pengusahaan kopi yang sangat sedikit merupakan faktor pertama yang mengakibatkan tengkulak relasi sulit memperoleh kopi karena jumlah produksi sedikit. Jika ada kopi yang didapat haruslah disortir untuk mendapatkan kopi kulit tanduk yang bagus. Penyortiran itu sendiri butuh biaya untuk menyewa tenaga kerja penyortir. Akan sangat merugikan jika kopi yang didapat sedikit, namun juga harus mengeluarkan biaya untuk membayar penyortir. Faktor kedua adalah adanya pesaing kuat, yaitu Toarco yang memang lebih dulu berkecimpung di sistem rantai nilai kopi Toraja. Adanya pesaing menyebabkan semakin kecil jumlah kopi yang diperoleh oleh tengkulak relasi KUD. Dua hal inilah yang mengakibatkan beberapa tengkulak relasi tersisih dari segi penyaringan kualitas karena ditolak penjualan kopinya oleh KUD. Hanya beberapa yang berhasil bertahan menjadi relasi, dan tengkulak yang tersisih berujung turun satu tingkat menjadi tengkulak yang hanya membeli kopi kulit tanduk dari petani.

Fenomena yang cukup berbeda terjadi di pengusahaan kopi Enrekang. Mengingat kopi berkontribusi tinggi terhadap pendapatn masyarakat Enrekang, khususnya kecamatan Baraka, maka petani antusias agar kopi hasil tanamannya masuk standar kriteria pembelian oleh KUD. Ini cukup menguntungkan bagi tengkulak relasi KUD karena bisa dikatakan kopi kulit tanduk dari petani terjamin Fenomena yang cukup berbeda terjadi di pengusahaan kopi Enrekang. Mengingat kopi berkontribusi tinggi terhadap pendapatn masyarakat Enrekang, khususnya kecamatan Baraka, maka petani antusias agar kopi hasil tanamannya masuk standar kriteria pembelian oleh KUD. Ini cukup menguntungkan bagi tengkulak relasi KUD karena bisa dikatakan kopi kulit tanduk dari petani terjamin

Aspek jaminan jual beli antar aktor, yaitu memberi sebuah perpanjangan kontrak relasi pada tengkulak relasi yang kontinu menjual kopinya ke KUD. Mengingat adanya peningkatan kualitas, maka beberapa tengkulak relasi Toraja yang kekurangan modal untuk biaya penyortiran kesulitan memperoleh kopi untuk dijual ke KUD. Ini berakibat tidak berlanjutnya tengkulak menjual kopi ke KUD. Dalam pendataan KUD, kasus ini digolongkan kedalam relasi yang tidak kontinu menjual kopinya ke KUD. Akibatnya, hilanglah status relasi yang dimiliki beberapa tengkulak setelah diterapkannya sertifikasi CAFÉ Practices.

Kondisi berlawanan terjadi pada tengkulak relasi di Enrekang. Tengkulak relasi memang lebih diuntungkan dibanding dengan tengkulak di Toraja. Petani yang ada di Enrekang lebih memiliki usaha tinggi dalam mengusahakan pertanian kopi. Hal ini berakibat pada kualitas kopi yang baik dan produksi yang konsisten ada untuk dijual ke tengkulak.

Pola perubahan yang terjadi setelah penerapan CAFÉ Practices tidak lepas dari aktivitas penambahan nilai pada komoditas kopi. Berdasarkan hasil pengamatan, ada beberapa perlakuan terhadap kopi yang berbeda antara sebelum (Tabel 5.2) dan setelah diterapkannya sertifikasi CAFÉ Practices (Tabel 5.3 & 5.4).

Sketsa 5.5 Pola mata rantai nilai setelah diterapkannya CAFÉ Practices (≥ 2008). (Sumber: Pengolahan data 2013)

Tabel 5.3 Aktivitas Utama dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan (Kabupaten Toraja Utara & Tana Toraja) setelah penerapan CAFÉ Practices. (Sumber: Pengolahan data 2013)

Universitas Indonesia

Tabel 5.4 Aktivitas Utama dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan (Kabupaten Enrekang) setelah penerapan CAFÉ Practices. (Sumber: Pengolahan data 2013)

Universitas Indonesia

Pola mata rantai nilai lokal kopi setelah ada penerapan sertifikasi CAFÉ Practices dapat dilihat pada Sketsa 5.5. Dari evaluasi hasil penerapan aspek peningkatan kualitas produk dan aspek jaminan jual beli, dapat dilihat adanya perubahan pola mata rantai di Toraja Utara dan Tana Toraja, yaitu meningkatnya jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai kopi. Sebelum penerapan sertifikasi, jumlah simpul di Toraja Utara dan Tana Toraja adalah dua buah (dihitung sebelum sampai tangan KUD). Sedangkan setelah diterapkannya sertifikasi, jumlah simpul mata rantai nilai kopi di Toraja menjadi tiga buah. Hasil yang berbeda terjadi di Enrekang. Pola mata rantai nilai kopi di Enrekang tidak berubah antara sebelum dan sesudah penerapan sertifikasi CAFÉ Practices. Jumlah simpul yang ada tetap sama, yaitu dua buah.