Ringkasan Riwayat Hidup Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami

Kemudian sekitar tahun 1975 saya sering dating menghadiri majlis beliau di masjid an- Nur, jalan Taman Sari II, Kota setiap hari Ahad. Tetapi ketika itu saya belum mengikuti secara rutin. Sekitar tahun 1976 barulah saya dapat hadir secara rutin. Mulai tahun 1977 saya mulai ikut pengajian hari Sabtu di rumah beliau. Kemudian saya juga mengikuti pengajian malam Minggu di Jalan Cilamaya, Cideng di rumah Haji Ali Dimung. Selain itu juga pengajian malam Rabu di masjid Muyassarin, Kebayoran Lama. Di antara pengajian-pengajian Muallim tersebut yang saya terus hadir adalah pengajian hari Sabtu. Saya sengaja tidak mau menerima undangan setiap hari Sabtu bila waktunya bersamaan dengan waktu pengajian di tempat beliau. Bila tidak ada kepentingan mendadak yang tidak bisa dihindari sedapat mungkin saya akan mengikuti majlis beliau. Muallim memiliki kelebihan pada pemahaman ilmu. Pengetahuan beliau tentang berbagai hal sangat luas, tidak terbatas persoalan agama saja. Dalam menjabarkan suatu permasalahan agama, beliau biasanya menjelaskan secara detil dan rinci. Bahkan, beliau tak jarang member pandangan dari pengetahuan umum untuk memperkuat uraian-uraian keagamaannya. Jadi, Muallim Syafi;i Hadzami tak sekedar menguasai ilmu keagamaan. Dalam menjabarkan persoalan agama, Muallim tidak hanya mendasarkan keterangannya dari satu kitab saja. Melainkan, ia memberikan penjelasan lewat berbagai kitabyang sangat berkaitan. Hal ini memang tidak sulit dilakukan oleh beliau, karena di samping memiliki wawasan yang sangat luas dalam berbagai cabang keilmuan Islam, beliau juga mempunyai referensi yang sangat banyak. Itulah mungkin yang membedakan Muallim dengan guru-guru lainnya. 56

D. Ringkasan Riwayat Hidup Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami

56 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, “Kutipan Komentar Para Tokoh”, h. 223-225 Waktu Peristiwa 31 Januari 1931 Lahir dengan nama Muhammad Syafi’i sebagai anak pertama pasangan Bapak Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. 1933 Mulai tinggal bersama Kakek Husin di Batu Tulis XIII, Pecenongan. 1935 Belajar Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada Kakek Husin. Ia belajar kepadanya hingga Kakeknya itu wafat sekitar tahun 1944. 1936 Masuk sekolah dasar HEI Hollandche Engels Instituut yang terletak di Jalan Ketapang. Sekitar 1938 Mulai diajak Kakek Husin untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat Kiyai Abdul Fattah, pemimpin tarekat Idrisiah. Rumah Kiyai Abdul Fattah dan masjidnya terletak di daerah Batu Tulis juga. Pembacaan dzikir dilakukan di malam hari. Kakek Husin juga biasa shalat berjamaah di sana dan Syafi’i kecil selalu diajak. Sekitar 1939 Berdagang kue buatan Neneknya dengan berkeliling sekitar kampungnya sebelum berangkat sekolah. Kegiatan ini dijalaninya selama lebih kurang 2 tahun. 1940 Mengkhatamkan Al-Qur’an dan mulai membantu mengajar teman- temannya. Sekitar 1941 Belajar Al-Qur’an, lughah, nahwu, dan shorof kepada Pak Sholihin. Lebih kurang 2 tahun ia belajar. 1942 Lulus dari HEI Sekitar 1945 Mengikuti kursus stenografi dan pembukuan. 1946 Berdagang barang-barang kelontong di Pasar Atom, setelah kedatangan NICA di Indonesia. 1947 Bekerja di Balai Pustaka sebagai tenaga pemeriksa pembukuan. Ia bekerja selama lebih kurang 2 tahun. 1948 Menikah dengan gadis tetangganya di Batu Tulis bernama Nonon yang di kemudian hari dipanggil dengan panggilan Hajjah Siti Khiyar. Ketika menikah Muallim Syafi’i Hadzami telah tinggal di Kemayoran. 1948 Mulai belajar kepada Guru Sa’idan di daerah Kemayoran. Pada beliau ia mempelajari ilmu tajwid, ilmu nahwu dengan kitab pegangan Mulhatul- I’rab, dan ilmu fiqh dengan pegangan kitab ats-Tsimarul-Yani’ah yang merupakan syarah atas kitab ar-Riyadhul-Badi’ah. Guru Sa’idan pula yang menyuruhnya belajar kepada guru-guru lain, di antaranya kepada Guru Ya’kub Sa’idi Kebon Sirih. Lebih kurang 5 tahun Muallim Syafi’i belajar kepada Guru Sa’idan, yaitu sampai tahun 1953. 1950 Belajar kepada seorang ulama keluaran Mekkah yang terkenal alim, yaitu KH. Ya’kub Saidi yang biasa dipanggil Guru Ya’kub. Selama sekitar 5 tahun sampai tahun 1955, ia mengaji kepada Guru Ya’kub. Banyak kitab yang telah dibacanya sampai khatam, terutama kitab-kitab dalam ilmu ushuluddin dan manthiq. Di antara kitab-kitab yang dikhatamkan padanya adalah Idhahul-Mubham, Darwisy Quwaysini, dan lain-lain. 1950 Mulai belajar kepada KH. Mahmud Romli Guru Mahmud Muallim mengaji kitab kepada Guru Mahmud hingga beliau wafat pada tahun 1959. Kitab-kitab yang dipelajari diantaranya adalah Ihya’ Ulumiddin tashawuf dan Bujairimi fiqih. 1951 Mendapatkan anak pertama yang diberi nama Ahmad Chudlory. Kini H. Ahmad Chudlory menjadi anggata DPRD DKI Jakarta dari fraksi PPP. 1953 Selama lebih kurang 5 tahun, yaitu sampai tahun 1985, Muallim Syafi’i belajar kepada KH. Mukhtar Muhammad di Kebon Sirih yang masih terhitung mertuanya sendiri juga murid dari Guru Ya’kub. Di antara kitab yang dibaca ketika mengaji padanya adalah Kafrawi dalam ilmu Nahwu. Sekitar 1956 Bekerja di RRI sebagai pegawai negeri. Tugasnya adalah transcription service, yaitu rekaman music-musik. 1958 Mulai belajar kepada Habib Ali bin Husein al-Aththas Habib Ali Bungur. Muallim Syafi’i belajar kepadanya hingga beliau wafat pada tahun 1976. Ia banyak sekali mengaji kitab kepada beliau. Biasanya sebelum berangkat ke kantor di RRI, Muallim datang ke tempat Habib Ali Bungur dan membaca kitab di hadapannya. Sekitar 1960 Muallim meminta rekomendasi kepada Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi Habib Ali Kwitang atas karangannya yang berjudul al-Hujajul- Bayyinah argumentasi-argumentasi yang jelas. Setelah melihat karangan Muallim itu, Habib Ali bukan hanya memberikan rekomendasinya dalam bahasa Arab melainkan juga memberikan sebuah Al-Qur’an, tasbih, dan uang sebesar 5.000 rupiah kepadanya. Uang sebesar itu sangat lumayan untuk ukuran waktu itu. 1963 Sewaktu Muallim Syafi’i Hadzami baru mengajar pada 14 majlis taklim, terbentuk sebuah badan yang bernama BMMT Badan Musyawarah Majlis Taklim yang mengkoordinasikan majlis-majlis itu. Dalam musyawarah yang diadakan pada tanggal 7 April 1963 dan dipimpin langsung oleh Muallim Syafi’i Hadzami, dapat ditetapkan dan disahkan susunan pengurus BMMT yang diberi nama Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah sekaligus mengukuhkan pimpinan-pimpinan majlis taklim tersebut. 1966 Menunaikan haji yang pertama bersama kawan dagangnya, Haji Abdul Qadir Ghozali. 1969 Setelah bertugas cukup lama, maka atas pertimbangan-pertimbangan tertentu, Muallim memutuskan berhenti dari RRI. Statusnya sebagai pegawai negeri ia tinggalkan dan ia mencari pekerjaan lain. 1970 Mulai mengasuh pengajian udara di Radio Cenderawasih, Jakarta selama beberapa tahun. Pada mulanya berbentuk ceramah sebagaimana biasa. Karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang masuk, maka pihak radio memintanya untuk mengasuh acara tanya jawab. Dengan jawaban- jawaban yang argumentative berdasarkan dalil-dalil yang kuat, para penanya dan permisa radio lainnya merasa puas. Karenanya, tidak heran bila kemudian acara ini banyak dipuji orang. Bahkan, salah seorang gurunya yang paling utama pun, Habib Ali bin Husein al-Attas Habib Ali Bungur menyatakan kegembiraannya dan memujinya. 1971 Jawaban-jawaban yang beliau sampaikan di radio Cenderawasih berikut dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, diterbitkan dengan judul Taudhihul-Adillah yang artinya menjelaskan dalil-dalil, disertai judul dalam bahasa Indonesia Seratus Masalah Agama. Hingga saat ini telah tujuh jilid buku yang diterbitkan. Inisiatif penerbitannya datang dari Muallim sendiri. Selain di Indonesia, buku itu juga pernah dicetak di Malaysia. 1972 Setelah BMMT berjalan sekitar 10 tahun, majelis-majelis taklim yang diasuh Muallim bertambah lagi 9 buah, sehingga semuanya menjadi 23 majelis taklim. Dengan adanya perkembangan ini, maka dalam musyawarah pengurus tanggal 16 pebruari 1972 yang dipimpin langsung oleh KH. M. Syafi’i Hadzami diputuskan untuk mengadakan penyegaran anggota pengurus. 1973 Muallim untuk kedua kalinya kembali mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji. Kali ini ia berangkat bersama istrinya. Ikut pula bersama Muallim beberapa orang jamaah al-Asyirotusy-Syafi’iyyah. 1975 Jumlah majelis taklim beliau bertambah menjadi 26 buah yang tepatnya lebih tersebar luas lagi. Berlandaskan musyawarah mufakat segenap anggota majelis-majelis taklim, maka pada tahun 1975 dengan akte Notaris M.S. Tadjoedin no. 288 tertanggal 30 Juni 1975, dibentuk suatu yayasan yang bernama Yayasan BMMT al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah dengan ketua umumnya KH. Muhammad Syafi’i Hadzami. 1 Juni 1975 Dalam suatu pertemuan antara pengurus Yayasan BMMT dengan para anggota majelis taklim, Yayasan telah menerima tanah untuk modal pembangunan kompleks pesantren. Tanah untuk membangun gedung pesantren itu terletak di Kampung Dukuh, kebayoran Lama Jakarta Selatan. 1975 Di angkat menjadi salah satu anggota pengurus MUI DKI untuk periode 1975-1980. 20 Januari 1976 Guru Sa’idan wafat dan dimakamkan di daerah Kranji, Bekasi. 16 Pebruari 1976 Habib Ali bin Husein al-Aththas, salah seorang guru utama dari Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami wafat dan dimakamkan di dekat masjid al-Hawi, Cililitan, Jakarta Timur. 19 Januari 1977 Dalam suatu upacara peresmian dimulailah pelaksanaan pembangunan kompleks pesantren. Dalam kesempatan itu sambutan-sambutan yang bersifat dukungan telah diberikan oleh Bapak Haji Urip Widodo selaku Wakil Gubernur DKI, Bapak KH. Dr. Idham Chalid, dan beberapa ulama terkemuka Jakarta. 1980 Diberi kepercayaan yang lebih tinggi dalam kepengurusan MUI DKI periode 1980-1985, yaitu sebagai salah satu ketua. 1985 Jabatan sebagai salah satu ketua MUI DKI untuk periode kepengurusan 1985-1990 kembali dipercayakan kepada Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami. 1990 Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi lagi dalam kepengurusan MUI DKI. Kali ini beliau diberi amanah sebagai ketua umumnya. 1994 Menjadi salah satu anggota delegasi MUI yang berangkat ke Malaysia dalam rangka memenuhi undangan Pemerintah Malaysia untuk menghadiri suatu pertemuan yang berkaitan dengan persoalan Darul- Arqam. Tokoh-tokoh lain yang ikut berangkat ke Malaysia dalam kesempatan itu adalah KH. Ilyas Ruhiyat, KH. Sahal Mahfudz, KH. Ma’ruf Amin, Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, dan beberapa orang lainnya. 1994 Pada Muktamar NU ke-29 yang berlangsung tanggal 1 sampai 5 Desember 1994 di pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami ikut menghadirinya. Dalam muktamar ini beliau dipilih sebagai salah satu rois syuriah. 1995 Dipilih kembali sebagai ketua umum MUI DKI untuk periode 1995-2000. 22 April 1997 Muhammad Saleh Raidi, ayah Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman umum Gandaria, tidak jauh dari kediaman Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami. 1999 Muallim menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama dengan anak angkatnya, H. Muhammad Erwin Indrawan. 07 Mei 2006 Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami pulang ke rahmatullah tepatnya pada hari Minggu kurang lebih jam 08.30 wib setelah mengajar taklim di masjid Ni’matul-Ittihad Pondok Pinang, Ciputat. 57 57 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, h. 281-287

BAB IV MASYARAKAT BETAWI KAMPUNG DUKUH

DAN TRADISI ZIARAH KUBUR Hal yang penting dalam memahami tradisi ziarah kubur pada masyarakat Betawi Kampung Dukuh adalah melihat kegiatan atau aktivitas mereka sehari-hari. Aktivitas tersebut umumnya merupakan bagian dari tradisi termasuk tardisi keagamaan yang berupa ziarah kubur. Dalam upacara tradisi keagamaan dikenal apa yang disebut ”tradisi besar” great tradition dan ”tradisi kecil” little tradition, yakni sepasang konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh pakar antropologi Amerika Robert Redfield. Konsep ini kemudian banyak digunakan para antropolog lain dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. 58 Konsep tersebut mengungkapkan bahwa dalam suatu peradaban terdapat dua macam tradisi yang dapat dikatagorikan sebagai great tradition di satu pihak dan little tradition di 58 Dua konsep tentang ”tradisi besar” dan ”tradisi kecil” ciptaan Redfield ini menuai kritik dari di antaranya Bambang Pranowo. Menurutnya. Kategorisasi Redfieldian terkesan menyederhanakan persoalan, bagaimana mungkin tradisi yang sedemikian kompleks memungkinkan dipahami hanya dalam dua cara pandang. Terlebih, dua konsep tersebut tidak dapat dioperasionalisasikan secara jelas. Bambang menambahkan bahwa betapa naifnya konsep ini ketika dipakai untuk memotret fenomena sekte atau aliran keagamaan. Di dalam Islam misalnya, sekalipun umat Islam disatukan oleh Tuhan dan kitab suci yang sama, toh pada lapangan teoritis dan praksis mereka tercerai-berai ke dalam beribu-ribu sekte: ada Syiah Bahaiyyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Imamiyah, dst, Sunni Asyariyah, Maturidi: Bukhara, Khurasan, Ahmadiyah Qadiyan dan Lahore, mazhab Maliki, Syafi`I, Hambali, Hanafi, Dawud al-Dzahiri, dan seterusnya. Jika konsep ini tetap dipaksakan, maka akan muncul kesalahan sistematis systematic error yang tak terhindarkan. Kekhawatiran inilah yang mendasari kritik Marshall Hodgson terhadap trikotomisasi santri, priyayi, dan abangan Geertzian yang diterapkan pada masyarakat Islam Jawa pada dekade 1950-an. Lihat Bambang Pranowo, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998, h. 8-9.