3. Sebelah Selatan
: Bungur Kel. Kebayoran Lama Selatan 4.
Sebelah Barat : Peninggaran Timur Kel. Keb. Lama Utara
Untuk datang ke makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami sangat mudah apabila ingin berziarah, bisa dari arah Ciputat, Lebak Bulus, Pondok Pinang, dan lebih dekat lagi
dari arah Kebayoran Lama. Lokasinya bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum maupun pribadi. Jika menggunakan kendaraan umum bisa naik mikrolet DO1 jurusan Ciputat
Kebayoran Lama dan metromini 85 jurusan Lebak Bulus Kali Deres. Jika dari arah Ciputat turun di Alteri menyeberangi jalan kearah Jl. KH. M. Syafi’i Hadzami letaknya tidak jauh ± sekitar 50
meter. Jangan takut kesasar menuju makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami
karena penduduk asli setempat pada umumya pasti sudah mengenal sosok Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami, dan beliau ini pendiri Yayasan Al-Asyirotusy-Asyafi’iyyah.
B. Biografi Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami
Muhammad Syafi’i. Itulah nama yang diberikan oleh pasangan Bapak Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini untuk anak tertua mereka yang lahir pada tanggal 31 Januari 1931 M
bertepatan dengan 12 Ramadhan 1349 H. Di kemudian hari ia lebih dikenal dengan nama Syafi’i Hadzami atau lengkapnya KH. M. Syafi’i Hadzami. Oleh anak-anak dan cucunya, ia kini biasa
dipanggil jid dari kata bahasa arab yang berarti kake. Ada pula yang memanggil buya. Sedangkan murid-muridnya biasa menyebutnya dengan sebutan Muallim. Nama Hadzami
sebutan dari salah seorang sahabatnya, karena kepintaran beliau. Di kemudian hari nama Hadzami menjadi sangat melekat pada dirinya dan banyak orang mengira bahwa Syafi’i
Hadzami adalah nama beliau sejak lahir. Sehingga, jika disebut nama Muhammad Syafi’i, mungkin orang tidak tahu bahwa itu adalah nama beliau.
50
Ayah Muallim yang dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1911 adalah seorang Betawi asli, sedangkan ibunya berasal dari daerah Citeureup, Bogar, Jawa Barat. Ketika Muallim Syafi’i
dilahirkan, ayahnya ini sedang bekerja di sebuah perusahaan minyak asing di Sumatera Selatan. Sekitar 2 tahun ayah Muallim bekerja di sana. Setelah kontraknya selesai ia kembali ke kampung
halamannya, Rawabelong. Muallim Syafi’i mempunyai tujuh saudara kandung. Tidak seperti Muallim yang tinggal bersama kakeknya, semua saudaranya ini ketika kecil tinggal bersama
kedua orang tua mereka. Mereka adalah Solehah, Safri, Sa’diah, Suhairi, Sahlani, Saidi, dan Syafwani.
Sejak kecil, Syafi’ tidak lagi tinggal dengan orang tua dan adik-adiknya, melainkan dengan kakeknya yang tinggal di Batu tulis XIII dulu disebut Gang Lebar, Pecenongan yang
bernama Husin. Ketika itu ia belum berusia 2 tahun karena seingatnya masih suka jatuh bila berjalan. Ia memanggil Kakek Husin dengan sebutan jid. Orang-orang lain di Kampungnya juga
memanggilnya dengan panggil yang sama. Kakek Husin tidak mempunyai anak. Maka jadilah Syafi’i sebagai pengganti anak baginya. Dulu ayah Syafi’i ketika kecil juga dirawat oleh Kakek
Husin. Ketika Muallim mulai tinggal bersamanya, Kakek Husin sudah pensiun. Sebelumnya ia bekerja sebagai pegawai percetakan. Setelah pensiun, waktunya diisi dengan mengajar ngaji
anak-anak di samping juga berdagang kecil-kecilan. Kakek Husin mengajari ngaji Muallim sampai fasih, berserta ilmu tajwidnya. Dalam
mengajar Al-Qur’an, Kakeknya bener-bener memberikan perhatian, bukan asal khatam saja. Kakeknya ingin sang cucu bener-bener memahami apa yang dipelajarinya. Cara Kakek Husin
50
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, Jakarta: Yayasan Al-Asyirotusy Syafi’iyyah, 1999. Cet 1, h. 11-12.
dalam mendidik dirasakan Syafi’i sangat keras. Shalat, misalnya, harus dilaksanakan tepat waktu. Bila waktu subuh telah tiba tetapi ia belum bangun, ia diguyurin air. Sikap disiplin
menjalankan perintah agama semacam inilah yang ditanamkan oleh Kakeknya. Begitu disiplinnya beliau sampai main-main pun Syafi’i dilarang.
Pada usia 9 tahun Syafi’i sudah khatam Al-Qur’an di bawa asuhan Kakeknya yang disiplin dan tegas dalam pendidikan, Syafi’i juga mengajar anak-anak lain pada usia itu. Mereka
itu anak-anak sekampungnya dan kurang lebih sebaya dengannya. “Kalau tidak begitu cara Kakek mendidik, saya mungkin enggak jadi orang,” begitu kata Muallim.
51
Sejak kecil, Muallim Syafi’i senang melihat orang-orang pinter, terutama para Kiyai. Ia ingin bisa seperti mereka. Karena itu, ketika kecil ia senang berpakaian seperti ulama. Namun ia
tidak tahu, dari mana datangnya keinginan itu. Pada keluarganya, ia tak melihat ada kecendrungan untuk menjadi Kiyai. Barang kali didikan Kakeknya yang selalu menyuruh untuk
mengaji dan sering mengajaknya ke tempat-tempat para ulama yang membuatnya ingin menjadi seperti mereka.
Sejak kecil Muallim Syafi’i tak mengalami benturan cita-cita dengan Kakeknya. Seandainya Kakek Husin seorang yang sangat kaya dan pergaulannya sangat luas, mungkin lain
lagi ceritanya. Bukan mustahil Kakeknya menghendaki Syafi’i menjadi “kantoran”. Mungkin juga ia disekolahkan agar menjadi dokter atau ahli hukum. Tetapi sebagai seorang guru ngaji,
Kakeknya tak melihat segi lain dalam kehidupannya selain bahwa cucunya pun harus bergulat di bidang agama.
51
Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, h. 13.
Dalam pendidikan agama, bisa dikatakan ia tidak ditunjang oleh orang tua. Semua dilakukan dengan kemauan sendiri. Ia mengembangkan semangat sendiri dan belajar keras
sendiri. Jadi, ia bener-bener mandiri. Hanya watak Kakeknya sangat mempengaruhidirinya.
52
Sepuluh tahun lalu, tepatnya tanggal 22 April 1997 ayah Muallim telah berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman umum Gandaria, tidak jauh dari kediaman
Muallim. Sedangkan setahun yang lalu tepatnya hari minggu tanggal 07 Mei 2006 sekitar jam 08.30 kurang lebih Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami penerang kota Jakarta berpulang ke
rahmatullah setelah mengajar di Masjid Ni’ matul- Ittihad Pondok pinang, Ciputat Raya.
C. Pandangan Ulama Mengenai Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami.