Kedudukan Janda Terhadap Harta Warisan Suaminya Menurut Hukum Waris Adat
2. Rumah gedang ketirisan, artinya rumah adat itu sudah bocor atau rusak, atap dindingnya perlu perbaikan, sedang uang kas suku tidak ada, maka
untuk itu sawah atau harta pusaka boleh digadaikan. 3. Gadis gedang tak berlaki, artinya ada gadis yang sudah cukup dewasa, ada
pria yang mau semenda, tetapi biaya tidak ada, maka boleh harta pusaka digadai untuk biaya penjemput bakal suaminya dan biaya perkawinannya.
4. Mayat terbujur tengah rumah, artinya ada yang wafat, lebih-lebih jika yang wafat itu penghulu, maka boleh harta pusaka digadai untuk biaya
sejak ia sakit sampai wafatnya. Jadi harta pusaka tinggi tidak terbagi adalah karena kedudukannya sebagai
milik kerabat dan fungsi hukum adanya untuk kehidupan kerabat bersangkutan. Selama masyarakat hukum adat itu ada, ada pengurus, ada harta kekayaan dan ada
warga adatnya yang setia, maka selama itu ia tidak terbagi-bagi pemilikannya secara perseorangan. Namun demikian apabila warga adat telah bertambah
banyak, berdasarkan musyawarah dan mupakat kerapatan adat dapat dilaksanakan pemisahan rumah atau dilaksanakan pemisahan kerapatan kerabat, sehingga
kerabat yang berpisah mempunyai penghulu dan harta pusaka sendiri.
25
Antara apa yang disebut harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah nampaknya tidak dapat ditarik garis pemisah yang tegas, tergantung keadaan
kerabatnya. Dapat diperkirakan bahwa yang digolongkan harta pusaka tinggi adalah semua harta yang merupakan hak dan kewajiban bersama anggota kerabat
dari satu keturunan yang besar dan telah berlaku dalam beberapa generasi. Harta pusaka rendah adalah semua harta peninggalan dari satu atau dua angkatan
kerabat, misal dari satu kakek atau nenek kepala keturunan yang meliputi kesatuan anggota kerabat yang tidak begitu besar.
26
Harta pusaka ini merupakan harta bersama kerabat yang tidak terbagi-bagi pemilikannya dan akan terus dapat
bertambah dengan masuknya harta pencaharian dari para ahli warisnya. Harta pusaka rendah dapat berwujud harta atau barang yang terbatas nilai dan
banyaknya.
25
Hilman Hadikusuma, 2003, Ibid. Hal. 38.
26
Hilman Hadikusuma, 2003, ibid, hal. 39.
Dalam perkembangannya, harta pusaka rendah semakin mengecil dan menciut, fungsi dan peranannya sebagai harta bersama milik kerabat, sehingga
lambat laun menjadi harta kekayaan serumah tangga somah saja yang dipimpin dan diatur oleh ayah dan ibu. Lebih-lebih dikalangan keluarga-keluarga yang telah
maju, walaupun keluarga itu berasal dari gugusan sistem keturunan patrilineal atau matrilineal ataupun juga ia berasal dari keluarga patrilokal atau matrilokal,
maka fungsi dan peranan harta pusaka rendah itu berangsur-angsur berubah kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga serumah saja. Fungsi dan peranan
kepala adat tidak lagi seperti dahulu, oleh karena dimasa kini hanya terbatas pada memelihara kerukunan, keselarasan dan hidup tolong menolong diantara para
anggota kerabat dan tidak banyak lagi mencampuri masalah harta peninggalan.
27
Betapapun sudah nampak ada perubahan dalam perkembangan harta peninggalan dari penguasaan dan pemilikan bersama dari kekerabatan yang luas
pada kekerabatan yang lebih sempit, dari penguasaan dan pemilikan keluarga besar beralih pada keluarga kecil dan seterusnya beralih pula pada penguasaan dan
pemilikan keluarga serumah saja, namun kedudukan harta peninggalan yang tidak terbagi-bagi itu masih tetap ada kemungkinannya. Kemungkinan tidak terbagi-
baginya harta peninggalan itu adalah dikarenakan kepentingan dan kegunaannya sebagai pemersatu kekerabatan:
28
a. Tidak dapat dibagi-bagikan pemilikan harta pusaka tinggi adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik kerabat yang merupakan
atribut dari kesatuan hiduphidup kekerabatan adat dibawah pimpinan kepala adat. Misalnya balai adat, rumah kerabat dan sebagainya itu
memang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya, oleh karena ia diperlukan untuk kepentingan kerabat bersangkutan sebagai masyarakat hukum adat.
b. Tidak dapat dibagi-bagikannya pemilikan harta pusaka rendah adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik bersama dari suatu kerabat
kecil yang berfungsi dan berperanan sebagai tali pengikat kesatuan keluarga-keluarga dibawah pimpinan kepala kerabat bersangkutan,
27
Hilman Hadikusuma, 2003, Ibid, hal. 41.
28
Hilman Hadikusuma, 2003, Ibid, hal. 41.
walaupun fungsi dan peranannya sebagai bekal bersama, oleh bersama dan untuk bersama sudah lemah.
c. Tidak terbagi-baginya pemilikan harta peninggalan yang bersifat harta keluarga serumah adalah disebabkan maksud dan tujuannya untuk tetap
menghormati orang tua yang masih hidup dan menjadikannya sebagai tempat kediamannya. Yang terakhir ini dilingkungan masyarakat yang
memakai sistem pewarisan individual sifatnya sementara, oleh karena apabila semua pewaris sudah wafat maka harta peninggalannya diadakan
pembagian. b. Peninggalan Terbagi
Dengan terjadinya perubahan dari harta pusaka menjadi harta kekayaan keluarga serumah tangga yang dikuasai dan dimiliki oleh ayah dan ibu karena
melemahnya pengaruh kekerabatan, maka kemungkinan harta peninggalan yang berupa harta pusaka menjadi terbuka untuk diadakan pembagian, bukan saja
terbatas pembagian hak pakai, tetapi juga pembagian hak miliknya menjadi perseorangan. Jika pembagian harta peninggalan itu setelah pewaris wafat maka
bagi waris yang belum kawin ia akan menjadi bekal usaha sendiri atau untuk memasuki perkawinan, sedangkan bagi waris yang sudah kawin pembagian itu
akan menjadi harta asal yang ditambahkan kepada harta bawaannya kedalam perkawinan.
29
Terbagi-baginya harta peninggalan itu dapat terjadi ketika pewaris masih hidup atau sesudah pewaris wafat. Ketika pewaris masih hidup dapat terjadi
pemberian dari sebagian harta yang akan ditinggalkan pewaris kepada waris untuk menjadi bekal kehidupan dalam berusaha sendiri atau untuk membentuk rumah
tangga baru berpisah dari kesatuan rumah tangga orang tua jawa, mencar, mentas; batak, manjae. Struktur masyarakat patrilinial kebanyakan melaksanakan
bentuk perkawinan dengan jujur, dimana setelah perkawinan isteri ikut dipihak suami, maka harta peninggalan itu menjadi harta penunggu bagi suami terhadap
isteri yang akan ikut dipihaknya, sedangkan harta peninggalan yang diberikan orang tua mempelai wanita menjadi harta bawaan isteri mengikuti pihak suami.
29
Hilman Hadikusuma, 2003, Ibid, hal. 42.
Di lingkungan masyarakat yang melaksanakan perkawinan bebas terpisah berdiri sendiri dari rumah keluarga orang tua, maka harta peninggalan yang diberikan
kepada suami isteri kedalam perkawinan mereka merupakan harta bawaan masing-masing suami isteri jawa, gawan; daya ngaju: ramu paimbit.
30
Proses penambahan harta asal dari harta peninggalan yang dibagi-bagi itu dapat berjalan
lama, disebabkan ada kemungkinan harta peninggalan yang seharusnya terbagi- bagi itu belum terbagi karena penangguhan waktu pembagiannya.
c. Peninggalan Belum Terbagi Harta peninggalan yang dapat dibagi-bagi pada waris adakalanya belum
dibagi karena ditangguhkan waktu pembagiannya. Penangguhan waktu pembagian antara lain disebabkan beberapa hal:
31
a Masih ada orang tua, b Terbatasnya harta peninggalan,
c Tertentu jenis dan macamnya, d Pewaris tidak punya keturunan,
e Para waris belum dewasa, f Belum ada waris pengganti,
g Diantara waris belum hadir, h Belum ada waris yang berhak,
i Belum diketahuinya hutang piutang pewaris. Apabila setelah pewaris wafat masih ada orang tua pewaris, janda atau
dudanya yang masih hidup dan masih dapat mengurus harta peninggalan, baik untuk jaminan hidupnya maupun sebagai tempat berkumpulnya para waris, maka
selama orang tua masih hidup harta peninggalan tidak dilakukan pembagian, begitu pula dikarenakan terbatasnya harta peninggalan. Demikian pula jika ketika
pewaris wafat sedangkan para waris belum dewasa, masih anak-anak yang belum mampu untuk menerima harta peninggalan, maka pembagian ditangguhkan
sampai para waris dewasa. Dalam hal ini sementara para waris masih anak-anak
30
Hilman Hadikusuma, 2003, Ibid, hal. 42.
31
Hilman Hadikusuma, 2003, Ibid, hal. 44.
harta peninggalan dapat diurus oleh janda pewaris, orang tua pewaris atau saudara-saudaranya yang lain berdasarkan musyawarah dan mufakat keluarga.
Setelah pewaris meninggal, terhadap keberadaan harta warisan terdapat ketentuan sebagai berikut:
32
1. Penguasaan Janda Pada masyarakat patrilineal dan matrilineal setelah suami meninggal,
janda menguasai harta peninggalan suaminya, terutama kalau anak masih kecil. Ketentuan ini bertujuan untuk kepentingan kehidupan janda dan
anak. Jika istri yang meninggal, maka duda yang menguasai harta pewarisan. Tetapi di Minangkabau mengenai penguasaan harta pada
prinsipnya janda tidak menguasai harta peninggalan suami demikian juga sebaliknya, kecuali istri yang telah hidup dan membentuk rumah tangga
kecil, terutama yang berada di kota. Jika salah satu dari suami-istri meninggal maka harta warisan dikuasai oleh janda atau duda dan anak-
anaknya. 2. Penguasaan Anak
tanah karang desa dan ayan di Bali dikuasai oleh anak laki-laki tertua berdasarkan keputusan desa. tanah kerabat di Lampung dikuasai anak
laki-laki tertua dan mungkin juga anak laki-laki termuda. Di Sumatra Selatan harta kerabat dikuasai oleh anak-anak perempuan tertua.
3. Penguasaan Keluarga Apabila pewaris meninggal sedang anak-anak yang ditinggalkan masih
kecil dan tidak ada jandaduda, maka penguasaan harta peninggalan ada pada orang tua pewaris. Jika orang tua juga tidak ada maka penguasaan
harta itu dipegang oleh saudara pewaris atau keturunannya menurut sistem kekerabatan pewaris. Mereka semua yang menguasai harta tersebut
bertanggung jawab kepada semua anggota keluarga pewaris. Apabila anak-anak sudah dewasa dan sudah dapat berdiri sendiri, harta
peninggalan harus diserahkan kepada mereka.
32
Djamanat Samosir, 2013,op.cit, hal. 338.
2.2. Penguasaan Janda Terhadap Harta Waris Almarhum Suaminya 2.2.1. Hak Janda atas Harta Asal Suami
Dalam sistem hukum waris adat, pada prinsipnya janda tidaklah dipandang sebagai ahli waris, melainkan sebagai anggota keluarga yang perlu mendapatkan
perlindungan kehidupan setelah ditinggal mati oleh suaminya. Oleh karena itu, janda mempunyai hak pakai seumur hidup sepanjang mereka tidak kawin lagi.
Hak itu menyebabkan harta peninggalan tidak atau belum dibagi selama si janda masih hidup. Dalam kenyataannya, hak tersebut sering menimbulkan sengketa
karena janda tidak memandangnya sebagai hak pakai, sengketa karena janda tidak memandangnya sebagai hak pakai, tetapi sebagai hak milik. Fakta tersebut
mengakibatkan berkembangnya hukum waris adat, dalam arti terjadi pergeseran kedudukan janda menjadi ahli waris terhadap harta peninggalan suami.
33
Dalam Putusan MA No. 3190 KPdt1985 Tanggal 26 November 1987 yang menyatakan bahwa janda memiliki hak waris dari harta peninggalan
suaminya dan haknya tersebut adalah sederajat dengan anak-anak kandung. Jika dalam rumah tangganya sama sekali tidak memiliki anak, baik anak kandung,
anak tiri, maupun anak angkat, si janda yang bersangkutan menjadi penghalang bagi seluruh kelompok ahli waris lain yang merupakan saudara suaminya. Dengan
demikian ia mewarisi pula harta peninggalan, baik harta yang berasal dari harta bersama gono-gini maupun harta asli gawan.
34
Status janda dalam hal menerima hak waris adalah sama dan sederajat dengan seorang anak sah, anak
yang lahir dalam perkawinan. Ia berhak mewarisi harta-harta peninggalan suaminya sepenuhnya dengan tidak bersekutu dengan siapa pun termasuk dengan
saudara-saudara sekandungnya. Menurut putusan Kamar ke-III dari Raad Yustisi Jakarta, Tanggal 17 Mei
1940 T. 153, halaman 138, barang pusaka jatuh kepada silsilah ke bawah yaitu apabila peninggal harta tidak mempunyai anak, maka barang pusaka kembali ke
tangan silsilah famili, tempat asal barang itu.
35
Atas barang asal suaminya, janda
33
R. Otje Salman, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung: Alumni, hal. 185.
34
R. Otje Salman, 2011, Ibid, hal. 186.
35
R. Soepomo, 2013, loc.cit, hal. 101.
pada dasarnya tidak berhak, ia bukan waris dari padanya. Menurut istilah di Jambi:
“syarak hidup kayu betaku, syarak mati mejan tetegak” yang bermakna Harto pembawo kembali, harto tepatan tinggal barang asal kembali ke asal, harta
pencarian tinggal tetap.
36
Menurut hukum adat batak segala harta yang timbul dari perkawinan adalah milik suami, tetapi istri janda berhak menikmati seumur hidup dari harta
suaminya selama harta itu di perlukan buat penghidupannya putusan MA Tanggal 25 Oktober 1958 Reg. 54 KSip1958. Tetapi dalam perkembangan
hukum mengenai kedudukan janda terdapat ketentuan sebagai berikut:
37
a. Si istri dapat mewaris harta pencaharian suami; b. Anak yang belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibu;
c. Karena berada di bawah pengampuan ibu maka harta kekayaan anak dikuasai dan diurus oleh ibu.
Pada Asasnya menurut hukum adat Jawa, janda atau duda bukan waris dari suami atau isteri yang meninggal, akan tetapi mereka berhak mendapatkan bagian
dari harta peninggalan suami atau istri bersama-sama dengan waris lain atau menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya hidup seterusnya. Jika dari
perkawinan mereka terdapat keturunan maka janda atau duda berhak menguasai dan menikmati, mengatur dan membagi harta warisan kepada waris. Dengan
demikian pada umumnya di lingkungan masyarakat patrilinial atau matrilinial suami istri tidak saling mewarisi jika salah satu menjadi janda atau duda karena
mempunyai anak.
38
Kedudukan janda dalam Putusan MA Tanggal 2 November 1960 Reg. No. 302 KSip1960 berkesimpulan bahwa hukum adat di seluruh Indonesia perihal
warisan seorang janda dapat dirumuskan bahwa janda selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya, artinya sekurang-kurangnya dari barang asal itu
sebagian harus tetap berada di tangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal atau kawin lagi. Sedang di beberapa daerah di
Indonesia, di samping penentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan
36
R. Soepomo, 2013, Ibid, hal. 101.
37
Djamanat Samosir, 2013, loc.cit, hal. 328.
38
Hilman Hadikusuma,2003, loc.cit, hal.. 87.
adalah sangat banyak, si janda berhak sebagian dari barang-barang warisan seperti seorang anak kandung dari si pewaris. Perubahan yang signifikan terhadap
kedudukan janda berdasarkan Putusan Mahkamah Agung berdasarkan putusannya tanggal 13 April 1960, No Reg. 110 KSip1960 berkenaan dengan status hukum
janda terhadap harta asal almarhum suaminya, Mahkamah Agung menetapkan bahwa isteri dapat dipandang sebagai sebagai ahli waris dari almarhum suaminya.
Dalam hal ini janda dianggap sebagai ahli waris suaminya, ia berhak mendapatkan nafkah dari harta peninggalan selama ia memerlukannya, juga berhak mewarisi
harta peninggalan suaminya dan dapat menahan barang asal suaminya jika gono- gini tidak mencukupi.
39