Adapatasi Budaya Pada Masyarakat Saribudolok ( Kasus: Proses Adaptasai Bahasa Batak Toba, Karo Dan Simalungun)
ADAPATASI BUDAYA PADA MASYARAKAT
SARIBUDOLOK
( Kasus: Proses Adaptasai Bahasa batak Toba, Karo dan Simalungun)
SKRIPSI
Oleh
Eka Kristiani Damanik
020901024
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
ABSTRAKSI
Masyarakat Saribudolok adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai dari sub-etnis Batak, dimana setiap etnis mempunyai kebudayaan yang berbeda. Bahasa adalah merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting yang dapat menunjukkan jati diri seseorang. Akan tetapi apa yang terjadi apabila dalam masyarakat yang majemuk itu tidak mempunyai alat komunikasi dalam berinteraksi. Bahasa adalah salah satu alat dalam berinteraksi, oleh sebab itu sangatlah penting dalam masyarakat yang majemuk mempunyai bahasa persatuan dalam satu daerah. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti bagaimana proses adaptasi bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun yang terjadi pada masyarakat Saribudolok yang majemuk sehingga menimbulkan masyarakat yang madani tanpa menimbulkan konflik.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Alat pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Melalui metode deskriptif dengan panduan teori adaptasi Sosial, interaksi dan Sosiolinguistik, penelitian ini dilakukan terhadap 17 orang informan, dengan tujuan menggambarkan bagaimana proses adaptasi Bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun pada masyarakat Saribudolok. 17 informan ini terdiri dari dua kategori, yaitu penduduk pendatang (Suku Batak Toba dan Karo) dan penduduk asli (Suku Simalungun) yang dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan.
Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa proses adaptasi bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun sangatlah penting untuk memperlancar hubungan interaksi antara penduduk pendatang dan penduduk asli, dimana proses adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap Bahasa Simalungun ataupun Penduduk asli terhadap Bahasa Karo dan Toba tidaklah membutuhkan waktu yang lama karena proses adaptasi ini didapat melalui pergaulan sehari-hari.
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada an Yesus Kristus, karena atas berkat-Nya dan rahmat-Nya yang senantiasa menyertai dan memberkati penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan juga pada saat penyusunan skripsi yang berjudul: “Adaptasi Budaya
Pada Masyarakat Saribudolok ( kasus: Proses Adaptasi Bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar
Sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menghadapi berbagai hambatan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, pengalaman, kepustakaan dan materi penulis. Namun, berkat pertolongan Tuhan Yesus Kristus yang memberi ketabahan, kesabaran, dan kekuatan kepada penulis dan juga para teman-teman yang selalu memberikan motivasi, dukungan pada saat-saat penulis mengalami kesulitan. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran-saran, motivasi serta dukungan Doa dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. DR. Arief Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak DR. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
(4)
3. Ibu Rosmiani, MA, selaku sekretaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Dan juga sebagai dosen tamu dalam ujian komprehensif penulis.
4. Bapak Drs. Junjungan Simanjuntak, Msi, selaku dosen wali sekaligus sebagai dosen pembimbing penulis, yang telah membimbing penulis semenjak semester pertama sampai pada penyelesaian skripsi ini. Dimana dengan begitu banyaknya kesibukan, beliau masih bersedia meluangkan waktu kepada penulis untuk memberikan masukan berupa nasehat maupun materi yang berguna dalam penulisan skripsi ini. 5. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen Sosiologi dan
dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan berbagai materi selama penulis menjalani perkuliahan di FISIP USU.
6. Secara khusus dan teristimewa kepada kedua orang tuaku yang tercinta Almarhum Ayahanda J. Damanik dan Ibunda L. br. Purba Siboro yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu memberikan didikan dan disiplin sejak penulis masih kecil, nasehat, memberikan motivasi dan memberikan perhatian yang besar bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Buat abang-abangku yang tersayang dan tercinta B’Benialtoni, kakakku Mariani ( thanks for all ya kak krna berkat perhatian dan kerelaan kakak yang penuh Buat adikmu ini ), kak Candra dan suami, adikku Adi dan Nove yang selalu mendoakan, memberikan dukungan dan perhatian yang besar bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
(5)
8. Terimakasihku yang sangat besar buatmu abang dan kekasih hatiku R.E.Marselinus Pakpahan yang selalu setia menunggu, memotivasi adikmu yang keras kepala ini. Makasi bangat ya bang
9. Tidak lupa juga buat abagku Sony Manik yang begitu dekat denganku yang sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri. Makasi ya bang atas bantuanmu selama ini ketika aku dilapangan.
10.Terima Kasihku juga buat anak-anak Sosiologi Stambuk 2002 yang selalu kompak: Roy dan Riko yang senantiasa setia mendampingi diriku dalam perbaikan skripsiku sampai dengan selesai ( thanks ya roy atas kesetianmu dan thanks bangat ya ko kar dirimu telah memberikan inspirasi dan minjamkan komputermu dalam proses pengerjaan skripsiku) ga lupa juga buat teman-teman seperjuanganku yang saling menyokong dan memnerikan masukan Benny Ariyandi thanks atas bantuannya selama ini, Dedi Ashari, Alhamdy , Haru Bornok, Jimi, Novenra, Rico (si tubuh ideal) dan teman-teman yang telah mendahului Juni A, Mona , Horhosana ( buat klian bertiga makasi y karena tidak pernah bosan ngingatin aku biar tetap semangat) , Imelda B, Juniwati, Uli,, Intan dua-duanya, Anna, Eprina, Julasni, Kusrinayanti, Zulfahriani, Dewi Z, Elida, Tuti, Innike, Vevy, Sariomas, Mahyani, witha, kevin, pinta, Rhamadhani dan yang paling penting lagi Buat temanku yang satu perjuangan maslidiaty yang setia mendampingiku juga dan hayo kawanku dea jangan Cuma kasi dukungan buatku tapi perjuagkan biar kita bersama lagi dan gak lupa lupa buat tema-temanku yang senasib citra, martha, siska dan kamu silvia semoga sukses buat kita semua dan persahabatan kita tetap terjalin selamanya. ( maaf klo da nama teman-teman yang termuat pokoknya buat stmbuk 02 thanks.
(6)
11.Kepada anak-anak Sos stambuk ’03, 04 dan Stambuk 05 thanks ya
12.terimakasihku ucapkan lagi teman-teman dari kecil aku sampai sekarang yang selalu memberiku semangat dan semangat lagi Iren ( hayo kamu pasti bisa nyusul temanmu ini tinggal kita Berdua lho), erita , masdalena
juantry, elsa, erna, Joy, Togen, Salom, Hotjama dan Tanda H.s. (pulanglah kami rindu), ibanku radon dan lian makasi juga ya. Khusus buatmu toni temanku yang terbaek yang tidak pernah lelah menemaniku dalam perbaikan skiripsiku ini makasi bangat ya.
13. terimakasihku juga buat teman-teman satu kost kak des, kak masda, laskar, pida, citra, lamhot dan dina dan buat castry juga dan enika.
14. Kepada seluruh informan penelitian ini yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberi informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian, sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian, dan penulis dapat menyusun laporan penelitian yang berbentuk skripsi ini.
Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran begitu juga waktu dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun dari para pembaca. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Mei 2008 Penulis
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……… 1
1.2 Perumusan Masalah ……… 3
1.3 Tujuan Penelitian ……… 4
1.4 Manfaat Penelitian ……… 4
1.5 Definisi Konsep ……… 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……… 7
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ……… 21
3.2 Lokasi Penelitian ……… 21
3.3 Unit Analisis dan Informan ……… 21
3.4 Teknik Pengumpulan Data ……… 22
3.5 Interpretasi Data ……… 23
3.6 Jadwal Kegiatan ……… 24
3.7 Keterbatasan Penelitian ……… 25
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ……… 26
4.1.1 Sejarah singkat Kelurahan Saribudolok………26
4.1.2 Letak dan Keadaan Wilayah……… ……… 27
4.1.2.1 Kondisi Iklim dan Letak Geografis……... ……… 27
4.1.2.2 Batas dan Luas Wilayah ……… ……… 28
(8)
4.1.3.1 Komposisi penduduk berdasarkan Suku ……… 31
4.1.3.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan umur ……… 32
4.1.3.3 Jumlah penduduk berdasarkan agama….……… 33
4.1.3.4 Jumlah penduduk berdasakan pendidikan……… 34
4.1.3.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata pencaharian………. 34
4.1.4 Sarana dan Prasarana ………...……… 37
4.1.4.1 Sarana Kesehatan ……… 37
4.1.4.2 Sarana Ibadah ……… 37
4.1.4.3 Sarana Pendidikan……….... 38
4.2 Profil Informan……….. ……….39
4.3. Pembahasan Penelitian………. ……… 48
4.3.1. Kekerabatan Pada Masyarakat Saribudolok... 48
4.3.2. Kehidupan Masyarakat Majemuk Di Kelurahan Saribudolok…………..49
4.3.2.1 Pandangan suku Simakungun Tentang Kahidupan Bersama…………..50
4.3.2.2 Pandangan Suku Toba Terhadap Kehidupan Bersama………56
4.3.2.3 Pandangan Suku Karo Tantang Kahidupan Bersama………..58
4.3.3 Proses Adaptasi Bahasa...………61
4.3.3.1 Faktor- faktor yang mempercepat Proses Adaptasi………..61
4.3.3.2 Pengaruh Proses Adaptasi Terhadap Bahasa Ibu……….65
4.3.3.3. Manfaat Proses Adaptasi………71
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ……… 76
5.2 Saran ……… 78
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAn
(9)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jadwal Kegiatan ………. 24
2. Luas Wilayah Menurut Nagori/ Kelurahan Di Kecamatan Silimakuta………. 28
3. Penyabaran Panduduk Bardasarkan Urung Warga (Lingkungan)………. 29
4. Perbandingan Jumlah Panduduk Berdasarkan Suku ………. 32
5. komposisi penduduk berdasarkan umur dan kelompok kerja………..32
6. Perbandingan Jumlah Panduduk Berdasarkan agama………. 33
7. komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan………..34
8. komposisi penduduk berdasarkan mata pancaharian………36
9. Sarana Kesehatan………..37
10.Sarana Ibadah………38
(10)
ABSTRAKSI
Masyarakat Saribudolok adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai dari sub-etnis Batak, dimana setiap etnis mempunyai kebudayaan yang berbeda. Bahasa adalah merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting yang dapat menunjukkan jati diri seseorang. Akan tetapi apa yang terjadi apabila dalam masyarakat yang majemuk itu tidak mempunyai alat komunikasi dalam berinteraksi. Bahasa adalah salah satu alat dalam berinteraksi, oleh sebab itu sangatlah penting dalam masyarakat yang majemuk mempunyai bahasa persatuan dalam satu daerah. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti bagaimana proses adaptasi bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun yang terjadi pada masyarakat Saribudolok yang majemuk sehingga menimbulkan masyarakat yang madani tanpa menimbulkan konflik.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Alat pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Melalui metode deskriptif dengan panduan teori adaptasi Sosial, interaksi dan Sosiolinguistik, penelitian ini dilakukan terhadap 17 orang informan, dengan tujuan menggambarkan bagaimana proses adaptasi Bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun pada masyarakat Saribudolok. 17 informan ini terdiri dari dua kategori, yaitu penduduk pendatang (Suku Batak Toba dan Karo) dan penduduk asli (Suku Simalungun) yang dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan.
Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa proses adaptasi bahasa Batak Toba, Karo dan Simalungun sangatlah penting untuk memperlancar hubungan interaksi antara penduduk pendatang dan penduduk asli, dimana proses adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap Bahasa Simalungun ataupun Penduduk asli terhadap Bahasa Karo dan Toba tidaklah membutuhkan waktu yang lama karena proses adaptasi ini didapat melalui pergaulan sehari-hari.
(11)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini mobilitas penduduk di berbagai wilayah Indonesia sering terjadi bahkan di sekitar lingkungan kita. Perpindahan yang kita temukan seperti perpindahan penduduk dari negara yang satu ke negara lain, perpindahan dari pulau yang padat penduduknya kepulau yang jarang penduduknya atau perpindahan dari desa ke kota.
Akan tetapi perlu penulis tegaskan bahwa perpindahan yang dimaksud di sini adalah perpindahan suku bangsa yang mendiami satu wilayah. Berdasarkan penelitian Mochtar Naim, ada beberapa suku bangsa di Indonesia yang mempunyai mobilitas perpindahan penduduk yang cukup tinggi, seperti Minangkabau, Banjar, Bugis dan suku Batak.
Indonesia merupakan negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa daerah serta latar belakang yang budaya yang tidak sama. Perpindahan penduduk yang terjadi ini akan meyebabkan munculnya suatu interaksi antara penduduk pendatang dengan penduduk asli. Interaksi menghasilkan proses adaptasi budaya, yang akan menyebabkan banyak terjadi perubahan budaya bagi penduduk asli maupun bagi penduduk pendatang. Perubahan tersebut tampak pada kebiasaan, acara adat istiadat, sistem kekerabatan, kepercayaan dan bahasa.
Salah satu wilayah yang ditempati berbagai suku bangsa adalah Sumatera Utara, yang terletak di Pulau Sumatera Utara, berbatasan dengan Aceh di sebelah utara dan Sumatera Barat dan Riau di sebelah selatan dengan penyebaran suku-suku seperti,
(12)
Batak. Batak terdiri dari 6 sub suku bangsa yang dibagi secara geografis, yaitu: batak Toba, Karo, Simalungun, Angkola, Mandailing dan Pak-Pak.
Saribudolok adalah daerah yang dikenal sebagai daerah pertanian yang letaknya berbatasan dengan daerah Karo dan Daerah Sidikalang, karena letaknya yang berada diantara dua daerah maka Saribudolok tidak luput dari masyarakat pendatang yakni suku Batak Toba dan Karo. Saribudolok dapat juga dinyatakan sebagai desa dengan masyarakat majemuk. Kemajemukan suku bangsa sebuah daerah berdampak pada perubahan budaya daerah dan bahasa yang digunakan.
Bahasa adalah hal terpenting dalam menjalin hubungan harmonisasi antara individu yang satu dengan individu yang lain karena tanpa adanya bahasa maka tidak akan terjadi komunikasi. Maka dengan demikian interaksi antara pendatang dan penduduk asli tidak akan bisa hidup berdampingan apabila setiap suku memakai bahasa daerah masing-masing. Oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya konflik yang terjadi akibat salah paham maka dalam suatu daerah yang majemuk memerlukan proses adaptasi bahasa.
Proses adaptasi budaya yang terjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa model adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap penduduk asli, adaptasi yang dilakukan penduduk asli terhadap pendatang dan adaptasi yang tidak dilakukan oleh pihak manapun, dimana masing-masing etnik berdiam diri tanpa melakukan adapatasi. Pada umumnya adaptasi yang paling sering terjadi adalah adaptasi yang dilakukan oleh penduduk pendatang terhadap penduduk asli.
Model adaptasi yang terjadi di Kelurahan Saribudolok adalah adaptasi penduduk asli terhadap pendatang atau saling adaptasi bahasa. Hal ini dapat dilihat dari
(13)
masyarakat Simalungun sebagai penduduk asli di Kelurahan Saribudolok yang pada umumnya menguasai atau setidaknya mengerti bahasa daerah dari suku pendatang tersebut khususnya bahasa Karo dan Batak Toba. Dikatakan juga sebagai model saling adaptasi budaya karena banyak juga penduduk pendatang yang sudah menguasai bahasa daerah setempat yaitu Bahasa Simalungun.
Suku Simalungun adalah sebagai objek dalam penelitian di dalam proses Adaptasi Bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun di Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Suku Simalungun merupakan penduduk asli di Kelurahan Saribudolok sedangkan suku Jawa, Karo, batak Toba dan etnis China adalah penduduk pendatang. Dalam beberapa kasus dinyatakan bahwa penduduk pendatanglah yang melakukan adaptasi bahasa akan tetapi di desa ini penduduk asli (dominant Kultur) yang pertama sekali yang melakukan adaptasi bahasa.
Hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan penulis tertarik untuk meneliti Proses Adaptasi Bahasa Karo, batak Toba dan Simalungun di Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun.
1.2. Perumusan masalah
Dalam melaksanakan setiap penelitian harus terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya, hal ini dilakukan agar penelitian dapat dilaksanakan secara terarah. Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi pokok peremasalahan dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana Proses Adaptasi bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun di Kelurahan Saribudolok ”.
(14)
1.3. Tujuan penelitian
Secara umum kegiatan penelitian dilakukan dengan suatu tujuan pokok yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian guna mengungkap fenomena- fenomena sosial tertentu.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana proses adaptasi bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun di Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun.
1.3.2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam Proses Adaptasi Bahasa.
1. 4 . Manfaat penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian pastinya penelitian ini mempunyai manfaat bagi penulis.
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah: 1. 4. 1. Manfaat teoritis
a. Untuk meningkatkan kemampuan berfikir peneliti melalui karya ilmiah, sekaligus penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. b. Untuk lebih memahami masalah-masalah dalam masyarakat dalam
mengadapatasikan dirinya dalam berkomunikasi melalui bahasa ditinjau dari kajian sosiologis.
(15)
a. Data- data yang diperoleh nantinya dari lapangan dapat dimanfaatkan bagi pihak- pihak yang berkepentingan.
b. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian yang selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.
1. 6. Defenisi Konsep
Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini adalah; 1. 6 1. Adaptasi
Merupakan proses penyesuaian diri dan motivasi yang kuat serta strategi yang dilakukan supaya tetap bertahan hidup di daerah perantauan bagi masyarakat pendatang dan strategi untuk mempertahankan kekuasaan bagi masyarakat asli.
1.6.2. Bahasa
Merupakan alat yang dipakai oleh penduduk untuk berinteraksi melalui proses komunikasi.
1.6.3 Bahasa daerah
Merupakan alat komunikasi berbentuk bahasa, dari suku dan daerah asal masyarakat tertentu.
1.6.4. Adaptasi Bahasa
Merupakan proses penyesuaian diri terhadap pemakaian bahasa yang beranekaragam yang akan digunakan untuk menjalin kerjasama ataupun menjamin berlangsungnya interaksi antara pendatang dan penduduk asli.
(16)
1.6.5. Kebudayaan
Semua hasil pikiran manusia yang dituangkan dalam kehidupan sehari-hari dan meliputi cipta, rasa masyarakat dimana bentuk kebudayaan yang dimaksud disini adalah bahasa.
1.6.6. Interaksi
Yaitu adanya hubungan antara pendatang dengan penduduk asli dalam proses sosialnya menggunakan perpaduan bahasa yang berbeda.
1.6.7. Biligualisme
Mampu menggunakan atau sekedar mengerti dua bahasa atau lebih saat melakukan hubungan interaksi.
(17)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Menurut Hassan Shadly (dalam Mansyurdin SH, 1994:43) mendefenisikan masyarakat adalah sebagai golongan besar dan kecil manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh dan pertalian kebatinan yang terjadi dengan sendirinya disini menjadi unsur yang sine qua non (yang harus ada) bagi masyarakat. Masyarakat bukannya ada dengan hanya menjumlah adanya orang-orang saja, diantara mereka harus ada pertalian satu sama lain.
Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 1982 :22) menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Akan tetapi bedanya adalah bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat adalah berbeda, bedanya hanyalah bahwa kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna daripada kebudayaan lain dalam memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya.
Kebudayaan dari setiap bangsa atau masyarakat, terdiri dari unsur-unsur besar dan kecil yang merupakan bagian-bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai satu kesatuan. Seorang Antropolog yaitu C. Kluckhohn didalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture ( dalan Koentjaranigrat 1994 : 203-204 ) telah menguraikan ulasan-ulasan para sarjana mengenai hal itu. Inti pendapat - pendapat
(18)
dari ahli sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai Cultural Universals, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi. 3. Sistem kemasyarakatan.
4. Bahasa. 5. Kesenian.
6. Sistem pengetahuan. 7. Religi.
Kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain manusia adalah mahluk pribadi sekaligus mahluk sosial dimana sebagai pribadi manusia memiliki kebiasaan bagi dirinya sendiri ( Habit) dan sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Soerjono Soekanto 1982 : 1973 ) Akan tetapi kita harus sadar didalam pengalaman hidup manusaia, kebudayaan itu adalah bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri yang khusus sesuai dengan situasi maupun lokasinya masing-masing. Masyarakat dan kebudayaan adalah Dwi tunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan (Soerjono Soekanto 1982 : 174 ). Hal ini mengakibatkan bahwa setiap masyarakat manusia mempunyai kebudayaan atau dengan perkatan lain , kebudayaan bersifat universal yaitu menjadi atribut dari setiap masyarakat di dunia ini. Akan tetapi apabila seseorang dari masyarakat tertentu berhubungan dengan seseorang yang
(19)
menjadi angggota masyarakat berlainan, maka dia akan sadar bahwa adat istiadat kedua masyarakat adalah tidak sama..
Para perantau yang datang dan tinggal serta enetap di luar daerah asalnya, akan selalu disertai dengan poa tingkah laku dan sikap tertentu. Dalam mlakuka perpindahan suku bangsa pendatang akan turut membawa adapt-astiadat, norma dan berbagai bentuk organisasi sosial kedalam lingkungan sosial budaya setempat. Budaya setempat ini bisa merupakan sesuatu yang baru bagi suku pendatang. Ditempat tujuan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari daerah asal akan mengalami perubahan termasuk orientasi terhadap kampong halaman ( Naim : 73 ).
Masuknya suku pendatang kedaerah tertentu yang ditempati oleh bangsa suku lain akan melahirkan terjadinya kontak sosial atau hubungan sosial diantara mereka. Menrut Suyatno ( 1974:5 ) kondisi seperti ini memungkinkan untuk terjadinya peminjaman unsure-unsur budaya bagi masing-masing suku bangsa.Ditempat baru, suku pendatang di dalam proses adaptasi akan sampai kepada dua pilihan, pertama apakah pola-pola sosial budaya yang diwariskan oleh nenek moyang akan dipertahankan dan yang kedua, adalah apakah pendatang baru itu akan mengadaptasikan dirinya dengan pola-pola sosal budaya suku bangsa setempat. Menurut Cohen ( 1985:2 ) kelompok suku bangsa yang memasuki suatu daerah yang masih baru baginya, dimana kebudayaanya itu terpisah secara fisik dengan kebutuhannya akan mlakukan adaptasi terhadap lingkungan sosial budaya dan fisik ditempat yang lain.Bila suku pendatang ingin hidup survive di tempat yang baru, biasanya merka akan mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan sosial budaya setempat dan suku bangsa setempat. Dan suku bangsa setempat mempertahankan
(20)
budayanya dari jamahan atau pengaruh kebudayaan dari luar khususnya unsure budaya luar yang bersifat negative. Untuk mempertahankan agar suku bangsa pendatang dapat hisup bertahan di daerah lain, setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan untuk itu umunya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan itu melengkapi manusia denga cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan fisiologis dari badan dari mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun ligkungan sosialnya menurut R. Ember dan M. Ember dalam ( Ihromi 1987:28 )
Menurut Suharso (1997:48) didalam kebudayaan itu manusia memiliki seperangkat pengesahan yang dipakai untuk memahami serta menginpretasikan dan mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Manusia yang mempunyai pengetahuan, kebudayaan yang dipakai sehubungan dala menhadapai kebudayaan asal sku setempat. Pengetahuan itu tentunya banyak mendukung terhadap proses adaptasi. Manusia berusaha untuk menyesuaikan dirinya di lingkungan yang baru karena didorong untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhab itu sifatnya mendasar bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Jika manusia itu berhasil dalam memenuhi kebutuhannya maka dia akan merasa puas dan apabila tidak maka akan menimbulkan masalah.
Pada dasarnya, manusia mengenal kebutuhan akan biologis dan kebutuhan sosial phsikologis, beberapa kebutuhan ang harus diperhatikan itu adalah:
1. kebutuhan memperolh kepuasan biologi, seperti: makan, minum dan tempat tinggal.
2. kebutuhan akan harga diri.
(21)
4. kebutuhan untuk dikenal.
5. kebutuhan memperoleh prestasi dan posisi.
6. kebutuhan untuk dibutuhkan orang lain dan memperoleh kasih saying. 7. kebutuhan merasa bahagia dalam kelompok.
8. kebutuhan rasa aman dan perlindungan diri.
9. kebutuhan kemerdekaan diri. ( Depdikbud 1984:12 )
Kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam mengadaptasikan dirinya adalah tuntutan kebutuhan akan merasa aman, untuk dikenal dan memperoleh harga diri.
Proses adapatasi bangsa suku bangsa tertentu sehingga adapat diterima dilingkungan yang baru, akan memakan waktucukup yang lama sehingga dapat hidup serasi. Suku bangsa pendatang dapat bkerjasama untuk tujuan tertentu dengan suku setempat. Menurut Suyatno ( 1974: 15 ) proses adaptasi akan cepat terjadi apabila suku bangsa pendatang lebih terbuka terhadapa budaya suku setempat.
Sebagai mahluk sosial manusia akan yang satu lebih terbuka dan berinterksi dengan mausia lainnya terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurit Mar”at ( 1981: 107 ) interaksi adalah suatu proses dimana individu yang satu memperhatikan dan memeberikan respons terhadap individu lainnya sehingga akan dibalas dengan tingkah laku tertentu. Untuk mencapai kehidupan yang serasi dan tidak saling merugikan dalam interaksi mereka, diharapkan adanya hubungan sosial yang termasuk diantara kedua suku bangsa dan yang harus dipertahankan adalah hubungan yang pantas, akrab dan saling menuntungkan. ( Koenjaranigrat 1981:348) interaksi diantara dua suku bangsa yang berbeda akan membuahkan dua alternative, baik yag sifatnya positif maupun sifat yang negative. Dikatakan positif apabila hubungan sosialnya
(22)
harmonis dan saling menguntungkan sehingga dapat menciptakan alkulturasi, asimilasi dan amalgamasi, sedangkan negative bila ada perbedaan sikap dan kadangkala menjurus kepada konflik.
Sebagai penyebab adanya sikap prasangka maupun streotip karma memiliki hubungan emosional yang menyangkut kelompok suku bangsa dan sebagai penyebabnya adalah alam kaitannya denga hubungan antara kelmpok minoritas dan mayoritas yaiu:
1. kekuasaan factual yang terlihat hubungan antara gologa minoritas dan golongan mayoritas.
2. fakta akan perlakuan terhadap kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. 3. fakta mengenai kesempatan untuk berusaha pada kelompok mayoritas da
minoritas.
4. fakta mengenai unsure geografis, dimana keuargaminoritas menduduki daerah tertentu.
5. fakta mengenai posisi an peranan dari sosial ekonomi yang pada umumnya dikuasa oleh kelompok minoritas.
6. potensi energi eksistensi dari kelompok minoritas daam mempertahankan kehidupannya (Mar”at 1981:114)
Di daerah perantauan biasanya orang merantau akan membawa suatu misi budaya yaitu sesuatu yang dititipakan dan khsanah budaya mereka ( Pelly 1983:7 ). Misi budaya ini pula yang akan membuka strategi adaptasi di rantau mulai dari pemilihan pemukiman sampai jenis pekerjaan. Manusia itu harus bisa menyesuaiakan
(23)
dirinya dengan lingkungan yang baru, baik itu lingkungan sosial budaya maupun fisiknya. Adaptasi ini perlu agar manusia itu dapat bertahan di. lingkungannya
Seperti yang sudah dikemukan sebelumya bahwa masyarakat itu tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, akan tetapi masalah yang akan dihadapai adalah bahwa bangsa Indonesia adalah beranekaragam kebudayaannnya sesuai dengan suku bangsa masing-masing. Masalah suatu keanekaragaman tersebut adalah dilihat dari unsur Bahasa. Bahasa adalah merupakan salah satu unsur yang ada dalam kebudayaan, dimana bahasa adalah hal yang terpenting dalam melakukan suatu interaksi dalam masyarakat yang berbeda budayanya.
Manusia telah mempunyai naluri untuk melakukan interaksi dengan sesamanya semenjak ia dilahirkan didunia. Interaksi sesama manusia merupakan suatu kebutuhan ini adalah akibat bahwa manusia itu adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa interaksi dengan manusia lain tidak akan dapat bertahan hidup. Dalam buku sosiologi suatu pengantar, Soerjono Soekanto (1986 : 498 ) mengutip defenisi Gillian dan Gillian dalam buku mereka Cultural
Sosiology yakni interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang
menyangkut hubungan antara orang-perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial merupakan konsep yang penting dalam sosiologi. Istilah tersebut secara kontak timbal balik atau interstimulasi dan respons antara individu-individu dan kelompok. Adapun ciri-ciri dari interaksi sosial adalah:
1. Adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan symbol-simbol. 2. Adanya Jumlah pelakunya lebih dari seorang, biasanya dua atau lebih.
(24)
3. Adanya suatau dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini, dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung. Adanya suatau tujuan tertentu.
Hal ini sejalan dengan kutipan Soekanto (1990) yaitu interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia”. Lebib lanjut Soekanto (1990) menyatakan ; “ Suatu interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat yaitu: kontak sosial untuk berhubungan dengan orang lain dan komunikasi yaitu perasaan yang ingin disampaikan dan memungkinkan adanya kerjasama”.
Menurut Kimbal Young dan Raymond W. Mack ( dalam Soekanto 1982: 58) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa adanya interaksi, tak akan mungkin ada kehidupan bersama; interaksi yang dilakukan oleh manusia mempunyai syarat-syarat agar interaksi berjalan dengan baik., yaitu:
1. Kontak 2. Komunikasi
Kata kontak berasal dari bahasa Latin con atau cum ( yang artinya bersama-sama) dan tango ( yang artinya menyentuh); jadi artinya secara harafiah adalah “ bersama-sama menyentuh secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, oleh karena orang dapat mengadakan hubungan pihak lain tanpa menyentuhnya, seperti dengan berbicara dengan pihak lain.
Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok agar mempunyai makna bagi pelakunya, kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok
(25)
lain. Penangkapan makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Kontak dapat terjadi secara langsung yakni melalui gerak dari fisikal organisme
( action of physical organism ), misalnya melalui pembicaraan, gerak, isyarat dan dapat
pula secara tidak langsung, misalnya melalui tulisan atau bentuk komunikasi jarak-jauh, seperti dengan telepon, chatting, dan sebaginya. Sebagaiman yang dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner dalam Taneko ( 1990:110), interaksi itu adalah suatu aksi dan reaksi diantara orang-orang, jadi tidak memperdulikan secara berhadapn muka secara langsung ataukah melalui symbol-simbol seperti bahasa, tulisan yang disampaikan dari jarak ribuan kilometer jauhnya. Semua itu adalah tercakup dalam konsep interaksi selama hubungan itu mengharapkan satu atau lebih bentuk respons.
Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung. Terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi, oleh karena komunikasi itu muncul apabila seseorang individu memberikan tafsiran tadi, lalu seseorang itu mewujudkan dengan perilaku, dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingun disampaikan oleh orang lain. Sehubungan dengan komunikasi, Schlegel berpendapat bahwa manusaia adalah mahluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, mentafsirkan makna-makna, obyek - obyek di dalam kesadarannya, dan memutuskan bagiamana dia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu ( Tanneko,1990 :75 ). Gerungan ( 2002 : 57), seorang sarjana psikologi mengatakan bahwa interaksi sosial dirumuskan sebagai berikut: yaitu suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu yang satu mempengaruhi, merubah atau memperbaiki kelakuan individu lain atau kebalikannya.
(26)
. Interaksi tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila dalam suatu kelompok masyarakat tidak terdapat suatu alat pemersatu dalam menyatukan keanekaragaman. Salah satu alat pemersatu adalah bahasa. Bahasa adalah salah satu symbol dalam menentukan komunikasi. Akan tetapi apa yang dilakukan apabila dalam masyarakat majemuk tersebut membawa bahasa masing-masing dalam berinteraksi, maka yang akan terjadi adalah konflik. Untuk menghindari terjadinya konflik maka yang harus diadakan adalah penyesuaian setiap bahasa daerah tersebut ( adaptasi bahasa ).
Soerjono Soekanto (Soekanto,2000:10-11)memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:
1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.
6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adapatasi merupakan proses penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.
Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu ( Aminuddin, 2000;38), diantaranya:
(27)
1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. 2. Menyalurkan ketegangan sosial.
3. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial. 4. Bertahan hidup.
Proses adaptasi biasanya paling sering terjadi di daerah yang masyarakatnya adalah majemuk dimana kemajemukan ini diakibatkan oleh adanya migrasi. Para migrasi dapat membawa dampak bagi daerah tempat dia bermigrasi. Hal ini dapat kita lihat terjadinya perubahan bahasa. Sebagai akibat adaptasi yang dilakukan melalui interaksinya maka dapat mengakibatkan masyarakatnya menjadi bilingualistik atau multilingualisme.
Terjadinya keragaman bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang Keanekabahasan (bilingualisme maupun multilingualisme) tidak homogen, tetapi juga atau variasi karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan juga beragam. Setiap kegitan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman ini akan bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang banyak, serta dalam wilayah yang luas ( Chaer 2004: 61)
Menurut Mackey dan Fishman ( dalam Chaer, 2004: 84 ) Istilah bilingualisme yang dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara sosiolinguistik, secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya (B1) dan yang lain menjadi bahasa keduanya (B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang bilingual. Sedangkan kemampuan
(28)
untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dapat menggunakan lebih dari dua bahasa/banyak bahasa). Dimana bilingualisme dan multingualisme merupakan model yang sama .
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian dapat menimbulkan sejumlah masalah ( Chaer, 2004 : 85 )
1. Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual.
2. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini?
3. Apakah bahasa dalam pengertian langue atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
4. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian artinya kapan dia harus menggunakan B1-nya dan kapan pula harus menggunakan B2-nya.
5. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya atau sebaliknya.
6. Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur.
Untuk menjadi bilugualisme hal ini mempunyai suatu proses dimana pastinya orang-orang akan terlebih menguasi B1 karena sebagai bahasa ibunya dan kemudian dalam pergaulan dan interaksi dengan orang lain maka orang tersebut dapat dipengaruhi
(29)
untuk mengetahui bahasa orang lain yang disebut bahasa kedua (B2). Akan tetapi perlu diingat bahwa untuk pertama sekali orang tersebut tidak akan bisa dapat langsung menguasai B2 sebaik B1 karena harus berjenjang dari hanya mulai mengerti sampai pada tahap penguasaan B2-nya sama seperti B1-nya.
Pertanyaan kapan seorang penutur bilingual menggunakan B1 dan B2 atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu didalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Kalau disini masalahnya kita sempitkan hanya pada penggunaan B1 dan B2 (masalah ragam bahasa kita tangguhkan dulu karena anatara bilingual dan multulingual mempunyai model yang sama), maka kembali ke pertayaan kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa pembicara, dengan bahasa apa, kepada siapa kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Jika B1 penutur adalah Bahasa Simalungun, maka dia akan menggunakan bahasa Simalungun dengan semua anggota masyarakat tutur yang mengerti bahasa Simalungun, seperti dalam percakapan dalam keluaraga untuk topik pembicaraan biasa. Untuk formal memakai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia dan kadang untuk tujuan tertentu dengan alasan tertentu bisa menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan walaupun berbeda masyarakat penuturnya yang terpenting mereka bisa saling mengerti misalnya antara masyarakat Simalungun dalam menghadapi etnis Suku Karo dan Batak Toba menggunakan Bahasa Simalungun atau menggunakan Bahasa Karo atau Batak Toba tergantung kepada lawan bicara dengan
(30)
alasan tertentu. Misalnya dalam bisnis dagang (tetapi bagi penutur bilingual yang B1-nya Bahasa Sunda dan B2 Bahasa Jawa haB1-nya dapat menggunakan B2-B1-nya itu untuk orang jawa).
Kita berasumsi bahwa penguasaan terhadap B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari yakni setelah menguasai B1.
Bagi seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B1 karena menguasai B2 hal ini dapat terjadi kalau si penutur bilingual dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya atau hal ini dapat terjadi apabila si penutur bilingual untuk jangka waktu yang lama tinggal di masyarakat penutur yang berbeda. Misalnya orang Batak Toba yang tinggal di daerah Simalungun, dimana masyarakat tutur Toba hanya memungkinkan menggunakan B1 dalam ruang lingkup keluraga sedangkan dalam bahasa sehari-hari dipergaulan penutur tersebut harus menggunakan bahasa setempat sehingga dalam jangka waktu yang lama bahasanya bisa berubah.
Seperti yang dikemukan oleh Wolf (dalam Chaer 2004 : 91), salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau kelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya kedua bahasa itu bisa atau dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan penggunaan bahasa tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
(31)
Misalnya di daerah Saribudolok dimana masyarakatnya adalah majemuk sehingga bahasa yang muncul adalah multilingualisme dimana masyarakatnya yang terdiri dari penduduk asli yaitu Simalungun dan penduduk pendatang Suku Karo dan Batak Toba. Penggunaan komunikasi masyarakatnya dapat menggunakan lebih dari satu bahasa artinya sama dengan pendapat Wolf dimana masyarakat pada umumnya dapat mengerti dan menggunakan bahasa penduduk yang ada (Bahasa Simalungun, Karo dan Batak Toba).
(32)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis penelitianAdapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dimana penelitian ini mencoba untuk menggambarkan atau melukiskan bagaimana Proses Adaptasi Bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun yang dilakukan oleh masing- masing suku. Penelitian ini hanya untuk mengungkapkan suatu permasalahan, keadaan dan peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta (fact finding).
3.2. Lokasi penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatrra Utara. Adapun alasan peneliti memilih lokasi penelitian tersebut adalah atas pertimbangan, bahwa penduduknya adalah majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan penduduknya diketahui dapat menguasai beberapa bahasa daerah sehingga memudahkan peneliti untuk meneliti Bagaimana Proses adaptasi Bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun pada masyarakat Saribudolok
3.3. Unit Analisis dan Informan
Adapun yang menjadi unit analisis data pada penelitian ini adalah penduduk desa yang mengerti atau dapat menguasai bahasa penduduk setempat bagi pendatang atau bagi bahasa suku pendatang oleh penduduk setempat. Informan dalam penelitian
(33)
ini adalah para penduduk yang dapat menguasai bahasa daerah baik yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Jenis dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut:
3.4.1. Data primer
Merupakan jenis data pertama yang diperoleh dari lapangan yang diperoleh melalui:
3.4.1.1.Observasi
Yaitu peneliti mengadakan pengamatan secara langsung serta ikut mengambil bagian dalam obyek penelitian untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam penelitian ini peneliti mengamati secara langsung ke lapangan mengenai pemakaian bahasa yang dilakukan oleh penduduk setempat dalam berinteraksi yang berada di kawasan Kelurahan Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun.
3.4.1.2.Wawancara Mendalam
Yaitu peneliti berusaha menggali informasi atau jawaban-jawaban pribadi dari informan yang sesuai dengan permasalahan penelitian ini, seperti bagaimana Proses Adaptasi Bahasa Karo, Batak Toba dan Simalungun yang dilakukan oleh penduduk setempat.
(34)
3.4.2. Data sekunder
Merupakan jenis data yang kedua (data pelengkap) untuk mendukung data primer diperoleh melalui studi kepustakaan, seperti buku-buku, jurnal, makalah, surat kabar, internet dan dokumentasi.
3.5. Interprestasi Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema (Moleong, 2002 : 103 ).
Proses analisis data diawali dengan menelaah data-data yang diperoleh dari observasi, wawancara, maupun data pelengkap yang berkenaan dengan yang akan diteliti. Langkah selanjutnya adalah mereduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abtraksi (rangkuman inti). Tahap akahir analisis data yakni mengadakan pemeriksaan keabsahan data, kemudian diadakan penganalisisan berupa penginterpretasian dari data-data tersebut untuk sampai pada konsep-konsep pemecahan masalah secara tuntas dan menyeluruh serta menarik kesimpulan.
(35)
Tabel 1
3.6. Jadwal Kegiatan
KEGIATAN Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 6
Pra Penelitian
•Penyusunan
Proposal
•Perbaikan
Proposal
Persiapan :
Pengurusan
Izin
Penyiapan Instrumen
Penelitian
Penelitian :
Wawancara dan Observasi
di Lapangan
Pasca
Penelitian :
Analisis Data Penyusunan
(36)
3.7. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini termasuk pembuatan surat izin penelitian; terbatasnya data sekunder atau tambahan melalui buku, dokumen dan jurnal yang mendukung terhadap penelitian yang telah dilaksanakan; dan adanya keterbatasan waktu dari para informan. Keterbatasan dalam pengurusan dan pembuatan surat izin penelitian adalah begitu banyaknya rentetan jalur pengurusan surat izin penelitian yang harus peneliti jalani sehingga menyebabkan lamanya waktu yang peneliti habiskan untuk mengurus surat baik di lingkungan fakultas, birokrasi pemerintahan tempat peneliti melakukan penelitian yang terlalu berhati-hati dalam memberikan izin penelitian.
Keterbatasan data sekunder atau tambahan berupa buku, dokumen, jurnal maupun yang lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini menyebabkan peneliti mengalami kesulitan di dalam melakukan penganalisisan data lapangan dan memerlukan waktu cukup lama. Keterbatasan di dalam melaksanakan penelitian antara lain disebabkan oleh jarak penelitian yang jauh dari Medan sehingga menyebabjan penelti mempunyai keternatasan dalam menggali informasi yang lebih dalam lagi karena adanya keterbatasan waktu. Selain itu penulis juga mengalami keternatasan biaya dalam melakukan penelitian karena jarak tempuh lahan penelitian yang jauh dari lingkungan kampus. Akan tetapi peneliti akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini berkat kerjasama informan yang memberikan data- data yang diprelukan oleh peneliti dalam waktu yang tidak lama.
(37)
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1.1. Sejarah Singkat Kelurahan Saribudolok
Saribudolok, saribu artinya seribu, dolok artinya bukit. Jadi Saribudolok dapat diartikan sebagai suatu daerah yang terdiri dari seribu bukit, wilayah Saribudolok terbentuk sekitar tahun 1928 yang dipimpin oleh Marga Girsang. Lokasi yang pertama sekali ditempati oleh Sipungka Huta (pembuka kampung) disebut dengan Sardolok
Atas. Dikatakan Sardolok Atas karena letaknya berada di tempat yang paling tinggi.
Akibat pertumbuhan penduduk dan adanya orang-orang yang datang merantau, dengan pertambahan penduduk yang banyak mengakibatkan penduduk memperluas areal pemukiman yang akhirnya perluasan pemukiman ini menyebabkan nama baru yaitu disebut dengan Kampung Kristen karena yang menempati lokasi tersebut terdiri dari keluarga-keluarga pendeta.
Selain nama Kampung Kristen, masih ada yang dinamakan dengan Kampung
Toba, dan Kampung Kopi. Alasan dari pemberian nama tersebut adalah karena di
Kampung Toba ini yang menempatinya adalah para pendatang-pendatang yang berasal
dari daerah Samosir yang bertujuan bekerja sebagai haroan (orang upahan yang bekerja khususya di bidang pertanian). Dengan berkembangnya waktu maka jumlah mereka semakin bertambah dimana sampai pada saat ini mereka sudah mencapai jumlah 437 jiwa. Jumlah ini hanya yang terdata di kelurahan Saribudolok, sementara pendatang lainnya yang tidak menetap tidak dicatatkan di kantor kelurahan karena
(38)
untuk hidup menetap di Kelurahan Saribudolok ini memiliki alasan bahwa mereka mempertimbangkan mereka dapat hidup layak dengan kesuburan tanah yang ada dan dapat mereka kelola.
Sedangkan alasan mengapa dikatakan Kampung Kopi karena pada awalnya kampung ini banyak ditanami kopi, namun pada saat sekarang tanaman tersebut tidak ditemukan lagi di lokasi ini karena sudah menjadi penyebaran penduduk. Kepadatan penduduk Saribudolok ini mengakibatkan nama-nama kampung yang disebutkan diatas tadi menjadi kabur karena batas-batas perumahan penduduk hampir tidak dapat dipastikan lagi. Pada saat sekarang ini yang menjadi tanda pembagian Kelurahan Saribudolok ini adalah adanya yang disebut dengan jalan Sutomo, Jalan Kartini, Jalan Merdeka, jalan Singgalang, Jalan Pematang Siantar, Jalan Kabanjahe dan lain sebagainya.
4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah
4.1.2. 1. Kondisi iklim dan letak Geografis
Kelurahan Saribudolok adalah bagian dari Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalugun. Jika ditinjau dari letak geografisnya, Kelurahan Saribudolok diapit oleh dua pegunungan, yaitu sebelah Utara pegunungan Sipiso-piso dan sebelah Barat pegunungan Singgalang. Oleh sebab itu Kelurahan Saribudolok terletak di dataran tinggi dengan ketinggian tempat dari permukaan laut 1400 meter, dimana 59,99 % (1440,25 ha) keadaan topografinya berbentuk dataran dan 39,99 % (960,17 ha) berbentuk perbukitan/ pegunungan. Rata-rata suhunya 26 – 28 0C dan keadaan curah hujan 1.150 mm/tahun.
(39)
4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah
Adapun batas-batas Kelurahan Saribudolok adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dolok Silau Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Purba
Berdasarkan topografi kemiringan tanah, Kelurahan Saribudolok berada pada kawasan dataran tinggi sehingga menyebabkan masyarakat cenderung lebih memilih menjadi petani dan pedagang (agen sayur mayur). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1
Luas Wilayah Menurut Nagori/ Kelurahan di Kecamatan Silimakuta Tahun 2006 No Nagori/ Kelurahan Luas (km ) Rasio terhadap luas kecamatan
( % )
1 Ujung Saribu 6.64 4.24
2 Sibangun Meriah 16.93 10.80
3 Silimakuta Barat 11.09 7.08
4 Saribudolok 20.60 13.15
5 Purba Sinombah 24.77 15.81
6 Purba Tua 12.22 7.80
7 Siboras 14.50 9.25
8 Ujung meriah 9.96 6.36
9 Mardinding 9.30 5.93
10 Naga Saribu 8.23 5.25
11 Purba Tua Baru 11.20 7.15
12 Saribujandi 11.26 7.19
Jumlah 156.70 100.00
(40)
Dari tabel di atas kita dapat melihat bahwa Kecamatan Silimakuta terdiri dari 12 kelurahan atau nagori. Ditinjau dari luasnya wilayah Kecamatan Silimakuta dengan populasi yang cukup padat, maka dalam hal ini penulis membatasi lokasi penelitian yaitu di Nagori/Kelurahan Saribudolok karena daerah ini dianggap mampu mewakili unit analisis penelitian yang dibutuhkan dengan penduduknya yang terdiri dari suku Batak Toba, Karo dan Simalungun dengan luas Wilayah 20,60 Km atau 13,15 %.
4.1.3. Komposisi Penduduk
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang diperoleh oleh peneliti di kantor Kelurahan Saribudolok jumlah penduduk yang terdapat di kelurahan ini berjumlah 7.692 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 1.365 kepala rumah tangga. Jumlah penduduk Kelurahan Saribudolok ini tersebar dalam beberapa lingkungan yang disebut
Urung Warga. Urung Warga ini di bagi menjadi 29. untuk lebih jelasnya mengenai
masalah penyebaran jumlah penduduk dalan urung warga dapat dilihat pada tabel di bawah ini;
Tabel 2
Penyebaran jumlah penduduk berdasarkan lingkungan (Urung Warga) di Kelurahan Saribudolok No Urung Warga (lingkungan) Jumlah Jiwa
1 Urung warga 001 245 orang
2 Urung warga 002 231 orang
3 Urung warga 003 157 orang
4 Urung warga 004 152 orang
5 Urung warga 005 181 orang
6 Urung warga 006 201 orang
7 Urung warga 007 157 orang
8 Urung warga 008 195 orang
9 Urung warga 009 374 orang
(41)
12 Urung warga 012 200 orang
13 Urung warga 013 211 orang
14 Urung warga 014 223 orang
15 Urung warga 015 235 orang
16 Urung warga 016 219 orang
17 Urung warga 017 243 orang
18 Urung warga 018 243 orang
19 Urung warga 019 311 orang
20 Urung warga 020 251 orang
21 Urung warga 021 297 orang
22 Urung warga 022 176 orang
23 Urung warga 023 187 orang
24 Urung warga 024 295 orang
25 Urung warga 025 289 orang
26 Urung warga 026 200 orang
27 Urung warga 027 351 orang
28 Urung warga 028 211 orang
29 Urung warga 029 234 orang
(Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2007)
Berdasarkan tabel di atas kita dapat melihat dengan jelas bahwa Kelurahan Saribudolok dibagi lagi dalam 29 Urung Warga, dimana setiap Urung Warga ini diketuai oleh RT. Pembagian Kelurahan menjadi beberapa Urung Warga dimaksudkan untuk pembagian tugas yang lebih efisien dalam membantu kerja pemerintahan setempat untuk melihat kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Tugas yang paling utama setiap RT di sini juga adalah membantu pemerintahan setempat dalam mendata setiap warganya dalam membuat data statistik Kelurahan Saribudolok.
Sementara jumlah penduduk tersebut dapat diklasifikasikan atas beberapa pembagian yaitu menurut umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
(42)
4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
Mayoritas penduduk Kelurahan Saribudolok adalah Suku Simalungun. Hal ini dikarenakan yang pertama-tama menempati daerah ini adalah Suku Simalungun (penduduk asli). Akan tetapi pada masa sekarang selain penduduk asli banyak juga suku perantauan yang datang seperti, Suku Karo dan Suku Batak Toba. Untuk lebih jelasnya perbandingan daripada jumlah penduduk bedasarkan suku dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3
Perbandingan jumlah penduduk berdasarkan suku
NO Suku Jumlah jiwa Persentase
1 Simalungun 6.006 orang 78,02 %
2 Karo 914 orang 11,88 %
3 Toba 473 orang 6,15 %
4 Jawa 284 orang 3,69 %
5 China 21 orang 0,27 %
Jumlah 7692 orang 100%
(Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2007)
Dari tabel di atas dapat dilihat, bahwa ada beberapa suku bangsa yang terdapat di daerah Saribudolok yaitu; Simalungun sebesar 78,02 %, Batak Toba 6,15 %, Karo 11,88 %, Jawa 3,69 % dan etnis China sekitar 0,27 %. Dari tabel ini kita dapat melihat bahwa suku pendatang yang paling banyak adalah suku Karo sekitar 11,88 % dibandingkan dengan pendatang Etnis Batak Toba yang hanya 6,15 % saja. Satu hal yang perlu kita ketahui banyak diantara suku Batak Toba dan Karo tidak mau disebutkan sebagai pendatang karena mereka merasa sudah bagian dari warga Saribudolok. Hal ini terjadi karena mereka sudah turun-temurun tinggal di Saribudolok atau dengan kata lain sudah lahir di Kelurahan Saribudolok.
(43)
4.1.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur
Dengan memperhatikan data yang diperoleh peneliti dari data statistik dari lapangan (kantor Kelurahan Saribudolok) maka komposisi penduduk terdiri dari beberapa klasifikasi menurut umur dan kelompok tenaga kerja. Berdasarkan jumlah penduduk yang sebanyak 7.692 jiwa, maka jumlah laki-laki adalah sebesar 3.659 jiwa dan perempuan 4.033 jiwa. Berdasarkan jumlah ini jelas terlihat jumlah perbandingan antara penduduk laki-laki dengan perempuan. Dimana jumlah yang paling banyak itu adalah perempuan.
Jumlah penduduk Kelurahan Saribudolok yang dominan usia angkatan kerja yaitu, 27 tahun sampai dengan 57 tahun. Hal ini disebabkan oleh penduduk yang berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima tahun) masih terikat dengan pendidikan masing-masing.
Tabel 4
Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Kelompok Tenaga Kerja
No Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1 0 – 12 bulan 65 72 137
2 1 – 4 tahun 102 115 217
3 5 – 6 tahun 205 211 416
4 7 – 12 tahun 354 365 719
5 13 – 15 tahun 517 577 1.094
6 16 – 18 tahun 429 503 932
7 19 – 25 tahun 328 375 703
8 26 – 35 tahun 496 536 1.032
9 36 – 45 tahun 457 496 953
10 46 – 50 tahun 312 378 690
11 51 – 60 tahun 247 246 493
12 61 – 75 tahun 103 98 201
(44)
4.1.3.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
Kelurahan Saribudolok merupakan daerah yang penduduknya mayoritas suku Simalungun. Sejak jaman dahulu suku bangsa Simalungun itu adalah suku yang menganut Agama Kristen dan Islam. Sama halnya Suku Simalungun yang terdapat di Kelurahan Saribudolok, penduduknya menganut berbagai aliran kepercayaan baik itu agam Kristen Protestan, Khatolik, dan Islam. Tetapi berdasarkan hasil penelitian bahwa penduduk mayoritas menganut agama Kristen Protestan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5
Jumlah Menurut Berdasarkan Agama
No Agama Jumlah Persentase
1 Katolik 3.030 39.4%
2 Protestan 4.053 52.7%
3 Islam 589 7,6%
4 Budha 21 0.3%
5 Hindu -
(Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2007)
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa komposisi penduduk berdasarkan agama di Kelurahan Saribudolok didominasi oleh agama Kristen Protestan, yakni sebanyak 4.053 jiwa atau sekitar 52,7 %. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menganut agama Kristen didominasi oleh suku Batak Toba, Karo dan Simalungun. Sementara untuk agama Islam rata-rata dianut oleh etnis Jawa sedangkan untuk Agama Budha dianut oleh etnis China. Dari data ini juga kita dapat melihat bahwa untuk agama Budha 100 % dianut oleh China dimana hal ini dapat kita lihat dari data penduduk dimana dari 21 jiwa penduduk etnis China semuanya menganut agama Budha.
(45)
4.1.3.4. Penduduk Berdasarkan Pendidikan
Masyarakat Saribudolok adalah masyarakat yang sebenarnya sangat peduli terhadapa pendidikan. Akan tetapi banyak sekali anak-anak sekolah yang putus sekolah hanya samapai jenjang SMA sederajat. Hal minim ini dikarenakan faktor kemalasan khususnya untuk pemuda setempat.
Tabel 6
Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat pendidikan Jumlah
1 SD 1.381
2 SLTP 1.262
3 SLTA 1.357
4 Perguruan tinggi 519
(Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2007)
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa komposisi penduduk berdasarkan pendidikan di Kelurahan Saribudolok sudah tergolong penduduk yang berpendidikan atau pendidikan pada masyarakat sudah mulai berkembang, berkembangnya pendidikan di daerah ini karena daerah ini sudah dekat dengan wilayah perkotaan dan didukung juga oleh sarana prsasarana dan perekonomian di Saribudolok juga sangat mendukung. Hal ini dibuktikan banyaknya minat sekolah dari setiap keluarga untuk melanjutkan studi diluar daerah Saribudolok bukan karena tidak adanya Gedung sekolah tapi pemikiran orangtua yanmg ingin anaknya lebih baik daripada pendidikan mereka terdahulu.
4.1.3.5. Mata Pencaharian
Penduduk Kelurahan Saribudolok hidup hampir 100 % dari berladang, sebagian mata pencaharian lain seperti Guru, pegawai dan juga banyak yang berdagang.
(46)
hasil pertanian. Ini terbukti bahwa rata-rata penduduk yang menjadi pegawai baik swasta maupun negeri termasuk pedagang tetap memiliki lahan pertanian untuk dikelola.
Sebagai suatu daerah pertanian yang strategis yakni berada sekitar 1400 meter di atas permukaan laut dan ilkim yang tetap yaitu musim kemarau dan musim hujan. Dengan perbedaan temperatur antara siang dan malam mencapai 27 – 29 0C. Lahan pertanian sangat subur untuk tanaman hortikultura dan tanaman lainnya. Tanaman yang ada di daerah ini beragam jenis diantaranya ada tanaman keras dan tanaman muda, akan tetapi tanaman muda adalah merupakan pilihan yang utama.
Alasan tanaman muda adalah sebagai tanaman utama dalam pertanian adalah pengurusannya lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil lebih cepat dan yang palimg mendukung itu adalah tanahnya yang subur untuk tanaman capcay ( tanaman muda seperti sayur-mayur). Kelurahan Saribudolok ini dapat dikatakan sebagai tanah yang tergolong subur.
Tanaman muda seperti kentang, cabe, kol, tomat, sayur-mayur dan lainnya. Sedangkan tanaman tua adalah seperti tanaman kopi, jeruk dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil-hasil tanaman inilah penduduk Kelurahan Saribudolok dapat memenuhi kebutuhan hidup baik kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan untuk makan, kebutuhan pendidikan anak dan juga pemenuhan kebutuhan hidup seperti kebutuhan barang-barang mewah dan sebagainya.
(47)
Untuk lebih mengetahui mata pencaharian penduduk masyarakat Saribudolok dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 7
Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Mata pencaharian Jumlah Persentase
1 PNS 117 7.6%
2 Pegawai swasta 189 12.2%
3 Petani 789 51.1%
4 Pengrajin 31 2.0%
5 Pedagang 59 3.8%
6 Penjahit 12 0.8%
7 Montir 18 1.2%
8 Sopir 114 7.4%
9 Pengemudi becak 52 3.3%
10 TNI/Polri 37 2.4%
11 Dokter 16 1.o%
12 Pengusaha 60 3.4%
13 Tukang kayu 8 0.5%
14 Tukang batu 20 1.3%
15 Pensiunan 23 1.5%
(Sumber : Data Kelurahan Saribudolok, 2007)
Berdasarkan tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Saribudolok sebagian besar hidup dari sektor pertanian yaitu sekitar 51,1 %. Akan tetapi perlu kita ketahui walaupun sebagiannya lagi penduduk hidup di sektor jasa, pegawai tetapi mereka juga tetap merangkap sebagai petani, hal ini terbukti pada dasarnya atau setiap penduduk yang ada di Kelurahan Saribudolok rata-rata memiliki juma (ladang) untuk bertani. Oleh sebab itu Saribudolok dikenal sebagai daerah pertanian untuk tanama holtikultura.
(48)
4.1.4. Sarana dan Prasarana 4.1.4.1. Sarana kesehatan
Jika dilihat dari tingkat kesehatannya, maka Kelurahan Saribudolok dapat dikatakan yang peduli akan kesehatan. Hal ini dapat kita lihat dari sarana kesehatan yang tersedia di daerah ini. Demikian juga masyarakatnya yang sudah mulai berpikir logis mengenai kesehatan ini terbukti adanya kehadiran banyaknya bidan desa yang datang. Selain itu juga apabila masyarakat sakit mereka langsung datang ke dokter untuk berobat. Begitu juga bagi ibu-ibu yang mengandung sudah mau mengkonsultasikan kandungannnya ke bidan-bidan yang ada sampai kepada proses persalinan sudah dipercayakan kepada bidan desa yang ada.
Untuk lebih jelasnya ini dapat kita lihat pada tabel di bawah ini mengenai sarana kesehatan yang ada di Kelurahan Saribudolok
Tabel 8 Sarana Kesehatan
No Sarana Kesehatan Jumlah
1 Rumah Sakit 1
2 Puskesmas 1
3 Toko obat 4
4 Apotik 1
5 Klinik 1
6 Posyandu 8
Jumlah 16
(Sumber : Data Kelurahan Saribudolok, 2076)
4.1.4.2. Sarana Ibadah
Dilihat dari hubungan antara manusia dengan Sang Penciptanya, maka setiap daerah tentunya punya sarana seperti rumah ibadah. Walaupun di Kelurahan
(49)
Saribudolok ini ada 3 agama yang berkembang akan tetapi tidak semua agama tersebut mempunyai sarana ibadah, misalnya Agama Budha.
Adapun sarana ibadah yang ada di Kelurahan Saribudolok ini adalah sebagai berikut:
Tabel 9 Sarana Ibadah
No Sarana Ibadah Jumlah
1 Mesjid 1
2 Gereja 7
3 Kuil -
4 Vihara -
Jumlah 8
(Sumber : Data Kelurahan Saribudolok, 2006)
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah sarana ibadah untuk agama Kristen lebih banyak di bandingkan dengan sarana ibadah untuk Muslim. Hal ini dikarenakan Kristen masih dapat dikelompokkan lagi menjadi dua agama yaitu agama Khatolik yang memiliki 2 rumah ibadah dan Kristen Protestan memiliki 5 sarana ibadah. Untuk Kristen Protestan gedung gereja lebih banyak dibandingkan khatolik karena agama Kristen masih dapat dibagi dalam beberapa aliran, seperi aliran gereja suku (GKPS ),Imanuel, GBI, GKII dan Penthakosta yang masing-masing memiliki gedung gereja.
4.1.4.3. Sarana pendidikan
Sebagai derah kelurahan dan merupakan ubukota dari kecamatan Silimakuta, maka Saribudolok mempuyai sarana yang sudah cukup lengkap karena mulai dari Sekolah Tingkat Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Tingkat Atas sudah tersedia. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dalam tabel dibawah ini.
(50)
Tabel 10
Sarana Pendidikan di Kelurahan Saribudolok
No Jenis Sekolah Jumlah
1 Sekolah Dasar ( SD ) 5
2 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) 3
3 Sekolah Menengah Atas ( SMA ) 2
( Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok )
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat jumlah sekolah yang paling banyak adalad Sekolah Dasar. Untuk gedung sekolah masih dapat dibagi yaiyu, untuk SD ada 5, yaitu 2 SD Swasta ( SD Khatolik dan SD GKPS ) dan 3 SD Negri. Untuk SLTP ada 3 diantaranya SLTP Khatolik Bunda Mulia, SLTP negri 1 dan 2 sedangkan untuk SMA terdiri dari SLTA Khatolik Vanduynhoven dan SMA negeri 1.
4.1.4.4. Sarana Angkutan
Kelurahan Saribudolok mempunyai letak yang strategis, karena terletak di antara Pematang Siantar, Kabupaten Karo dan juga Sidikalang. Hal ini pastinya akan membuat wilayah Saribudolok sebagai jalur lintas untuk Sidikalang, Kabupaten karo dan Pematang Siantar. Oleh sebab itu untuk sarana angkutan untuk menuju daerah lain juga sudah terdapat sarana angkutan yang lebih dari cukup. Sedangkan untuk sarana angkutan untuk masyarakat setempat atau antar nagori yang dimanfaatkan adalah kendaraan becak motor. Kendaraan becak motor di Saribudolok sekarang ini sudah cukup menjamur dan ini lebih efisien bagi masyarakat setempat. Karena setiap waktu ada dan yang terpenting untuk penduduk yang kampungnya jauh agak ke pelosok tidak perlu khawatir lagi karena tukang becak kendaraan bermotor siap untuk melayaninya.
(51)
4.2. PROFIL INFORMAN
Dalam penelitian tentang “bagaimana proses adaptasi Bahasa Simalungun, Karo dan Toba pada masyarakat Saribudolok, Kelurahan Saribudolok”. Maka untuk menjawab penelitian tersebut peneliti telah melakukan wawancara terhadap beberapa orang informan. Adapaun profil informan dapat dilihat dibawah ini, yaitu:
4.2.1. Barman Girsang
Bapak Barman sebagai keturunan dari Si Pungka Huta dikenal sebagai Tuan
Sardolok ataupun Sipungka Huta (pembuka kampung) yang tinggal di Sardolok Atas
(urung warga 02). Dia merupakan pnduduk asli Kelurahan Saribudolok karena lahir dari daerah ini, yang beragama Kristen Protestan, pendidikan terakhir adalah SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan untuk kegiatan sehari-harinya untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bertani setelah dia pensiun sebagai guru dari sekolah.
Beliau dipilih sebagai informan karena mengetahui sejarah dan perkembangan Saribudolok. Dia juaga mengetahui lebih dari satu bahasa yaitu ; bahasa Simalungun, Karo dan Batak Toba. Dalam mempelajari bahasa lain, bapak Girsang tidak butuh waktu lama untuk menguasainya, karena melalui pergaulan melalui interaksi sehari-hari dengan penduduk sekitar dimana dia tinggal.
4.2.2. Martuah Situmorang
Martuah adalah salah satu informan sebagai penduduk pendatang dari suku Batak Toba. Dia ini lahir di Samosir, 12 Agustus1973, bertempat tinggal di Kelurahan Saribudolok sekitar tahun 1992. Bapak ini tinggal di Saribudolok di Jalan Merdeka no 13 (urung warga 03). Beragama Kristen Kharismatik, pendidikan terakhir SMU dan bermata pencaharian sebagai petani.
(52)
Tujuan utama kedatangannnya ke Kelurahan Saribudolok untuk mengubah status ekonomi keluarga, dengan inisiatif sendiri dan tidak memiliki keluarga di Saribudolok. Pada awalnya bapak dia hanya bisa menguasai bahasa batak toba dan bahasa Indonesia. Jadi ketika berkomunikasi dengan penduduk setempat dia memakai Bahasa Indonesia. Akan tetapi setelah 3 tahun tinggal di Saribudolok, bapak ini sudah bisa berbahasa Simalungun. Untuk belajar bahasa Simalungun ini, bukanlah melalui proses pembelajaran akan tetapi karena hasil pergaulan sehari-hari dengan masyarakat setempat.
4.2.3. Edy Suranta Ginting
Daerah asal Suranta adalah desa Panribuan yang merupakan daerah Karo. Lahir di Panribuan, 17 April 1978 dan beragama Kristen Protestan. Pendidikan terakhir SMU dan tinggal di Jalan Singgalang (urung warga 10) bermata pencaharian sebagai wiraswasta. Tinggal di Saribudolok sejak tahun 2002.
Tujuan awal datang ke Saribudolok untuk mencari pekerjaan, datang ke Saribudolok karena ajakan dari abang kandungnya yang lebih telah merantau ke Saribudolok. Pada awalnya dia juga hanya bisa menguasai bahasa ibunya saja akan tetapai setelah tinggal di Saribudolok dia bisa menguasai Bahasa Simalungun sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Untuk dapat menggunakan Bahasa Simalungun ini bapak ini hanya membutuhkan waktu 1 tahun yaitu melalui pergaulan.
4.2.4. Robin Pakpahan
Robin Pakpahan adalah suku pendatang yaitu Batak Toba, daerah asal dari Tanah Jawa yang lahir pada tanggal 22 November 1970, bertempat tinggal di jalan Kartini (urung warga 08). Agama yang dianut oleh bapak Robin adalah Kristen
(53)
Protestan, pendidikan terakhir SMU dan pekerjaan sebagai petani. tinggal di Saribudolok sejak tahun 1992, tujuan awal datang ke Saribudolok untuk mencari pekerjaan. Awal kehadirannya di Saribudolok karena keluarganya membawanya yang sudah lama yang terlebih dahulu tinggal di daerah tersebut. Awalnya dia tidak mengerti Bahasa Simalungun akan tetapi kalau ditanya sekarang maka dia akan menjawab sudah bisa menggunakan bahasa Simalungun. Untuk menguasai Bahasa Simalungun dia membutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk dapat menggunakannya dan inipun bisa dia pelajari adalah melalui pergaulan sehari-hari.
4.2.5. Jhon Mada Simanjuntak
Jhon Mada Simanjuntak adalah suku bangsa Batak Toba. Lahir di Perdagangan, 16 Januari 1959. Beliau bertempat tinggal di Jalan Sutomo (urung warga 07), Agama Kristen Protestan, pendidikan terakhir adalah S-1 dan bekerja sebagai pegawai swasta.Bapak ini tinggal di Saribudolok sejak tahun 1992.
Awal dimana kedatangannnya ke Saribudolok karena pindah tugas dari Pematang Siantar. Sebagai orang Batak pada umumnya dia juga menggunakan bahasa batak toba. Akan tetapi untuk bahasa lain seperti bahasa Simalungun, tidak tidak mampu. Sejak tinggal di Saribudolok, dia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Batak Toba karena dari awal dia sudah mengetahui bahwa orang Simalungun Saribudolok bisa atau setidaknya mengerti bahasa lain seperti Bahasa Toba dan Karo. Pada saat ini bapak ini sudah dapat menggunakan Bahasa Simalungun dan penguasaan Bahasa Simalungun inipun tidak membutuhkan waktu yang begitu lama karena dalam jangka setahun bapak ini sudah dapat menguasainya. Penguasaan bahasa ini juga melalui pergaulan sehari-hari.
(54)
4.2.6. Pardomuan Sitinjak
Lahir di Sidikalang, 23 November 1972, beragama Kristen Protestan dan awal kedatangannya ke Saribudolok untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Dia merantau ke Saribudolok sejak tahun 1997 bersama dengan keluarganya, mereka hanya menguasai bahasa ibu mereka. Akan tetapi mereka tahu bahwa masyarakat Saribudolok mampu beradaptasi dengan penduduk setempat. Dalam hal penguasaan bahasa Simalungun maka bapak ini tidak begitu canggung memakai bahasa ini dalam kesehariannya. Proses penguasaan bahasa Simalungun yang dilakukan bapak ini juga tidak begitu lama, dia hanya membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk dapat menguasai Bahasa Simalungun.
4.2.7. Randiman Damanik
Randiman Damanik adalah informan yang berasal dari Suku Simalungun, lahir di Bandar Raya, 17 Februari 1965. bertempat tinggal di jalan besar Pematang Siantar desa Bandar Raya, beragama Kristen Protestan. beliau dapat menguasai bahasa pendatang tidak tahu kapan pastinya. Informan penduduk asli Saribudolok memperistrikan suku Karo yaitu boru Tarigan. Dalam kesehiriannya mereka sering menggunakan dua bahasa yaitu Simalungun dan Karo. Anak-anak mereka yang semula diajarkan bahasa Indonesia pada akhirnya hilang karena lingkungan anak-anak mereka lebih didominasi Bahasa Simalungun dan untuk bahasa Karo dan Batak Toba juga mereka mengerti artinya.
4.2.8. Ricardo Tarigan
Ricardo Tarigan adalah informan yang berasal dari Suku Karo, lahir di Saribudolok, 27 Januari 1975, bermata pencaharian sebagai salah satu guru swasta,
(55)
tinggal di Jalan Kartini dan beragama Katholik. Walaupun suku Karo akan tetapi beliau ini tidak mau disebutkan sebagai suku pendatang karena merasa bahwa dia sudah sangat lama tinggal di Saribudolok bahkan lahir di daerah ini juga. Jadi pad awalnya bapak ini lebih mnguasai bahasa Simalungun dan bahasa Karo. Sedangkan untuk bahasa lain seperti Bahasa batak Toba dia dapat melalui proses pergaulan setiap harinya dan jika ditanya masalah berapa lama dia dapat menguasai bahasa itu maka bapak ini tidak bisa menjawab kapan karena itu mengalir begitu saja tanpa disadari.
4.2.9. M. Sitepu
Ibu M. Sitepu ini adalah informan dari Suku Karo, lahir di Tanah Karo, 18 Mei 1954, beragama Kristen Protestan, berdomisili di Jalan Kartini. Pada awalnya sebagai pedagang, yaitu membuka toko mas sewaktu suaminya masih hidup. Awal kedatangan keluarga ini pertama kali ke Saribudolok adalah untuk membuka usaha tersebut. Kedatangan mereka di Saribudolok itu sudah sejak tahun 1980-an. Anak-anak mereka juga sudah lahir di Saribudolok. Masalah penguasaan bahasa ibu ini lebih fasih memakai bahasa Karo dan Simalungun sedangkan untuk Bahasa Toba dia hanya bisa mengerti saja dan untuk pengucapan ibu ini masih canggung. Hal ini dikarenakan bahasa yang mereka pakai dalam kesehariannya adalah Bahasa Karo dan Bahasa Indonesia, apabila berkomunikasi dengan suaminya J. Ginting maka mereka pakai Bahasa Karo sedangkan dengan anak-anaknya mereka pakai Bahasa Indonesia. Walaupun anak-anakanya diajarkan dirumah memakai bahasa Indonesia akan tetapi pada akhirnya anak-anaknya juga bisa menguasai bahasa Karo, Simalungun dan Batak Toba hal ini dipengaruhi pergaulan anak-anak mereka dengan penduduk setempat.
(56)
4.2.10. Sinar Girsang
Sinar Girsang adalah inforaman dari Suku Simalungun, lahir di Saribudolok, 28 Januari 1952. Bermata pencaharian sebagai pedagang, dalam kesehariannya bapak ini bergaul dengan penduduk setempat dengan suku yang berbeda. beliau memperistrikan dari Suku Karo. Dalam masalah penguasaan bahasa, informan sudah dengan baik bisa menggunakan bahasa pendatang maupun bahasa penduduk setempat. Sama halnya dengan masyarakat penduduk asli lain bapak ini juga tidak tahu kapan pastinya bapak ini dapat bisa menguasai bahasa pendatang. Kalau masalah Bahasa Karo mungkin karena istri bapak ini adalah dari suku karo akan tetapi seperti Bahasa Toba, bapak ini cuma bisa menyatakan tidak tahu kapan yang pasti sejak anak buah saya banyak dari Suku Toba yang lama-lamaan saya juga bisa menyapa mereka dengan bahasa mereka juga.
4.2.11. Nelson Sipayung
Nelson Sipayung adalah salah satu informan dari penduduk asli yaitu Suku Simalungun, lahir di Bandar Raya, 24 Maret 1974. Beragama Khatolik. Kesehariannya bekerja sebagai PNS dan mengolah lahan pertanian. Sebagai penduduk asli berinteraksi untuk menjalin hubungan dengan penduduk setempat, hal ini didukung tempat tinggal yang juga dekat dengan pemukiman warga pendatang yaitu pemukiman kencana. Penduduk pendatang yang ada di daerah ini didominasi pendatang suku Batak Toba. Setiap harinya bapak ini lebih banyak memakai Bahasa Toba dalam berinteraksi dengan penduduk yang ada di lingkungannya. Awalnya bapak ini dapat menguasai Bahasa Toba itu karena faktor interaksi yang kuat dengan penduduk pendatang, khususnya jika
(57)
hendak mencari orang upahan untuk bekerja di ladangnya maka harus medekatkan diri dengan para buruh tersebut dengan memakai bahasa mereka agar lebih akrab.
4.2.12. Kencana Karo-Karo
Kencana Karo-karo adalah salah satu informan yang berasal dari Suku Karo, lahir di Medan 27 Desember 1947 dan beragama Khatolik. Dalam kesehariannya informan membuka usaha dagang. Bapak ini sudah cukup lama tinggal di daerah Saribudolok yaitu sejak tahun 1978. Sama dengan informan lain awal kedatangan bapak ini ke Saribudolok karena alasan ekonomi, beliau melihat peluang usaha karena didaerah tersebut belum ada toko perabot. Jika ditanya mengenai penguasaan bahasa maka bapak ini bisa menguasai tiga bahasa yaitu, Bahasa Karo, Toba dan Simalungun.
Tetapi awal kedatangannnya ke daerah ini beliau hanya mengerti Bahasa Karo dan Toba sehingga ketika pertama kali datang Ke Saribudolok dia berkomunikasi dengan masyarakat setempat dengan memakai bahasa Indonesia. Akan tetapi ketika penduduk setempat tahu bapak ini orang Karo maka penduduk setempat menyapanya dengan Bahasa Karo. Bapak ini dapat memahami bahasa lain itu tidak membutuhkan waktu lama karena dalam jangka waktu 7 bulan bapak ini sudah dapat memahami walaupun untuk pengucapannya tidak sefasih bapak ini berbahasa Karo. Anak-anaknya juga yang sebagaian besar sudah berkeluarga ini lebih menguasai Bahasa Simalungun bahkan dalam keseharian dalam rumah tangganya mereka sudah memakai bahasa penduduk setempat.
4.2.13. Jankosan Sitopu
Jankosan Sitopu suku Simalungun akan tetapi bukan penduduk asli setempat karena tidak lahir di daerah Saribudolok. Lahir di Nagoridolok, 02 Maret 1951.
(1)
masyarakat penduduk setempat itu sudah mendapatkan orang-orang upahan untuk dipekerjakan maka tempat tinggalpun disediakan. Hal ini dilakukan agar mereka tidak lagi lari ketempat orang lain tapi sebagai salah satu cara untuk mengikat mereka. Berarti bagi masyarakat Simalungun memanfaatkan penguasaan bahasa meraka adalah untuk atau agar dapat menguasai penduduk pendatang. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu inforaman ketika peneliti menanyakan bagaimana sejarah awal mengapa orang Simalungun mengetahui bahasa penduduk setempat dan apa manfaatnya;
“ Kapan tepatnya orang Simalungun bisa menguasai bahasa daerah lain…gak bisa kita katakan kapan jelasnya. Cuma setahu saya itu dah lama sekali….yah sejak ada suku perantau yang datanglah seperti Suku Toba yang datang untuk mencari pekerjaan. Sedangkan penduduk setempat pada saat itu punya lahan yang sangat luasa untuk digarap jadi kita butuh haroan kan (buru upahan harian) untuk bekerja diladang. Untuk mengajak mereka maka kita datang ketempat mereka berada jarena dulunya mereka itu tinggl tidak lagi meneyebar seperti sekarang ini tapi mempunyai satu tempat yang lingkungannya satu suku yaitu kampung toba. Jadi untuk menarik mereka atau mananyakan mereka apa mereka dah ada ada kerja ketempat lain kita harus tanyakan dengan pakai bahasa mereka karena pada saat itu mereka masih tetap menggunakan bahasa daerah mereka. Oleh sebab itulah orang Simalungun banyak yang mangerti dan dapat menggunakan bahasa daerah lain karena ingin menguasai penduduk pendatang tadi. Kalau kita sudah tahu bahasa mereka maka kita akan dekat”.
( Wawamcara 24 Januari 2008 dengan Bapak Nelson Sipayung ).
Penguasaan bahasa daerah lain bagi penduduk asli dan penduduk pendatang membawa manfaat bagi diri masing-masing. Tapi penguasaan ini sangat penting bagi kedua belah pihak baik penduduk pendatang maupun penduduk asli karena dengan saling mengerti dan memahami bahasa diantara mereka akan mempermudah terjalinnya hubungan interaksi. Apabila interaksi sudah terjalin diantara mereka maka kehidupan bersama dalam kehidupan masyarakat akan berjalan dengan baik yaitu untuk mewujudkan kehidupan bersama yang yang terhindar dari konflik.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN1. Kelurahan Saribudolok adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Silimakuta, yang merupakan daerah yang ditempati oleh berbagai suku bangsa yaitu suku bangsa Batak Toba, Karo dan Suku Simalungun, dimana yang menjadai suku asli adalah Suku Simalungun dan Suku pendatang adalah Suku Toba dan Karo.Sebagai suku pendatang maka Batak Toba adalah suku yang sejak awalnya datang ke daerah Simalungun bertujuan untuk mencari pekerjaan, rata-rata Suku Batak Toba ini bekerja sebagai buruh yaitu sebagai tenaga upahan harian diladang petani (penduduk asli) dan sebagai upahan harian di gudang- gudang hasil pertanian sedangkan orang Karo bergerak dalam perdagangan.
2. Dilihat dari proses adaptasi antara penduduk pendatang dengan penduduk asli maka adaptasi yang berlangsung adalah saling adaptasi. Akan tetapi jika dilihat dari awal kedatangan penduduk pendatang maka adaptasi yang terjadi adalah adaptasi antara penduduk asli terhadap penduduk pendatang. Hal ini dibuktikan karena apabila ada penduduk pendatang yang baru maka masyarakat Simalungun langsung melakukan komunikasi dengan bahasa daerah dari penduduk pendatang tersebut.
3. Dalam hal penggunaan bilingualistik atau lebih dari satu bahasa, maka hal ini tidak begitu membawa pengaruh yang besar terhadap bahasa daerah
(3)
masing-masing, karena setiap suku masih tetap mempertahankan keutuhan bahasanya masing-masing.
4. Dalam proses adaptasi bahasa oleh masyarakat Simalungun terhadap bahasa Batak Toba atau Bahasa Karo, maka prosesnya adalah singkat karena mereka mengetahui bahasa ini sesuai dengan berjalannya waktu sehingga mereka sendiri tidak bisa menyimpulkan kapan tepatnya penguasaan bahasa itu terjadi. Tapi yang pasti mereka bisa menguasai bahasa pendatang adalah karena keinginan untuk menguasai pendatang untuk dipekerjakan sebagai uapahan harian di lahan pertanian mereka atau digudang-gudang hasil pertanian ( agent-agent). Begitu juga dengan masyarakat pendatang seperti Suku Karo dan Toba maka mereka juga menyatakan bahwa dalam hal proses adaptasi bahasa, mereka tidak membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu berkisar antara 6 bulan sampai dengan 2 tahun saja, dan penguasaan bahasa ini terjadi melalui pergaulan yang terjadi sehari-harinya.
5. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adaptasi bahasa adalah; perkawinan, letak geografis wilayah, strategi bertahan hidup dan melalui pergaulan sehari-hari.
6. Adaptasi bahasa ini sangat bermanfaat bagi penduduk asli dan pendatang. Bagi penduduk asali penguasaan bahasa pendatang maka akan mempermudah mereka untuk menguasai atau berkuasa atasa penduduk pendatang. Sedangkan bagai penduduk pendatang adalah bermanfaat sebagai salah satu cara mendapat simpati dari masyarakat pendatang
(4)
5.2. SARAN
Adapun saran yang ingin peneliti sampaikan adalah:
1. Penelitian yang penelitian lakukan ini adalah masih tahap awal, jadi masih banyak hal yang dapa digali oleh peneliti selanjutnya tentang masyarakat yang majemuk
2. Masyarakat majemuk Saribudolok adalah masyarakat yang unik, karena walaupun berbeda etnis akan tetapi mereka tetap dapat hidup berdampingan tanpa menimbulkan konflik. Hal ini adalah salah satu kajian yang dapat diteliti untuk selanjutnya.
3. Karena Saribudolok adalah masyarakat yang majemuk, maka sebaiknya pemerintahan setempat harus mampu menghilangkan adanya perbedaan kelompok minoritas dan mayoritas dala berbagai hal khususnya status sosialnya.
4. Agar pemerintah tetap memperhatika warganya dengan tetap melakukan tinjauan ulang mengenai data Statistik yang akurat mengenai penduduk pendatang karena masih banyak penduduk pendatag yang belum terdaftar sebagai penduduk setempat.
5. Sebaiknya dalam hal proses adaptasi ini tidak akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pengunaan bahasa asli pada masyarakat asli ataupun pendatang. Karena bahasa adalah merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia khususnya sebagai ciri dari kebudayaan daerah yang perlu dilestarikan.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin.2000. Sosiologi Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Chaer, Abdul. 1994. Sosiolinguistik Secara Umum. Jakarta: Rineke Cipta.
2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineke Cipta.
Cohen, Abner. 1985. Pengantar Kepermasalahan Etnisi, Ras, dalam Abstraksi Tulisan
Konflik dan Persesuaian Antar Etnis, Pelly ( ed). Jakarta.
Depdikbud. 1984. Buku Bimbingan Dan Konseling. Derektorat Pendidikan Dan kebudayaan.
Shadly, Hassan. 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Koejaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rieneke Cipta.
Mansyurdin. 1994. Sosiologi Suati Pengenalan Awal. Kelompok Studi Uikim dan Masyarakat. Fakultasa Hukum USU.
Maleong Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung PT. Remaja.
Mar”at. 1981. Sikap Manusia Pembela serta Pengukurannya. Bandung: Ghalie Indonesia.
Nasution. 1982. Metode Research. Jemmars: Bandung.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasai Suku Minangkabau. Jakarta: UGM Press.
(6)
DAFTAR TABEL
Halaman
12. Jadwal Kegiatan ………. 24
13. Luas Wilayah Menurut Nagori/ Kelurahan Di Kecamatan Silimakuta………. 28
14. Penyabaran Panduduk Bardasarkan Urung Warga (Lingkungan)………. 29
15. Perbandingan Jumlah Panduduk Berdasarkan Suku ………. 32
16. komposisi penduduk berdasarkan umur dan kelompok kerja………..32
17. Perbandingan Jumlah Panduduk Berdasarkan agama………. 33
18. komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan………..34
19. komposisi penduduk berdasarkan mata pancaharian………36
20. Sarana Kesehatan………..37
21. Sarana Ibadah………38