Perspektif Praktis Sejarah Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Indonesia

tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai bagian- bagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian tersebut adalah Electoral Regulation, Electoral Process, dan Electoral Law Enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan kepala daerah yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan kepala daerah yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga bagian ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses pemilihan kepala daerah. Sebagai suatu sistem, pemilihan kepala daerah memiliki ciri-ciri yakni bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan subsistem, masing-masing kegiatan saling terkait dan tergantung dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme kontrol, dan mempunyai kemampuan mengatur dan meyesuaikan diri.

I.5.6.2 Perspektif Praktis

Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang berfungsi sebagai perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Istilah jabatan publik Universitas Sumatera Utara mengandung arti bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, berdampak kepada rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat. Jabatan politik bermakna bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang melibatkan elemen politik, yaitu rakyat dan partai politik. Pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati, ataupun Walikota Wakil Walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai politik dan calon kepala daerah. 34 Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada keluarnya Undang-Undang No.181965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. dalam Undang-Undang No.181965, bertolak belakang dengan Undang-Undang No.11957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi Republik Indonesia Serikat menjadi sistem kesatuan. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah.

I.5.6.3 Sejarah Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Indonesia

35 34 Joko J. Priatmoko, Op.Cit., h. 200-203 35 Ibid, hal 61. Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah Universitas Sumatera Utara merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati atau walikota. Pemerintahan Orde Baru menerbitkan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok- pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD. Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerja sama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati. 36 Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Undang-Undang ini menimbulkan perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah. perubahannya tidak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah UU ini diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis. 36 Ibid, hal 65. Universitas Sumatera Utara Menurut UU No.22 Tahun 1999, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. 37 UU No.22 Tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No. 22 Tahun 1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi. Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. UU No.22 Tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berbeda dengan di masa-masa sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama-nama calon kepala daerah dan kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon-calon tersebut. Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang-undang ini, sistem rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok-kelompok sosial dalam rangka menciptakan opini publik. 38 37 Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang, 2005., hal 75. 38 Ibid., hal 97 – 98. Untuk menggantikan UU No.2 Tahun 1999, ditetapkanlah UU No.32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas undang-undang tersebut, kemudian Universitas Sumatera Utara pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No.32005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.62005 tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.172005. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam UU No.32 Tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan kekurangan UU No.32 Tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang-undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Revisi UU No.32 Tahun 2004 melahirkan UU No.12 Tahun 2008. UU No.12 Tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap UU No.32 Tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-Undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. Dimana didalam undang-undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah langsung, yaitu yang tertulis di dalam UU No.12 Tahun 2008. Universitas Sumatera Utara

I.5.6.4 Landasan Hukum Pemilukada

Dokumen yang terkait

Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 51 95

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

2 70 105

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Etnisitas dan Perilaku Politik : Studi Kasus: Preferensi Politik Masyarakat Etnis Batak Toba Pada pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Karo 2005

1 48 97

Preferensi Politik (Studi Tentang Perilaku Pemilih di Lingkungan IV Kelurahan Perkebunan Sipare-Pare pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati) Tahun 2008)

3 43 89

PENGARUH ORIENTASI POLITIK TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA SISWA SLTA PADA PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KABUPATEN CIANJUR TAHUN 2011.

1 7 59

Pengaruh Kesadaran Politik terhadap Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Tahun 2015 (Studi terhadap perilaku pemilih di Desa Kepoh, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali).

0 0 17

BAB IV PARTISIPASI POLITIK CALON PEMILIH PEMULA TERHADAP PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DESA, DESA MANUNGGAL KECAMATAN LABUHAN DELI KABUPATEN DELI SERDANG A. Partisipasi Politik Calon Pemilih Pemula Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa, Desa Manunggal

0 0 6

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

0 8 45

Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

0 0 10