ditawarkan sebuah partai atau kontestan pemilu, baru kemudian mencoba memahami nilai- nilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih
jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara idiologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.
3. Pemilih Tradisional
Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang
penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih jenis ini sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk
memilih sebuah partai politik maupun seorang kontestan. Pemilih jenis ini sangat mudah untuk dimobilisasi selama masa kampanye dan mereka memiliki loyalitas
sangat tinggi.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap sebuah partai politik, pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi
suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang, hasilnya akan sama saja dan
tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat maupun negara.
I.5.5 Preferensi Politik
Preferensi politik seringkali dikaitkan dengan perubahan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilihan umum pemilu, baik pemilu
legislatif presiden maupun pemilukada. Preferensi politik masyarakat pemilih adalah bagaimana pemilih menentukan pilihannya dengan berbagai pertimbangan sesuai
dengan nilai yang dibangunnya dalam menentukan standard penilaian terhadap
Universitas Sumatera Utara
seorang calon maupun partai politik. Seiring berjalannya waktu, dimana dinamika perubahan baik ekonomi, politik dan social budaya, akan berpengaruh terhadap
kondisi psikologi seseorang. Bergesernya kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap cara pandang dan persepsi masyarakat akan sesuatu. Apa yang dikatakan “bagus”
menurut masyarakat saat ini, belum tentu bagus untuk masa yang akan datang. Namun, hasil survey diatas setidaknya bisa dijadikan hipotesis yang perlu diuji
kebenaranya. Hipotesis ini menunjukan bahwa masyarakat tengah mengalami perubahan politik dimana preferensi politik mereka semakin independen. Hal ini tidak
terlepas dari hasil proses pembelajaran selama satu decade selama reformasi bergulir. Terbukanya saluran komunikasi lewat banyaknya media yang tersedia, pada akhirnya
memberikan imbas kepada masyarakat untuk lebih terbuka dengan linngkunganya dan tidak mudah untuk ditarik-tarik oleh beberapa kelompok untuk kepentingan tertentu
33
Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa mansyarakat mulai mempunyai kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkunganya sebagai hasil interaksi inderawi
dengan lingkungan yang ada. Masyarakat Indonesia saat ini seperti yang dikatakan oleh teori behaviourismenya Ivan Pavlou. Dalam teori tersebut, Pavlou membuat
rumusan dengan apa yang dia sebut sebagai Classical Conditioning. Teori ini mengatakan bahwa terjadinya perubahan perilaku dapat diakibatkan oleh rangsangan
stimulus yang tidak berkondisi atau bersyarat yang disebut dengan unconditioned stimulus atau dapat juga dikatakan dengan rangsangan alamiah. Disisi lain, teori ini
juga mengatakan perubahan perilaku dapat pula diakibatkan oleh rangsangan terkondisi atau bersyarat conditioned stimulus.
Kedua proses tersebut alamiah dan terkondisi merupakan fenomena yang ada .
33
Fatkhuri, MA, Pergeseran preferensi politik masyarakat, http:bungfatur.multiply.comjournalitem10Perubahan_preferensi_politik
Universitas Sumatera Utara
dalam setiap kehidupan. Dalam kontek masyarakat Indonesia saat ini, adanya berbagai macam program tayangan di beberapa media seperti televisi, koran, majalah
dan lain sebagainya merupakan bentuk proses belajar secara alamiah yang dilakukan masyarakat. Dengan menggunakan indra penglihatan dan pendengaran, masyarakat
banyak mencerna stimulus dari luar yang tanpa sadar dari proses tersebut telah menghasilkan tambahan pengetahuan bagi mereka. Hal yang sama terjadi pada proses
pembelajaran secara non alamiah. Menjamurnya berbagai macam program pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan pemerintah, LSM, dan partai politik
merupakan contoh nyata proses pembelajaran secara terkondisi dan bersyarat. Dari sini masyarakat akan banyak mendapatkan input sehingga berpengaruh terhadap cara
berfikir mereka. Disadari ataupun tidak, hasil proses pembelajaran tersebut pada akhirnya
memperkokoh tiang independensi masyarakat. Dan tentu ini merupakan dampak positif dari transisi demokrasi di Indonesia. Ekses dari pendidikan baik secara alamiah
maupun tidak, bisa kita lihat dari realitas bahwa, saat ini masyarakat kita tidak gampang di ombang-ambingkan oleh berbagai macam bentuk proses pencitraan yang
dilakukan oleh berbagai elemen terutama partai politik, yang pada saat sekarang sedang gencar-gencarnya membangun citra positif dimata rakyat menjelang pemilihan
legislatif dan presiden 2009. Dengan kata lain, masyarakat sudah mulai cerdas dan mandiri dalam
menentukan sikap dan pilihan politiknya. Masyarakat tidak mudah untuk dipengaruhi apalagi dengan jargon-jargon yang tidak jelas jeluntrungnya. Apa yang dibutuhkan
masyarakat saat ini adalah bukan narasi besar, melainkan aksi-aksi nyata elit-elit politik dalam rangka mendorong perubahan hidup masyarakat kearah yang lebih baik.
Masyarakat sudah capai dan jenuh dengan permainan elit. Mereka tidak lagi mau
Universitas Sumatera Utara
dibodohi dengan janji-janji semu, yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Inilah kenyataan yang harus di waspadai oleh partai-partai
politik saat ini. Partai-partai harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam mempengaruhi masyarakat. Karya nyata yang ditunjukkan oleh individu yang langsung berkarya
dalam kehidupan masyarakat lewat kerja-kerja yang populis seperti peningkatan usaha pertanian, dll ternyata memberikan dampak nyata terhadap perubahan
preferensi politik masyarakat. Masyarakat tidak lagi melihat individu itu sebagai orang yang mempunyai catatan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Akan tetapi
masyarakat melihatnya bahwa individu itu adalah seorang figur yang telah mencurahkan hidupnya bagi nasib kaum kecil di Indonesia.
Begitupun sebaliknya, partai politik yang selama ini dengan tegas mengklaim partainya orang kecil, pada kenyataanya dengan mudah di geser oleh partai yang
mengusung calon yang berdedikasi tadi. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat tidak lagi doyan dengan dagangan janji, slogan dan semacamnya, akan
tetapi dedikasi elit terhadap keberpihakan orang kecillah yang menjadi tonggak keberhasilan dalam mempengaruhi preferensi masyarakat. Kenyataan ini juga
mengindikasikan bahwa preferensi politik masyarakat saat ini tidak lagi jatuh pada mainstream ideologi dan kharisma. Perubahan pola pikir masyarakat dalam menilai
parpol atau individu calon tersebut semakin memperkuat argumen bahwa ideologi dan kharisma tidak lagi sebagai faktor yang paling fundamental dalam proses
mempengaruhi pilihan pemilih.
1.5.6 Pemilihan Umum Kepala Daerah I.5.6.1 Perspektif Teoritis