50 di bidang jasa maka informan ini sering berhadapan dengan orang-orang dari berbagai
suku bangsa oleh sebab, informan harus bisa menjalin hubungan interaksi yang baik yaitu dengan penguasaan bahasa pelanggannya sendiri. Dalam proses penguasaan
bahasa ini tidalah proses yang sulit baginya karena bahasa itu tumbuh dengan sendirinya tanpa melalui proses yang rumit melalui interaksi secara langsung dengan
pelanggan.
4.2.17. Jimmy Tarigan
` Jimmy Tarigan lahir di Tanah Karo, 12 September 1980.. Pendidikan terkhir
SMU. Berdomisili di Jalan Kartini, dalam kegiatan sehari-harinya sebagai penjaga di Toko Mas L. Tarigan. Dalam hal penguasaan bahasa informan fasih menggunakan tiga
bahasa yaitu Bahasa Karo, Toba dan Simalungun. dalam hal penguasaan bahasa ini maka informan memahami dan mengerti adalah melalui proses pergaulan sehari-
harinya dengan tema-teman pergaulan sehari-harinya yang datang dari berbagai suku. Dalam hal penguasaan proses adapatasi bahasa maka informan hanya membutuhkan
waktu 8 bulan saja.
4.3. PEMBAHASAN PENELITIAN 4.3.1. Kekerabatan pada Masyarakat Saribudolok
Dalihan Na Tolu merupakan identitas etnis Batak. Dalam buku “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” ditulis J.C Vergouwen menyebutkan, Dalihan Na Tolu
adalah unsur kekerabatan warga masyarakat Batak. Maka setiap sub-etnis Batak memilikigaris penghubung satu sama lain.
Dalihan Na Tolu dari sisi bahasa berarti tungku yang berkaki tiga, saling menyokong. Dilima sub-etnis Batak; Karo, Pakpak, Simalungun, MandailingAngkola,
Universitas Sumatera Utara
51 Toba. Dalihan Na Tolu memiliki persamaan. Toba; Dongan Sabutuha, Hulahula, Boru.
Sedangkan Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan; yang berarti Tondong Toba=Hula-hula, Sanina Dongan Sabutuha, Boru boru.
Sementara di Karo menyebut, Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Istilah Daliken Sitelu berarti tungku yang tiga. Daliken berarti batu tungku, sementara Si samadengan
Telu tiga. Menunjuk pada esensi kehidupan sehari-hari. Yang juga mengambarkan ada ikatan setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut. Unsur Daliken
Sitelu ini adalah; Kalimbubu Toba;Hula-hula, Sembuyak atau Senina Dongan sabutuhaAnakBeruBoru.Lumbangaol2008
Masyarakat Kelurahan Saribudolok adalah suatu masyarakat yang terdiri dari 1365 kepala keluarga yang memiliki ikatan-ikatan persaudaraan dengan penduduk
lainnya masih tetap terpelihara. Aktivitas-aktivitas adat atau upacara-upacara lainnya sehingga dalam bermasyarakat penduduk membentuk perkumpulan-perkumpulan
marga. Selain itu terdapat juga Serikat Tolong Menolong STM yang bertujuan sebagai wadah masyarakat apabila diadakan kagiatan-kegiatan perkawinan, kematian
dan sebagainya. Organisasi pemuda-pemudi terbentuk dari gereja, yang bertujuan untuk membina muda-mudi yang ada di Kelurahan Saribudolok dan secara kekeluargaan
membantu para orangtua dalam kegiatan STM. Adanya organisasi sosial ini maka masyarakat akan lebih mudah berinteraksi
karena dalam organisasi misalnya seperti STM ini tempat bertemunya berbagai suku bangsa yang ada di Saribudolok. Iinteraksi dari berbagai suku bangsa ini maka akan
lebih mempermudah penguasaan bahasa dalam proses adaptasi Bahasa Simalungun, Karo dan Toba.
Universitas Sumatera Utara
52
4.3.2. Kehidupan Masyarakat Majemuk di Kelurahan Saribudolok
Masyarakat Kelurahan Saribudolok adalah masyarakat yang majemuk, yang berarti datang dari berbagai suku bangsa dan tentunya dari latar belakang pribadi suku
yang berbeda pula. Perbedaan pandangan setiap suku akan pribadi dan sifat suku masing-masing maka dalam interaksinya harus melakukan adaptasi khususnya
mengenai adaptasi bahasa yang berbeda. Untuk itu penulis akan menyajikan pandangan budaya suku bangsa Simalungun, Batak Toba dan Karo. Adapun pandangan tersebut
adalah:
4.3.2.1.Pandangan Suku Simalungun Tentang Kehidupan Bersama
Simalungun sebagai sebuah suku bangsa yang memiliki budaya tersendiri dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Dahulu kala wilayah Simalungun terbagai atas
beberapa kerajaan, satu suku yaitu kerajaan Simalungun. Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Simalungun tidak pernah menonjolkan sifat likalitas wilayah pusat
kerajaan itu, melainkan kesemuanya kerajaan itu dirasakan sebagai kerajaan-kerajaan orang Simalungun. Hal ini dapat diketahui dari literatur sejarah yang menerangkan
bahwa babakan sejarah di Simalungun yang dimulai dari berdirinya kerajaan Nagur yaitu sekitar abad V – XIII M Purba 1992. Setelah kerajaan Simalungun mengalami
babakan sejarah yang panjang yang ditandai dengan penguasaan Kesultanan Aceh atas wilayah Simalungun sekitar tahun 1350 samapai dengan tahun 1500 M. setelah itu
wilayah Simalungun terbagi-bagi atas kerajaan yang lebih kecil. Misalnya Kerajaan Girsang, dimana Kerajaan Girsang ini letaknya adalah di Silimakuta.
Masa kebersamaan Raja-Raja Simalungun yang pertama dikenal dengan Raja Maropat, Raja Maropat adalah kumpulan raja-raja di wilayah Simalungun yang
berkuasa atas wilaya-wilayah tertentu. Kebiasaan bekereja dalam ikatan Raja Simalungun juga terus berlanjut hingga masa Raja Napitu. Pada masa Raja Napitu,
Universitas Sumatera Utara
53 wilayah Simalungun terbagi atas delapan penguasaan raja yang membawahi suatu
wilayah kerajaan yang tidak terlalu besar. Kebiasaan masyarakat pada masa kerajaan-kerajaan Simalungun serta
masyarakat dari suku lain dilandasi kebiasaan hidup suku bangsa Simalungun yang dilandasi sebuah tata nilai yang terimpementasi dalam pandangan hidup Simalungun.
Tata nilai ini kemudian dijadikan pedoman oleh Masyarakat Simalungun dalam bergaul dengan sesama mereka dan kelompok diluar mereka.
Pandangan hidup Simalungun yang dapat dijumpai pada pustaka-pustaka peninggalan leluhur Simalungun yang sampai sekarang menjadi pedoman hidup
Simalungun adalah Habonaron Do Bona, yang artinya kebenaran adalah unsur segalanya bagi kehidupan Purba 1992 dalam sebuah tulisannya menceritakan bahwa
Falsafah Habonaron Do Bona ini merupakan nilai pedoman bagi masyarakat Simalungun untuk bertindak dalam setiap gerak langkah kehidupan mereka, baik itu
dalam sisi mata pencaharian hidup, bergaul, berkelurga dan bermasyarakat. Penghayatan dan praktek langsung petuah ini telah dibuktikan oleh orang-orang
Simalungun sejak dahulu kala yang ditandai dengan tidak adanya unsur penipuan, pencurian dan hal-hal buruk lainnya di Simalungun pada masa dulunya. Ungkapan lain
yang juga dikenal masyarakat simalungun yang menyangkut hidup bersama yang lebih sederhana dan sering didengarkan dalam Bahasa Simalungun berupa Rumah Siopat
Suhi, Balei silima mullisir, Atian harajaon atian habonaraon, huatas lang deng, hutaroh lang deng,, hot songon Palei ni rumah, jagian songon baekohni sopou,
Habonaron Do bona. Secara ringkas ungkpan ini berarti bahwa semua perbuatan itu
Universitas Sumatera Utara
54 harus didasari kejujuran, keadilan, tidak berat sebelah, saling memperindah satu sama
lain agar tercipta keindahan yang murni. Kejujuran yang diartikan oleh masyarakat Simalungun pada tahapan yang lebih
luas lagi ternyata tidak semata-mata menjadi pedoman untuk mengatur tatanan sosial Simalungun semata akan tetapi pengalamalan nilai ini juga berkembang pada asapek
hidup bersama dengan siapa dan suku-suku bangsa manapun. Kemampuan hidup bersama dengan suku bangsa lain seperti Batak Toba, Karo dan suku lainnya
menunjukkkan sifat keterbukaan suku bangsa simalungun. Hal ini senada juga yang diungkapakan oleh salah satu informan yang menyatakan;
“ Saya rasa…salah satu suku bangsa di SUMUT yang bisa menerima suku lain tanpa pernah menimbulkan gejolak adalah Simalungun. Ini kan
bisa dilihat di Saribudolok yang tidak pernah terjadi huru-hara atau perkelahian hanya karena suku saja. Tapi yang paling tampat itu
adalah……buktinya orang Simalungun yang ada di Saribudolok ini mau menerima suku lain dan menyapa pendatang itu dengan bahasa pendatang itu
sendiri….”wawancara 20 Januari 08 dengan bapak Kencana Karo-Karo
Menurut beberapa informan, keadaan yang menyebabkan suku bangsa Simalungun bisa menerima suku lainnya selalu didasarkan atas prinsip Habonaron atau
kejujuran. Selama suku bangsa lain tidak merusak, menyakiti dan memperlakukan suku bangsa Simalungun secara baik dengan tetap memperhatikan esensi kejujuran maka
selama itu pula suku-suku bangsa pendatang tersebut akan bisa diterima dengan mudah ditengah-tengah masyarakat Simalungun. Kejujuran dinyakini itu sendiri berarti berniat
yang benar, berbuat benar, berkehidupan yang benar dan berhati yang benar. Kondisi Simalungun yang bisa menerima suku bangsa lain sebetulnya merupakan
sebuah pengaruh besar dari migrasi suku bangsa lain ke daerah Kelurahan Saribudolok sebagai salah satu Kecamatan Simalungun secara langsung turut mempengaruhi pola
Universitas Sumatera Utara
55 kehidupan masyarakat Simalungun sendiri. Hal ini seiring dengan pendapat Aminuddin
yang menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu, salah satunya adalah untuk mempertahankan kelanggengan kelompok agar tidak mengarah
kepada konflik. Hasil Wawancara yang dilakukan pada informan diketahui bahwa pada dasarnya
Suku Simalungun adalah masyarakat yang hidup secara individual namun kekerabatnnya kuat dan masyarakat Simalungun dahulunya tidak kolektif. Seiring
dengan masuknya suku-suku ke daerah lain ke daerah Saribudolok pola hidup yang menyendiri itu menjadi kolektif. Walaupun demikian pandangan hidup Habonaron Do
Bona itu tetap menjadi pandangan hidup selama dalam bergaul dengan masyarakat pendatang. Selama prinsip kebenaran dan kejujuran itu tidak dilanggar oleh suku-suku
pendatang maka suku bangsa Simalungun akan selalu menerima suku bangsa tersebut tanpa pernah mempermasalahkan asal usulnya setidaknya hal yang seperti ini yang
ditunjukkan oleh masyarakat Kelurahan Saribudolok sendiri yang merupakan salah satu pusat kerajaan Simalungun yang samapai sekarang belum pernah terjadi peristiwa jelek
yang dilatarbelakangi sifat sentiment. Jika dilihat dari hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Simalungun
adalah berdasarkan pertalian darah dari garis keturunan ayah genologis patrinial dan pertalian perkawinan antara pihak pemberi gadis tondong dan para penerima gadis
boru. Setiap pria dan wanita orang Simalungun akan menarik garis keturunannya melalui garis keturunan ayah dengan memakai marga ayah, sehingga wanita harus
kawin dengan pria bermarga lain. Perkawinan satu marga sangat dilarang oleh aturan
Universitas Sumatera Utara
56 adat dan anak-anak dari perkawianan itu akan memakai marga dari suaminya Saragih,
1980: 16 Sistem kekerabatan terkecil pada suku bangsa Simalungun disebut jabu yang
merupakan suatu keluarga inti nuclear family terdiri dari bapa ayah, Inang Ibu dan anak-anak yang belum menikah. Kelompok kekerebatan yang luas extended family
dan jabu adalah sada Bapa, yaitu kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak laki- laki yang telah menikah dan tinggal dalam satu rumah dengan kedua orangtuanya.
Kelompok yang lebih luas dari sada Bapa adalah sada ompung yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari keluarga-keluarga beberapa pria yang satu lain pararel
causin. Anggota-anggota dari sada bapa atau satu ayah dan sada ompung atau atau kakek memiliki anak boru jabu yang sama sehingga dalam kegiatan adat anggota dari
kelompok kekerabatan sada ompung ini saling membantu. Adanya budaya orang Simalungun adalah aturan atau hukum yang harus dijaga
dan dipelihara selama masih hidup di bumi. Adat budaya diterima sebagai satu kewajiban agar perjalanan hidup pribadi keluarga serta masyarakat berjalan tertib dan
sejahtera. Beradat budaya maradat yang dimaksud menurut adat Simalungun agar tertib
berkerabat dan bermasyarakat yang mana ke semuanya itu diatur dalam Struktur Tolu Sahundulan dan Lima Saodoro. Hal ini disebabkan adat Budaya Simalungun sering
disebut adat budaya Tolu Sahundulan Lima Saodoran Unsur Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran merupakan kesatuan dari tiga
kelompok kekerabatan, yaitu Tondong pemberi istri, Sanina satu garis keturunan dan Boru pengambil Istri. Sedangkan Lima Saodoran terdiri dari ketiga kelompok
Universitas Sumatera Utara
57 kekerabatan tersebut di atas ditambah dengan tondong ni tondong tondong dan boru
ni boru yang disebut juaga Boru Mintori boru dari boru. Kedudukan ini sifatnya tidak statis dalam arti yang berperan sebagai tondong
tidak selamanya dalam setiap pesta adat dia tetap menjadi tondong, melainkan kedudukan itu bisa saja langsung berperan sebagi sanina atau peran sebagai boru,
demikian juga sebaliknya. Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran itu muncul karena adanya perkawinan
yang ditimbulakan oleh ikatan dan integrasi di antara pihak tersebut sehingga seolah- olah merupakan Dalihan Samangadop yang intinya tungku yang saling berhadapan dan
Lima Saodoran ini adalah berbeda-beda Kedudukan tondong dianggap sebagai penberi kebahagian, pemberi rejeki dan
pemberi berkat tertinggi sehingga harus dihormati. Tondong bertugas dan berkewajiban menyelesaikan apabila ada pertikaian dikeluarga seperti terlihat dalam ungkapan
“Tondong Aima Naibata Na Taridah“ Tondong adalah Tuhan yang Kelihatan. Rasa hormat kepada tondong juga tercermin dalam ungkapan hormat Martondong hormat
kepada pihak tondong Kedudukan sanina dianggap sebagai pembina persatuan. Sanina merupakan
orang yang semarga dengan pihak suhut penyelenggara adat dan hanya pada laki-laki saja. Kedudukan sanina sama dengan suhut. Oleh karena itu merupakan teman
sepenanggungan, sanina mempunyai tugas dan kewajiban dalam mengawasi pelaksanaan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh boru dan secara bersama-sama dalam
membiayai semua pelaksanaan kegiataan upacara adat bersama dengan pihak suhut.
Universitas Sumatera Utara
58 Kedudukan boru di tempatkan pada posisi di bawah tondong. Berdasarkan
kedudukannya , pihak tondong harus mengasihi dan membujuk borunya, hal ini tercermin dalam ungkapan “ elek marboru” yang berarti membujuk borunya. Tugas
dan kewajiban boru adalah mengatur pembicaraan dalam kegiatan adat, mempersiapkan hidangan konsumsi, menanggung biaya sementara dalam kegiatan adat
mengelesaikan masalah dan mengatur berbagai pertemuan atau acara kekeluargaan lainnya.
Tondong ni Tondong juga sangat dihormati oleh suhut, karena hubungan dengan tondong. Di dalam upacara adat perkawinan memberikan nasehat kepada kedua
pengantin dan turut mendapat jambar daging yang dipotong-potong untuk dibagikan kepada kerabat dekat
Kedudukan boru ni boru boru mintori dikaitkan dengan kedudukan boru karena pekerjaan sebagai parhobas petugas. Maka dalam kegiatan adat boru ni boru
yang harus membantu boru dalam setiap kegiatan, anak boru mintori adalah kelompok keluarga dari suami saudara perempuan yaitu keluarga atau saudaraipar. Seluruh anak
boru mintori secara bersama-sama mengatur dan melaksanakan ketentuan adat yang berlaku pada hasuhutan atau penyelenggara pesta atau pekerjaan. Memegang acara
sebagai protokol dan tatalaksana adat dari tondong. Disamping fungsi utama tersebut anak boru berhak atas jambar dan berkewajiban memberikan bantuan demi keperluan.
kelengkapan adat dalam pekerjaan tondong. Pihak tondong menempati tempat yang terhormat menurut formasi yang telah
ditentukan yaitu i luluan sebelah kiri dari pintu masuk rumah dan pihak anak boru. Duduk berhadapan dengan pihak tondong. Kelima fungsi tersebut bersama-sama
Universitas Sumatera Utara
59 menetapkan adat dan prosedur untuk dijalankan sebagai pedoman kerja pada
berjalannya upacara adat
4.3.2.2. Pandangan Suku Batak Toba Tentang Kehidupan Bersama
Suku bangsa apapun di dunia ini pasti memiliki nilai budaya yang tersendiri mengenai kehidupan mereka, demikian halnya dengan suku bangsa Batak Toba sebagai
sebuah suku yang juga menunjukkkan hal yang sama dimana pandangan hidup orang Batak Toba mengenai kehidupan masyarakat di daerah asal aataupun di daerah
perantauan tertuang dalam ungkapan-ungkapan budaya. Ungkapan budaya itu sendiri lahir dari pemikiran menyangkut bagaimana untuk terus hidup. Ungkapan ini yang
menjadi pedoman dalam kehidupan masyatrakat toba di Saribudolok yang sering dijadikan pegangan dalam mengatur hubungan dengan kelompok suku lainnya yang
tertuang dalam ungkapan yang diIndonesiakan dan dikenal luas yang berbunyi “ dimana langit dijunjung disitu langit dipijak”. Mengenai hal ini dikuatkan oleh seorang
Suku Batak Toba yang diwawancarai dengan peneliti menyatakan bahwa falsafah hidup masyarakat Toba selain seperti dimana langit dijunjung di situ bumi dipijak yang sangat
terkait dengan keadaan jangan saling mengganggu dan merusak. Secara jelas ia menyatakan:
“Orang Toba ini saya lihat ya…itu tadi, modelnya jangan diganggu oleh orang lain. Maunya ya…dia jangan diganggu kalau diganggu diapun nanti
akan mengganggulah.” wawancara 20 januari 08 dengan Bapak Pardomuan Sitinjak
Pernyataan informan di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya jaminan untuk melahirkan tindakan baik dalam kehidupan bersama khususnya suku Batak Toba.
Masyarakat Saribudolok juga melakukan hubungan adapatasi melalui tarombo martarombo : asal usul keluarga dan marga dan tentunya hal ini juga dapat dilakukan
Universitas Sumatera Utara
60 sesama suku batak lainnya maupun diantara suku bangsa tersebut. Kegiatan ini pada
dasarnya kebiasaan bagi orang Batak Toba yang merantau dalam mendekatkan diri dengan penduduk asli dan ini sendiri merupakan tindakan yang lahir dari anjuran orang
tua angkat. Secara lebih jelas lagi tuntutan orang Batak Toba dalam menapaki kehidupan di rantau tertuang dalam tekat “Di si tano manjalo di si tano mangalean, di
si ho marijur ari, di si doho hapotan mual hangoluan jala ndang marimbar tano inganan nihamatean Bona ni Pinasa, 2000.
Secara sederhana ini berarti bahwa dimanapun orang batak toba harus menghargai tanah ia berpijak sebagai sumber kehidupan. Ini artinya merusak suasana
lingkungan dimana kita tinggal baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial tidak baik.
4.2.3.3. Pandangan Suku Karo tentang Kehidupan Bersama
Pandangan hidup orang Karo terwujud dalam sikap dan perbuatan sehari-hari. Sikap dan perbuatan itu tumbuh dan berkembang dalam adat dan kepercayaan yang
bersumber dari lngkungan daerah asal dan tempat tinggal yang di huni saat ini. Pandangan hidup orang Karo cenderung melaksanakan aktivitas dan bukan sebagai
pengamat, tetapi semua sebagai pelaksana adaptasi berdasarkan kedudukan dan fungsinya dalam Rakut Sitelu sistem kekerabatan: kalimbubu, anak beru, seninadalam
rakut sitelu inilah terletak azas gotong-royong, dan musyawarah dalam arti kata yang sedalam-dalamnya.
Dalam aplikasinya, orang Karo memiliki prinsip hidup yang diyakini kebenaran dan kemanfaatannya dalam hidup, yakni: kiniteken keyakinan , orang yakin bahwa
setiap pekerjaan yang ia lakukan memberikan hasil bagi kehidupan yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
61 kekuatan dalam hidupnya; kehamaten kesopanan artinya bahwa setiap orang harus
sopan dan rendah hati serta hormat terhadap semua orang, agar mendapat kepercayaan dari orang lain; menenggeng sabar dan tahan menderita artinya setiap orang harus
sabar dan tahan menderita sekalipun berat untuk memperoleh perubahan di masa mendatang sesuai dengan yang dicita-citakan; metenget cermat artinya segala tingkah
laku dan perbuatan harus direfleksikan, direnungkan dengan baik agar meendapat hasil sesuai yang di inginkan; tek men debata percaya kepada Allah artinya orang Karo
percaya bawha segala sesuatunya itu semua berasal dari Allah dan kmbali lagi kepada- Nya.
Untuk mewujudkan suatu tujuan orang Karo menciptakan berbagai ungkapan dan kata-kata yang dapat dipakai sebagai pegangan hidup dalam pergaulan dan aktivitas
hidup setiap hari. Ungkapan-ungkapan tersebut dituliskan dalam alat-alat rumah tangga, seperti tulisan endi-enta memberi-menerima dalam sendok sayur yang terbuat dari
bambu disebut surat ukat, artinya terlebih dahulu memberi lalu menerima. Dalam suatu penyelesaian suatu masalah masyarakat karo tidak mudah emosional karena berpikiran
akan untung ruginya untuk ke depan demi masa depan anak-anaknya. Dasar adapt masyarakat Karo terdapat Sangkep ngeleluh, yang merupakan
idealitas realitas kehidupan mereka. Identitas kehidupan orang Karo tercakup dalam merga silima memiliki lima marga: Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring dan
Perangin-angin dengan cabangnya masing-masing; Rakut Sitelu kalimbubu, Anak Beru, Sanina, sistem kekerabatan dalam menjalankan adat, memiliki bahasa sendiri
yakni Bahasa Karo, ada daerah yang menjadi tempat tinggal mereka, yaitu Tanah Karo Simalem, melaksanakan Tutur Siwaluh tinggi rendahnya tata pergaulan dalm
Universitas Sumatera Utara
62 masyarakat Karo berdasarkan Merga Silima dan menjalankannya dalam adat Karo. Hal
ini hanya berjalan dengan baik apabila sanggep singeluh ini menjadi idealitas identitas orang Karo.Dalam kehidupan masyarakat Karo, hubungan kekerabatan menjadi unsur
terpenting, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan.hubungan kekarabatan ini terjadi dalam marga yang diikat oleh adat. Dasar dari kekerabtan ini berdasarkan
hubungan darah yang dihitung menurut garis dari laki-laki, karena orang Karo menganut prinsip patrinial. tanah karo. Com
Jika dilihat dari pandangan masyarakat yang majemuk dalam kehidupan bersama maka peneliti dapat melihat bahwa dalam setiap suku itu mempunyai adat-
istiadat yang bebeda akan tetapi mereka akan tetap melakukan adaptasi jika dihadapakan pada persoalan lingkungan untuk menjaga keutuhan kelompok mereka.
Menurut Henry Guntur Tarigan, tutur adalah sebuah pemeo Karo yang berbunyi “Adi la beluh ertutur, labo siat ku japa pe”, yang berarti “kalau tidak pandai ber-tutur,
takkan ada tempat ke mana pun”. Namun, nampaknya pemeo ini akan lebih terasa pada masyarakat Karo yang masih tinggal di pedesaan. Adapun melalui tutur seseorang
dapat mengetahui tingkatannya dalam jenis-jenis sebagai berikut: bapa bapak, nande ibu, mama paman, mami bibiistri paman, bengkila panggilan istri terhadap
mertua laki-laki, bibi panggilan istri terhadap mertua perempuan, senina saudara
karena marga, atau sembuyak untuk yang satu ibu, turang laki-laki terhadap saudara
perempuan, atau perempuan sama berunya dengan marga seorang laki-laki, Impal
laki-laki yang bere-bere-nya sama dengan beru seorang wanita, pasangan yang ideal dalam peradatan Karo, silih abang ipar atau adik ipar, bere-bere seorang yang
memiliki bere-bere yang sama dengan bere-bere seorang lainnya, anak anak, kempu
Universitas Sumatera Utara
63
cucu, ente cicit, entah buyut, turangku hubungan yang dahulu tabu untuk
berbicara langsung, misalnya antara istri kita dengan suami dari saudara perempuan
kita, agi adik, kaka abang laki-lakiperempuan, permen sebutan mertua laki-laki
terhadap menantu perempuan, nini bulang kakek, nini tudungnondong nenek, empung kakek dari ayah atau ibu beru nenek dari ayah atau ibu. Odin 2007
4.3.3. Proses adaptasi bahasa
Seperti pandangan bahwa adapatasi itu sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat yang majemuk khususnya dalam hal migrasi antara masyarakat pendatang dan
masyarakat asli.
4.3.3.1. Faktor-Faktor yang Mempercepat Proses Adaptasi Bahasa
Dari penelitian yang dilakukan di daerah Kelurahan Saribudolok, maka banyak faktor-faktor yang menyebabkan penduduk setempat melakukan adaptasi bahasa.
Adapun diantaranya adalah:
4.3.3.1.1. Faktor Perkawinan
Perkawinan campuran antara suku merupakan salah satu bentuk strategi adapatasi yang dilakukan oleh para suku pendatang terhadap suku asli, dimana keadaan
ini sangat jelas untuk mempercepat proses adaptasi sehingga timbul suatu proses asimilasi yaitu sekumpulan manusia atau masyarakat bergaul secara intensif untuk
waktu yang cukup lama sehingga kebutuhan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur-unsurnya berubah wujudnya menjadi unsur kebudayaan campuran
Koenjaranigrat 1980 : 255 Dalam hubungan perkawinan campuran antara suku bangsa telah terjadi di
Kelurahan Saribudolok, dimana perkawinan campuran antara suku yang satu dengan
Universitas Sumatera Utara
64 suku lainnya. Khususunya antara Suku Simalungun dengan Suku Batak Toba dan Karo
telah lama terjadi karena bisa dikatakan ketiga suku inilah yang cenderung lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan suku lain seperi Suku Jawa dan suku bangsa China.
Perkawianan campuran ini adalah merupakan salah satu faktor untuk mempercepat proses adaptasi bahasa bagi masyarakat pendatang ataupun untuk penduduk asli.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu informan “ Awalnya saya dulu memang sudah mengerti bahasa Karo tapi
ya… hanya sekedar mengerti aja.., tapi setelah saya menikah dengan istri saya, yaah…secara gak sadar kita sering berbalas
pembicaraan dengan bahasa masing-masing yang pada akhirya lama-kelamaan saya sudah bisa pake bahasa karo dengan
lancar kepada siapapun dan begitu juga dengan istri saya yang sudah tau pake bahasa simalungun. Hal ini harus kami lakukan
karena apabila saya berkunjung ke rumah keluarga istri saya maka kelurga istri saya akan berbicara dengan pakai bahasa
daerah mereka sendiri” Wawancara 27 Januari 2008 dengan Bapak Sinar Girsang
Seperti yang telah dikatakan oleh informan bahwa melalui perkawinan akan lebih mempercepat proses adaptasi bahasa. Hal ini disebabkan oleh komunikasi
diantara suku yang berbeda, dimana apabila si istri berkomunikasi dengan keluarga pihak suami maka si istri secara tidak sadar diwajibkan untuk memakai bahasa daerah
suaminya dan begitu juga sebaliknya. Keadaan tersebut akan lebih mempercepat adaptasi bahasa.
Dalam proses adaptasi bahasa ini pihak pendatang cenderung kewalahan untuk berkomunikasi dengan memakai bahasa asli daerah Kelurahan Saribudolok. Hal ini
dikarenakan Suku Karo ataupun Suku Batak Toba lebih mempertahankan identitas mereka yaitu dari segi bahasa. Seperti yang dikatakan oleh salah satu informan yang
diwawancarai ketika ditanya bagaimana cara mereka menempatkan bahasanya
Universitas Sumatera Utara
65 “Yah kalau ditanya masalah mudah apa tidak mengenai
awalnya saya tau bahasa daerah istri saya kayaknya ga kewalahan……. Kan bahasa Simalungun hampir mirip Bahasa
Karo itu kan agak mirip kan? Tapi kalau istri saya memang dia agak susah buktinya kalau sampai sekarang istri saya itu
bahasanya masih berpasi-pasir bercampur-campur, malah kalau misalnya kita ngomong ama dia nih…dianya sering balas
dengan bahasa asalnya sendiri” Wawancara 27 Januari 2008 dengan Bapak Randiman Dmk
Dari hasil wawancara tersebut kita dapat mengetahui bahwa orang Simalangun tidak begitu kewalahan dalam mengerti, bahkan dapat memakai bahasa lain dengan
baik. Hal ini dikarenakan Bahasa Simalungun Bahasa daerah Silimakuta itu sangat mirip dengan Bahasa Karo dan Bahasa Toba.
4.3.3.1.2. Faktor Pergaulan
Pergaulan adalah salah satu bentuk interaksi yang dilakukan oleh para penduduk setempat dengan penduduk pendatang. Biasanya pergaulan yang mereka maksud adalah
pertemuan yang sering terjadi dengan suku yang berbeda dan biasanya pergaulan ini timbul ketika mereka berada di warung kopi dan di pasar. Warung kopi adalah salah
satu tempat kaum pria untuk santai, dimana warung kopi dijadikan para suami untuk bertemu dengan teman-temanya untuk berbagi cerita. Warung kopi ini tidak saja
didatangi oleh penduduk setempat saja bahkan dari tempat-tempat lain sebagai persinggahan yang datang dari berbagai suku.
Dari beberapa informan yang diwawancarai, maka jika dilihat dari jawaban bagaimana proses adaptasi bahasa mereka kenapa sampai mereka bisa menguasai lebih
dari satu bahasa diluar bahasa ibunya. Rata-rata informan itu menjawab melalui pergaulan. Seperti yang dikemukan oleh salah satu informan ketika peneliti bertanya,
bagaimana awalnya dia bisa menguasai bahasa lain
Universitas Sumatera Utara
66 “ Sebenarnya kalau ditanya sejak kapan saya bisa menguasai
bahasa lain… saya agak lupa sejak tahun berapa tapi yang pasti ketika saya belum menikah saya dah tau bahasa lain seperti
bahasa karo dan toba.yaaa dan ini tentunya dari pergaulan saya, dulu ketika saya kuliah kebanyak teman-teman saya itu orang
kita dari Samosir sana, otomatis karena kita juga ngekost di daerah yang banyak orang toba ya…. Akhirnya tanpa disadari
kita keseringan pakai bahasa toba ketika lagi ngomong- ngomong gitu… yang akhirya bisalah saya berbahasa toba dan
kalu bahasa karo itu karena pergaulan dengan sesama pedagang” Wawancara 23 Januari 2008 dengan bapak Sinar
Girsang
Pergaulan adalah faktor yang paling banyak berpengaruh dalam proses adaptasi bahasa, karena intensitas pertemuan mereka. Khususya para suami ataupun pria itu
sangat terbuka dan saling menghargai. Hal ini dapat kita lihat dalam pergaulan mereka yang bukan berasal dari suku yang sama dan tidak segan memakai bahasa yang
berbeda-beda. Misalnya ketika Suku Simalungun menyapa temanya yang orang karo maka ia akan menyapanya dengan bahasa Karo begitu juga sebaliknya.
Pergaulan sebagai salah satu faktor yang mempercepat proses adaptasi bahasa, karena Kelurahan Saribudolok adalah daerah yang majemuk oleh sebab itu pergaulan
yang timbul hanya dilakukan masyarakat dengan suku yang sama saja akan tetapi bergaul dengan suku-suku yang lain yang tentunya akan membawa dampak pada
pemakaian bahasa
4.3.3.1.3. Faktor Letak Geografis
Dari letak geografisnya maka daerah Saribudolok sangat dekat dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Dairi Sidikalang . Hal ini di dukung masyarakat
Saribudolok yang terbuka yang dapat mengusai bahasa pendatang yang terbukti dari mayoritas penduduknya mampu menguasai bahasa-bahasa daerah yang dekat dengan
daerah pemukiman mereka yaitu Bahasa Karo dan Toba.
Universitas Sumatera Utara
67 Keadaan tersebut juga mengakibatkan perbedaan bahasa diantara orang
Simalungun yang ada di Kecamatan Silimakuta ini. Masyarakat Simalungun mayoritas tinggal di daerah perbatasan antara Kecamatan Silimakuta dan Karo. contohnya Merek
dan Situnggaling dimana daerah ini sangat dipengaruhi oleh Bahasa Karo dan Toba, desa Rakut Besi dan Jandi Saribi yang dipengaruhi oleh Bahasa Karo. Masyarakat di
Saribudolok yang ada ditengahnya memeliki bahasa yang dipengaruhi dari bahasa sekitarnya, hal inilah yang mengakiibatkan orang Simalungun yang ada di Saribudolok
sangat mudah melakukan proses adaptasi terhadap bahasa pendatang. Saribudolok adalah salah satu jalur perdagangan sayur mayur hasil pertanian
jadi desa disekitarnya atau agen-agen besar pedagang sayur itu datang ke daerah ini untuk berdagang. Pedagangn masih menggunakan bahasa mereka jadi sebagai
penduduk asli yang memiliki hasil pertanian akan berkomunikasi dengan agen-agen yang datang dari berbagai wilayah sehingga mendorong masyarakat Saribudolok harus
mampu memakai bahasa agen tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu informan, ketika ditanya bagaimana dia bisa menguasai bahasa daerah lain,
“ Kalau saya ditanya kenapa kebanyakan orang Saribudolok bisa menguasai bahasa lain, yah… mungkin karena letaknya
Saribudolok yang begitu dekat dengan atau berbatasan dengan daerah Kabupaten Dairi dan Kabupaten Karo. Jadi pastinya
kita cepat terpengaruh dengan bahasa mereka apalagi banyak diantara mereka datang ke Saribudolok untuk bedagang”
Wawancara 23 Januari 2008 dengan bapak Jankosan Sitopu
4.3.3.2.Pengaruh Proses Adapatasi Terhadap Bahasa Ibu Bahasa Pertama
Bilingualisme adalah proses penguasaan dua bahasa atau lebih. Penguasaan dua bahasa atau lebih ini akan membawa dampak bagi individu tersebut. Seperti yang
Universitas Sumatera Utara
68 diungkapkan oleh Chaer dalam bukunya yang berjudul sosisolingiustik, penggunaan
dua bahasa atau lebih oleh penuturnya akan menimbulkan sejumlah masalah, seperti
4.3.3.2.1. Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan bilingualnya sehingga ia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti melalui observasi dan wawancara, maka peneliti mengambil kesimpulan kebanyakan penduduk asli
Saribudolok sudah mengetahui bahasa lain selain bahasa ibunya khususnya Bahasa Batak Toba.
Dari jumlah penduduk antara penduduk pendatang baik dari suku batak Toba dan Karo maka yang paling dominan itu adalah Suku Karo, Namun mayoritas Suku
Simalungun yang ada di Kelurahan Saribudolok ini adalah lebih fasih berbahasa Batak Toba dibandingkan dengan Bahasa Karo. Dari taraf kemampuan seseorang
menggunakan bahasa pendatang sudah hampir setaraf dengan penggunaan bahasa asli daerahnya. Hal ini dibedakan antara penduduk asli dalam penguasaannya terhadap
bahasa pendatang dan hal yang sama juga dialami penduduk pendatang.
4.3.3.2.2. Penguasaan Bahasa Pendatang Oleh Penduduk Asli
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan tehadap beberapa orang penduduk setempat, yaitu Suku Simalungun maka rata-rata Suku Simalungun dapat
memahami beberapa bahasa lain seperti Bahasa Toba dan Karo walaupun secara fasih tidak bisa selancar dia menggunakan bahasa Ibunya B1. Akan tetapi dari beberapa
orang informan juga banyak diantara mereka yang sudah fasih menggunakan bahasa daerah lain B2 seperti mereka menggunakan bahasa ibunya B1.seperti yang
dikatakan oleh informan ketika peneliti tanya sejauh mana dia menguasai bahasa dearah lain;
“Bagi saya antara bahasa Simalungun dan bahasa toba itu ya… hampir sama saja. Apalagi bahasa Saribudolok inikan memang
sudah tertular dengan bahasa toba dan karo. Artinya bahasa
Universitas Sumatera Utara
69 Simalungun Saribudolok bukanlah bahasa simalungun tok
asli seperti bahasa raya, seperti kata ham, hamu, kam. Jadi kalau ditanya masalah saya bisa sebagus berbahasa simalungun
maka saya juga bisa berbahasa toba sebagus saya pakai bahasa simalungun, tapi kalau bahasa karo saya memang bisa tapi
tidak selancar saya menguasai bahasa toba”. Wawancara 23 Januari 2008 dengan Bapak Martuah
Situmorang
Hal ini dapat membuktikan bahwa banyak Suku Simalungun yang benar-benar mampu menguasai bahasa daerah lain sefasih dia menggunakan bahasa daerahnya
sendiri. Jika dilihat dari latar belakangnya maka bahasa Simalungun Saribudolok memang bukanlah bahasa Simalungun tok asli seperti bahasa raya. Akan tetapi ini
bukan berarti bahasa Simalungun Saribudo lok bukanlah bahasa Simalungun campuran. Karena ketika diwawancarai seorang tokoh atau sering disebut tutua ni huta
mengatakan ; “Kita jangan pernah manyatakan bahwa bahasa Simalungun
Saribudolok itu bukan bahasa asli simalungun. Pada dasarnya bahasa Saribudolok itu tetap asli tapi dia dikatakan bahasa
Silimakuta, makanya bahasa Simalungun Raya berbeda dengan bahasa simalungun Silimakuta, misalnya dalam menyatakan
tidak yaitu, seng simalungun raya dan lang simalungun silimakuta dan masih banyak lagi……”
Wawancara 23 Januari 2008 dengan Bapak Barman Girsang
Memang peneliti tidak bisa mengabaikan kemiripan antara Bahasa Simalungun terhadap Bahasa Karo dan toba. Jika dibandingkan antara Bahasa Raya dengan bahasa
Silimakuta dapat dilihat dari logat bahasanya dimana bahasa raya itu lebih lembut pengucapannya dibandingkan dengan bahasa Silimakuta yang sudah sedikit lebih kasar
yang dipengaruhi terdapatnya masyarakat pendatang yang berasal dari berbagai etnis.
Universitas Sumatera Utara
70 Seseoarang yang sudah dapat memahami bahasa lain B2 tanpa bisa
mengucapkannya sefasih dia menguasai B1 sudah dapat dikatakan bilingualisme dan ini dapat disimpulkan bahwa orang Saribudolok khususnya Suku Simalungun yang ada
di Saribudolok itu adalah bilingualisme.
4.3.3.2.3. Penguasaan Bahasa Asli Oleh Penduduk Pendatang
Dari hasil penelitian melalui wawancara yang dilakukan oleh si peneliti terhadap penduduk pendatang suku Toba dan Karo, maka bisa dikatakan bahwa
seluruhnya mereka sudah hampir bisa menguasai bahasa Simalungun akan tetapi tidak sebaik mereka menguasai bahasa ibunya. Hal ini terbukti daripada jawaban seorang
informan ketika ditanya mengenai apakah dia bisa menggunakan bahasa Simalungun sebaik bahasa ibunya?
“Yah…pastinya sebagai penduduk pendatang kita harus beradaptasi dengan penduduk aslikan…? Dan salah satunya adalah dengan bisa menguasai
bahasa penduduk didaerah ini agar kita bisa berkomunikasi. Memang….orang Saribudolok adalah orang yang sangat terbuka yaa…..
malah pertama sekali saya dulu datang ke daerah ini saya terkejut… kenapa tidak, ketika saya meladeni seorang pembeli di toko saya….. mereka
ngomong ama saya itu pake bahasa karo lho…bukan pake bahasa Indonesia. Jujur sebenarnya kalau ditanya sejauh mana saya bisa menguasai bahasa
daerah sini saya…. Bisa bilang saya sudah lancar, ya….tapi gak mungkin selancar saya bisa berbahasa karo kan logatnya sangat beda”
wawancara 2 4 Januari 2008 dengan Bapak Kencana Karo-Karo.
Kalau diteliti lebih jauh lagi dari berbagai argumentasi dari informan maka kebanyakan informan itu memang sudah bisa menguasai bahasa Simalungun tapi tidak
sebaik mereka menguasai bahasa ibunya walaupu ada juga yang dapat menguasai bahasa penduduk setempat seperi dia menguasai bahasa ibunya. Hal ini tentunya sangat
dipengaruhi lingkungan tepat tinggal mereka. Dari kehidupan sehari-hari banyak penduduk pendatang yang tinggal secara berkelompok mereka membentuk lingkungan
dari satu suku yang mayoritas, misalnya Kampung Toba atau dulunya disebut Kampung Kopi dimana penduduk yang tinggal disini adalah mayoritas batak toba. Oleh
sebab itu keseharian mereka masih didasari pada bahasa suku mereka sendiri.
Universitas Sumatera Utara
71 Sedangkan untuk Suku Karo ini adalah menyebar akan tetapi Suku Karo yang ada di
Wilayah Saribudolok ini rata-rata adalah sebagai pedagang seperti buka grosir dan toko mas.
4.3.3.2.3. Kapan Seseorang Bilingual Menggunakan Kedua Bahasa Itu Secara Bergantian, Artimya Kapan Dia Harus Menggunakan B1-Nya Dan Kapan
Pula Menggunakan B2-Nya.?
Sebagai masyarakat yang majemuk masyarakatnya harus beradaptasi, salah satu adaptasi yang mereka lakukan adalah adaptasi bahasa, karena bahasa adalah hal yang
terpenting dalam melakukan suatu interaksi antar individu atau kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Seperti di Kelurahan Saribudolok yang kita lihat yang Terjadi
adalah antara penduduk setempat dan penduduk pendatang. Dalam pemakaian bahasa ibunya informan biasanya menggunakannya dalam
ruang lingkup keluarga dan untuk B2-nya mereka pakai apabila bertemu dengan suku yang berbeda atau dalam pergaulan sehari-harinya. Seperti yang di ungkapkan oleh
salah satu informan ketika peneliti menanyakan kapan dia mengunakan B1-nya dan kapan pula dia menggunakan B2-nya.
“Kadang saya bingung sendiri kalau ditanya kapan saya pake bahasa daerah saya dan kapan saya pake bahasa Simalungun. kalau B1 biasanya saya pake
dalam kehidupan keluarga saya dan terhadap teman-taman saya yang satu suku dengan saya. Sedangkan untuk B2 saya agak susah menempatkannya
karena ketika saya berhadapan dengan penduduk setempat maka saya kepengen bahasa Simalungun biar lebih kompak dan saling menghargai
apalagi kita sebagai penduduk pendatang…. Tapi gimana ya sewaktu kita menyapa seseorang yang ber suku Simalungun maka biasanya dia akan
menjawabnya pakae bahas Simalungun juga. Tapi…. Itu awalnya….setelah pembicaraan nyambung seringkali mereka melontarkan pertanyaan dengan
bahasa daerah saya dan disinilah saya bingung apa saya jawab pake bahasa saya atau pake bahasa Simlungun. Yah…. Walaupun akhirnya kita pake
bahasa daerah saya dan itu sering terjadi dan secara tidak sadar kita kembalikan lagi kebahasa daerah saya sendiri “
Wawancara 24 Januari 2008 dengan Bapak Robin Pakpahan
Universitas Sumatera Utara
72 Dari pernyataan informan ini peneliti menyimpulkan bahwa penduduk
pendatang mereka memang bisa pakai bahasa penduduk setempat tetapi ketika mereka memakai bahasa penduduk setempat seringkali penduduk setempat membalasnya
kembali dengan bahasa pendatang atau dengan siapa mereka berhadapan. Walaupun hal tersebut tidak selalu terjadi karena sebahagian Simalungun jika bertemu dengan
penduduk pendatang, maka mereka berkomunikasi dengan bahasa Simalungun. akan tetapi jika yang memulainya adalah orang pendatang, misalnya seperti yang
dikemukakan oleh informan lain; “Biasanya kalau untuk B1 yah…. Biasalah kita pake kepada orang –orang
yang kita kenal yang memang sudah mengerti akan bahasa daerah kita dan bahkan saya sering pakai Bahasa Karo kepada teman-teman saya selain
keluarga. Memag samapai sekarang dalam keluarga saya kami masih memakai Bahasa Karo. Namun kalau sudah keluar kita usahakan pakai
bahasa penduduk setempat. Tapi ada satu hal yang aneh apabila kita bertemu dengan orang simalungun, yaitu apabila kita ketemu sama mereka dan
mereka yang duluan menyapa kita maka dia akan pake Bahasa Karo akan tetapi kalau kita yang pertama menyapa dia dengan bahasa Simalungun maka
dia akan menyahutnya pakae Bahasa Simalungun dan demikian seterusnya” Wawancara 24 Januari 2008 dengan Bapak Edy S. Ginting .
Dari beberapa wawancara tersebut peneliti dapat melihat bahwa penduduk pendatang dalam berinteraksi dengan orang Simalungun mereka tetap berusaha
memakai bahasa Simalungun. Akan tetapi kebanyakan masyarakat Simalungun apabila bertemu dengan suku lain mereka memakai bahasa suku lain yang mereka hadapi
kecuali apabila suku lain tersebut yang terlebih dahulu menyapa dengan menggunakan bahasa Simalungun. Jika ditanya bagaimana apabila orang Karo bertemu dengan orang
Toba yang sama-sama pendatang? Jawaban para informan ini hanya sederhana. Misalnya ketika peneliti tanyakan pada seorang informan;
“Kalau bertemu orang yang bukan masyarakat Simalungun tapi dia memang sudah tinggal disini maka biasanya kita akan pakai bahasa Simalungunlah….
Universitas Sumatera Utara
73 Kan bahasa persatuan disini adalah bahasa Simalungun dan sudah
sewajarnyalah kita sudah tahu bahasa Simalungun walaupun kadang-kadang bahasanya menjadi campur aduk tapi kita nyambung kog ngomongya”.
wawancara 24 Januari 2008 dengan Bapak Jhonmada Simanjuntak .
Bilingualisme adalah keharusan pada masyarakatnya yang majemuk, akan tetapi walaupun demikian mereka tetap bisa menempatkan kapan mereka harus menggunakan
bahasa ibunya B1 dan kapan pula mereka menggunakan bahasa lainnya B2 .
4.3.3.2.4. Sejauhmana B1-nya Dapat Mempengaruhi B2-Nya Atau Sebaliknya?
Menggunakan atau dapat menguasai lebih dari satu bahasa pastinya ini akan membawa dampak kepada bahasa ibumya B1. Ini juga terjadi pada masyarakat
majemuk yang ada di Kelurahan Saribudolok, dimana banyak diantara mereka yang pada akhirnya mencampur-adukkan bahasa mereka yang pada akhirnya bahasa asli
yang semula dia bawa ke daerah perantauan sedikit demi sedikit itu mejadi terpengaruh juga. Dan sebaliknya Bahasa Simalungun yang awalanya sangat lembut juga
dipengaruhi oleh bahasa suku pendatang walaupun hal itu tidak diakui oleh para pemilik bahasa masing-masing.
Peneliti dapat melihat ini adalah melalui observasi dimana apabila dilihat dan diteliti secara mendalam perubahan bahasa itu memang adalah khususya pada logat
bahasa yang ditimbulkan. Misalnya pada bahasa Simalungun, semua orang sudah mengetahui bahwa pada dasarnya Bahasa Simalungun itu adalah sangat lembut atau
sering dikatakan apabila orang Simalungun berbicara maka bahasanya akan mendayu- dayu seperti Bahasa Sunda. Akan tetapi hal ini tidak lagi ditemui didalam masyarakat
Simalungun yang tinggal di Kelurahan Saribudolok karena kenyataannya bahasanya sudah lebih kasar seperti Bahasa Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
74 Untuk Masyarakat toba dan karopun ini juga terjadi perubahan, akan tetapi yang
paling tampak itu adalah masyarakat Suku Toba diaman bahasanya Sudah bercampur- aduk seperti bahasa Simalungun Saribudolok dan inilah yang menyebabkan bahasa
Simalungun Silimakuta identik dengan Bahasa Toba. Sedangkan untuk Orang Karo ini tidak begitu tampak pengaruhnya.
4.3.4. Manfaat Proses Adaptasi Bahasa
Dengan adanya penguasaan bahasa oleh penduduk asli terhadap penguasaan bahasa pendatang, atau sebaliknya penguasaan bahasa oleh penduduk pendatang
terhadap penduduk asli akan membawa manfaat bagi mereka. Dari wawancara yang dilakukan di lapangan penelitian oleh peneliti maka ada bebarapa manfaat ataupun
kegunaan mereka dapat menguasai beberapa bahasa selain bahasa ibunya, yaitu; 1.
Memudahkan mereka dalam menjalin hubungan komunikasai dalam berinteraksi antar suku yang satu dengan yang lain penduduk asli dan
penduduk pendatang . 2.
Sebagai strategi bertahan hidup bagai masyarakat pendatang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Sebagai bentuk kekuasaan yang dilakukan oleh masyarakat penduduk setempat
asli untuk dapat menguasai penduduk pendatang. 4.
Sebagai salah satu upaya dalam meredakan ketegangan antara masyarakat pendatang dan penduduk asli sehingga tidak menimbulkan konflik.
Sejak awal kedatangan penduduk pendatang ke daerah perantauan di Kelurahan Saribudolok, perantau tidak dapat menggunakan bahasa penduduk setempat, dalam
berkomunikasi dengan penduduk setempat mereka menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa daerah mereka sendiri. Hal ini tentunya menjadi kebiasaan bagi masyarakat
pendatang karena sejak awal tinggal di Saribudolok mereka sudah mengetahui bahwa
Universitas Sumatera Utara
75 penduduk Saribudolok adalah penduduk yang bisa memahami atau bahkan
menggunakan lebih dari satu bahasa. Jadi untuk pertama kali berinteraksi dengan penduduk setempat kebanyakan mereka langsung menyapa penduduk dengan bahasa
daerah mereka sendiri. Bagi penduduk asli, dalam hal ini masyarakat Simalungun tidak begitu
mempermasalahkan masalah bahasa apa yang dipakai oleh penduduk pendatang. Tapi bagi masyarakat Simalungun yang terpenting adalah mereka datang ke Saribudolok
dengan tujuan apa dan mereka beradaptasi dengan penduduk setempat dengan saling menghargai dan menghormati.
Penguasaan Bahasa Simalungun bagi masyarakat pendatang ini pastinya membawa dampak ataupun manfaat bagi mereka, salah satunya adalah lebih
memudahkan mereka untuk menjalin komunikasi dengan penduduk setempat, artinya dengan menguasai bahasa Simalungun berarti dengan mudah dan leluasanya mereka
akan dapat bergaul dengan baik dengan siapapun yang ada di daerah Saribudolok ini. Keleluasaan bergaul dengan masyarakat yang ada tentunya ini adalah salah satu cara
bagi penduduk pendatang dalam melakukan strategi bertahan hidup di tanah perantauan.
Melalui penguasaan bahasa penduduk setempat maka masyarakat pendatang akan lebih mudah diterima oleh penduduk setempat maka hal ini akan membawa
manfaat yang besar bagi mereka untuk bertahan hidup. Untuk bertahan hidup mereka harus dapat beradaptasi, salah satu adaptasi yang mereka lakukan adalah dari segi
bahasa seperti yang dikemukakan oleh salah satu informan ketika ditanya mengenai apa manfaat bagi mereka apabila dapat menguasai Bahasa Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
76 “Awalnya, ketika datang ke Saribudolok saya gak gitu ngerti Bahasa
Simalungun, tapi walaupun demikian saya sudah berusaha untuk mempelajarinya dan ini tidak begitu sulit karena gak nyampe 1 tahun saya
dah bisa menguasai bahasa setempat ini koq. Ini harus saya lakukan karena klo saya gak ngerti dengan penduduk setempat bagaimana saya bisa diterima
dengan baik dalam pergaulan karena melalui pergaulan saya inilah saya bisa hidup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya, misalnya ni… awalnya
saya datang ke daerah inikan untuk cari kerja, kan gak mungkin orang yang butuh kerja yang terus datang sama kita, tapi kita sendirilah yang cari kerja
itu dan caranya itu tadi….ya melalui pergaulan kita dapat informasi” Wawancara 24 Januari 2008 dengan Bapak Pardomuan Sitinjak .
Dari beberapa informan yang diwawancarai kebanyakan mereka menyatakan bahwa mereka mau tidak mau harus dapat menguasai bahasa penduduk setempat karena
ini sangat penting bagi mereka agar dapat bertahan hidup di daerah perantauan. Akan tetapi hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat pendatang tapi bagi masyarakat
penduduk asli juga. Bagi penduduk asli mereka ingin mengetahui bahasa penduduk pendatang karena memang mempunyai maksud tertentu juga. Daerah Saribudolok
adalah daerah pertanian, dimana untuk mengolah daerah pertanian ini mereka memerlukan banyak tenaga yaitu tenaga upahan buruh, dalam hal ini tenaga upahan
yang ada itu adalah suku perantauan khususnya Batak Toba, karena mereka datang memang untuk mencari pekerjaan. Hal ini sesuai dengan tujuan seseorang melakukan
proses adaptasi menurut Aminuddin , dimana seseorang iu melukakan adapatasi karena didasarkan kepada tujuan-tujuan tertentu, yaitu seperti; mengatasi halangan-hakangan
dari lingkungan, menyalurkan ketegangan sosial, mempertahankan kelanggengan kelompok dan bertahan hidup.
Untuk merebut perhatian penduduk pendatang tadi maka banyak diantara masyarakat Saribudolok berusaha untuk mendekatkan diri dengan penduduk setempat
dengan pendekatan melalui bahasa perantau tersebut bahkan dulu tidak jarang apabila
Universitas Sumatera Utara
77 masyarakat penduduk setempat itu sudah mendapatkan orang-orang upahan untuk
dipekerjakan maka tempat tinggalpun disediakan. Hal ini dilakukan agar mereka tidak lagi lari ketempat orang lain tapi sebagai salah satu cara untuk mengikat mereka.
Berarti bagi masyarakat Simalungun memanfaatkan penguasaan bahasa meraka adalah untuk atau agar dapat menguasai penduduk pendatang. Seperti yang dikemukakan oleh
salah satu inforaman ketika peneliti menanyakan bagaimana sejarah awal mengapa orang Simalungun mengetahui bahasa penduduk setempat dan apa manfaatnya;
“ Kapan tepatnya orang Simalungun bisa menguasai bahasa daerah lain…gak bisa kita katakan kapan jelasnya. Cuma setahu saya itu dah lama
sekali….yah sejak ada suku perantau yang datanglah seperti Suku Toba yang datang untuk mencari pekerjaan. Sedangkan penduduk setempat pada saat itu
punya lahan yang sangat luasa untuk digarap jadi kita butuh haroan kan buru upahan harian untuk bekerja diladang. Untuk mengajak mereka maka
kita datang ketempat mereka berada jarena dulunya mereka itu tinggl tidak lagi meneyebar seperti sekarang ini tapi mempunyai satu tempat yang
lingkungannya satu suku yaitu kampung toba. Jadi untuk menarik mereka atau mananyakan mereka apa mereka dah ada ada kerja ketempat lain kita
harus tanyakan dengan pakai bahasa mereka karena pada saat itu mereka masih tetap menggunakan bahasa daerah mereka. Oleh sebab itulah orang
Simalungun banyak yang mangerti dan dapat menggunakan bahasa daerah lain karena ingin menguasai penduduk pendatang tadi. Kalau kita sudah tahu
bahasa mereka maka kita akan dekat”. Wawamcara 24 Januari 2008 dengan Bapak Nelson Sipayung .
Penguasaan bahasa daerah lain bagi penduduk asli dan penduduk pendatang membawa manfaat bagi diri masing-masing. Tapi penguasaan ini sangat penting bagi
kedua belah pihak baik penduduk pendatang maupun penduduk asli karena dengan saling mengerti dan memahami bahasa diantara mereka akan mempermudah terjalinnya
hubungan interaksi. Apabila interaksi sudah terjalin diantara mereka maka kehidupan bersama dalam kehidupan masyarakat akan berjalan dengan baik yaitu untuk
mewujudkan kehidupan bersama yang yang terhindar dari konflik.
Universitas Sumatera Utara
78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN