Penentuan PH Dan Kadar Amonia (NH3) Lateks Pada Tangki Truck Pengangkutan Di PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate

(1)

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya Ilmiah yang penulis sajikan berjudul “Pengaruh pH dan Kadar Amoniak (NH3) Lateks Pada Tangki Truck Pengangkutan di PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate”. Karya

Ilmiah ini disusun untuk melengkapi dan menyelesaikan program Diploma 3 Kimia Analis Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selesainya Karya Ilmiah ini juga tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayahanda Kompol Zulkifli, SH dan Ibunda Faria Herti Nasution, Spd yang selalu memberikan doa dan dukungan baik moril maupun materil.

2. Ibu Juliati Tarigan, SSi, MSi selaku pembimbing pada penyelesaian karya ilmiah ini yang telah memberikan panduan dan kepercayaan penuh kepada penulis untuk menyempurnakan karya ilmiah ini.

3. Ibu Dr.Rumondang Bulan, MS selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA USU. 4. Adik-adik ku tersayang Fiqih Eria Sandi, Debsi Nia Novia dan Anisa Rizma yang

selalu memberi dukungannya.

5. Bang Danny Arabi, ST yang telah banyak membantu penulis dalam banyak hal. 6. Bang Wahyu Afriansyah, ST dan Kak Ira Madiana, SKM yang telah memberi

bantuan selama penulis menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate serta adik Acha yang senantiasa menghibur.

7. Bapak Dani Sukmayadi, ST ,Bapak Husni, ST, Bapak Ir.Bona Pakpahan serta seluruh staf dan analyst di PT bridgestone Sumatra Rubber Estate yang telah banyak membimbing dan memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

8. Teman ku Nursahara Siregar dan Muhammad Anas Harahap yang telah banyak membantu penulis dalam hal pencarian buku tentang karet.

9. Teman-Teman satu patner PKL penulis Oriza Irawan, Sri Wahyu Mei Bella, dan

William P.Singarimbun yang telah membantu penulis dalam berbagai kesempatan.

Serta Aurora, una dan dina sebagai teman yang dapat selalu memberikan motivasi. 10. Rekan-rekan seperjuangan Kimia Analis khususnya angkatan 2008.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam penulisan Karya Ilmiah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca yang sifatnya membangun kesempurnaan Karya Ilmiah ini. Penulis mohon maaf jika ada kesalahan dan terdapat kekurangan dalam laporan Karya Ilmiah ini. Akhir kata penulis berharap semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis.


(2)

ABSTRAK

Kualitas lateks sangat berpengaruh terhadap mutu karet remah yang dihasilkan. Salah satu parameter yang di analisis adalah nilai pH dan kadar amonia (NH3).

Kadar amonia yang terkandung dalam lateks diperlukan tetapi dalam jumlah tertentu yang sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ataupun standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan yaitu ≤ 0,35%. Jika melebihi standar yang sudah ditetapkan maka akan meningkatkan biaya produksi. Penurunan kualitas lateks umumnya disebabkan terjadinya proses prakoagulasi. Prakoagulasi pada lateks dapat terjadi karena aktivitas mikroorganisme, aktivitas enzim, cuaca atau masuknya kotoran, pengangkutan, penuangan serta adanya kontaminasi dari luar yang berhubungan dengan logam dari besi. Telah dilakukan penentuan pH dan kadar ammonia (NH3) dengan metode titrasi menggunakan HCl 0.1 M sebagai zat

pentiter dan methyl red 0.5 % sebagai indikator. Berdasarkan data diperoleh bahwa kadar amonia (NH3) pada lateks telah memenuhi standar yang telah


(3)

DETERMINATION OF pH AND CONCENTRATION AMMONIA (NH3) LATEX IN TANK TRUCK CARRIAGE AT

BRIDGESTONE SUMATRA RUBBER ESTATE

ABSTRACT

The quality of latex was very influential on the quality of crumb rubber produced. One of the parameter in the analysis was the value of pH and concentration of ammonia (NH3). Levels of ammonia contained in the latex

required but in a certain amount in accordance with the SNI (Indonesian National Standard) or the standards set by the company that was ≤ 0.35%. If you exceed the standards that have been defined it will increase production costs. Decline in the quality of latex was generally cause by the process of prakoagulasi. Prakoagulasi in latex can occur because of activities of microorganisms, enzyme, activity, weather or the entry of dirt, transporting, decanting and the presence of external contamination associated with metal from the iron. Determination of pH and concentration of ammonia with titration method using 0.1M HCl as substance pentiter and 0.5% methyl red as indicator. Based on the latex has met the standards established by the company or SNI ≤ 0.35%.


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii

PENGHARGAAN iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR GAMBAR ix

BAB 1 PENDAHULUAN

1..1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 3

1.3. Tujuan 3

1.4. Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi Tanaman Karet 4

2.2 Lateks 5

2.2.1. Sifat Kimia Lateks 8

2.3. Cara Memperoleh Lateks 9

2.3.1. Penyadapan Tanaman karet 9

2.3.2. Pengumpulan Lateks di Kebun 10

2.3.3. Prakoagulasi 12

2.3.3.1 Faktor-Faktor Penyebab Prakoagulasi 13

2.3.4. Pencegahan Prakoagulasi 15

2.3.4.1. Pencegahan Secara Manual 15 2.3.4.2. Pencegahan Menggunakan Zat Antikoagulan 15 2.3.5. Bahan Senyawa Penggumpal (koagulan) 17

2.4. Pemeriksaan Mutu Bahan Baku 18


(5)

2.6. Perbedaan Karet Alam dengan Karet Sintetis 19

2.7. Manfaat Karet 20

2.7.1. Manfaat Karet Alam 20

2.7.2. Manfaat Karet Sintetis 20

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Alat-Alat 21

3.2. Bahan-Bahan 21

3.3. Prosedur 22

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil 23

4.2. Perhitungan 24

4.2.1. Penentuan % NH3 24

4.2.2. Persamaan Least Square 26

4.2.3. Persamaan Garis Regresi 27

4.3. Pembahasan 29

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 33

5.2. Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN Daftar Tabel

Tabel 1. Standar Spesifikasi Lateks Menurut PT Bridgestone 35 Sumatra Rubber Estate


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Rumus Bangun Cis 1,4 – poliisoprena (karet alam) 3


(7)

ABSTRAK

Kualitas lateks sangat berpengaruh terhadap mutu karet remah yang dihasilkan. Salah satu parameter yang di analisis adalah nilai pH dan kadar amonia (NH3).

Kadar amonia yang terkandung dalam lateks diperlukan tetapi dalam jumlah tertentu yang sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ataupun standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan yaitu ≤ 0,35%. Jika melebihi standar yang sudah ditetapkan maka akan meningkatkan biaya produksi. Penurunan kualitas lateks umumnya disebabkan terjadinya proses prakoagulasi. Prakoagulasi pada lateks dapat terjadi karena aktivitas mikroorganisme, aktivitas enzim, cuaca atau masuknya kotoran, pengangkutan, penuangan serta adanya kontaminasi dari luar yang berhubungan dengan logam dari besi. Telah dilakukan penentuan pH dan kadar ammonia (NH3) dengan metode titrasi menggunakan HCl 0.1 M sebagai zat

pentiter dan methyl red 0.5 % sebagai indikator. Berdasarkan data diperoleh bahwa kadar amonia (NH3) pada lateks telah memenuhi standar yang telah


(8)

DETERMINATION OF pH AND CONCENTRATION AMMONIA (NH3) LATEX IN TANK TRUCK CARRIAGE AT

BRIDGESTONE SUMATRA RUBBER ESTATE

ABSTRACT

The quality of latex was very influential on the quality of crumb rubber produced. One of the parameter in the analysis was the value of pH and concentration of ammonia (NH3). Levels of ammonia contained in the latex

required but in a certain amount in accordance with the SNI (Indonesian National Standard) or the standards set by the company that was ≤ 0.35%. If you exceed the standards that have been defined it will increase production costs. Decline in the quality of latex was generally cause by the process of prakoagulasi. Prakoagulasi in latex can occur because of activities of microorganisms, enzyme, activity, weather or the entry of dirt, transporting, decanting and the presence of external contamination associated with metal from the iron. Determination of pH and concentration of ammonia with titration method using 0.1M HCl as substance pentiter and 0.5% methyl red as indicator. Based on the latex has met the standards established by the company or SNI ≤ 0.35%.


(9)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman karet bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman karet diduga sebagai tanaman asli dari Brasil, Amerika Selatan. Diperkirakan, bangsa kulit putih yang pertama kali mengenal dan memanfaatkan tanaman karet, yaitu pada abad ke-15, tak lama sesudah benua Amerika ditemukan oleh Colombus. Kini, tanaman karet telah dibudidayakan dan dikembangkan secara luas di banyak Negara di dunia, seperti Afrika, Inggris, India, Thailand, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka dan sebagainya. Namun, penghasil karet terbesar di dunia adalah Brazil. Di Indonesia, sekitar abad ke 18 penyebaran tanaman karet mulai dikembangkan (Cahyono, 2010). Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) memiliki peranan yang besar dalam kehidupan perekonomian Indonesia. Banyak penduduk yang hidup dengan mengandalkan komoditi penghasil getah ini. Karet tak hanya diusahakan oleh perkebunan-perkebunan besar milik Negara yang memiliki areal mencapai ratusan ribu hektar, tetapi juga diusahakan oleh swasta dan rakyat.

Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya, karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman baru untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan tersebar di beberapa daerah. Pada tahun 1864 perkebunan karet mulai diperkenalkan di Indonesia. Perkebunan karet dibuka oleh


(10)

Hofland pada tahun tersebut di daerah Pamanukan dan Ciasem Jawa Barat. Pertama kali jenis yang ditanam adalah karet rambung atau Ficus

Elastica. Jenis karet Hevea (Hevea Brasiliensis) baru ditanam tahun 1902

di daerah Sumatera Timur. Jenis ini ditanam di pulau Jawa pada tahun 1906.

Hasil dari produk tanaman karet yang diambil melalui penyadapan untuk diolah selanjutnya menjadi bahan olah karet disebut lateks. Penyadapan adalah suatu tindakan pembukaan pembuluh lateks, agar lateks yang terdapat di dalam tanaman karet dapat keluar. Lateks dapat diolah menjadi sheet, lateks pekat, dan karet remah (Anonim, 1999). Untuk mendapatkan hasil olah karet yang bermutu baik, syarat yang harus dipenuhi adalah tingkat kebersihan lateks dan penanganan pengumpulan lateks hasil penyadapan di kebun (Cahyono, 2010). Untuk menjaga supaya tidak terjadi prakoagulasi perlu kiranya dijaga sistem suspensi koloidal air dan bahan-bahan kimia yang terdapat pada lateks. Sehingga perlu untuk menambahkan amonia sebagai penstabil, karena amonia harganya murah, mudah didapat di pasar dan tidak mengandung racun serta dapat menaikkan pH. Namun demikian pemakaian amonia juga harus diperhatikan sehingga kualitas lateks dapat dipertahankan untuk diolah selanjutnya.

Untuk itu penulis ingin melakukan penelitian tentang PENENTUAN pH DAN KADAR AMONIA (NH3) LATEKS PADA TANGKI TRUCK

PENGANGKUTAN DI PT BRIDGESTONE SUMATRA RUBBER ESTATE.


(11)

1.2. Permasalahan

Salah satu parameter yang harus dipenuhi dalam meningkatkan kualitas lateks yang dihasilkan adalah kadar amoniak yang memiliki standar ≤ 0,35. Apabila

lebih dari itu maka dapat menurunkan mutu dari lateks yang dihasilkan sehingga dapat merugikan pihak perusahaan.

Dengan demikian berapakah pH dan kadar amonia (NH3) lateks pada

tangki truck pengangkutan di PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate dan apakah masih sesuai dengan SNI.

1.3. Tujuan

- Untuk menentukan pH dan kadar amonia (NH3) lateks pada tangki

truck pengangkutan di PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate. 1.4. Manfaat

- memberikan informasi tentang penentuan pH dan kadar amonia (NH3)

lateks dalam tangki truck pengangkutan di PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate, sehingga dapat diketahui kualitas lateks dan dapat digunakan untuk pengolahan selanjutnya.


(12)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi tanaman karet

Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 15o LS dan 15o LU. Bila di tanam di luar zone tersebut, sehingga memulai pertumbuhannya pun lebih lambat, sehingga memulai produksinya pun lebih lambat (setyamidjaja, 1993).

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring kea rah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal lateks (Anonim, 1999).

Memang, tanaman karet tergolong mudah diusahakan. Apalagi kondisi Negara Indonesia yang beriklim tropis, sangat cocok untuk tanaman yang berasal dari Daratan Amerika Tropis, sekitar Brazil. Hampir di semua daerah di Indonesia, termasuk daerah yang tergolong kurang subur, karet dapat tumbuh baik dan menghasilkan lateks. Karena itu, banyak rakyat yang berlomba-lomba membuka tanahnya untuk dijadikan perkebunan karet.

Luas lahan karet yang dimiliki Indonesia mencapai 2,7-3 juta hektar. Ini merupakan lahan karet yang terluas di dunia. Perkebunan karet yang besar banyak diusahakan oleh pemerintah serta swasta. Sedangkan perkebunan-perkebunan karet dalam skala kecil pada umumnya dimiliki oleh rakyat.


(13)

Sayangnya, perkebunan karet rakyat tidak dikelola dengan baik. Boleh dibilang pengolahan yang dilakukan hanya seadanya. Setelah ditanam, karet dibiarkan tumbuh begitu saja, perawatannya kurang diperhatikan. Tanaman karet tua jarang yang diremajakan dengan klon baru. Itulah sebabnya produktivitas perkebunan rakyat masih sangat rendah. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah mutu karet olahan yang dihasilkan (Anonim, 1999).

Menurut Cahyono, dalam ilmu tumbuhan, tanaman karet diklasifikasikan sebagai berikut : (Cahyono, 2010).

Kingdom/Philum : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub divisi : Angiospermae (biji berada dalam buah) Kelas : Dycotyledonae (biji berkepin dua) Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiales Genus : Hevea

Spesies : Hevea bransiliensis 2.2. lateks

Getah karet atau lateks sebenarnya merupakan suspensi koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang terkandung di dalamnya. Bagian-bagian yang terkandung di dalamnya. Bagian-bagian yang terkandung tersebut tidak larut sempurna, melainkan terpencar secara homogen atau merata di dalam air. Partikel-partikel koloidal ini sedemikian kecil dan halusnya sehingga dapat menembus saringan.


(14)

Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua komponen. Komponen pertama adalah bagian yang mendispersikan atau memancarkan bahan-bahan yang terkandung secara merata, biasa disebut serum. Bahan-bahan bukan karet yang larut dalam air, seperti protein, garam-garam mineral, enzim, dan lain-lain termasuk ke dalam serum. Komponen kedua adalah bagian yang didispersikan atau dipancarkan. Komponen kedua ini terdiri dari butir-butir karet yang dikelilingi lapisan tipis protein (Tim Penulis, 1999).

Rumus molekul karet adalah suatu Cis 1,4 – polyisoprene sebagai berikut:

CH3 H CH3 H H R O H R O

C = C C = C N – CH – C – N – CH – C

CH2 CH2 ─── CH2 CH 2 n n

Karet Alam Protein

Dimana n adalah derajat polimerisasi yaitu bilangan yang menunjukkan jumlah monomer di dalam rantai polimer. Nilai n dapat berkisar antara 3000-15000.

Fase dispersi di dalam serum terdiri dari partikel-partikel karet yang diselubungi oleh lapisan phospholipoprotein. Lapisan protein ( phospholipoprotein ) yang menyelubungi setiap partikel karet mengakibatkan kestabilan dan lateks bersifat koloidal (Gunawan, 1970).


(15)

Komposisi lateks segar dari kebun dan karet kering disajikan pada table 2.1.

Tabel 2.1. Komponen lateks segar dan karet kering

Sumber : (Surya, 2006)

Lateks sebagai bahan baku berbagai hasil karet, harus memiliki kualitas yang baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lateks, diantaranya adalah : (Setyamidjaja, 1993).

1. Faktor di kebun (jenis klon, sistem sadap, kebersihan pohon,dan lain-lain) 2. Iklim (musim hujan mendorong terjadinya prakoagulasi, musim kemarau

keadaan lateks tidak stabil)

3. Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan dan pengangkutan (yang baik terbuat dari alumunium atau baja tahan karat)

4. Pengangkutan (gunjangan, keadaan tangki, jarak, jangka waktu) 5. Kualitas air dalam pengolahan

Komponen Komponen dalam lateks segar (%)

Komponen dalam lateks kering (%)

Karet Hidrokarbon 36 92-94

Protein 1,4 2,5 – 3,5

Karbohidrat 1,6 -

Lipida 1,6 2,5 – 3,2

Persenyawaan organik lain 0,4 -

Persenyawaan anorganik 0,5 0,1 – 0,5


(16)

6. Bahan-bahan kimia yang digunakan 7. Komposisi lateks

Adapun parameter lateks menurut PT Bridgestone adalah seperti yang tertera di bawah ini

- TSC (Total Solid Content) yaitu pemeriksaan kadar kepekatan bahan dengan pemanasan

- VFA (Volatile Fatty Acid) yaitu jumlah ml larutan Ba(OH)2 yang dibutuhkan

untuk menetralkan asam lemak yang menguap

- Analisa NH3 Lateks yaitu analisa yang digunakan untuk menunjukkan ada

tidaknya perlakuan pengawetan lateks - Analisa KOH Lateks

- Analisa DRC (Dry Rubber Content) yaitu untuk menghitung kadar karet kering

- Analisa pH Lateks untuk menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan dari lateks.

2.2.1. Sifat Kimia Lateks

Setiap bagian pohon karet jika dilukai jika dilukai akan mengeluarkan getah susu yang disebut lateks. Banyak tanaman jika dilukai atau disadap mengeluarkan cairan putih yang menyerupai susu, tetapi hanya beberapa jenis pohon saja yang menghasilkan karet. Diantara tanaman tropis hanya Hevea Brasiliensis ( Family Euphorbiaceace) yang telah dikembangkan dan mencapai tingkat perekonomian yang penting.


(17)

Komposisi lateks Hevea Brasiliensis dapat dilihat jika lateks disentrifugasi dengan kecepatan 18.000 rpm, yang hasilnya adalah sebagai berikut : ( Zuhra, 2006) 1. Fraksi lateks (37%) : karet (isoprene), protein, lipida dan ion logam

2. Fraksi Frey Wissling (1-3%) : karotenoid, lipida, air, karbohidrat, protein dan turunannya.

3. Fraksi serum (48%) : senyawaan nitrogen, asam nukleat, dan nukleotida, senyawa organik, ion anorganik dan logam.

4. Fraksi dasar (14%) : air, protein dan senyawa nitrogen, karet dan karatenoid, lipida dan ion logam .

2.3. Cara Memperoleh Lateks

2.3.1. Penyadapan Tanaman karet

Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan karet (menderes, menorah, tapping) adalah mata rantai pertama dalam proses produksi karet. Penyadapan dilaksanakan dikebun produksi dengan menyayat atau mengiris kulit batang dengan cara tertentu, dengan maksud untuk memperoleh lateks atau getah. Kulit batang yang disadap adalah modal utama untuk berproduksinya tanaman karet. Kesalahan dalam penyadapan akan membawa akibat yang merugikan baik bagi pohon itu sendiri maupun bagi produksinya.

Pada tanaman muda, penyadapan umumnya telah dimulai pada umur 5-6 tahun, tergantung pada kesuburan pertumbuhannya. Penyadapan pada tanaman muda, sebelum sadapan rutin berjalan, terlebih dahulu melakukan bukaan sadapan yang merupakan saat pertama dimulainya penyadapan pada tanaman yang telah memenuhi syarat untuk disadap.


(18)

Kulit batang karet pada batang pohon yang telah matang sadap dari luar menuju kedalam kearah kambium tersusun dengan urutan sebagai berikut : (Setyamidjaja, 1993).

- Kulit gabus, yang merupakan lapisan paling luar dari batang,

- Kulit keras yang terdiri atas sel-sel batu parensim, pembuluh tapis, dan saluran lateks yang tidak teratur,

- Kulit lembut dimana terdapat saluran-saluran lateks dan - Kambium.

2.3.2. Pengumpulan Lateks di Kebun

Untuk mendapatkan hasil olah karet yang bermutu baik, syarat yang harus dipenuhi adalah tingkat kebersihan lateks dan penanganan pengumpulan lateks hasil penyadapan di kebun (Cahyono, 2010)

Selain dari kemungkinan terjadinya pengotoran lateks oleh kotoran-kotoran yang kelak sukar dihilangkan, kotoran-kotoran tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya prakoagulasi dan terbentuknya lump sebelum lateks sampai di pabrik untuk diolah. Pengumpulan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Tetapi pada pohon-pohon yang aliran lateksnya lambat berhenti (late

drops) dapat dilakukan pengumpulan kedua.

Sedapat mungkin harus diusahakan semua lateks dapat diangkut ke pabrik pusat, agar dapat dilakukan pencampuran lateks dari semua bagian kebun dalam satu atau beberapa bak pencampur di pabrik, sehingga dapat diharapkan hasil yang seragam. Jika keadaan tempat memaksa untuk dilakukan koagulasi dikebun, jumlah lateks yang dikoagulasi sedapat mungkin harus dibatasi. Cara terakhir ini


(19)

dilaksanakan kalau lateks akan diolah menjadi crepe atau karet remah, sedangkan kalau akan diolah menjadi sheet, proses koagulasi harus dilaksanakan di pabrik (Setyamidjaja, 1993).

Mikroba mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri pada lingkungan hidupnya, sehingga pada lateks kebun walaupun telah diberi bahan pengawet amonia bila tertunda terlalu lama di TPH (Tempat Pengumpulan Hasil) kebun, mutunya dapat menurun. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa dengan dosis ammonia 0,30% di TPH kebun setelah penyimpanan 5 jam jumlah mikroba masih sekitar 2 x 103 sel/ml lateks dan setelah 15 jam terjadi peningkatan jumlah mikroba menjadi 2 x 107 sel/ml lateks dan kemudian setelah penyimpanan 25 jam lateks kebun tersebut telah mengalami prakoagulasi. Oleh karena itu diharapkan lateks kebun telah terkumpul di tangki penerima pabrik paling lambat 10 jam setelah penyadapan (Ompusunggu, 1991).

Sarana transportasi, baik jalan atau kendaraan, yang buruk akan menambah frekuensi terjadinya prakoagulasi. Jalan yang buruk atau angkutan yang berguncang-guncang mengakibatkan lateks yang diangkut terkocok-kocok secara kuat sehingga merusak kestabilan koloidal. Jarak yang jauh yang menyebabkan lateks baru tiba di tempat pengolahan pada siang hari dan sempat terkena terik matahari di perjalanan juga dapat menyebabkan terjadinya prakoagulasi (Anonim, 1999).


(20)

2.3.3. Prakoagulasi

Prakoagulasi adalah pembekuan pendahuluan yang menghasilkan lumps atau gumpalan-gumpalan sebelum lateks sampai di pabrik atau tempat pengolahan. Jika hal ini terjadi akan menimbulkan kerugian yang cukup besar karena hasil sadapan yang mengalami prakoagulasi hanya bisa diolah menjadi karet bukan jenis baku dan kulitasnya rendah.

Sesaat setelah penyadapan, pH lateks mendekati 7 sehingga partikel karet bermuatan listrik (-), saling tolak menolak,dan cairan bersifat stabil (cair). Semua tindakan cenderung merubah muatan listrik sehingga netral ataupun merusak lapisan protein sebagai pembungkus partikel karet yang selanjutnya akan menyebabkan penggumpalan (Gunawan, 1970).

Penyebab terjadinya prakoagulasi adalah kemantapan bagian koloidal di dalam lateks berkurang, kemudian menggumpal menjadi satu dalam bentuk komponen yang lebih besar. Komponen yang lebih besar ini akhirnya akan membeku.

Pada dasarnya lateks adalah suspensi koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang terdapat di dalamnya. Bagian-bagian tersebut tidak larut sempurna, tetapi terpencar secara merata di dalam air. Partikel koloidal ini sangat kecil, sehingga bias menembus saringan. Sistem koloidal lateks sebenarnya bisa dipertahankan sampai 24 jam atau lebih karena bagian-bagian karet yang dikelilingi oleh lapisan sejenis protein tipis yang memiliki kestabilan tersendiri. Jika kestabilan berkurang terjadilah prakoagulasi (Setyamidjaja, 1993).


(21)

2.3.3.1. Faktor-Faktor Penyebab Prakoagulasi

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya prakoagulasi sebagai berikut :

1. Jenis karet

Setiap jenis atau klon karet memiliki kestabilan atau kemantapan koloidal yang berbeda-beda. Ada klon karet yang memiliki kestabilan koloidal rendah dan tidak sedikit pula klon dengan kestabilan koloidal mantap.

2. Enzim

Enzim adalah katalis alami untuk mempercepat terjadinya reaksi walaupun hanya terdapat dalam jumlah kecil. Enzim bekerja dengan mengubah susunan protein yang melapisi bahan karet, sehingga kemantapannya berkurang dan terjadi prakoagulasi. Aktivitas enzim dimulai saat lateks keluar dari batang karet.

3. Mikroorganisme

Mikroorganisme atau jasad renik terdapat di mana-mana, termasuk di lingkungan perkebunan karet. Saat keluar dari pohon karet, lateks dipastikan steril dari mikroorganisme. Namun, beberapa saat kemudian kemungkinan lateks terkontaminasi mikroorganisme sangat besar. Mikroorganisme di dalam lateks akan melakukan aktivitas, sehingga terjadi reaksi dengan senyawa-senyawa yang terdapat didalam lateks, seperti asam dan sejenisnya. Semakin banyak mikroorganisme di dalam lateks, semakin banyak pula senyawa asam yang dihasilkan yang mendorong semakin cepat terjadinya prakoagulasi. 4. Cuaca dan Musim

Cuaca dan musim berpengaruh terhadap proses prakoagulasi. Pada musim hujan, kemungkinan terjadinya prakoagulasi sangat besar, sehingga pada saat


(22)

seperti itu jarang dilakukan penyadapan, selain juga secara teknis mengalami kesulitan. Meskipun demikian, asal dilakukan tindakan pencegahan prakoagulasi, kegiatan penyadapan pada musim hujan tetap bias dilakukan. Sinar matahari yang terik juga dapat mempercepat terjadinya prakoagulasi. 5. Kondisi Tanaman

Kondisi tanaman disini adalah berkaitan dengan umur dan kesehatan tanaman. Pohon karet yang terlalu muda atau menjelang tua dan sakit-sakitan cenderung menghasilkan lateks yang mudah mengalami prakoagulasi. Demikian juga lateks dari tanaman dalam keadaan sakit walaupun masih muda juga mudah mengalami penggumpalan.

6. Air sadah

Air sadah adalah air yang mengalami reaksi kimia, umumnya bereaksi dengan asam. Lateks yang tercampur air sadah mudah sekali mengalami prakoagulasi. Karena itu air yang digunakan untuk pengolahan lateks harus dianalisis secara kimia supaya derajat keasamannya tidak terlalu tinggi.

7. Pengangkutan

Pengangkutan disini berkaitan dengan guncangan yang terjadi dan lamanya lateks sampai ke tempat pengolahan. Pengangkutan melalui jalan yang jelek dan mobil pengangkutnya terguncang-guncang dan lateks terkocok-kocok akan merusak kestabilan koloidalnya, sehingga mudah menggumpal. Jarak jauh yang menyebabkan lateks tiba di tempat pengolahan terlalu lama dan terkena sinar matahari sepanjang perjalanan juga akan mempercepat terjadinya prakoagulasi.


(23)

8. Kotoran

Kotoran atau bahan lain yang mengandung kapur dan asam akan mempercepat terjadinya prakoagulasi. Demikian pula air kotor yang dipakai untuk pengolahan akan mempercepat prakoagulasi.

2.3.4. Pencegahan Prakoagulasi 2.3.4.1. Pencegahan Secara Manual

- Menjaga kebersihan alat-alat untuk penyadapan, penampungan dan pengangkutan.

- Tidak menggunakan air kotor seperti air sungai atau air got, untuk mengencerkan lateks di kebun.

- Penyadapan dilakukan sepagi mungkin sebelum matahari terbit agar lateks sampai ke tempat pengolahan sebelum udara panas.

- Tidak menyadap pohon karet terlalu muda atau terlalu tua dan yang kondisinya tidak sehat.

2.3.4.2. Pencegahan Menggunakan Zat Antikoagulan

Jika beberapa upaya pencegahan seperti di atas sudah dilakukan, tetapi tetap terjadi prakoagulasi, penggunaan zat antikoagulan dapat dilakukan. Saat ini di pasaran tersedia beberapa zat antikoagulan. Zat antikoagulan yang akan dipakai harus disesuaikan dengan harga, kadar bahaya, dan efektivitasnya. Beberapa zat antikoagulan yang biasa digunakan sebagai berikut :

- Soda (Na2CO3)

Soda atau natrium karbonat mudah sekali didapatkan di toko dan harganya murah. Hanya, penggunaan soda untuk lateks yang akan diolah menjadi ribbed smooked


(24)

sheet tidak dianjurkan karena akan menimbulkan gelembung-gelembung pada

sheet kering yang dihasilkan. Dosis yang aman adalah 5-10 ml larutan soda tanpa air Kristal (soda ash) 10% untuk setiap liter.

- Amonia (NH3)

Amonia adalah zat antikoagulan yang paling luas penggunaannya di perkebunan karet karena dengan dosis tepat akan memberikan hasil memuaskan. Dosis tepat yang digunakan adalah 5-10 ml larutan amonia 2,5 % untuk setiap liter lateks. Jika tetap terjadi prakoagulasi, dosisnya bisa dinaikkan dua kali atau dosis sama tetapi menggunakan amonia 5%.

- Formaldehida (HCOH)

Penggunaan formaldehida agak repot karena harus diuji bereaksi asam atau tidak. Penyimpanan formaldehida bisa menyebabkan reaksi oksidasi menjadi asam semut atau asam formiat yang jika dimasukkan ke dalam lateks justru akan menimbulkan penggumpalan.

Efek penggunaan formaldehida sebagai antikoagulan adalah warna produk karet berbentuk sheet menjadi pucat atau karet mudah rapuh jika dipakai secara berlebihan yaitu 5-10 ml larutan 5% untuk setiap liter lateks.

- Natrium Sulfit (NaSO3)

Sama dengan formaldehida, natrium sulfit juga mudah teroksidasi, bahkan hanya dalam waktu penyimpanan sehari saja natrium sulfit akan teroksidasi menjadi natrium sulfat oleh udara, sehingga tidak bisa dipakai sebagai antikoagulan. Dosis aman yang dianjurkan adalah 5-10 ml natrium sulfit berkadar 10% untuk setiap liter lateks. Untuk membuatnya diperlukan natrium sulfit tanpa air Kristal sebanyak 0,5-1 gram (Setiawan dan Andoko, 2008) .


(25)

2.3.5. Bahan Senyawa Penggumpal (Koagulan)

Proses penggumpalan (koagulasi) lateks terjadi karena penetralan muatan partikel karet, sehingga daya interaksi karet dengan pelindungnya menjadi hilang. Partikel karet yang sudah bebas akan bergabung sesamanya membentuk gumpalan.

Penggumpalan karet di dalam lateks kebun dapat dilakukan dengan penambahan asam dengan menurunkan pH sehingga tercapai titik isolektriknya yaitu pH dimana muatan positif protein seimbang dengan muatan negatif sehingga elektrokinetik potensial sama dengan nol. Senyawa-senyawa penggumpal yang sering digunakan dalam proses koagulasi lateks antara lain:

- Asam semut disebut juga asam formiat, CHOOH, berupa cairan yang jernih dan tidak berwarna, berbau merangsang dan mudah larut dalam air.

- Asam cuka (asam asetat), CH3COOH, berupa cairan jernih, tidak berwarna dan

mudah larut dalam air.

Asam formiat atau asam asetat banyak digunakan sebagai asam penggumpal karena karet yang dihasilkan bermutu baik. Sedangkan penggunaan asam kuat seperti asam sulfat atau nitrat dapat merusak mutu karet yang digumpalkan. Petani karet sering menggunakan tawas (Al3+) sebagai bahan penggumpal lateks.

Sifat karet yang digumpalkan dengan tawas kurang baik, karena dapat mempertinggi kadar abu dan kotoran karet. Selain itu semakin tinggi konsentrasi logam akan mempercepat oksidasi karet oleh udara menyebabkan terjadi pengusangan karet dan PRI (Plastisity Retention Index) menjadi rendah (Ompusunggu, 1987)


(26)

2.4. Pemeriksaan Mutu Bahan Baku

Persyaratan mutu lateks kebun setibanya di pabrik untuk dapat diolah menjadi lateks adalah : (Sumber PT Bridgestone).

- Kadar karet kering (DRC) : maksimum 27,5% - Jumlah padatan (TSC) : maksimum 25%

- Bilangan VFA : minimum 0,07

- Bilangan KOH : minimum 1,70

- Analisa amoniak : maksimum 0,35

2.5. Sifat Karet

Semua jenis karet adalah polimer tinggi dan mempunyai susunan kimia yang berbeda dan memungkinkan untuk diubah menjadi bahan-bahan yang bersifat elastic (rubberiness). Namun, bahan-bahan itu berbeda sifat bahan dasarnya misalnya, kekuatan tensil, daya ulur maksimum, daya lentur (resilience) dan terutama pada proses pengolahannya serta prestasinya sebagai barang jadi (Spillane, 1989).

Karet alam mengandung seratus persen cis 1,4-poliisoprena, yang terdiri dari rantai polimer lurus dan panjang dengan gugus isoprenik yang berulang (Surya, 2006).

Karet alam adalah suatu komoditi homogen yang cukup baik. Karet alam mempunyai daya lentur yang tinggi dan dapat dibentuk dengan panas yang rendah. Daya tahan karet terhadap benturan, goresan, dan koyakan sangat baik. Namun, karet alam tidak begitu tahan terhadap faktor-faktor lingkungan, seperti oksidasi dan ozon. Karet alam juga mempunyai daya tahan yang rendah terhadap bahan


(27)

kimia seperti bensin, minyak tanah, pelumas sintetis. Karena sifat fisik dan daya tahannya, karet alam dipakai untuk produksi-produksi pabrik yang membutuhkan kekuatan yang tinggi dan panas yang rendah (misalnya ban pesawat terbang, ban truk raksasa, dan ban-ban kendaraan) dan produksi-produksi teknik lain yang memerlukan daya tahan sangat tinggi (Spillane, 1989).

2.6. Perbedaan Karet Alam dengan Karet Sintetis

Perdagangan karet alam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Ini antara lain dikarenakan munculnya saingan karet alam, yaitu karet sintetis. Sejak PD II penelitian mengenai karet sintetis dilakukan secara intensif oleh beberapa Negara maju. Selanjutnya, karet buatan yang bahan bakunya dari lapisan minyak bumi ini diproduksi secara besar-besaran. Lambat laun permintaan terhadap karet sintetis meningkat pesat sehingga mengurangi permintaan karet alam. Keunggulan yang dimiliki karet alam sulit ditandingi oleh karet sintetis. Adapun kelebihan-kelebihan yang dimiliki karet alam dibanding karet sintetis adalah :

- Memiliki daya elastik atau daya lenting yang sempurna

- Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah - Mempunyai daya aus yang tinggi

- Tidak mudah panas (low heat build up), dan

- Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (groove cracking

resistance).

Walaupun demikian, karet sintetis memiliki kelebihan seperti tahan terhadap berbagai zat kimia dan harganya yang cenderung bisa dipertahankan supaya tetap stabil. (Anonim, 1999).


(28)

2.7. Manfaat Karet

2.7.1. Manfaat Karet Alam

Karet alam banyak digunakan dalam industri-industri barang. Umumnya alat-alat yang dibuat dari karet alam sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari maupun dalam usaha industri seperti mesin-mesin penggerak.

Barang yang dapat dibuat dari karet alam antara lain aneka ban kendaraan (dari sepeda, motor, mobil, traktor, hingga pesawat terbang), sepatu karet, sabuk penggerak mesin besar dan mesin kecil, pipa, karet, kabel, isolator, dan bahan-bahan pembungkus logam.

Pemakaian lapisan karet pada pintu, kaca pintu, kaca mobil, dan pada alat-alat lain membuat pintu terpasang kuat dan tahan getaran serta tidak tembus air. Dalam pembuatan jembatan sebagai penahan getaran juga digunakan karet. Peralatan dan kendaraan perang pun banyak yang bagian-bagiannya di buat dari karet, misalnya pesawat tempur, tank, panser berlapis baja, truk-truk besar, dan jeep.

2.7.2. Manfaat Karet sintetis

Berdasarkan tujuan pemanfaatannya, ada dua macam karet sintetis yang dikenal, yaitu karet sintetis yang digunakan secara umum dan untuk keperluan khusus.

a.Kegunaan umum

Karet sintetis ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan bahkan banyak fungsi karet alam yang dapat digantikannya. Contoh SBR (styrene butadiene rubber) merupakan kopolimer acak dari butadiene dan stirena (25% stirena dan 75% butadiena) yang diproduksi dengan cara polimerisasi emulsi. BR(butadiena


(29)

rubber) atau polybutadiena rubber, karet jenis ini jarang digunakan tersendiri dan

untuk membuat suatu barang biasanya BR dicampur dengan karet alam atau SBR. IR (isoprene rubber) atau polyisoprene rubber, jenis IR memiliki kelebihan lain dibanding karet alam yaitu lebih murni dalam bahan dan viskositasnya lebih mantap.

b. Kegunaan khusus

Jenis ini digunakan untuk keperluan khusus karena memiliki sifat khusus yang tidak dipunyai karet sintetis jenis pertama. Kelebihannya adalah tahan terhadap minyak, oksidasi, panas atau suhu tinggi,serta kedap terhadap gas. Contoh IIR

(isobutene isoprene rubber) sering disebut butyl rubber dan hanya mempunyai

sedikit ikatan rangkap sehingga membuatnya tahan terhadap pengaruh oksigen dan ozon serta kedap gas. NBR (nytrile butadiene rubber), sifatnya tahan terhadap minyak dan kelemahan NBR adalah sulit untuk diplastisasi. CR (chloroprene

rubber) memiliki ketahanan terhadap minyak, pengaruh oksigen dan ozon di udara

bahkan terhadap panas atau nyala api. EPR (ethylene propylene rubber) memiliki ketahanan terhadap sinar matahari, ozon, serta pengaruh unsur cuaca sedangkan kelemahannya pada daya lekat yang rendah.


(30)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat-Alat

- Gelas beaker 400 ml Pyrex

- Pipet volumetri 5 ml Pyrex

- pH meter Ecosean

- Botol Aquadest - Statif dan klem

- Buret 50 ml Pyrex

- Batang pengaduk

3.2 Bahan-Bahan

- Lateks - HCl 0,1 N (l)

- Indikator Methyl Red 0,1% (l)

- Air suling (l)


(31)

3.3 Prosedur

pH meter jenis Ecosean, dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pH 10. Sebanyak 5 ml lateks di pipet dengan menggunakan pipet volum 5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam beakerglass 400 ml, kemudian ditambahkan dengan air suling sebanyak 200 ml. Diukur pH larutan, ditambahkan indikator methyl red sebanyak 3 tetes ke dalam beakerglass.

Selanjutnya di titrasi dengan HCl 0,1 M sampai berubah warna dari kuning menjadi merah rose. Dicatat volume HCl 0,1 M yang terpakai.


(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Setelah dilakukan proses titrasi terhadap lateks maka volume HCl 0.1 M sebagai pentiter digunakan pada setiap pH tertentu seperti table 4.1 dibawah ini :

Tabel 4.1. : Hasil pengukuran pH dan volume HCl 0.1 M

No. Volume sampel (ml) V. HCl 0.1 M (ml) pH

1 5 2.5 7.21

2 5 5.4 7.93

3 5 5.9 8.75

4 5 8.8 9.08

5 5 9.8 9.13

6 5 10.3 9.21

7 5 10.6 9.27

8 5 11.2 9.36

9 5 16.2 9.40

10 5 17.2 9.52

Dari hasil perhitungan diperolehlah persentase amonia seperti table 4.2. dibawah ini :

Tabel 4.2. : Persentase Amonia yang diperoleh

No. Volume sampel (ml) V. HCl 0.1 M (ml) pH %NH3

1 5 2.5 7.21 0.08

2 5 5.4 7.93 0.18

3 5 5.9 8.75 0.20

4 5 8.8 9.08 0.30

5 5 9.8 9.13 0.34

6 5 10.3 9.21 0.35

7 5 10.6 9.27 0.36

8 5 11.2 9.36 0.39

9 5 16.2 9.40 0.56

10 5 17.2 9.52 0.59


(33)

4.2. Perhitungan

4.2.1. Penentuan % NH3

% NH3 =

Dimana : V = ml HCl 0,1 N

N = Normalitas HCl 0.1 N W = ml sampel

0.98 = Berat jenis lateks

% NH

3 1 =

=

= 0.08

% NH3 2 =

= 0.18 %NH3 3 =

= 0.20

%NH3 4 =

= 0.30 %NH3 5 =

= 0.34 %NH3 6 =


(34)

%NH3 7 =

= 0.36 %NH3 8 =

= 0.38 %NH3 9 =

= 0.56 %NH3 10 =


(35)

4.2.2. Persamaan Least Square X = pH

Y = %NH3

Tabel 2 : Data Metode Least Square

No. X Y X2 XY

1 7.21 0.08 51.98 0.58

2 7.93 0.18 62.88 1.43

3 8.75 0.20 76.56 1.75

4 9.08 0.30 82.44 2.72

5 9.13 0.34 83.36 3.10

6 9.21 0.35 84.82 3.22

7 9.27 0.36 85.93 3.33

8 9.36 0.39 87.61 3.65

9 9.40 0.56 88.36 5.26

10 9.52 0.59 90.63 5.62

n = 10 ∑X = 88.86 ∑Y = 3.35 ∑ X2 = 794.57 ∑XY = 30.66

a =

a =

a =

a

= a = 0.17


(36)

b =

b =

b =

b =

b = -1.26

4.2.3 Persamaan Garis Regresi Persamaan : Y = ax + b

Y1 = ax1 + b

= 0.17 (7.21) + (-1.26) = - 0.034 Y2 = ax2 + b

= 0.17 (7.93) + (-1.26) = 0.088 Y3 = ax3 + b

= 0.17 (8.75) + (-1.26) = 0.227 Y4 = ax4 + b

= 0.17 (9.08) + (-1.26) = 0.283 Y5 = ax5 + b

= 0.17 (9.13) + (-1.26) = 0.292 Y6 = ax6 + b

= 0.17 (9.21) + (-1.26) = 0.306 Y7 = ax7 + b


(37)

Y8 = ax8 + b

= 0.17 (9.36) + (-1.26) = 0.331 Y9 = ax9 + b

= 0.17 (9.40) + (-1.26) = 0.338 Y10 = ax10 + b

= 0.17 (9.52) + (-1.26) = 0.358

Tabel 4.4 : Data Menurut Metode Least Square

No. X (pH) Y (%NH3)

1. 7.21 0.08

2. 7.93 0.18

3. 8.75 0.20

4. 9.08 0.30

5. 9.13 0.34

6. 9.21 0.35

7. 9.27 0.36

8. 9.36 0.39

9. 9.40 0.56

10. 9.52 0.59

4.3 Pembahasan

Dalam meningkatkan mutu lateks yang dihasilkan, maka salah satu parameter yang harus dipenuhi adalah nilai pH dan kadar amonia (NH3). Larutan amonia


(38)

bila ditambahkan kedalam lateks merupakan anti koagulan yang baik, karena akan terjadi reaksi seperti dibawah ini :

a. NH3 + H2O NH4OH

NH4OH NH+4 + OH

-Ion OH akan menambah alkalinitas (sifat basa) lateks, sehingga pH lateks akan makin menjauhi pH titik isoelektrik dan pada pH yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena kondisi hidupnya tidak sesuai.

b. Asam-asam yang sudah terbentuk dapat dinetralkan dengan ion-ion OH. RCOOH + OH- RCOO - + NH+3 + H2O

c. NH4OH dan NH3 dalam larutan akan bersifat bactericides yang efektif pada

konsentrasi > 0.1%, apabila konsentrasi < 0.1% dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap amonia (Gunawan, 1987).

Lateks pada saat keluar dari pembuluh lateks adalah dalam keadaan steril, tetapi lateks mempunyai komposisi yang cocok dan baik sebagai media tumbuh mikroorganisme, sehingga dengan cepat mikroba dari lingkungan akan mencemari lateks. Pertumbuhan mikroba didalam lateks sangat pesat yaitu sekitar 1 – 10 juta sel/ml lateks, tergantung waktu dan keadaan lingkungan lateks. Mikroba dapat akan merusak bagian-bagian lateks terutama protein dan karbohidrat di ubah menjadi asam lemak esteris yaitu asam-asam yang mudah menguap seperti asam formiat, asetat dan propionat menyebabkan nilai bilangan asam lemak eteris (ALE) menjadi naik. Semakin tinggi bilangan ALE sehingga mutu lateks semakin buruk (Ompusunggu, 1987).


(39)

Pada dasarnya lateks bersifat mudah membeku, dan mudah berubah sifat-sifatnya. Oleh karena itu, perlu penanganan khusus dalam pengumpulan lateks kebun agar kejadian-kejadian tersebut dapat dicegah agar diperoleh lateks yang berkualitas baik. Penurunan kualitas lateks umumnya disebabkan terjadinya proses prakoagulasi. Prakoagulasi pada lateks dapat terjadi karena aktivitas mikroorganisme, aktivitas enzim, cuaca atau masuknya kotoran, pengangkutan, penuangan serta adanya kontaminasi dari luar yang berhubungan dengan logam dari besi (Cahyono, 2010).

Setelah lateks hasil sadapan terkumpul seluruhnya, lateks dari tangki penerimaan/ pengumpulan hasil di kebun, kemudian di angkut dengan tangki pengangkut ke pabrik. Dalam pengangkutan lateks ke pabrik harus dijaga agar lateks tidak terlalu tergoncang dan terlalu kepanasan karena dapat berakibat terjadinya prakoagulasi dalam tangki. Dalam keadaan tertentu, lateks dalam tangki tersebut perlu diberi obat antikoagulan untuk mencegah terjadinya prakoagulasi di dalam tangki (Setyamidjaja, 1993).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka semakin besar persentase amonia maka nilai pH juga semaki tinggi, karena ion OH- akan menambah alkalinitas (sifat basa) lateks.

Jadi dari penelitian ini dapat diketahui bagaimana kualitas lateks yang diperoleh dari kebun, sehingga dapat dikelompokkan untuk pengolahan lebih lanjut. Berdasarkan SNI dimana pada pH 7.21 diperoleh nilai NH3 = 0.08%,

pH 7.93 nilai NH3 = 0.18%, pH 8.75 nilai NH3 = 0.20%, pH 9.08 nilai NH3 =

0.30%, pH 9.13 nilai NH3 = 0.34%, pH 9.21 nilai NH3 = 0.35%, pH 9.27 nilai


(40)

9.52 nilai NH3 = 0.59%. Hal ini menunjukkan bahwa lateks yang dihasilkan

telah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan ataupun SNI, yaitu ≤ 0.35. Sedangkan pada pH 9.27 nilai NH3 = 0.36% ; pH 9.36 nilai NH3

= 0.39% ; pH 9.40 nilai NH3 = 0.56% ; pH 9.52 nilai NH3 = 0.59%. Lateks

yang kadar NH3 ≤ 0.35 selanjutnya akan diolah menjadi bahan baku untuk

pembuatan SIR 3 sedangkan lateks yang kadar NH3 > 0.35 masih dapat diolah


(41)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penentuan pH dan kadar amonia (NH3) yang dilakukan, pada pH

7.21 – 9.21 kadar amonia adalah 0.08 – 0.35%, ini memenuhi SNI untuk lateks. Sedangkan pada pH 9.27 – 9.52 kadar amonia adalah 0.36 – 0.59%, maka lateks kurang baik.

5.2. Saran

Sebaiknya dilakukan pengontrolan terhadap kadar amonia pada lateks dan sebaiknya pengangkutan lateks dari TPH (Tempat Pengangkutan Hasil) serta menjaga kebersihan tangki truck agar memperoleh hasil produksi yang lebih baik yaitu mutu karet remah yang sesuai standar.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1999. Karet. Jakarta : Penebar Swadaya

Cahyono, B. 2010. Cara Sukses Berkebun Karet. Cetakan Pertama. Jakarta :

Pustaka Mina.

Gunawan, E. 1970. Pengolahan Karet. Medan : Lembaga Pendidikan Perkebunan.

Ompusunggu, M. 1987. Pengolahan Lateks Pekat. Sungei Putih : Balai Penelitian Perkebunan.

Setiawan, H.D dan Andoko, A. 2008. Karet. Jakarta : Agromedia Pustaka. Setyamidjaja, D. 1993. Karet. Yogyakarta : Kanisius.

Spillane, J. 1989. Komoditi Karet. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Kanisius.

Surya, I. 2006. Teknologi Karet. Medan : Universitas Sumatera Utara. .Zuhra,F.C. 2006. Karet . Medan : USU Repository.


(43)

(44)

LAMPIRAN 1

Tabel 1. Standar Spesifikasi Lateks Menurut PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate

No. Parameter Mutu Nilai standar (% maks)

1. TSC (Total Solid Content) > 27.5 %

2. DRC (Dry Rubber Content) >25 %

3. KOH <1.70 %

4. VFA (Volatil Fatty Acid) <0.07 %

5. NH3 0.35


(45)

LAMPIRAN 2

Grafik hubungan pH vs % NH

3

No. X (pH) Y (%NH3)

1 7.21 0.08

2 7.93 0.18

3 8.75 0.2

4 9.08 0.3

5 9.13 0.34

6 9.21 0.35

7 9.27 0.36

8 9.36 0.39

9 9.4 0.56

10 9.52 0.59

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

7,21 7,93 8,75 9,08 9,13 9,21 9,27 9,36 9,4 9,52

%

N

H3

pH


(1)

9.52 nilai NH3 = 0.59%. Hal ini menunjukkan bahwa lateks yang dihasilkan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan ataupun SNI, yaitu ≤ 0.35. Sedangkan pada pH 9.27 nilai NH3 = 0.36% ; pH 9.36 nilai NH3 = 0.39% ; pH 9.40 nilai NH3 = 0.56% ; pH 9.52 nilai NH3 = 0.59%. Lateks yang kadar NH3 ≤ 0.35 selanjutnya akan diolah menjadi bahan baku untuk pembuatan SIR 3 sedangkan lateks yang kadar NH3 > 0.35 masih dapat diolah menjadi bahan baku pembuatan SIR 20.


(2)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penentuan pH dan kadar amonia (NH3) yang dilakukan, pada pH 7.21 – 9.21 kadar amonia adalah 0.08 – 0.35%, ini memenuhi SNI untuk lateks. Sedangkan pada pH 9.27 – 9.52 kadar amonia adalah 0.36 – 0.59%, maka lateks kurang baik.

5.2. Saran

Sebaiknya dilakukan pengontrolan terhadap kadar amonia pada lateks dan sebaiknya pengangkutan lateks dari TPH (Tempat Pengangkutan Hasil) serta menjaga kebersihan tangki truck agar memperoleh hasil produksi yang lebih baik yaitu mutu karet remah yang sesuai standar.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1999. Karet. Jakarta : Penebar Swadaya

Cahyono, B. 2010. Cara Sukses Berkebun Karet. Cetakan Pertama. Jakarta :

Pustaka Mina.

Gunawan, E. 1970. Pengolahan Karet. Medan : Lembaga Pendidikan Perkebunan.

Ompusunggu, M. 1987. Pengolahan Lateks Pekat. Sungei Putih : Balai Penelitian Perkebunan.

Setiawan, H.D dan Andoko, A. 2008. Karet. Jakarta : Agromedia Pustaka. Setyamidjaja, D. 1993. Karet. Yogyakarta : Kanisius.

Spillane, J. 1989. Komoditi Karet. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Kanisius.

Surya, I. 2006. Teknologi Karet. Medan : Universitas Sumatera Utara. .Zuhra,F.C. 2006. Karet . Medan : USU Repository.


(4)

(5)

LAMPIRAN 1

Tabel 1. Standar Spesifikasi Lateks Menurut PT Bridgestone Sumatra Rubber Estate

No. Parameter Mutu Nilai standar (% maks) 1. TSC (Total Solid Content) > 27.5 % 2. DRC (Dry Rubber Content) >25 %

3. KOH <1.70 %

4. VFA (Volatil Fatty Acid) <0.07 %

5. NH3 0.35


(6)

LAMPIRAN 2

Grafik hubungan pH vs % NH

3

No. X (pH) Y (%NH3)

1 7.21 0.08

2 7.93 0.18

3 8.75 0.2

4 9.08 0.3

5 9.13 0.34

6 9.21 0.35

7 9.27 0.36

8 9.36 0.39

9 9.4 0.56

10 9.52 0.59

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

7,21 7,93 8,75 9,08 9,13 9,21 9,27 9,36 9,4 9,52

%

N

H3

pH