Perumusan Masalah Keaslian Penelitian Tindak pidana dan unsur-unsurnya

5 perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani. 7

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Bagaimana formulasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang Money Laundry ? 2. Bagaimana fakta hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencucian uang Money Laudry ? 3. Apa Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang Money Laudry dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 498KPIDSUS2009?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 7 Bambang Sutiyoso, 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, hal 95. Universitas Sumatera Utara 6 a. Untuk mengetahui formulasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang Money Laundry b. Untuk mengetahui fakta hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencucian uang Money Laudry c. Untuk mengetahui Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang Money Laudry dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 498KPIDSUS2009

d. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu: a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang Money Laudry b. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang Money Laudry

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundry belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, walaupun penelitian menyangkut Universitas Sumatera Utara 7 money laundering dan perpajakan telah ada diteliti, namun pendekatan yang dilakukan berbeda. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Sistem Pembuktian Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya. 8 Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah: Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. 9 a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. 8 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung. 2003. Hal. 11 9 Ibid. hal. 13 Universitas Sumatera Utara 8 b. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. c. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat negara. 1. Sistem atau Teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Positif Positief wetterlijk Bewijstheori Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif positief wettelijk bewijstheorie. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. 10 10 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 247 buku 2 Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal formele bewijstheorie. Universitas Sumatera Utara 9 Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. 11 Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu terdapat, maka hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman, dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim. Pokoknya: kalau ada bukti walaupun sedikit harus disalahkan dan dihukum. 12 Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga system ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah deprogram melalui undang-undang. 13 Sistem pembuktian ini menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini yang dicari adalah kebenaran formal, sehingga sistem ini dipergunakan dalam hukum acara perdata. 11 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Alumni, Bandung, 2008, hal. 27 buku 1 12 Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi Dan Suap. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 70 13 Adami Chazawi, buku 1, op.cit, hal. 25 Universitas Sumatera Utara 10 2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dalam persidangan. 14 Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimana pun juga keyakinan hakim sendiri. 15 Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinanya itu. Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang- wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. 16 Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. 40Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu 14 Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit, hal. 14 15 Andi Hamzah, buku 2, op.cit. hal. 248 16 Adami Chazawi, buku 1, op.cit, hal. 25 Universitas Sumatera Utara 11 mempertimbangkan dari mana alat bukti dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut. 3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis Laconviction Raisonnee Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu laconviction raisonnee Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan satu kesimpulan conclusie yang berlandaskan kepada peraturan- peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. 17 Walaupun UU menyebutkan dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi sistem ini dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah dalam pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. 18 17 Ibid, hal. 249 18 Adami Chazawi, Buku 1 Op.Cit, hal 26 Pembuktian ini masih menyandarkan kepada keyakinan hakim. Hakim harus mendasarkan putusan terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan yang logis dapat diterima oleh akal dan nalar. Universitas Sumatera Utara 12 4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang secara Negatif Negatief Wettelijk Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang- undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. 19 Menurut sistem ini untuk menyatakan orang itu bersalah dan dihukum harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus didasarkan kepada alat- alat bukti yang sah, bahwa memang telah dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah yang melakukan perbuatan itu. Hukum acara pidana kita ternyata menganut sistem ini, seperti dapat ditarik kesimpulan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. yang berbunyi:“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” 20 Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang KUHAP, yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 19 Ibid, hal 28 20 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Titik Terang. Hal. 86 Universitas Sumatera Utara 13 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Sebenarnya, sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undang-undang pokok tentang Kekuasaan Kehakiman UUPK Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:“ Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.” 21 Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa. Sistem pembuktian ini berpangkal tolah pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitative oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. 5. Kedudukan Asas Pembuktian Terbalik di dalam KUHAP 22 Pasal 183 menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” 23 Sedangkan mengenai ketentuan alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yang berbunyi: 24 21 Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 22 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. 2005, Hal. 398 buku 2 23 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Titik Terang. Hal. 86 24 Ibid. hal 87 Universitas Sumatera Utara 14 1. Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. 2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara terutama dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum dan penasehat hukun. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi, surat- surat dan keterangan tersangka Pasal 188 ayat 2 KUHAP. Alat bukti petunjuk dalam hukum pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui tiga alat bukti dalam Pasal 188 ayat 2, melainkan dapat diperluas di luar tiga alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 26 A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yaitu: 25 a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapka, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa 25 Pasal 12A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Universitas Sumatera Utara 15 bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang dirumuskan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang- undang No. 29 Tahun 2001 merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada dalam KUHAP. 26

6. Pengaturan Pembuktian Terbalik

Di dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP, sehingga status hukum atau kedudukan asas pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia KUHAP tidak diatur. Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan asas pembuktian terbalik tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada umumnya KUHAP, melainkan yang sering diterapkan dalam proses pembuktian dalam peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni gabungan dari teori berdasarkan undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan hakim. Dasar hukum munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP adalah Pasal 103 KUHP. Didalam Pasal tersebut dinyatakan: 26 Adami Chazawi, buku 2, op.cit, hal. 399 Universitas Sumatera Utara 16 “ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang wet tindakan umum pemerintahan algemene maatregelen van bestuur atau ordonansi menentukan peraturan lain. 27 Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur di dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum Lex specialis derogate Legi Generali. Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP. 28

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana pencucian uang. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, 29 27 Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, R. Soesilo, Politeia, Bandung 28 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, P.T. Alumni, Bandung. 2007. Hal. 155 buku 2 29 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum,Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999, hal.3 yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut Universitas Sumatera Utara 17 mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 30 1. Bahan hukum primer, antara lain: 2. Sumber Data Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan library research. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang- undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana tindak pidana pencucian uang, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, 30 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990, hal. 41. Universitas Sumatera Utara 18 artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian. 44 Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan data primer yakni dilakukannya wawancara dengan informan yang dianggap memahami tentang tindak pidana pencucian uang yakni penyidik Polri pada Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara. Data primer berupa wawancara kepada informan digunakan sebagai data pelengkap dan pendukung dari data skunder. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis. 3. Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Di samping dalam rangka mendukung bahan hukum positif diperlukan juga wawancara dengan informal yakni dengan penyidik Universitas Sumatera Utara 19 pada Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara langsung dengan terlebih dahulu merumuskan pertanyaan- pertanyaan dalam tabel wawancaran sebagai pedoman wawancara terhadap informan yang selanjutnya penulis tuangkan ke dalam penelitian setelah terlebih dahulu memverifikasi terhadap jawaban-jawaban informan. Wawancara dengan informal dilakukan dengan cara menunjuk secara langsung informan yang mengetahui terhadap permasalahan.

4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana money laundry, kemudian membuat sistematika dari Pasal- Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini. Universitas Sumatera Utara 20 G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MONEY LAUNDRY Bab ini membahas mengenai Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya, Macam-Macam Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundry BAB III KENDALA YANG DIHADAPI HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCUCIAN UANG MONEY LAUNDRY Pada bagian ini akan membahas tentang objek dakwaan terlalu umum, bentuk dan jenis tindak pidana pencucian uang money laundry dan Integritas Moral Aparat Penegak Hukum BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MONEY LAUDRY Pada bab ini akan membahas tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang Money Laundry dan Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundry dan Sanksi Pidana Universitas Sumatera Utara 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan membahas kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan Universitas Sumatera Utara 22

BAB II FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG MONEY LAUNDRY

D. Tindak pidana dan unsur-unsurnya

Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar KUHP tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana, padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan indicator atau tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam perundang-undangan, para ahli hokum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut. berikut akan diuraikan pendapat beberapa ahli hukum tersebut. Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. larangan ditujukan kepada perbuatan suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh Universitas Sumatera Utara 23 kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. 31 Simons mengartikan perbuatan pidana delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. 32 Dari definisi Simons tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri dari 1 perbuatan manusia positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat; 2 diancam dengan pidana; 3 melawan hukum; 4 dilakukan dengan kesalahan; dan 5 oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum patut atau bernilai untuk dipidana dan dapat dicela karena kesalahan. 33 Selanjutnya Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia yang Dari definisi tersebut dapat dilihat unsur-unsurnya, yaitu 1 perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang- undang; 2 melawan hukum; 3 dilakukan dengan kesalahan; dan 4 patut dipidana. 31 Moljatno, Asas-asa Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hal. 54. 32 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum Deik, C etakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hal. 4. 33 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua Semarang Yayasan Sudarto ds Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990, hal. 41. Universitas Sumatera Utara 24 oleh peraturan perundangundangan diberikan pidana. Jadi, unsur-unsurnya adalah 1 kelakuan manusia; dan 2 diancam pidana dalam undang-undang. 34 Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat perundang-undangan. Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis, perbuatan pidana ialah pelanggaran normal kaidah tata hukum, yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hokum positif, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik. 35 Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, menurut hemat penulis, tepat apa yang disimpulkan oleh Moljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana. Unsur atau elemen tersebut adalah sebagai berikut. 36 a Kelakuan dan akibat perbuatan. b Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan. c Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. d Unsur melawan hukum yang objektif. e Unsur melawan hukum yang subjektif. 34 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal. 225. 35 Ibid, hal. 226. 36 Lihat Moeljatno, Op. Cit., hal. 63. Universitas Sumatera Utara 25 Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif. a. Unsur Pokok Objektif 1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut: a Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif, dan b Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif. 2. Akibat perbuatan manusia Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik harta benda, atau kehormatan. 3. Keadaan-keadaan Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas: a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan. 4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hokum Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Universitas Sumatera Utara 26 b. Unsur Pokok Subjektif Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” an act does not make guilty unless the mind is guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea. Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja intentiondolusopzet dan kealpaan negligentschuld. 1. Kesengajaan Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu : a. Kesengajaan sebagai maksud. b. Kesengajaan dengan sadar kepastian c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan dolus eventualis. d. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu: a. Tidak berhati-hati; dan b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu. 37

E. Macam-Macam Tindak Pidana