Preferensi Politik Pemilih Terhadap Kemenangan Calon Perseorangan Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung Di Kabupaten Batubara Periode 2008-2013 ( Studi Kasus : Perilaku Politik Pemilih di Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara )

(1)

PREFERENSI POLITIK PEMILIH TERHADAP KEMENANGAN CALON PERSEORANGAN PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG

DI KABUPATEN BATUBARA PERIODE 2008-2013

( Studi Kasus : Perilaku Politik Pemilih di Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara )

Disusun Oleh

ROBBY SANJAYA MARPAUNG 050906031

Dosen Pembimbing : Faisal Andri Mahrawa, S.IP, M. Si Dosen Pembaca : Indra Kesuma Nasution, S.IP, M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan :

Nama : Robby Sanjaya Marpaung Nim : 050906031

Departemen : Ilmu Politik

Judul : PREFERENSI POLITIK PEMILIH TERHADAP KEMENANGAN CALON PERSEORANGAN PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DI KABUPATEN BATUBARA PERIODE 2008-2013

(Studi Kasus: Perilaku Politik Pemilih di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara)

Medan, 16 Agustus 2011 Menyetujui

Ketua Departemen Ilmu Politik ( Dra. T.Irmayani, M.Si )

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

( Faisal Andri Mahrawa, S,IP, M.Si) ( Indra Kesuma Nasution, S.IP, .Si.)

DEKAN

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis haturkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karena atas berkah dan rahmatNYA lah penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul “Prefrensi Politik Pemilih Terhadap Kemenangan Calon Perseorangan pada pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Batubara periode 2008-2013”.

Studi Kasus : Perilaku Politik pemilih di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara.

Preferensi politik pemilih yang dimaksud dalam hal ini adalah orientasi pilihan politik pemilih pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Batubara khususnya di Kecamatan Lima Puluh. Berbicara preferensi politik berkaitan dengan perilaku politik yang menjadi faktor penyebab berubahnya pilihan politik pemilih. Dimana, dalam hal ini berkaitan dengan orientasi pemilih yang berubah dari kecenderungan akan calon dari partai politik menuju kepada calon perseorangan (independen).

Yang menjadikan tantangan bagi penulis untuk meneliti hal ini adalah mengapa hal tersebut dapat terjadi ditengah-tengah masyarakat pemilih suatu daerah yang baru saja mekar dengan kata lain baru melakukan Pemilukada yang pertama dan mengikutsertakan calon perseorangan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis secara terbuka mengundang para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Kritik dan saran tersebut sangat berguna bagi penulis sebagai motivasi untuk lebih baik kedepannya.

Akhir kata penuklis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(4)

ABSTRAKSI

PREFERENSI POLITIK PEMILIH TERHADAP KEMENANGAN CALON INDEPENDEN PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DI

KABUPATEN BATUBARA PERIODE 2008-2013

Studi Kasus: Perilaku Pemilih di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara

Pemilihan umum adalah salah satu momentum penting dalam perjalanan politik sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi. Pemilihan umum adalah untuk memilih Pemimpin Negara/ Pemerintahan yang nantinya akan menentukan jalannya sebuah sistem pemerintahan. Salah satu bentuknya adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada). Namun, dalam perjalanannya pemilihan kepala daerah banyak mengalami perubahan. Pada era orde lama (UU No.18/1965) Kepala Daerah yang diusulkan oleh DPRD diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (gubernur) atau Menteri dalam Negeri (Walikota/ Bupati) ke era orde baru yang hampir mirip namun, Kepala Daerah dipilih oleh presiden tanpa mempertimbangkan usulan suara mayoritas DPRD sampai pada masa reformasi yang melahirkan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemilihan kepala daerah secara langsung dan berlanjut pada revisi UU No.32 Tahun 2004 melahirkan UU No.12 Tahun 2008.UU No.12 Tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap UU No.32 Tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-Undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. Dimana didalam undang-undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP.

Perubahan sistem pemilihan umum ini melahirkan preferensi politik/ pilihan politik yang berbeda bagi masyarakat di Batubara tepatnya di Kecamatan Lima Puluh. Kemenangan calon perseorangan menjadi sebuah babak baru dalam preferensi politik Indonesia. Perubahan ini berkaitan dengan perilaku politik masyarakat yang tidak lagi melihat partai sebagai ”penyambung lidah rakyat”.

Hal inilah yang menarik minat penulis untuk meneliti, faktor apa saja yang menentukan perubahan preferensi politik masyarakat batubara khususnya masyarakat di Kecamatan Lima Puluh ini ?


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi

Bab I Pendahuluan... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Perumusan Masalah... 7

I.2.1 Pembatasan Masalah. ... 7

I.3 Tujuan Penelitian ... 8

I.4 Manfaat Penelitian ... 8

I.5 Landasan Teori. ... 9

I.5.1 Perilaku Politik ... 9

I.5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik ... 10

I.5.3 Perilaku pemilih... 14

I.5.3.1 Pendekatan Sosiologis ... 15

I.5.3.2 Pendekatan Psikologis ... 17

I.5.3.3 Pendekatan Rasional ... 18

I.5.4 Konfigurasi Pemilih ... 20

I.5.5 Preferensi Politik ... 21

I.5.6 Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 24

I.5.6.1 Perspektif Teoritis ... 24

I.5.6.2 Perspektif Praktis ... 25

I.5.6.3 Sejarah Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Indonesia .... 26


(6)

I.6 Defenisi Konsep ... 30

I.7 Defenisi Operasional ... 32

I.8 Metodologi Penelitian ... 33

I.8.1 Jenis Penelitian ... 33

I.8.2 Lokasi Penelitian ... 34

I.8.3 Populasi Dan Sampel ... 34

I.8.3.1 Populasi ... 34

I.8.3.2 Sampel ... 34

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 38

I.8.5 Teknik Analisis Data ... 38

I.9 Sistematika Penulisan ... 38

Bab II Deskripsi Lokasi Penelitian ... 40

II.1 Sejarah dan Latar Belakang ... 40

II.1.1 Kabupaten Batubara ... 40

II.1.2 Batas wilayah ... 42

II.1.3 Demografi Penduduk ... 43

II.1.3.1 Wilayah Administratif ... 43

II.1.3.2 Jumlah Penduduk ... 44

II.2 Kecamatan Lima Puluh ... 45

Bab III Data dan Analisis Data ... 47

III.1 Deskripsi Sampel ... 47

III.2 Analisis Data ... 50


(7)

IV.1 Kesimpulan ... 69

IV.2 Saran ... 70

Daftar Pustaka ... 72


(8)

ABSTRAKSI

PREFERENSI POLITIK PEMILIH TERHADAP KEMENANGAN CALON INDEPENDEN PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DI

KABUPATEN BATUBARA PERIODE 2008-2013

Studi Kasus: Perilaku Pemilih di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara

Pemilihan umum adalah salah satu momentum penting dalam perjalanan politik sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi. Pemilihan umum adalah untuk memilih Pemimpin Negara/ Pemerintahan yang nantinya akan menentukan jalannya sebuah sistem pemerintahan. Salah satu bentuknya adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada). Namun, dalam perjalanannya pemilihan kepala daerah banyak mengalami perubahan. Pada era orde lama (UU No.18/1965) Kepala Daerah yang diusulkan oleh DPRD diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (gubernur) atau Menteri dalam Negeri (Walikota/ Bupati) ke era orde baru yang hampir mirip namun, Kepala Daerah dipilih oleh presiden tanpa mempertimbangkan usulan suara mayoritas DPRD sampai pada masa reformasi yang melahirkan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemilihan kepala daerah secara langsung dan berlanjut pada revisi UU No.32 Tahun 2004 melahirkan UU No.12 Tahun 2008.UU No.12 Tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap UU No.32 Tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-Undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. Dimana didalam undang-undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP.

Perubahan sistem pemilihan umum ini melahirkan preferensi politik/ pilihan politik yang berbeda bagi masyarakat di Batubara tepatnya di Kecamatan Lima Puluh. Kemenangan calon perseorangan menjadi sebuah babak baru dalam preferensi politik Indonesia. Perubahan ini berkaitan dengan perilaku politik masyarakat yang tidak lagi melihat partai sebagai ”penyambung lidah rakyat”.

Hal inilah yang menarik minat penulis untuk meneliti, faktor apa saja yang menentukan perubahan preferensi politik masyarakat batubara khususnya masyarakat di Kecamatan Lima Puluh ini ?


(9)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sejak era reformasi di Indonesia dimulai pasca 1998, sistem pemilu di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Pada Pemilu masa Orde Baru, masyarakat Indonesia hanya mengenal 3 (tiga) partai politik besar peserta Pemilu, yaitu Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan. Bahkan pada setiap Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia masa Orde Baru tersebut selalu dimenangkan partai politik pro-pemerintah, atau dapat dikatakan tanpa mengadakan Pemilupun sudah diketahui pemenangnya. Tetapi Indonesia merupakan negara demokrasi dimana Pemilihan Umum adalah ciri khas yang menandakan bahwa negara tersebut adalah negara demokrasi.

Setelah era baru tersebut dimulai, Pemilu 1999 pun digelar dengan tujuan menandakan bahwa rakyat Indonesia membutuhkan suasana politik yang baru setelah Orde Baru, yaitu bukti dari reformasi tersebut. Pada Pemilu 1999 masih memiliki kemiripan dengan Pemilu sebelumnya, hanya saja dimodifikasi sedikit dengan mengikutsertakan 48 Partai Politik peserta Pemilu pada saat itu. Presiden terpilih pada Pemilu 1999 adalah Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur. Masa kepresidenan Gus Dur tidak bertahan lama dikarenakan tekanan dari berbagai pihak, dan digantikan oleh Wakil Presiden pada saat itu Megawati Soekarno Putri.

Setelah masa kepemimpinan Megawati tersebut, kembali diselenggarakan Pemilu 2004 yang menghasilkan sejarah baru, yaitu terpilihnya Susilo Bambang Yudoyono atau akrab dipanggil SBY sebagai Presiden Republik Indonesia periode


(10)

2004-2009. Pada Pemilu 2004 sistem pemilu kembali dimodernisasi dan dimodifikasi demi menutupi kekurangan-kekurangan sistem pemilu sebelumnya.

Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi dimana rakyat memiliki peranan penting didalam urusan negara, atau demokrasi merupakan kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin dan pejabat formal itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan pribadi-pribadi penguasa. Rakyat membuat kontrak sosial lewat perwakilannya untuk mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan main yang berupa Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Hukum dan sebagainya. Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana-sarana kekuasaan titipan yang dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benar-benar mulus lurus, benar-benar dan jujur, demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dan tidak dimanipulasikan demi kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk mengeruk keuntungan dan memperkaya diri.1

Pembuatan kontrak sosial tersebut dilakukan melalui pemilu (pemilihan umum) yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yangberhak menduduki kursi di lembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi jabatan legislatif dan jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk memilih, secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya.2

1

Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996, h.156-158 2

Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, 2007, h.173-174


(11)

Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerah-daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur dalam undang-undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub nasional (daerah/ wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok-kelompok fungsional atau organisasi non-pemerintahan swasta.3 Dan otonomi daerah merupakan bagian sistem politik yang diharapkan memberikan peluang bagi warga negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya kreativitasnya.4

Gagasan otonomi daerah melekat pada pelaksanaan UU No.32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang sangat berkaitan dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional. Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.5

3

Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 20 4

M.Arif Nasution, Nasionalisme dan Isu-Isu Lokal, Medan:USU Press, 2005, h. 63 5

Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004, h. ix-x

Sehingga muncul konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna sebagai tidak lagi bekerja dengan skema dan watak yang lama, melainkan telah bekerja dengan skema dan watak yang baru. Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan berubah menjadi lebih baik lagi. Pembaruan kabupaten juga berarti “perombakan” menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan


(12)

masyarakat.6

6

Ibid.,h. 13

Didalam merealisasikan demokrasi ditingkat lokal dan implementasi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 ini diperlukan adanya pembaruan daerah dalam hal ini adalah pemekaran Kabupaten Batubara.

Dari konsep otonomi daerah inilah kemudian digagas kembali tentang sistem pemilu yang mulai mengenalkan sistem pemilihan Kepala Daerah Langsung. Perubahan ini kemudian akan diatur sedemikian rupa sehingga Undang-Undang No.32 Tahun 2004 disempurnakan menjadi Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Sebelum keluarnya UU No.12 Tahun 2008 sistem pemilu di Indonesia belum mengenal adanya calon Kepala Daerah diluar partai politik. Artinya Partai Politik masih menjadi kunci utama dalam penetu siapa Kepala Daerah dan menjadi satu-satunya preferensi politik masyarakat.

Dengan keluarnya Undang-Undang No.12 Tahun 2008, maka opsi preferensi politik masyarakat manjadi lebih luas dan beragam. Ini ditandai banyaknya calon perseorangan yang maju mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Batu Bara menjadi salah satu kabupaten yang dalam pemilu kepala daerahnya mengikut sertakan calon perseorangan.


(13)

Tabel I.1

Daftar Nama Calon Pasangan Bupati dan Wakil Bupati

No Nama Pasangan Calon Bakal Calon Partai Pengusung

1. H. Ok. Saidin, SH, M.Hum Bagus Joko Triono, SE

Bupati Wakil Bupati

PKS, Demokrat, PDK

2. Parlindungan Sinaga, SH Muhammad Nur Ali, S.Ag

Bupati

Wakil Bupati

Perseorangan

3. Ir. Yahdi Khoir Harahap, MBA H. Surya, BSc

Bupati Wakil Bupati

GOLKAR, PAN 4. H. Janmat Sembiring, SE

H.M. Syahiri. A.karim, S.Ag

Bupati Wakil Bupati

PPP

5. OK. Arya Zulkarnain, SH, MM Drs. H. Gong Matua Siregar

Bupati

Wakil Bupati

Perseorangan

6. H. Abdul Wahid, Dr, SpPd Drs. Jalaluddin

Bupati Wakil Bupati

PBR, PBB, Patriot 7. Dr. Januari Siregar, SH. M.Hum

Sri Kumala, SE

Bupati Wakil Bupati

PDIP, PDS, PNBK, PBSD, PPIB, PPD, PNI Marhaen

8. Drs. Ibrahim Usman H. Ahmad Yusro, SH

Bupati

Wakil Bupati

Peseorangan

Sumber : KPU Kabupaten Batu Bara

Dukungan untuk mencalonkan sebagai bakal calon itu menjadi atensi kita dalam melihat gejala perubahan arah preferensi politik masyarakat. Preferensi politik masyarakat mulai mengarah kepada kepekaan terhadap diri sendiri dalam memandang siapa-siapa dan bagaimana figur calon pemimpin yang ada. Fenomena ini bisa diambil contoh di Kabupaten Batubara yang menjadi satu-satunya daerah pemekaran yang baru pertama kali melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah Langsung dengan calon perseorangan sebagai pemenangnya. Pasangan OK. Arya Zulkarnaen-Gong Matua Siregar jauh mengungguli calon-calon yang merupakan representasi dari partai politik. Ini dapat dilihat dari :


(14)

Tabel I.2

Perolehan Hasil Suara Kabupaten dan Kecamatan Lima Puluh

No Nama Pasangan Calon Jumlah Suara Kecamatan Lima

Puluh

Jumlah Suara Kabupaten

1. H. Ok. Saidin, SH, M.Hum Bagus Joko Triono, SE

4.183 13.958

2. Parlindungan Sinaga, SH Muhammad Nur Ali, S.Ag

5.486 26.224

3. Ir. Yahdi Khoir Harahap, MBA H. Surya, BSc

6.937 38.072

4. H. Janmat Sembiring, SE H.M. Syahiri. A.karim, S.Ag

809 5.433

5. OK. Arya Zulkarnain, SH, MM Drs. H. Gong Matua Siregar

14.749 53.456

6. H. Abdul Wahid, Dr, SpPd Drs. Jalaluddin

190 1.672

7. Dr. Januari Siregar, SH. M.Hum Sri Kumala, SE

960 5.779

8. Drs. Ibrahim Usman H. Ahmad Yusro, SH

4.291 15.483

JUMLAH 160.077

Sumber : KPU Kabupaten Batu Bara

Jika dikerucutkan melihat fenomena preferensi politik masyarakat dalam menentukan pilihan calon dari partai politik ke calon perseorangan maka akan dilihat hasil yang lebih signifikan berdasarkan :

Tabel I.3

Perolehan hasil suara kabupaten dan kecamatan bagi Calon Perseorangan

No Nama pasangan Calon Perseorangan

Jumlah Suara Kecamatan Lima Puluh

Jumlah Suara Kabupaten

1 Parlindungan Sinaga, SH Muhammad Nur Ali, S.Ag

5.486 26.224

2 OK. Arya Zulkarnain, SH, MM

Drs. H. Gong Matua Siregar

14.749 53.456

3 Drs. Ibrahim Usman H. Ahmad Yusro, SH

4.291 15.483


(15)

Dari jumlah diatas dapat dilihat persentase jumlah pemilih yang memilih pasangan calon perseorangan berjumlah 59,44%. Melihat kondisi yang telah dipaparkan diatas maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian di Kabupaten Batu Bara tepatnya di Kecamatan Lima Puluh mengenai : Preferensi

Politik Pemilih Terhadap Kemenangan Calon Perseorangan Dalam Pemilukada Di Kabupaten Batubara Periode 2008 – 2013 di Kecamatan Lima Puluh.

I.2 Perumusan Masalah

Dalam rancangan penelitian ini, penulis perlu menegaskan dan merumuskan masalah yang akan diteliti dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan yang menjadi perumusan masalah adalah: “Faktor yang

menyebabkan Perubahan Preferensi Politik Pemilih Dalam Pemilukada Di Kabupaten Batubara Periode 2008-2013 (Studi Kasus : Perilaku Politik Pemilih di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara)

I.2.1 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti perlu untuk memberi batasan masalah dalam meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah sehingga dapat memilih calon perseorangan. Batasan masalah diperlukan untuk lebih menspesifikkan lagi ruang lingkup permasalahan penelitian.

Adapun pun yang menjadi batasan masalah adala sebagai berikut :

1. Yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan Lima Puluh yang meliputi 27 desa/ kelurahan.


(16)

2. Yang menjadi sampel adalah para pemilih yang menggunakan hak suaranya dan yang memilih pasangan calon perseorangan O.K.Arya

Zulkarnaen, SH-Drs, H.Gong Matua Siregar.

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat perilaku pemilih masyarakat di Kecamatan Lima Puluh pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati).

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya di dalam Pemilihan Kepala Daerah (Bupati).

I.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian ilmu politik.

2. Bagi penulis, penelitian ini merupakan media untuk mengasah kemampuan membuat karya ilmiah dan juga menambah pengetahuan dalam menganalisis bagaimana proses undang-undang dapat dilahirkan. 3. Bagi FISIP USU, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

referensi yang dapat memperkaya bahan penelitian dalam bidang ilmu politik.


(17)

I.5 Landasan Teori 1.5.1 Perilaku Politik

Perilaku Politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua yaitu fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.7

Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Perilaku politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik.8

Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik, dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yakni aktor politik, agregasi politik dan tipologi kepribadian politik. Adapun tipologi dalam kategori individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa.9

Yang dimaksud dengan agregasi ialah individu aktor politik secara kolektif, seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan bangsa, sedangakan yang dipelajari dalam tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelis, demokrat. Kajian terhadap perilaku politik sering kali dijelaskan dari sudut pandang psikologi disamping pendekatan struktural fungsional dan struktural konflik. Berikut ini

7

Ramlan Surbakti.Op. Cit. Hal 167 8

Sudijono Sastroatmodjo. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Semarang Press. 1995. Hal 2- 3 9


(18)

diuraikan sebuah model tentang faktor-faktor yang memperngaruhi perilaku politik individu aktor politik yang merupakan kombinasi ketiga pendekatan tersebut yang dikemukakan oleh M. Brester Smith (1968).

I.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

Dalam masyarakat yang pluralis budayanya tinggi, seringkali terdapat kegiatan yang bervariasi dan tidak mustahil terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Untuk memahami perilaku politik diperlukan tinjauan dari sudut pandang yang multidimensi. Hal itu berarti bahwa latar belakang dan faktor yang mendorong perilaku politik tidak bersifat determinan, tetapi bersifat memberikan pengaruh.10

Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat, pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkan bahwa budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis dan tidak berkembang, tetapi justru sebaliknya merupakan sesuatu yang berubah dan berkembang sepanjang masa.

11

Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik masyarakat sebagai kawasan geostrategis, Indonesia memiliki kemungkinan sebagai pusat perhatian dunia internasional. Wilayah geografis yang strategis merupakan pertimbangan strategis bagi dunia internasional untuk mengadakan kerja sama dan hubungan dalam berbagai kepentingan. Di pihak lain, faktor kemajemukan budaya dan etnis merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi.

Oleh karena itulah kondisi geografis merupakan pertimbangan yang penting dan mempengaruhi perilaku politik seperti pembuatan peraturan, perencanaan kebijakan, pengambilan keputusan dan sebagainya. Kondisi ini juga mempengaruhi

10

Sudijono Sastroatmodjo, Op.Cit., h. 12 11


(19)

perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat kesenjangan pemerataan pembangunan, kesenjangan informasi, komunikasi dan teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik, pendidikan politik dan komunikasi politik masyarakat. Berdasarkan inilah aktor politik dituntut untuk mempertimbangkan kondisi dan pengambilan keputusan.

Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik masyarakat. Budaya politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu, mencapai serta memelihara stabilitas sistem politik. Berfungsinya budaya politik itu pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik. Sehingga dapat diketahui bagaimana dan mengapa mereka melakukan sesuatu, apa motivasi dan bagaimana pola tingkah laku tersebut menyelaraskan diri dengan sistem politik yang berlaku.12

Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan dan agama merupakan pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang.

13

12

Ibid., h. 20-21 13

Ibid., h. 25


(20)

Kepercayaan, ideologi dan mitos merupakan citra-citra kolektif dan ide yang bersifat elemen spiritual dan psikologis.14 Keyakinan mengacu kepada ideologi yaitu keyakinan yang lebih rasional dan ada yang bersifat irasional atau mitos.15 Ideologi merupakan keyakinan yang dirasionalisir dan disistematisir, yang mencerminkan situasi masyarakat.16 Mitos merupakan keyakinan yang kurang jelas, kurang rasional dan yang kurang teliti yang bersifat fabel tentang alam, dunia, manusia dan masyarakat yang sudah diterima secara kuat. Pada abad 20, jurnalis perancis George Sorel mengembangkan suatu paham bahwa salah satu cara yang efektif untuk mempengaruhi suatu komunitas adalah memberikan citra-citra yang singkat dan tidak rumit tentang suatu masa depan yang fiktif yang mempolaisir emosi-emosinya dan bergerak menuju aksi.17

14

Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, h.147 15

Ibid., h. 148 16

Ibid., h.150

17

Ibid., h.154

Kelima, pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik seseorang. Sistem politik yang cenderung sentralistis akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam mengatasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin rendah pula tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi politik yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya.

Keenam, faktor kepribadian seseorang juga mempengaruhi perilaku politik. Perilaku politik itu bergantung pada sifat struktur kepribadian yang dimilikinya, apakah tergolong dalam fungsi penyesuaian diri atau dalam basis fungsional eksternalisasi dan pertahanan diri.


(21)

Ketujuh, faktor lingkungan sosial politik. Faktor ini dapat mempengaruhi aktor politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, keadaan ruang, ancaman, suasana kelompok dan kehadiran orang lain. Lingkungan sosial politik tersebut saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai faktor yang berdiri sendiri. Melalui proses, pengalaman, sosialisasi dan sebgainya terbentuklah sikap dan perilaku politik seseorang.

Selain faktor-faktor tersebut, pendapat umum masyarakat di Prancis menyatakan bahwa kesadaran politik memusatkan kepada ideologi dan bukan mitos rakyat dan ada lima faktor yang memainkan peranan penting untuk menentukan pilihan rakyat dan sikap rakyat, yaitu: 1). Standar hidup, kondisi gaji atau tidak didigaji, sense of social belonging, 2). Kelompok umur dan seks, 3). Tingkat pendidikan, 4). Agama, dan 5). Simpati terhadap partai politik. Tiga faktor terakhir bersifat ideologis, partai-partai didasarkan pada ideologi politik, kurang atau lebih terikat kepada doktrin-doktrin politik dan tingkat pendidikan mempengaruhi kemungkinan saling pengertian.

Konsep kesadaran politik ini menunjukkan peranan ideologi. Setiap sikap politik yang khusus adalah jawaban serentak kepada situasi kongkrit yang bangkit di dalam masyarakat dan manifestasi dari visi keseluruhan tentang kekuasaan, hubungannya dengan warga secara individual dan konflik dimana kekuasaan merupakan kesadaran politik. Semakin tinggi kesadaran politik maka semakin besar pengaruhnya dan semakin kurang setiap sikap didiktekan oleh keadaan dari suatu situasi khusus. Kesadaran politik adalah produk dari sejumlah faktor pendidikan, lingkungan, pengalaman dan semacamnya.18

18

Ibid., h.160


(22)

1.5.3 Perilaku Pemilih

Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih (Voting Behavior). Menurut Harold F. Gosnell, Pemungutan suara adalah proses dimana seorang anggota masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan dengan demikian ikut serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-anggota kelompok itu dalam pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang diusulkan.19

Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan.

Dengan demikian, konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari seorang individu dalam rangka ikut berpartisipasi politik.

20

Secara sederhana perilaku pemilih didefinisikan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu.21

Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab Columbia yang

19

Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R. A Salignan dan Alvin Johnson. Encyclopedia of Social Science. Vol. 15. New York. The Macmillan Co. 1934. Hal 287

20

Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka Cipta. 1990. Hal 16

21

Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. Kamus Analisa Politik. Jakarta. C.V. Rajawali Press. 1985. Hal 280


(23)

menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan pendekatan Psikologis. 22 Selain itu terdapat juga pendekatan rational choice yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu tersebut.23

Gerald Pomper memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior kedalam 2 variabel yaitu predisposisi (kecendrungan) sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Apakah preferensi politik ayah atau ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya.

I.5.3.1 Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini misalnya berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam pentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keangggotaan seseorang didalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Ini merupakan sesuatu vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.

24

22

Afan Gaffar. Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1992. Hal 4- 9

23

Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187 24

A.Rahman Zainuddin, h.47-48


(24)

Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya sangat mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir didalam kehidupan privat dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Dikalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik.

Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuaidengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim.25

Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya rasa kedaerahan mempunyai dukungan seseorang terhadap partai. Dibeberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai tertentu. Hal ini biasanya berkaitan dengan status ekonomi seseorang (faktor kelas) terutama dihampir semua negara industri. Namun penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara mereka yang termasuk kategori orang kaya/ orang miskin; antara yang memiliki tanah yang luas yang sedikit; antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dengan buruh tani, dan sebagainya.

26

25

Dikutip dari Sulhardi, Political Psycology Socialization, and culture,

http://pangerankatak.blogspot.com/ 2008/04/governing-intoduction-to-political, 28 April 2008. 26


(25)

I.5.3.2 Pendekatan Psikologis

Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi.27

1. Sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.

Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai variabel utama dalam menjelaskan perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein ada 3 yakni:

2. Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutan.

27


(26)

3. Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri.

Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama, informasi pembentukan sikap berkembang dari masa anak-anak. Pada fase ini, keluarga merupakan tempat proses belajar. Anak-anak belajar dari orang tua menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi diluar keluarga. Tahap ketiga, bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti pekerjaan, gereja, partai politik dan asosiasi lain.

Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik di dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Sosialisasi bertujuan menungkatkan kualitas pemilih. Maka pendidikan politik disini berperan yang dapat dilakukan dengan berbagai cara.

1.5.3.3 Pendekatan Rasional

Menurut Elster (1998:22), intisari pilihan rasional (Rational Choice Theory) adalah tindakan apa yang dilakukan seseorang yang diyakininya berkemungkinan dapat memberikan hasil terbaik. Pilihan rasional muncul sebagai revolusi pendekatan perilaku (behavioral approach) dalam ilmu politik pada tahun 1950-an dan 1960-an yang sebenarnya berusaha meneliti bagaimana individu berperilaku dan menggunakan metode empris. Pendekatan perilaku telah menjadi pendekatan dominan terhadap ilmu politik, setidaknya di Amerika Serikat. Namun pilihan rasional bersumber dari


(27)

metodologi ilmu ekonomi, kebalikan dengan para behavioralis yang bersumber dari sosiologi dan psikologi Barry (1970).28

Kemudian, seiring perkembangannya, muncul pendekatan pilihan rasional dalam menganalisa perilaku pemilih. Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Kegiatan memilih merupakan produk dari kalkulasi untung rugi.29

Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan: apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meski demikian, ketertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai atau pun kandidat bersifat situasional.

Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya.

30

Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan ataupun kebiasaan dan tidak semata-mata untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangan logis.31

28

David Mars dan Gaerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung. Nusa Media. 2002. Hal 76- 77

29

Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187 30

Asep Ridwan. Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia. Jurnal Demokrasi dan Ham. Vol 4. No. 1. Jakarta. 2004. Hal 38- 39

31


(28)

1.5.4 Konfigurasi Pemilih

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih:32

1. Pemilih Rasional

Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional, dimana pemilih memiliki orientasi tinggi pada policy-problem-solving dan beorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau dan tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya melihat program kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra (image) yang berkembang dimasyarakat.

Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun calon yang diusungnya.

2. Pemilih Kritis

Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu, pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai mana mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan. Kedua, bisa terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dahulu dengan program kerja yang

32

Firmanzah. Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007. Hal 134- 138


(29)

ditawarkan sebuah partai atau kontestan pemilu, baru kemudian mencoba memahami nilai- nilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara idiologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.

3. Pemilih Tradisional

Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih jenis ini sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik maupun seorang kontestan. Pemilih jenis ini sangat mudah untuk dimobilisasi selama masa kampanye dan mereka memiliki loyalitas sangat tinggi.

4. Pemilih Skeptis

Pemilih ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap sebuah partai politik, pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang, hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat maupun negara.

I.5.5 Preferensi Politik

Preferensi politik seringkali dikaitkan dengan perubahan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilihan umum (pemilu), baik pemilu legislatif/ presiden maupun pemilukada. Preferensi politik masyarakat/ pemilih adalah bagaimana pemilih menentukan pilihannya dengan berbagai pertimbangan sesuai dengan nilai yang dibangunnya dalam menentukan standard penilaian terhadap


(30)

seorang calon maupun partai politik. Seiring berjalannya waktu, dimana dinamika perubahan baik ekonomi, politik dan social budaya, akan berpengaruh terhadap kondisi psikologi seseorang. Bergesernya kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap cara pandang dan persepsi masyarakat akan sesuatu. Apa yang dikatakan “bagus” menurut masyarakat saat ini, belum tentu bagus untuk masa yang akan datang. Namun, hasil survey diatas setidaknya bisa dijadikan hipotesis yang perlu diuji kebenaranya. Hipotesis ini menunjukan bahwa masyarakat tengah mengalami perubahan politik dimana preferensi politik mereka semakin independen. Hal ini tidak terlepas dari hasil proses pembelajaran selama satu decade selama reformasi bergulir. Terbukanya saluran komunikasi lewat banyaknya media yang tersedia, pada akhirnya memberikan imbas kepada masyarakat untuk lebih terbuka dengan linngkunganya dan tidak mudah untuk ditarik-tarik oleh beberapa kelompok untuk kepentingan tertentu33

Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa mansyarakat mulai mempunyai kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkunganya sebagai hasil interaksi inderawi dengan lingkungan yang ada. Masyarakat Indonesia saat ini seperti yang dikatakan oleh teori behaviourismenya Ivan Pavlou. Dalam teori tersebut, Pavlou membuat rumusan dengan apa yang dia sebut sebagai Classical Conditioning. Teori ini mengatakan bahwa terjadinya perubahan perilaku dapat diakibatkan oleh rangsangan (stimulus) yang tidak berkondisi atau bersyarat yang disebut dengan unconditioned stimulus atau dapat juga dikatakan dengan rangsangan alamiah. Disisi lain, teori ini juga mengatakan perubahan perilaku dapat pula diakibatkan oleh rangsangan terkondisi atau bersyarat (conditioned stimulus).

Kedua proses tersebut (alamiah dan terkondisi) merupakan fenomena yang ada .

33

Fatkhuri, MA, Pergeseran preferensi politik masyarakat,


(31)

dalam setiap kehidupan. Dalam kontek masyarakat Indonesia saat ini, adanya berbagai macam program tayangan di beberapa media seperti televisi, koran, majalah dan lain sebagainya merupakan bentuk proses belajar secara alamiah yang dilakukan masyarakat. Dengan menggunakan indra penglihatan dan pendengaran, masyarakat banyak mencerna stimulus dari luar yang tanpa sadar dari proses tersebut telah menghasilkan tambahan pengetahuan bagi mereka. Hal yang sama terjadi pada proses pembelajaran secara non alamiah. Menjamurnya berbagai macam program pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan pemerintah, LSM, dan partai politik merupakan contoh nyata proses pembelajaran secara terkondisi dan bersyarat. Dari sini masyarakat akan banyak mendapatkan input sehingga berpengaruh terhadap cara berfikir mereka.

Disadari ataupun tidak, hasil proses pembelajaran tersebut pada akhirnya memperkokoh tiang independensi masyarakat. Dan tentu ini merupakan dampak positif dari transisi demokrasi di Indonesia. Ekses dari pendidikan baik secara alamiah maupun tidak, bisa kita lihat dari realitas bahwa, saat ini masyarakat kita tidak gampang di ombang-ambingkan oleh berbagai macam bentuk proses pencitraan yang dilakukan oleh berbagai elemen terutama partai politik, yang pada saat sekarang sedang gencar-gencarnya membangun citra positif dimata rakyat menjelang pemilihan legislatif dan presiden 2009.

Dengan kata lain, masyarakat sudah mulai cerdas dan mandiri dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya. Masyarakat tidak mudah untuk dipengaruhi apalagi dengan jargon-jargon yang tidak jelas jeluntrungnya. Apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah bukan narasi besar, melainkan aksi-aksi nyata elit-elit politik dalam rangka mendorong perubahan hidup masyarakat kearah yang lebih baik. Masyarakat sudah capai dan jenuh dengan permainan elit. Mereka tidak lagi mau


(32)

dibodohi dengan janji-janji semu, yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Inilah kenyataan yang harus di waspadai oleh partai-partai politik saat ini. Partai-partai harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam mempengaruhi masyarakat. Karya nyata yang ditunjukkan oleh individu yang langsung berkarya dalam kehidupan masyarakat lewat kerja-kerja yang populis seperti peningkatan/ usaha pertanian, dll ternyata memberikan dampak nyata terhadap perubahan preferensi politik masyarakat. Masyarakat tidak lagi melihat individu itu sebagai orang yang mempunyai catatan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Akan tetapi masyarakat melihatnya bahwa individu itu adalah seorang figur yang telah mencurahkan hidupnya bagi nasib kaum kecil di Indonesia.

Begitupun sebaliknya, partai politik yang selama ini dengan tegas mengklaim partainya orang kecil, pada kenyataanya dengan mudah di geser oleh partai yang mengusung calon yang berdedikasi tadi. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat tidak lagi doyan dengan dagangan janji, slogan dan semacamnya, akan tetapi dedikasi elit terhadap keberpihakan orang kecillah yang menjadi tonggak keberhasilan dalam mempengaruhi preferensi masyarakat. Kenyataan ini juga mengindikasikan bahwa preferensi politik masyarakat saat ini tidak lagi jatuh pada mainstream ideologi dan kharisma. Perubahan pola pikir masyarakat dalam menilai parpol atau individu/ calon tersebut semakin memperkuat argumen bahwa ideologi dan kharisma tidak lagi sebagai faktor yang paling fundamental dalam proses mempengaruhi pilihan pemilih.

1.5.6 Pemilihan Umum Kepala Daerah I.5.6.1 Perspektif Teoritis

David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya


(33)

tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.

Sebagai suatu sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian tersebut adalah Electoral Regulation, Electoral Process, dan Electoral Law Enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan kepala daerah yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan kepala daerah yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga bagian ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses pemilihan kepala daerah.

Sebagai suatu sistem, pemilihan kepala daerah memiliki ciri-ciri yakni bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan subsistem, masing-masing kegiatan saling terkait dan tergantung dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme kontrol, dan mempunyai kemampuan mengatur dan meyesuaikan diri.

I.5.6.2 Perspektif Praktis

Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang berfungsi sebagai perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Istilah jabatan publik


(34)

mengandung arti bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, berdampak kepada rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat. Jabatan politik bermakna bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang melibatkan elemen politik, yaitu rakyat dan partai politik. Pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, ataupun Walikota/ Wakil Walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai politik dan calon kepala daerah.34

Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada keluarnya Undang-Undang No.18/1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. dalam Undang-Undang No.18/1965, bertolak belakang dengan Undang-Undang No.1/1957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia Serikat) menjadi sistem kesatuan. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah.

I.5.6.3 Sejarah Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Indonesia

35

34

Joko J. Priatmoko, Op.Cit., h. 200-203 35

Ibid, hal 61.

Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah


(35)

merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati atau walikota.

Pemerintahan Orde Baru menerbitkan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD.

Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerja sama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati.36

Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Undang-Undang ini menimbulkan perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah. perubahannya tidak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah UU ini diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis.

36


(36)

Menurut UU No.22 Tahun 1999, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.37

UU No.22 Tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No. 22 Tahun 1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi.

Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. UU No.22 Tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berbeda dengan di masa-masa sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama-nama calon kepala daerah dan kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon-calon tersebut. Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang-undang ini, sistem rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok-kelompok sosial dalam rangka menciptakan opini publik.

38

37

Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang, 2005., hal 75.

38

Ibid., hal 97 – 98.

Untuk menggantikan UU No.2 Tahun 1999, ditetapkanlah UU No.32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas undang-undang tersebut, kemudian


(37)

pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.3/2005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.6/2005 tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.17/2005. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya.

Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam UU No.32 Tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) UU No.32 Tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang-undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Revisi UU No.32 Tahun 2004 melahirkan UU No.12 Tahun 2008. UU No.12 Tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap UU No.32 Tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-Undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. Dimana didalam undang-undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah langsung, yaitu yang tertulis di dalam UU No.12 Tahun 2008.


(38)

I.5.6.4 Landasan Hukum Pemilukada

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, Pasal 1 ayat 1 berbunyi : “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah”.

Menurut UU Pilkada No.32 Tahun 2004, setiap calon yang diusung oleh sebuah Partai ataupun gabungan Partai harus memiliki jumlah kursi sebanyak 15% di DPRD Kabupaten/ Kota. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 2008 Pasal 59 (sebagai revisi UU No.32 Tahun 2004), maka proses pencalonan pasangan calon tidak hanya dari jalur Partai Politik melainkan dapat juga melalui jalur independen (perseorangan). Oleh sebab itu, berdasarkan Undang-undang itu maka calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan sebanyak 5% dari jumlah penduduk dengan bukti KTP. Dengan dibukanya jalur perseorangan ini, maka suasana politik di kabupaten ini akan semakin memanas karena ada lebih delapan pasangan calon (5 calon yang diusung partai politik dan 3 calon perseorangan) yang akan bertarung dalam Pemilukada Batubara 2008 ini.

1.6 Definisi Konsep

Definisi konsep adalah kata- kata yang merupakan unsur- unsur umum abstrak yang ditarik dari berbagai fenomena berbeda.39

39

Mary Grisez Kweit dan Robert W. Kwiet. Op.Cit. Hal 243

Dalam kaitannya dengan judul yang diangkat yaitu perilaku pemilih di Kecamatan Lima Puluh pada pemilukada Batubara 2008, maka yang menjadi konsep penelitian ialah:


(39)

1. Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih ialah tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada kegiatan pemilu. Tingkah laku individu ini kemudian secara umum dipengaruhi oleh tiga pendekatan yaitu:

a. Pendekatan sosiologis, pendekatan sosiologis dalam menganalisis perilaku pemilih menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferensi pemberian suara di kotak pemilihan merupakan produk dari karakteristik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya.

b. Pendekatan psikologis, pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons psikologis. Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri.

c. Pendekatan pilihan rasional, pendekatan pilihan rasional dalam menganalisa perilaku pemilih merupakan produk dari kalkulasi untung rugi. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungin muncul dari pilihan- pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya.

2. Calon Perseorangan

Calon perseorangan adalah individu yang berasal dari suatu kelompok masyarakat yang mencalonkan diri dalam pemilukada atau dengan kata lain individu ini tidak diusung oleh partai pemilu. Calon perseorangan harus


(40)

terlebih dahulu memenuhi syarat untuk mencalonkan diri yaitu harus mengumpulkan dukungan sebanyak 5% dari jumlah penduduk dengan bukti KTP. Syarat ini berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 2008 Pasal 59 (sebagai revisi UU No.32 Tahun 2004), maka proses pencalonan pasangan calon tidak hanya dari jalur Partai Politik melainkan dapat juga melalui jalur independen (perseorangan).

3. Pemilukada

Pemilukada adalah Pemilihan umum langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah, dilakukan secara langsung oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut dan didasarkan pada UU No.12 Tahun 2008 dan UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dimana penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan agar mampu melahirkan kepemimpinan daerah yang efektif dengan memperhatikan prinsip-demokrasi, persamaan, keadilan, dan kepastian hukum dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.7 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan diukur secara empiris.40

1. Perilaku Pemilih

Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini adalah:

a. Pendekatan sosiologis dengan indikator; pendidikan, ras, agama, pekerjaan,

b. Pendekatan psikologis dengan indikator; kedekatan emosional dengan kandidat, keterlibatan dengan partai pendukung kandidat,

c. Pendekatan pilihan rasional dengan indikator; kepercayaan terhadap visi dan misi yang ditawarkan kandidat, adanya unsur materi/ jabatan yang diperoleh jika memilih kandidat, rekam jejak dari kandidat.

40 Ibid.


(41)

2. Calon Perseorangan

Calon perseorangan yang mengikuti Pemilukada Batubara 2008 adalah : 1. Parlindungan Sinaga, SH (Bupati)

Muhammad Nur Ali, S.A.g (Wakil bupati) 2. OK. Arya Zulkarnaen, SH, MM (Bupati)

Drs. H. Gong Matua Siregar (Wakil Bupati) 3. Drs. Ibrahim Usman (Bupati)

H. Ahmad Yusro, SH (Wakil Bupati)

I.8 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian adalah semua asas, peraturan, teknik-teknik yang perlu

diterapkan dan diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan analisis data.41

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Dengan tujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul didalam masyarakat yang menjadi objek penelitian.

Pembahasan langkah prosedural yang dapat digunakan untuk mencapai sarana dan tujuan penelitian harus memasukkan pembenaran atas metode yang dipilih dan harus memperlihatkan kesesuaian antara tujuan, metode, dan sumber daya yang tersedia. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:

I.8.1 Jenis Penelitian

42

Penelitian deskriptif memiliki dua tujuan, antara lain: Pertama, mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena tertentu. Kedua, untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu.43

41

Dolet Unaradjan, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, PT. Grafindo, Jakarta, 2000., hal 1. 42

Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Formula – Formula Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya, Airlangga University Press, 2001., hal 48.

43


(42)

I.8.2 Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi pada penelitian ini adalah seluruh daerah Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara.

I.8.3 Populasi Dan Sampel I.8.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditetapkan kesimpulannya. Populasi mempunyai lambang (N).44

Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Dalam penelitian ini penulis menetapkan sampel dari 35.749 pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya menjadi 14.749 pemilih yang memilih pasangan OK. Arya Zulkarnain, SH, MM-Drs. H. Gong Matua Siregar. Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin untuk meneliti semua yang ada dipopulasi sehingga dalam hal ini dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Untuk itu sampel diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).

Dalam hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang telah memiliki hak suara (pemilih) didalam pemilihan kepala daerah pada Kecamatan Lima Puluh yaitu berjumlah 85.052 orang. Jika diperkecil kembali menjadi lebih spesifik berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) jumlah total pemilih yang menggunakan hak suaranya adalah 35.749 dari 27 Desa/ Kelurahan.

I.8.3.2 Sampel

45

44

Husein Umar, Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 65 45

Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV Alfabeta, 2006, h. 56

Karena populasi yang bersifat heterogen atau tidak homogen, maka pada teknik penarikan sampel menggunakan Teknik Proportionate Stratified Random


(43)

Sampling yakni populasi yang mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10%,46

n =

N (d2) + 1

Dimana ;

n = Jumlah besarnya sampel N = Jumlah Populasi

d = Presisi Maka,

14.749

disebabkan jumlah populasi cukup besar yaitu 14.749 orang maka adapun rumus yang digunakan untuk menentukan dan pengambilan sampel adalah rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane,

N

n =

14.749 (0,1)2 + 1 14.749 n =

147,49 + 1

14.749

n =

148,49

n = 99,32 digenapkan menjadi 99 Sampel

Maka jumlah sampel penelitian ini adalah 99 orang. Sedangkan untuk menentukan responden yang akan dijadikan sampel penelitian adalah 99 orang dari

46


(44)

desa, Penulis menggunakan teknik sampling acak proporsional dan sampelnya dinamakan sampel acak proporsional. Dengan rumus sebagai berikut:

n1 x n n =

N dimana:

n1 = jumlah populasi tiap Desa / Kelurahan n = jumlah sampel pada populasi awal N = jumlah populasi keseluruhan

Contoh penentuan sampel Desa / Kelurahan adalah sebagai berikut:

No Desa

Populasi Desa / Kelurahan

Penarikan Sampel

Sampel

1. Mangkai Baru 412 412 x 99

14.749

3

2. Mangkai Lama 458 458 x 99

14.749

3

3. Lima Puluh Kota 807 807 x 99

14.749

5

4. Perkebunan Dolok 128 128 x 99

14.749

1

5. Sumber Padi 521 521 x 99

14.749

3

6. Perkebunan Limau Manis 76 76 x 99

14.749

1

7. Antara 373 373 x 99

14.749

3

8. Perkebunan Kwala Gunung 64 64 x 99

14.749

0

9. Kwala Gunung 329 392 x 99

14.749

3

10. Cahaya Pardomuan 57 57 x 99

14.749

0

11. Simpang Dolok 421 421 x 99

14.749

3

12. Empat Negeri 565 565 x 99

14.749

4

13. Perkebunan Lima Puluh 341 341 x 99

14.749


(45)

14. Sumber Makmur 217 217 x 99 14.749

1

15. Perkebunan Tanah Gambus 747 747 x 99

14.749

5

16. Perkebunan Itam Ulu 364 364 x 99

14.749

2

17. Lubuk Besar 420 420 x 99

14.749

3

18. Pulau Sejuk 460 460x 99

14.749

3

19. Air Hitam 735 735x 99

14.749

5

20. Guntung 786 786x 99

14.749

5

21. Pematang Panjang 847 847 x 99

14.749

6

22. Bulan – Bulan 1415 1415 x 99

14.749

9

23. Perupuk 1447 1447x 99

14.749

10

24. Gambus Laut 865 865 x 99

14.749

6

25. Lubuk Cuik 505 505 x 99

14.749

3

26. Tanah Itam Ilir 257 257 x 99

14.749

2

27. Simpang Gambus 1132 1.132 x 99

14.749

8


(46)

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang diperlukan oleh peneliti adalah:

1. Dengan menggunakan data primer yakni melalui penyebaran angket atau kuesioner dan wawancara dengan pedoman daftar pertanyaan terstruktur yang ditujukan kepada masing-masing responden.

2. Dengan menggunakan data sekunder yakni melakukan studi pustaka atau dokumen dari Kantor KPU Batu Bara dan Kantor Kecamatan Lima Puluh.

I.8.5 Teknik Analisis Data

Penelitian ini bersifat kuantitatif format deskriptif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif. Data-data yang telah dikumpul, baik data sekunder maupun data yang diperoleh dari lapangan yang akan diekspolasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

I.9 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini menggambarkan susunan dan dijabarkan tetapi rencana penulisan atau bentuk fisik hasil penelitian. Sehingga dapat mempermudah isi dan skripsi ini, maka penulis membagi ke dalam 4 (empat) bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut:


(47)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai gambaran secara umum Kecamatan Lima Puluh seperti sejarah, letak geografis, batas wilayah, dan mengenai demografis penduduk.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini memuat penyajian data dan analisa data yang diperoleh dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden. Data tersebut disajikan dan dianalisa sesuai dengan karakteristik responden dan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi politik pemilih.

BAB IV : PENUTUP


(48)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

II.1 Sejarah dan Latar Belakang II.1.1 Kabupaten Batubara

Kabupaten Batu Bara adalah salah satu tanggal bersamaan dengan dilantiknya Penjabat Nasution, S.H. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari dan beribukota di dari 16 kabupaten dan kota baru yang dimekarkan pada dalam kurun tahun

Kabupaten Batubara merupakan pemekaran dari dimana tujuh kecamatan di Kabupaten Asahan dikurangi dan dipindahkan wilayahnya menjadi wilayah kabupaten Batubara. Batu Bara berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka.

Kabupaten Batu Bara menempati area seluas 90.496 Ha yang terdiri dari 7 Kecamatan serta 100 Desa/ Kelurahan Definitif. Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan, daerah Lima Puluh merupakan kecamatan terluas dengan luas wilayah mencapai 239,55 Km² atau 26,47 persen dari luas total Batu Bara. Sedangkan Kecamatan Medang Deras merupakan wilayah terkecil dengan luas 65,47 Km² atau 7,23 persen dari luas total Batu Bara.47

47

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Batu_Bara


(49)

Dengan disahkannya Rancangan Undang-Undangan Pembentukan Kabupaten Batu Bara melalui Usul Inisiatif Pemerintah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonedsia pada tanggal 7 Desember 2006 di Jakarta selanjutnya diundangkan menjadi UU No.5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Batu Bara di Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No.7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4681) maka harus dipikirkan secara konsepsional, strategis dan taktis untuk pengelolaan pemerintah baru serbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat menuju taraf hidup yang lebih baik.

Nama Batu Bara (Batubahara) telah tercantum dalam literatur di abad ke-16 “Membayar upeti kepada Raja Haru.” Laporan utusan Pemerintah Inggris dan Penang John Anderson telah mengunjungi Batu Bara pada tahun 1823 dalam bukunya “Mission To The East Coast Of Sumatra”.

Konsekuensi lebih lanjut dari keinginan dan niat mewujudkan Kabupaten Batu Bara adalah tanggung jawab yang diemban penggagas pemekaran untuk bisa menempatkan pola fikir masyarakat pada posisi yang lebih maju. Tanggung jawab dimaksud berkenaan dengan pencerahan pemikiran seluruh masyarakat di tujuh kecamatan, merubah pemikiran awam masyarakat melalui paparan-paparan logis yang nantinya diharapkan melahirkan semangat baru untuk membangun diri, tidak hanya berpasrah terhadap kebijakan-kebijakan sepihak oleh kelompok penguasa jika sifatnya merugikan masyarakat banyak.

Partisipasi dari segenap lapisan masyarakat Batu Bara sekaligus sebagai stakeholder harus diapresiasikan sebagaimana yang terpancar dalam semangat

http://bappeda.batubarakab.go.id/component/content/article/50-selayang-pandang/111-sejarah-singkat


(50)

masyarakat Batu Bara dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang terkandung

dalam adat istiadat dan budaya masyarakat Batu Bara.48

II.1.2 Batas Wilayah

Lambang Kabupaten Batu Bara

Peta lokasi Kabupaten Batu Bara

48

http://bappeda.batubarakab.go.id/component/content/article/50-selayang-pandang/112-latar-belakang


(51)

Dasar hukum

Tanggal Pemekaran

Pemerintahan : Bupati OK Arya Zulkarnaen SH MM

: Rp. 386.180.939.000,-

Luas : 922,20 km2

Populasi : 374.715 jiwa

Kepadatan : 406,33 jiwa/km2

Demografi Pembagian administrative

- : 7

- : 98 / 7

II.1.3 Demografi Penduduk II.1.3.1 Wilayah Administratif

Wilayah Administrasi pemerintahan Kabupaten Batu Bara terdiri dari 7 kecamatan, 93 desa dan 7 kelurahan yang terdiri dari 1 desa swadaya mula, 25 desa swakarya mula, 6 swakarya madya, 62 desa swasembada mula dan 6 desa swasembada madya yang seluruhnya telah definitif. Dari 100 kepala desa atau lurah, 9 diantaranya dikepalai oleh perempuan atau sekitar 9 persen.

Kecamatan :

Limapuluh


(52)

II.1.3.2 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Batu Bara keadaan Bulan Juni Tahun 2008 diperkirakan sebesar 380.570 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 421 jiwa per km2. Sebagian besar penduduk bertempat tinggal di daerah pedesaan yaitu sebesar 77,11 persen dan sisanya 22,89 persen tinggal di daerah perkotaan. Jumlah rumah tangga sebanyak 85.364 rumah tangga dan setiap rumah tangga rata-rata dihuni oleh sekitar 4,5 jiwa, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2008 sebesar 1,80 persen. Jumlah penduduk laki-laki pada tahun 2008 lebih sedikit dari penduduk perempuannya dengan persentase sebesar 49,90 persen dengan rasio jenis kelamin sebesar 96,47 yang artinya dari 100 penduduk perempuan terdapat kira-kira 99 penduduk laki-laki. Bila dilihat per kecamatan maka Kecamatan Lima Puluh merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar dengan tingkat persebaran penduduk sebesar 22,85 persen sedangkan Kecamatan Sei Balai adalah yang terkecil yaitu 7,63 persen. Untuk Kecamatan terpadat urutan pertama adalah Kecamatan Medang Deras dengan kepadatan mencapai 705 jiwa per km2 disusul dan yang terjarang adalah Kecamatan Sei Suka yaitu 311 jiwa per km2. Dilihat dari kelompok umur, persentase penduduk usia 0-14 tahun sebesar 36,26 persen, 15-64 tahun sebesar 59,90 persen dan usia 64 tahun ke atas sebesar 3,84 persen yang berarti jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan penduduk usia non-produktif dengan rasio beban ketergantungan sebesar 66,94 artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif


(53)

menanggung sekitar 67 orang penduduk usia non-produktif.

Penduduk Batu Bara yang menganut agama Islam pada tahun 2008 sebesar 85,37 persen, Katolik sebesar 2,27 persen, Protestan sebesar 11,59 persen, Budha sebesar 0,74 persen dan Hindu sebesar 0,04 persen. Untuk suku bangsa yang terbanyak adalah Jawa sebesar 39,34 persen kedua suku Melayu sebesar 37,99 persen dan urutan ketiga adalah suku Batak sebesar 18,44 persen sedangkan sisanya adalah suku Minang, Banjar, Aceh dan lainnya.49

Limapuluh adalah sebuah

II.2 Kecamatan Lima Puluh

Batubara yang baru.

Pemerintahan :

Luas : 239,55 km²

Jumlah penduduk : 85.527 jiwa

Kepadatan : 357 jiwa/km²

: 20/ 7

49

http://bappeda.batubarakab.go.id/component/content/article/43-profil-daerah/90-kondisi-geografis


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Kartini, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996.

Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung:

Fokusmedia, 2007.

Yudhoyono, Bambang, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

2001.

Nasution, M.Arif, Nasionalisme dan Isu-Isu Lokal, Medan:USU Press,

2005.

Juliantara, Dadang, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan,

2004.

Sastroatmodjo, Sudijono, Perilaku Politik. Semarang, IKIP Semarang

Press, 1995.

Duverger, Maurice, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982.

Gosnell, Harol. F, Edwin R. A Salignan dan Alvin Johnson, Encyclopedia

of Social Science, Vol. 15. New York: The Macmillan Co,

1934.

Hutington, Samuel P, dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara

Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Plano, Jack C, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin, Kamus Analisa

Politik, Jakarta: C.V. Rajawali Press, 1985.

Gaffar, Afan, Javanese Voters: a Case Study of Election under a

Hegemonic Party System, Yogyakarta: Gajah Mada University


(2)

Firmanzah, Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa

Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Malang:

Averroes Press, 2005.

Unaradjan, Dolet, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: PT.

Grafindo, 2000.

Bungin, Burhan, Metode Penelitian Sosial, Formula – Formula Kuantitatif

dan Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press, 2001.

Mardalis, Drs, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Umar, Husein, Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2003.

Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV Alfabeta, 2006.

Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989.

Budiardjo, Miriam., Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1992.

Zainuddin, A.Rahman, Antara Politik dan Moral, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, Jurnal Ilmu Politik 16, 1996.

Mars, David dan Gaerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik,

Bandung: Nusa Media 2002.

Ridwan, Asep, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di


(3)

Kutipan

Sulhardi, Political Psycology Socialization, and culture,

http://pangerankatak.blogspot.com/

2008/04/governing-intoduction-to-political, 28 April 2008

Fatkhuri, MA, Pergeseran preferensi politik masyarakat,


(4)

Lampiran

K U E S I O N E R

Petunjuk Pengisian

1. Bacalah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan teliti!

2. Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Anda paling tepat dengan

sebenar-benarnya (jujur), dengan cara memberi tanda silang (x) atau lingkaran (O) pada pilihan yang disediakan!

3. Data hasil jawaban kuesioner hanya untuk kepentingan penelitian saja. Data Responden

Nama : ____________________________

Umur : ____________________________

Jenis Kelamin : ____________________________

Agama : ____________________________

Pendidikan : ____________________________

Pekerjaan : ____________________________

Alamat : ____________________________

Pertanyaan

1. Sebelum pemilihan umum kepala daerah, apakah anda mengetahui kapan Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008 diadakan?

a. Tahu b. Tidak tahu

2. Apakah anda mengetahui kapan masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008 diadakan?

a. Tahu b. Tidak tahu

3. Pada masa kampanye sebelum Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008 berlangsung, Apakah anda pernah ikut dalam kegiatan kampanye?

a. Ya b. Tidak

4. Kegiatan kampanye siapa siapa yang anda ikuti? ___________________________

5. Kegiatan kampanye seperti apa yang anda ikuti?

a. Kampanye terbuka (di lapangan terbuka, pawai, konvoi)

b. Kunjungan pribadi (berbicara langsung dengan caleg atau utusan partai politik) c. Diskusi tidak resmi (di warung, kelompok doa)

d. Pembagian bantuan (sembako, pembangunan sarana umum)

e. _________________________

6. Sebelum Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008 berlangsung, apakah anda pernah datang ke Kantor Kecamatan, Kantor Kepala Desa, Ketua RT, atau tempat lainnya untuk memeriksa bahwa nama anda tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)?

a. Pernah datang dan terdaftar b. Pernah datang dan tidak terdaftar c. Tidak pernah

7. Menurut anda bagaimana cara memilih yang benar pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008 ?

a. Mencontreng satu nama atau nomor calon b. Mencoblos satu nama atau nomor calon

c. Mencontreng satu tanda gambar atau nomor partai d. Mencoblos satu tanda gambar atau nomor partai

e. Mencontreng atau mencoblos partai dan calon dari partai yang berkesesuaian


(5)

berkesesuaian

g. Mencontreng atau mencoblos di luar kotak gambar partai dan atau diluar kotak nama calon

h. ______________________________________

8. Apakah anda mengetahui bahwa calon perseorangan (independen) ikut serta dalam Pemilihan Kepala Daerah 2008?

a. Ya b. Tidak

9. Dari manakah anda mengetahui bahwa calon perseorangan (independen) boleh ikut serta dalam Pemilihan Kepala Daerah 2008?

a. Media cetak (koran, majalah, dll.) b. Media elektronik (TV, Radio) c. Baliho, poster, spanduk d. Kerabat (teman atau saudara)

e. _______________________

10. Apakah anda yakin bahwa Pemilihan Kepala Daerah ( Bupati/ Wakil Bupati ) 2008 lalu berlangsung jujur dan adil?

a. Yakin b. Tidak yakin c. Tidak Tahu

11. Apakah anda memilih atau tidak memilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008 lalu?

a. Memilih b. Tidak Memilih

12. Untuk Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008, apakah anda memilih salah satu calon bupati/ Wakil bupati?

a. Ya b. Tidak

13. Jika memilih calonbupati/ Wakil bupati sebelum Pemilihan Kepala Daerah ( Bupati/ Wakil Bupati ) 2008 berlangsung. Apakah anda mengetahui nama calon bupati/ Wakil bupati yang anda pilih?

a. Tahu b. Tidak tahu

14. Jika anda mengetahui nama calon bupati/ Wakil bupati yang anda pilih, dari manakah anda memperoleh informasi tentang calon tersebut?

a. Media cetak (koran, majalah, dll.) b. Media elektronik (TV, Radio) c. Baliho, poster, spanduk d. Kerabat (teman atau saudara)

e. _______________________

15. Apakah anda lebih menyukai calon bupati/ Wakil bupati yang berasal dari desa/ kelurahan anda atau bukan dari desa/ kelurahan anda?

a. Asli daerah b. Bukan asli daerah c. Sama saja

16. Apakah anda lebih menyukai calon bupati/ Wakil bupati yang berlatar belakang agama yang sama dengan anda?

a. Ya b. Tidak c. Sama saja

17. Apakah anda lebih menyukai calon bupati/ Wakil bupati yang berlatar belakang kesamaan suku dengan anda?


(6)

b. Tidak c. Sama saja

18. Apakah anda lebih menyukai calon bupati/ Wakil bupati yang berlatar belakang kesamaan jenis kelamin dengan anda?

a. Ya b. Tidak c. Sama saja

19. Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008, siapa nama calon yang anda pilih?

Jawab: ____________________________

20. Berasal dari partai politik manakah calon yang anda pilih dalam Pemilihan Kepala Daerah 2008?

a. Partai ____________________ b. Calon perseorangan atau independen c. Tidak tahu

21. Sebelum Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008, apakah anda mengetahui visi-misi calon bupati/ Wakil bupati yang akan anda pilih?

a. Tahu b. Tidak tahu

22. Jika anda mengetahui visi-misi calon bupati/ Wakil bupati yang anda pilih, dari manakah anda memperoleh informasi tentang visi-misi calon bupati/ Wakil bupati tersebut?

a. Media cetak (koran, majalah, dll) b. Media elektronik (TV, Radio) c. Baliho, poster, spanduk d. Kerabat (teman atau saudara)

e. ______________________

23. Apa alasan anda memilih calon bupati/ Wakil bupati tersebut? a. Figur

b. Program terbukti (sembako, pembangunan jalan, rumah ibadah, dll) c. Usulan program (janji-janji)

d. Bersih (tidak terlibat kasus korupsi) e. I kut-ikutan

f. Berpengalaman

g. _______________________

24. Apakah anda yakin dengan pilihan anda dalam Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/ Wakil Bupati) 2008 lalu?

a. Yakin b. Tidak Yakin c. Tidak tahu


Dokumen yang terkait

Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 51 95

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

2 70 105

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Etnisitas dan Perilaku Politik : Studi Kasus: Preferensi Politik Masyarakat Etnis Batak Toba Pada pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Karo 2005

1 48 97

Preferensi Politik (Studi Tentang Perilaku Pemilih di Lingkungan IV Kelurahan Perkebunan Sipare-Pare pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati) Tahun 2008)

3 43 89

PENGARUH ORIENTASI POLITIK TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA SISWA SLTA PADA PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KABUPATEN CIANJUR TAHUN 2011.

1 7 59

Pengaruh Kesadaran Politik terhadap Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Tahun 2015 (Studi terhadap perilaku pemilih di Desa Kepoh, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali).

0 0 17

BAB IV PARTISIPASI POLITIK CALON PEMILIH PEMULA TERHADAP PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DESA, DESA MANUNGGAL KECAMATAN LABUHAN DELI KABUPATEN DELI SERDANG A. Partisipasi Politik Calon Pemilih Pemula Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa, Desa Manunggal

0 0 6

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

0 8 45

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

0 0 10