Kedudukan Janda Terhadap Harta Peninggalan Suami Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi Penelitian Pada Masyarakat Bali Di Desa Kertalangu, Kecamatan Kesiman Kabupaten Badung Denpasar Timur)

(1)

KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA PENINGGALAN SUAMI MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI

(Studi Penelitian Pada Masyarakat Bali Di Desa Kertalangu, Kecamatan Kesiman Kabupaten Badung Denpasar Timur)

TESIS

OLEH :

RIZKI FEBRI HADIYATI 087011102

PROGRAM KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKS

Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturan yang merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam fikiran. Begitu pula halnya hukum adat, sistem hukum adat bersendi atas dasar alam fikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam fikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam fikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. dilengkapi dengan pendekatan yuridis normatif dan disamping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan cara wawancara kepada narasumber.

Dengan demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam prinsip penarikan garis keturunan pada sistem sosial yang lama kedudukan peranan wanita dan janda Bali dapat dikatakan tidak ada, karena secara umum norma yang berlaku untuk sistem tersebut adalah bersifat patrilineal. Dengan adanya perkembangan dan kemajuan masyarakat maka norma tersebut, pada sistem penarikan garis keturunan telah bergeser. perempuan yang berkedudukan sebagai janda dalam suasana adat Bali, janda sesungguhnya bukanlah orang yang harus ditelantarkan, dan bukan pula orang yang bisa diusir seenaknya, tetapi sebagai janda yang menjalankan dharmanya sebagai janda akan selalu bertekun terhadap kewajibannya, memelihara anaknya dengan baik, mengurusi kekayaan suami dengan baik, mengurusi pura keluarga dengan sepenuh hati, serta tidak menghamburkan kekayaan almarhum. Status janda sebagai pengurus (karta) atas harta warisan itu terbatas hak dan wewenangnya pada pengurusan saja dan bukan menguasai secara mutlak, demikian pula misalnya kalau pengurusan itu dilakukan oleh salah satu dari anak pewaris. Dalam hukum adat yang dipergunakan dalam peradilan raad kerta mengenai pewarisan berdasarkan catur uddhara diuraikan pengaruh perkawinan dan sistem pembagian warisan berkenaan dengan jumlah isteri. Dengan demikian ada 4 (empat) kemungkinan yaitu, seorang Brahmana dengan isteri 4 harta dibagi atas sepuluh bagian, seorang Ksatria dengan istri 3 harta dibagi atas enam bagian, seorang Waisya dengan isteri 2 harta dibagi tiga, seorang Sudra dengan isteri satu harta tidak dibagi. Dan upaya yang dilakukan oleh janda apabila pembagian warisan suami yang meninggal dunia adalah melalui jalur pengadilan dan melalui balai adat setempat.


(3)

ABSTRACT

A law is a system in which regulations are the unity of the world of ideas. It is true for the Indonesian customary law since it is based on the Indonesian world of ideas which are far different from 'the Western ideas. In order to be aware of the customary law, we should understand the basic ideas which exist in the Indonesian society.

This research was analytic descriptive; that is, the analysis of the data was based on the general legal theory which was used to explain the other sets of data and provided by normative judicial approach. Besides that, field research was done by interviewing the source persons.

It can be deduced that, in principle, in the drawing from the line of descent in the old social system, there is no status of Balinese women and widows, for, in general, the norm of the system is patrilineal. Since the social life develops and improves, this norm also changes. Balinese widows cannot be neglected and displaced anymore. They are really the women who always perform their duties seriously, take care of their children properly, take care of their late husbands' property well, look after the family's temples heartily, and never squander their late husbands' wealth. The widows only function as the persons who only look after (karts) the inheritance. They are not allowed to control the inheritance unconditionally. This also happens to their children who look after the inheritance. The customary law of raad kerta jurisdiction about inheritance, based on catur uddhara, contains the marriage influence and the allocation of the inheritance concerning the number of wives. Thus, there are four possibilities: fora Brahmans with four wives, the inheritance is divided into ten equal parts, for a Ksatria with three wives, the inheritance is divided into six equal parts; for a Waisya with two wives, the inheritance is divided into three equal parts; and for a Sudra with one wife, the inheritance is not divided. The widows can obtain the inheritance through legal means or through local ceremonial hall.


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan karunia-Nyalah, maka tesis ini dapat diselesaikan dengan judul Kedudukan Janda Terhadap Harta Peninggalan Suami Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi Penelitian Pada Masyarakat Bali Di Desa Kertalangu Kecamatan Kesiman Kabupaten Badung Denpasar Timur).

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bimbingan, bantuan maupun saran dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih khususnya kepada yang terhormat dan terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., selaku anggota Komisi Pembimbing, dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi., SH, MH, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan masukan yang sangat berarti dalam penulisan tesis ini.


(5)

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS., CN., dan Ibu Dr. T. Kezeirina Devi A. SH., CN., MHum., selaku dosen yang selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji tesis.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM & H, M. SC (CTM), SP. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS., CN., dan Ibu Dr. T. Kezeirina Devi A. SH., CN., MHum., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak-bapak dan ibu-ibu Guru Besar dan staf Pengajar, serta para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis selama masa pendidikan sampai penulis menyelesaikan pendidikan di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menghanturkan sembah dan sujud serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang sangat penulis cintai dan muliakan Ayahanda Azharuddin dan Ibunda Sri Rahmadani yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh kasih sayang, pengorbanan, kesabaran dan ketulusan


(6)

serta memberikan doa restu, serta untuk adik ku tersayang Indra Syahputra, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Teman-temanku tercinta di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Stambuk 2008, khususnya Group A (Masita Orbani, Maria Magdalena Barus, Octoveri Purba, Leni Marlina, Amelia Amanda Putri Damanik, Dina Aditya Ritonga, Deski Arianto, dan lain-lain) yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan fikiran dan mengigatkan dikala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.

Penulis berharap semoga bantuan dan kebaikan yang diberikan kepada penulis mendapat rahmat dari Allah SWT dan senantiasa dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada semua pihak, Amin. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, Desember 2010 Penulis


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama Lengkap : RIZKI FEBRI HADIYATI Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 09 Februari 1986

Orang Tua

Ayah : Azharuddin

Ibu : Sri Rahmadani

Saudara Kandung : Indra Syahputra / 14 November 1994 Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Status : Belum Kawin

Alamat : Jl. Batang Kuis Pasar 3 Gg. Baru No. 71 Tj. Morawa – Medan

II. PENDIDIKAN

TAHUN NAMA SEKOLAH JURUSAN

1998 SD Negeri 105325 Batang Kuis - 2001 SMP PTP. Tunas Karya Batang

Kuis

-

2004 SMU Methodist Tj. Morawa Ilmu Pengetahuan Sosial

2008 Universitas Islam Sumatera Utara

S1 Hukum Perdata 2010 Pasca Sarjana USU Medan S2 Magister


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsional ... 24

G. Metodologi Penelitian ... 25

1. Spesifikasi Penelitian ... 25


(9)

3. Lokasi Penelitian ... 26

4. Teknik Pengumpulan Data ... 26

5. Analisis Data ... 27

BAB II. PERGESERAN KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS ADAT BALI A. Gambaran Umum Desa Kertalangu ... 29

B. Sistem Kekeluargaan Hindu... 34

C. Bentuk dan Syarat-syarat Perkawinan ... 43

1. Bentuk Perkawinan ... 43

2. Syarat-syarat Perkawinan ... 56

D. Akibat Perkawinan Terhadap Hubungan Suami-Isteri Dan Harta Perkawinan ... 65

E. Pergeseran Kedudukan Dan Peranan Wanita Dalam Hukum Waris Adat Bali ... 68

BAB III. PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM HUKUM WARIS ADAT BALI A. Pengertian Harta Warisan ... 82

B. Klasifikasi Harta Warisan ... 91

C. Bagian (Porsi) Warisan Untuk Janda Dari Suami Yang Meninggal Dalam Hukum Waris Adat Bali... 100


(10)

BAB IV. UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH JANDA APABILA PEMBAGIAN WARISAN SUAMI YANG MENINGGAL DUNIA TIDAK DAPAT DISELESAIKAN MENURUT HUKUM ADAT WARIS BALI.

A. Di Luar Pengadilan ... 113 B. Di Dalam Pengadilan ... 123

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 129 B. Saran ... 131


(11)

DAFTAR ISTILAH

Atamanas Tusti : rasa puas pada diri

Budhiwisesa : adanya niat

Dewayadnya : upaca khusus yang di tunjukkan kepada sinar Tuhan Yang

Maha Esa sebagai rasa wujud terima kasih.

Dharma : kaedah-kaedah

Drew Kaliliran : warisan

Kawin Nyeburin : pihak laki-laki masuk kedalam keluarga mempelai wanita.

Kewangsaan : peranan wanita dari suatu kasta melalui perkawinan

Manusayadnya : upacara khusus untuk kesejahteraan dan keselamatan bagi

anggota keluarga yang masih hidup.

Pitrayadnya : upacara khusus untuk anggota keluarga yang telah meninggal.

Purusa : keturunan laki-laki

Sadacara : acara yang berupa adat istiadat setempat

Sentana Rajeg : anak perempuan yang diberi status sebagai anak laki-laki

Udhara : hak lebih

Ugeran : hukum

Wangsa Ksatria : seorang wanita berkasta rendah tidak boleh duduk bersanding

dengan (Wangsa Baja) mempelai laki-laki pada saat diadakannya upacara perkawinan.


(12)

ABSTRAKS

Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturan yang merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam fikiran. Begitu pula halnya hukum adat, sistem hukum adat bersendi atas dasar alam fikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam fikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam fikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. dilengkapi dengan pendekatan yuridis normatif dan disamping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan penelitian lapangan dengan cara wawancara kepada narasumber.

Dengan demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam prinsip penarikan garis keturunan pada sistem sosial yang lama kedudukan peranan wanita dan janda Bali dapat dikatakan tidak ada, karena secara umum norma yang berlaku untuk sistem tersebut adalah bersifat patrilineal. Dengan adanya perkembangan dan kemajuan masyarakat maka norma tersebut, pada sistem penarikan garis keturunan telah bergeser. perempuan yang berkedudukan sebagai janda dalam suasana adat Bali, janda sesungguhnya bukanlah orang yang harus ditelantarkan, dan bukan pula orang yang bisa diusir seenaknya, tetapi sebagai janda yang menjalankan dharmanya sebagai janda akan selalu bertekun terhadap kewajibannya, memelihara anaknya dengan baik, mengurusi kekayaan suami dengan baik, mengurusi pura keluarga dengan sepenuh hati, serta tidak menghamburkan kekayaan almarhum. Status janda sebagai pengurus (karta) atas harta warisan itu terbatas hak dan wewenangnya pada pengurusan saja dan bukan menguasai secara mutlak, demikian pula misalnya kalau pengurusan itu dilakukan oleh salah satu dari anak pewaris. Dalam hukum adat yang dipergunakan dalam peradilan raad kerta mengenai pewarisan berdasarkan catur uddhara diuraikan pengaruh perkawinan dan sistem pembagian warisan berkenaan dengan jumlah isteri. Dengan demikian ada 4 (empat) kemungkinan yaitu, seorang Brahmana dengan isteri 4 harta dibagi atas sepuluh bagian, seorang Ksatria dengan istri 3 harta dibagi atas enam bagian, seorang Waisya dengan isteri 2 harta dibagi tiga, seorang Sudra dengan isteri satu harta tidak dibagi. Dan upaya yang dilakukan oleh janda apabila pembagian warisan suami yang meninggal dunia adalah melalui jalur pengadilan dan melalui balai adat setempat.


(13)

ABSTRACT

A law is a system in which regulations are the unity of the world of ideas. It is true for the Indonesian customary law since it is based on the Indonesian world of ideas which are far different from 'the Western ideas. In order to be aware of the customary law, we should understand the basic ideas which exist in the Indonesian society.

This research was analytic descriptive; that is, the analysis of the data was based on the general legal theory which was used to explain the other sets of data and provided by normative judicial approach. Besides that, field research was done by interviewing the source persons.

It can be deduced that, in principle, in the drawing from the line of descent in the old social system, there is no status of Balinese women and widows, for, in general, the norm of the system is patrilineal. Since the social life develops and improves, this norm also changes. Balinese widows cannot be neglected and displaced anymore. They are really the women who always perform their duties seriously, take care of their children properly, take care of their late husbands' property well, look after the family's temples heartily, and never squander their late husbands' wealth. The widows only function as the persons who only look after (karts) the inheritance. They are not allowed to control the inheritance unconditionally. This also happens to their children who look after the inheritance. The customary law of raad kerta jurisdiction about inheritance, based on catur uddhara, contains the marriage influence and the allocation of the inheritance concerning the number of wives. Thus, there are four possibilities: fora Brahmans with four wives, the inheritance is divided into ten equal parts, for a Ksatria with three wives, the inheritance is divided into six equal parts; for a Waisya with two wives, the inheritance is divided into three equal parts; and for a Sudra with one wife, the inheritance is not divided. The widows can obtain the inheritance through legal means or through local ceremonial hall.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturan yang merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam fikiran. Begitu pula halnya hukum adat, sistem hukum adat bersendi atas dasar alam fikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam fikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam fikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia.1

Adat merupakan pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa dan merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu setiap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidakasamaan inilah dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.

Pada hakekatnya perkembangan hukum adat tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat pendukungnya. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Istilah hukum adat baru dipergunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan pada tahun 1924.

Bila hukum adat yang mengatur sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan warganya maka warganya sendiri yang akan merubah

      

1


(15)

hukum adat tersebut agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pengetua adat.

Hukum adat pada prinsipnya adalah hukum rakyat, sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupan yang terus menerus berubah dan berkembang pembuatannya adalah rakyat sendiri. Oleh karena itu hukum adat mengalami perubahan yang terus menerus melalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu pikir melalui permusyawaratan.

Sifat dinamis adat ini diungkapkan pula oleh Kusumadi Pujosewoyo dengan ungkapan “menebal dan menipis”, Nasroen dengan istilah “patah tumbuh hilang

berganti” dan menurut istilah Bali adalah menyesuaikan diri dengan “desa, kala, patra” (berubah menurut tempat, waktu dan keadaan).2

Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni :

1. Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lain.

2. Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan (ibu), sistem ini dianut di Sumatra Barat (daerah terpencil).

3. Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu), sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya. 3

      

2

Astiti, Hak-hak Wanita Bali dalam Hukum Adat Waris, Alumni Bandung, Bandung 2000, hal. 18.

3

Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 47.


(16)

Hukum waris di Indonesia masih bersifat majemuk, kemajemukan ini terjadi karena di Indonesia belum mempunyai Undang-undang Hukum Waris Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehubungan dengan belum adanya Undang-undang tersebut.

Di dalam Hukum Adat Indonesia dijumpai tiga sistem kewarisan, yaitu : 1. Sistem kewarisan individual, dalam sistem kewarisan individual, ahli waris

secara perorangan mewarisi harta peninggalan. Sistem kewarisan individual cenderung ditemukan pada masyarakat parental. Pada masyarakat parental terdapat hak dan kewajiban yang sama pada anak perempuan dan anak laki-laki. Anak perempuan mempunyai hak waris yang sama dengan anak laki-laki terhadap harta peninggalan. Ciri dari sistem ini adalah bahwa harta peninggalan dapat di bagi-bagi diantara para ahliwaris seperti yan terdapat pada masyarakat bilateral di Jawa.

2. Sistem kewarisan kolektif, dalam sistem kewarisan kolektif, ahli waris bersama-sama mewarisi harta peninggalan. Cirinya bahwa harta peninggalan itu di warisi oleh kelompok ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum. Dimana harta tersebut yang disebut pusaka tidak boleh di bagi-bagikan pemilikannya diantara apa ahliwaris dan hanya boleh di bagi-bagikan pemakaiannya sajakepada mereka (hanya memiliki hak pakai seperti pada masyarakat Minangkabau)

3. Sistem Kewarisan Mayorat, dalam sistem kewarisan mayorat, anak tertua menurut jenisnya menguasai harta peninggalan dengan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan adik-adiknya atas dasar musyawarah dan mufakat para anggota kelompok waris. Cirinya sebagian besar harta peninggalan diwarisi oleh seorang anak saja, seperti di Bali, dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki tertua.4

Ketiga sistem pewarisan tersebut jika dihubungkan dengan sistem kekeluargaan kita dapat kita lihat bahwa sistem kewarisan itu tidak langsung menunjuk suatu bentuk susunan masyarakat tertentu. Karena suatu sistem pewarisan itu dapat di temukan dalam berbagai bentuk susunan masyarakat, yaitu :

      

4


(17)

1. Sistem kewarisan Mayorat (hak anak tertua) selain dijumpai pada masyarakat patrilineal di tanah Semendo Sumatera Selatan, juga terdapat di Kalimantan pada masyarakat parental Suku Dayak.

2. Sistem kewarisan kolektif, selain dijumpai pada masyarakat matrilineal di Minangkabau, dalam batas-batas tertentu dijumpai juga di Ambon dalam masyarakat patrilinel (yang di sebut “tanah dati”) dan juga di Minahasa dalam masyarakat bilateral (yang disebut tanah “wakesunterananak barang kelakeran”)

Dalam sistem waris KUH Perdata, hubungan keahliwarisan di dasarkan kepada beberapa faktor, yaitu :

a. Faktor hubungan darah; yang menempatkan para kerabat menjadi ahli waris berdasarkan keturunan

b. Faktor perkawinan; yang menempatkan janda dan duda saling mewaris

c. Faktor testamen yang menempatkan seseorang sebagai ahli waris berdasarkan kehendak sepertiyang tertulis dalam testamen.

Memperhatikan patokan hubungan keahliwarisan yang di dasarkan pada keturunan, perkawinan dan testamen dan bila di hubungkan dengan ketentuan yang berlaku mengatur hak dan kedudukan perempuan untuk mewarisi yang di atur dalamKUH Perdata, dapat di rinci sebagai berikut :


(18)

b. Janda sebagai istri behak mewarisi harta warisan mendiang suami (pasal 832 KUH Perdata).5

Hak waris yang sama tersebut mengandung pengertian hak untuk diperlakukan sama oleh orang tuanya dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga. Pemerintah mengarahkan sistem pewarisan ke sistem pewarisan individual melalui ketetapan-ketetapan MPRS, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, serta melalui keputusan-keputusan hakim di Mahkamah Agung sebagai suatu keputusan kasasi yang tetap yang diharapkan dapat membimbing perkembangan Hukum Adat Waris kearah sistem pewarisan individual.

Mengenai keabsahan janda berkedudukan sebagai ahli waris diatur dalam pasal 832 KUHPerdata yang berbunyi “Menurut Undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama.”6

Selanjutnya melalui Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, paragraf 402 huruf c sub 4, buku I jilid III dinyatakan bahwa semua warisan adalah untuk anak-anak dan janda, artinya seorang anak-anak baik perempuan maupun laki-laki bersama-sama dengan janda adalah ahli waris bagi almarhum suaminya. Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 menghendaki agar Hukum Keluarga dan Waris ke arah Hukum Adat Parental. 7

      

5

Pasal 832 KUHPerdata. 6

Pasal 832 Kitab Undang Hukum Perdata. 7

http//:www.blog.unsri.ac.id/tinjauan-hukum-tentang-hak-waris-anak-perempuan-di-bali,


(19)

Disamping Ketetapan MPRS tersebut diatas, Undang-undang Pokok Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 31, telah mengatur keseimbangan hak dan kedudukan antara istri dan suami dalam masyarakat, sama halnya dengan Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 302/K/Sip/1960 tanggal 8 November 1960 yang menyatakan bahwa Hukum Adat Diseluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda sebagai ahli waris, sehingga berdasarkan pada yurisprudensi tersebut dapatlah ditetapkan suatu kaidah bahwa menurut Hukum Adat di seluruh Indonesia untuk berbagai suku dan daerah hukum, bahwa janda adalah merupakan ahli waris.

Kemudian adanya Keputusan Mahkamah Agung yang telah menetapkan ketentuan ahli waris menurut hukum adat, khususnya ahli waris anak perempuan. Salah satunya adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179K/SIP/1961 tanggal 1 November 1961. 8

Melalui putusan tersebut, nampak kecenderungan bahwa anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari peninggalan warisan. Selanjutnya Seminar Hukum Indonesia pada tahun 1963 yang menghasilkan Dasar-dasar dan Azas-azas Tata Hukum Nasional, menganjurkan agar dalam berbagai keputusan hukum, para hakim membimbing dan mengarahkan perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi khususnya di bidang hukum keluarga kearah sistem parental, artinya ada kesamaan kedudukan antara anak perempuan dan anak laki-laki, termasuk dalam bidang hukum waris.

      

8 Ibid.


(20)

Kemudian hasil rumusan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta pada tahun 1975 tentang keputusan mengenai Hukum Adat dalam yurisprudensi, bahwa mengingat pertumbuhan masyarakat Indonesia dalam perkembangannya menuju ke arah persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki serta pengakuan anak perempuan sebagai ahli waris, maka diperlukan hukum yang bersifat parental agar memberikan kedudukan sederajat antara perempuan dan laki-laki. 9

Selanjutnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4766K/Pdt/1998 tertanggal 16 November 1999 mengenai hak waris anak perempuan di Bali, yang menyatakan bahwa anak perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris. Walaupun sistem kewarisan di Bali sendiri menggunakan sistem kewarisan mayorat laki-laki, yang mengatur bahwa anak perempuan di Bali bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Masalah pewarisan ini adalah mencapai proses riil dari pada hukum materil, proses hukum yang dimaksud diatas adalah mengenai peralihan harta warisan dari pewaris atau yang meninggalkan harta warisan pada ahli warisnya. Jadi, unsurnya perubahan hak atas harta warisan terdiri atas:

a. Adanya pewaris b. Adanya harta warisan c. Adanya ahli waris

Adapun yang dimaksud dengan proses pewarisan, ada dua pengertian yaitu : 1. Perubahan formil, didalam perubahan status harta secara formil, tidak cukup

dengan sekedar adanya niat (budhiwisesa) untuk berbagi, tetapi harus

      

9 Ibid.


(21)

dilakukan secara formil yaitu dengan mengajukan gugat perdata untuk berbagi waris kepada pengadilan negeri diman mereka berada.

2. Perubahan status secara riil, yaitu mengenai pembagian harta yang dapat dikuasai oleh para ahli waris itu sesuai menurut perolehannya berdasarkan ketentuan hukum matril.

Dalam sistem kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Bali dan lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas.

Hukum adat termasuk hukum waris adat sifatnya dinamis, banyak faktor yang mendorong terjadinya pergeseran hak waris adat, termasuk hak waris adat pada masyarakat Bali, antara lain :

a. Kemajuan tingkat pendidikan

b. Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang mendorog mobilitas penduduk tumbuh cepat, lebih khusus lagi bagi warga Bali, fasilitas Bali sebagai daerah tempat wisata.

c. Perkembangan yurisprudensi Mahkamah Agung di bidang hukum waris khususnya menyangkut mengenai kedudukan anak dan janda sebagai ahli waris.


(22)

Dalam hukum kekeluargaan di Bali berdasarkan patriarchaat bahwa anak laki-laki (purusa) adalah paling penting dalam kehidupannya karena anak laki-laki atau keturunan laki-laki yang lahir dari perkawinan yang sah, pada prinsipnya berhak untuk mewaris (termasuk disini anak angkat laki-laki dan sentana rajeg, yaitu anak perempuan yang diberi status sebagai anak laki-laki) selama tidak gugur haknya sebagai ahli waris.

Ketentuan demikian karena dihubungkan dengan adanya kepercayaan bahwa anak laki-laki atau keturunan laki-laki adalah penyelamat orang tuanya di dunia dan di akhirat. Dengan adanya anak adalah merupakan salah satu tujuan dari perkawinan yaitu untuk meneruskan kelangsungan klannya atau keturunannya. Sehingga nantinya tidak ada permasalahan dalam pewarisan karena seluruh harta kekayaan yang dipunyai oleh orang tuanya akan jatuh kepada anak kandungnya tersebut.

Dalam hukum waris Bali yang dipergunakan adalah hukum waris Hindu. Menurut tradisi Hindu, agama adalah dharma sedangkan dharma berarti ugeran atau hukum. Dharma juga diartikan sebagai kaedah-kaedah.

Hukum adat di bali menentukan syarat sahnya pewarisan itu bila :

1. Antara pewaris dengan ahli warisnya terdapat adanya hubungan darah atau ditentukan menurut hukum, misalnya karena pengangkatan, adopsi dan lain-lainnya.

2. Agama ahli waris harus sama dengan agama pewaris, atau ahli waris tidak kehilangan haknya, misalnya beralih agama (meninggalkan keluarga), dibuang dari keluarga (mapega), meninggalkan dharma dan lain-lainnya.


(23)

3. Diatur oleh hukum matril yang dianutnya kecuali ditentukan lain, misalnya karena tidak dijumpai aturan-aturan itu kemudian dipergunakan penafsiran-penafsiran lain berdasarkan kedudukan dan kewenangan yang diberikan oleh hukum Hindu itu.

Dalam masyarakat Bali pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak laki-laki, terutama anak laki-laki yang sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai ahli waris, tetapi dapat sebagai penerima bagian warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan kedalam perkawinannya dengan pihak suami. 10

Di dalam lalu lintas hukum, status janda banyak jadi persoalan, Mr. Ter Haar mengatakan janda adalah orang luar dan bukan ahli waris (baginselen en stesel wan

het adatrecht). 11 Dengan pendapat itu maka dimasyarakat kedudukan janda sering

menyedihkan, anak angkat mengusir begitu saja janda ayah angkatnya, anak tiri yang tidak menyukai janda tidak kalah berbuat sedemikian. Pada akhirnya Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam surat edaran tertanggal 2 November 1960 Nomor 302/K/SIP/1960 menegaskan suatu keputusan pendapatnya dengan mengatakan bahwa janda adalah ahli waris.

Apa yang digariskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia rupanya di Bali tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen. Hal ini mengigat struktur masyarakat hukum adat di Bali yang meletakkan kewajiban utama pada keluarga garis laki-laki, sedangkan janda tidak mempunyai beban seberat beban ahli waris laki-laki.

      

10

http://www.eprints.undip.ac.id diakses pada tanggal 09 February 2010, pukul 11.00 wib. 11

I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar, 2003, hal.147.


(24)

Disamping itu harta peninggalan dari pewaris tidaklah dapat dipisahkan dari harta immaterill milik keluarga berupa pura atau pamerajan, disamping sebagian lainnya untuk kepentingan dari almarhum sendiri berupa pengabenan. Sehingga dengan demikian harta yang ditinggalkan oleh almarhum akan sangat berbahaya jika nantinya jatuh kepada janda yang kalau sudah berstatus ahli waris (dan status janda yang sedemikian akan tidak menguntungkan bagi kelanjutan keutuhan keluarga yang besar yang memiliki kekayaan bersama berupa benda-benda immaterial.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang, maka permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pergeseran kedudukan janda dalam hukum waris adat Bali ?

2. Bagaimana pembagian warisan dari suami yang meninggal dunia dalam hukum waris adat Bali ?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh janda, apabila pembagian warisan suami yang meninggal dunia tidak dapat diselesaikan menurut hukum adat waris Bali ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah selain untuk memenuhi persyaratan dalam rangka penyelesaian studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), juga mempunyai tujuan lain yang hendak dicapai, yaitu :


(25)

1. Untuk dapat mengetahui pergeseran kedudukan janda menurut hukum waris adat Bali.

2. Untuk mengetahui pembagian warisan janda dari suami yang meninggal dunia dalam hukum waris adat Bali.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang harus dilakukan oleh seorang janda apabila pembagian warisan dari suami yang meninggal dunia tersebut tidak dapat diselesaikan menurut hukum adat waris Bali.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak baik bagi peneliti maupun bagi semua kalangan :

1. Manfaat Teoritis

Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur kepustakaan mengenai kedudukan janda terhadap harta peninggalan suami, dan memberikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum pembuktian pada khususnya terutama tentang kedudukan janda terhadap harta peninggalan suami menurut hukum adat Bali.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kalangan praktis dalam menangani suatu perkara termasuk perkara harta peninggalan suami yang banyak terjadi di masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan


(26)

dapat memberikan pengetahuan dan masukan bagi praktisi hukum, mahasiswa, dan masyarakat umum.

E. Keaslian Peneltian

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan sementara di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan judul : “Kedudukan Janda Terhadap Harta Peninggalan Suami

Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi Penelitian Pada Masyarakat Bali Di Kertalangu Kecamatan Kesiman Kabupaten Badung Denpasar Timur)”

F. Kerangka Teori Dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.12 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.

Dalam dunia ilmu hukum, teori memberikn penjelasan melalui cara

mengorganisasikan dan mensistemasikan masalah yang dibicarakan. Teori

      

12

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203.


(27)

menempatkan kedudukan yang penting sebagai sarana untuk merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan memahami dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran, butir-butir pendapat serta teori yang akan menjadi dasar kerangka bagi penelitian ini.

Mengenai konsep teori M. Solly Lubis yang mengatakan ”kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perlindungan, pegangan teori yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini masukan bagi eksternal bagi penelitian. 13 Teori

hukum merupakan kelanjutan dari mempelajari hukum positif itu sendiri, berdasarkan hal tersebut kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat yang menjadi bahan perbandingan dalam penelitian ini.

Teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

      

13


(28)

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti. 14

Oleh karena itu maka terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, diantaranya adalah teori hukum alam. Thomas Aquinas dan teori hukum alam, karena alam lembaga tersebut tidak akan pernah menjadi baik, tetapi hal tersebut merupakan tugas dari suatu tempat ibadah untuk menuntut agar undang-undang yang dibuat manusia memperhatikan prinsip-prinsip dari setiap agama masing-masing. 15

Untuk tujuan ini, masing-masing tempat ibadah memberikan kekuasaan mutlak kepada negara, sesuatu yang tidak baik tetapi yang memberikan keabsahan keberadaannya dengan perlindungan dan telah berusaha memenuhi tuntutan hukum abadi dunia lain digabungkan dengan pembenaran tuntutan dari suatu tempat ibadah akan kekuasaan politik yang berdaulat.

Dalam teori-teori tradisional, lembaga-lembaga yang penting dalam masyarakat manusia, pemerintahan yang sewenang-wenang, perbudakan dan hak milik adalah hasil keinginan dan selama abad kedelapan dan periode rangsangan jahat manusia, bukan sifat panjang diantara runtuhnya peradaban dasar dari tabiat mereka

      

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.121. 15

W. Friedmann, Teori Dan Filsafat Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 57.


(29)

yang sebenarnya. Lama dan munculnya tatanan abad tetapi mereka juga merupakan alat untuk pertengahan, pemuka-pemuka agama yang merupakan pendukung kelangsungan gagasan hukum alam, dan pada saat yang bersamaan mulai memberi pengertian dan dasar yang berlainan terhadap hukum alam.

Menurut filsuf-filsuf perbedaan antara hukum alam absolut ideal dengan hukum alam yang relatif, saat ini telah lebih berkaitan secara tegas dengan dosa asal, hanya dengan lepasnya ikatan manusia dari tempat ibadah mengakibatkan diberlakukannya lembaga-lembaga manusia. 16

Dalam teori Positivisme hukum yang dikembangkan oleh John Austin dalam bukunya yang berjudul Province of Jurisprudence, menyatakan law is command of

the lawgiver yang artinya yaitu hukum adalah perintah dari penguasa yaitu mereka

yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. 17

Menurut Hans Kelsen, tentang adanya ilmu hukum yang mandiri melalui teori hukum murni, dimana ajaran hukum secara pendekatan ilmu lain, seperti sosiologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, ekonomi, politik hukum dan etika bukanlah hukum sama sekali, 18 yang juga merupakan bagian dari ajaran Positivisme. 19

Hans Kelsen mengemukakan bahwa suatu norma memiliki watak sebagai berikut :

a. Semua norma mempunyai arti tindakan (acts) dan atau kehendak (will).

b. Semua norma dibuat dengan tindakan dan kehendak yang nyata, kecuali yang berkenaan dengan ketertiban hukum nasional (national legal order).

      

16 Ibid. 17

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.61. 18

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hal.13.. 19


(30)

c. Norma dasar tentang ketertiban hukum nasional dianggap terbentuk melalui berbagai pernyataan dalam ilmu hukum tentang hal tersebut.

d. Ketika norma dasar dianggap sudah terbentuk, bentuk yang logisnya adalah tindakan yang didasarkan atas kehendak yang sebelumnya telah dapat terbayangkan. 20

Ungkapan teori ini berkaitan dengan filsafat hukum pada masa Yunani yang di ungkapkan oleh W. Friedmann ”Kalau diperhatikan undang-undang memberikan keadilan yang sama kepada semua, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi itu, kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dapat dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan dalam soal jasa.

Pada dasarnya di Indonesia ada tiga macam sifat susunan keluarga yaitu, patrilineal, matrilineal, parental. Yang dimaksud dengan susunan patrilineal ialah lembaga yang menentukan bahwa garis ketentuan ditentukan oleh ketentuan bersama dari seseorang leluhur laki-laki susunan yang matrilineal menunjukan adanya keturunan bersama dari seseorang leluhur perempuan dari ibu. Susunan parental mengambil garis keturunan laki-laki dan perempuan.

Sifat susunan keluarga menurut Mahadi merupakan salah satu tiang hukum adat karena sifat susunan keluarga ini tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan berbagai bagian lain dalam bidang hukum seperti bidang hukum perkawinan maupun bidang hukm waris.

Hal yang sama juga dikemukakan Hilman Hadikusuma, bahwa berlakunya hukum adat perkawinan tergantung pada pola susunan masyarakat adatnya. Oleh

      

20


(31)

karenanya tanpa mengetahui bagaimana susunan masyarakat adat yang berkesangkutan maka tidak mudah dapat diketahui hukum perkawinannya.

Perkawinan didalam masyarakat adat bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Oleh karena nilai-nilai hidup masyarakat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut, menyangkut pula kehormatan keluarga dan kerabat berkesangkutan dalam pergaulan masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan diatur dengan tata tertib adat, agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akan menjatuhkan martabat kehormatan keluarga dan kerabat yang berkesangkutan.

Menyadari adanya keanekaragaman inilah undang-undang memberikan peluang berlakunya hukum agama maupun hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat, khususnya dalam harta benda perkawinan dianut prinsip hukum adat seperti yang tercantum dalam pasal 35 undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Menurut Soekanto menyatakan bahwa:

“Janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika peril seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah itu terutama disediakan barang gono-gini, jika barang-barang ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat


(32)

menuntut supaya barang-barang asal dari peninggalan harta diterimakan kepada mereka. Jika barang gono-gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka barang asal dari suami dapat dipakai untuk keperluan itu.” 21

Harta peninggalan boleh dibagi-bagi asal saja janda terpelihara dalam hidupnya misalnya janda sudah dapat pewarisan atau nafkah dijamin oleh beberapa waris. Jika janda bernikah lagi, ia keluar dari rumah tangga suami pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru.

Dalam hal demikian barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi antara janda yang berkawin lagi dan ahli-ahli waris yang telah meninggal dunia. Dalam keadaan konkrit yang istimewa, jikalau seorang perempuan belum lama kawin, belum mempunyai anak bahkan belim lagi ada barang gono-gini dan suaminya meninggal,maka barang asal suaminya pulang kembali kepada keluarganya sendiri.

Menurut Busmar Muhamad:

"Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono-gini maupun dari hasil barang asal suami. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Janda berhak menahan barang asal suaminya, jika dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya. Janda berhak mendapat bagian atau menuntuk sebesar bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagainaya.” 22

Bila seorang suami meninggal, meninggalkan harta warisan anak dan istri, harta warisan pertama harus dikuasakan kepada istrinya (janda) sebagai penerima

      

21

Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal.20.

22


(33)

kuasa untuk pengurusannya. Penerimaan harta dan pengurusan harta seperti tersebut lazimnya hanya kita jumpai dalam hal anak-anak mereka sebagai ahli waris belum dewasa atu dikatakan belum maupun berdiri sendiri menurut hukum. isteri (janda) yang bertindak selaku pengurus dalam mengurus harta warisan dari suaminya tidak sebagai ahli waris.

Harta warisan yang ia teriama wajib ia terima dari pelihara dan kemudian harus menyerahkannya kepada para ahli warisnya bila talah dewasa. Bahkan didalam pasal 2 paswara pusaka dan angkat sentana dinyataka bahwa walaupun padanya tidak ada keturunan atau anaknya masih kecil, semua harta si mati kecuali yang telah dihibahkan, harus dipegang oleh janda itu. Didalam hal masih ada anak kecil, janda itu harus memprtgunakan harta itu sebaqik-baiknya untuk menghidupi atau memelihara anak itu dan tidak boleh dibagi.

Dalam mengurus harta peninggalan itu, ia dibatasi oleh kedudukannya sebagai pengurus harta yang baik. Artinya ia tidak boleh mempergunakan dengan sesuka hatinya. Disamping itu kedudukan pengurusannya itu hanya boleh dilakukan selama ia tidak melanggar kedudukannaya sebagi janda artinya tidak kawin keluar dan akan tetap menjanda. Segala perbuatannya hanya ditujukan untuk kepentingan ahli waris yang belum dewasa.

Bila janda itu kawin lagi dan tidak ada anak, harta warisan itu dapat digugat oleh saudara-saudara pewaris. Dalam hal ini saudara pewaris itu berkedudukan sebagai pengurus harta untuk para ahli waris yang masih kecil. Biasanya dalam pengurusan harta ini, janda itu selalu diawasi oleh saudara-saudara pewaris sehingga


(34)

dengan demikian segala perbuata janda dalam mengurus harta anak itu dapat dilakukan sebaik-baiknya. Dan bahkan bila ada khendak untuk menjual untuk keperluan pengabenan atau biaya pemeliharaan rumah tangganya itu, diperkenankan juga asal wajar dan sepengetahuan saudara-saudara almarhum, yaitu pewaris itu.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan itu, maka akan dapat kita simpulkan azas-azas sebagai berikut:

1. Janda menurut hukum adat tidak berhak mewaris dan karena itu ia bukan berstatus ahli waris. Ia hanya berhak turut menikmati atas harta peninggalan suaminya atau atas harta pusaka.

2. Bila janda meninggal kewajibannya artinya kedudukannya sebagai seorang janda dari pewaris dalam keluarga itu, tugas pengurusan harta pewarisan untuk para ahli waris yang masih dibawah umur itu janda ketangan saudara pewaris.

3. Dalam hal ada harta warisan berupa benda tetap, bila untuk pembeliharaan atau lainnya atau dijual, atau dijual gadai, harus ada kesepakatan dari seluruh anggota keluarga.

4. Pembagian warisan hanya dapat dilakukan bila para ahli waris telah dewasa. 5. Pembagian warisan berdasarkan paswara harus dilakukan setelah selesai

pemberesan terhadap hutang piutang paewaris. 23 Termasuk dalam pemberesan hutang piutang itu adalah:

      

23


(35)

a. Pembayaran atas segala hutang-hutang yang dinuat pewaris selagi hidup. Hutang ini termasuk pula hutang magis, misalnya janji kaulan dari lain-lainnya disamping hutang-hutang kepada orang seorang.

b. Pembayaran atau penyelesaiaaya pengabenan menurut ajaran agama. Syarat-syarat itu bersifat mutlak artinya bila belum dipenuhi sedangkan pembagian warisan itu telah dilakukan maka wajib para ahli waris secara bersama-sama menangguang hutang-hutang atau biaya-biaya pemberesan pengebenan atau pengerabuannya. Upacara itu berlaku pula bagi janda yang meninggal,misalnya telah berbagi waris. Dalam sistem sosial yang lama bila dilihat dari dimensi waktu pelapisan sosial dalam masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu pada hakikatnya berakar pada tradisi kecil (kebudayaan pra Hindu) dan tradisi besar (kebudayaan Hindu).

Pelapisan sosial seperti ini dapat mewujudkan suatu perbedaan kedudukan dan peranan tidak saja secara horizontal juga berbeda secara vertical. 24 Pada

perbedaan vertical inilah yang menekankan pada aspek tinggi rendahnya kedudukan sehingga tercipta adanya peringkat dalam kedudukan dan perasaan, akan mewujudkan gejala stratifikasi sosial atau pelapisan sosial.

Gejala seperti ini ada kecenderungan bahwa orang-orang yang tergolong kedalam lapisan tertentu memiliki pola hidup tertentu yang berbeda dengan lapisan lainnya baik menurut persepsi orang-orang dari dalam lapisan bersangkutan maupun pandangan dari seluruh warga suatu komunitas.

      

24


(36)

Untuk lebih memperjelas kedudukan dan peranan wanita dari suatu kasta (kewangsaan) yaitu melalui perkawinan. Bila seorang wanita yang berasal dari kasta atau kewangsaan rendah, misalnya kasta atau tri wangsa misalnya wangsa ksatria, maka wanita tersebut tidak boleh langsung duduk bersanding dengan mempelai laki-laki pada saat diadakannya upacara perkawinan.

Wanita tersebut harus diwakili dengan benda tertentu yang dalam hal ini dipergunakan sebagai wakilnya adalah keris. Dengan demikian jelas tampak bahwa kedudukan dan peranan wanita yang berasal dari keturunan kasta atau wangsa jaba mutlak dianggap rendah berbeda dengan laki-laki (suaminya) yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau tri wangsa tadi.

Sedangkan bila dilihat pada sistem sosial pada masa kini, dimana perkembangan masyarakat dan kebudayaan Bali telah berada pada tingkat tradisi modern. Sebagai akibat dari pelapisan sosial, hal ini berarti bahwa dalam proses pelapisan sosial, ditinjau dari pelapisan sosial berarti bahwa dalam proses pelapisan sosial sering terjadi pergeseran-pergeseran nilai dan patokan serta sebagai akibatnya penyusunan stratanya sendiri.

Demikian pula halnya strata yang terjadi bagi kaum wanita berkasta rendah atau wangsa jaba bila kawin dengan laki-laki yang berasal dari keturunan kasta yang lebih tinggi atau tri wangsa tidak ada lagi diwakilkan dengan benda atau keris pada saat upacara perkawinan. Hal ini dapat terjadi karena adanya pergeseran yaitu makin melemahnya dasar-dasar pelapisan sosial menurut keturunan (ascribed) dan makin


(37)

kuatnya dasar-dasar pelapisan sosial menurut prestasi yang dapat dicapai oleh kaum wanita (achieved).

Dalam hal ini wanita sudah selalu tampil dalam staf kepengurusan pemuda dan pemudi atau teruna teruni baik dalam lingkungan banjar maupun dalam lingkungan desa. Demikian pula wanita senantiasa mendapat tempat terhormat sebagai pimpinan pada setiap perkumpulan PKK dan arisan ditingkat banjar maupun desa, sehingga kedudukan dan peranan tidak hanya terbatas sebagai anggota. Pada lembaga-lembaga sosial lainnya wanita selalu menempati kedudukan sesuai dengan pria.

2. Konsepsional

Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis.

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational definition), pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.


(38)

Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

1. Harta peninggalan adalah harta perkawinan dalam bentuk apapun yang ditinggalkan oleh pewaris untuk seterusnya dikuasai oleh ahli waris, baik kerabat dekat maupun anak-anak pewaris.

2. Pewaris adalah orang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan. 3. Ahli waris adalah orang-orang yangg berdasarkan hukum yg berhak menerima

warisan

4. Kedudukan janda adalah wanita yang kematian suami bukan dalam arti menjadi janda karena perceraian tetapi janda karena kematian suami mendapat warisan dari harta peninggalan suami tersebut.

5. Hukum waris adat adalah peraturan yang mengatur proses meneruskan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberi gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas, ditinjau dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.


(39)

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan

dengan mempelajari ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Metode pendekatan hukum normatif dipergunakan dengan titik tolak penelitian dan analisis yang akan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan.

3. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan data, maka dipilih sebuah lokasi penelitian yaitu di Kota Denpasar Bali, mengigat luasnya lokasi penelitian maka dipilih satu buah desa untuk mewakili adalah Desa Kertalangu, Kecamatan Kesiman Denpasar Timur di Kabupaten Badung.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan pengumpulan data berupa meliputi hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Bahan hukum primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan kedudukan janda dalam hal mewarisi harta peninggalan dari almarhum suaminya. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang member penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum. Selanjutnya baham hukum tertier adalah yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.


(40)

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara :

1. Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain data-data mengenai aturan normatif yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan, Kitab Weda (surti) dan Kitab

Dharmasastra (smriti) yang mengatur tentang kedudukan janda dalam hal

mewarisi harta peninggalan dari suami.

2. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu dengan melakukan wawancara yang dilakukan secara mendalam dan sistematis dengan menggunakan pedoman wawancara (interview) yang di jadikan sumber informasi pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

a. Ketua Adat

b. Ketua Hukum Perdata c. Masyarakat setempat

5. Analisi Data

Setelah data primer dan data sekunder selesai dikumpulkan. selanjutnya data tersebut diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan metode deduktif, yaitu bertolak dari suatu preposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus.


(41)

28

Rangkaian kegiatan yang dianalisis data yang diperlukan penulis dalam penulisan tesis ini adalah semua data yang diperoleh terlebih dahulu diolah agar dapat gambaran yang sesuai dengan kebutuhan apa yang diteliti kemudian dianalisis kualitatif, baik data primer atau sekunder untuk diseleksi, dipilih berdasarkan kualitas dan relevansinya yang penting atau yang tidak penting untuk dikaji melalui pemikiran yang logis induktif.

Sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian sehingga dapat menjawab permasalahan yang ada.


(42)

BAB II

PERGESERAN KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS ADAT BALI

A. Gambaran Umum Desa Kertalangu

Denpasar Timur adalah sebuah kecamatan di kota Denpasar, Bali, Indonesia. Beberapa kelurahan (desa) yang termasuk dalam kecamatan Denpasar Timur diantaranya, Desa Dangin Puri Klod, Desa Penatih Dangin Puri, Desa Sumerta Kaja, Desa Sumerta Kauh, Desa Kesiman Kertalangu, Desa Sumerta Klod, Desa Kesiman Petilan, Kelurahan Dangin Puri, Kelurahan Kesiman, Kelurahan Penatih, dan Kelurahan Sumerta.25

Desa Kesiman Kertalangu terletak dibagian paling timur di wilayah Kabupaten Badung, merupakan perbatasan antara Kabupaten Badung dengan Kabupaten Gianyar, dan merupakan bagian wilayah dari Denpasar Timur. Merupakan dataran rendah pantai pada ketinggian kurang lebih 20 m dari permukaan air laut tanpa ada daerah pegunungan. Desa Kesiman Kertalangu berbatasan dengan :

a. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Penatih Dangin Puri. b. Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kesiman Petilan. c. Di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. d. Di sebelah timur berbatasan dengan Daerah Tingkat II Gianyar.

      


(43)

Luas wilayah/luas areal Desa Kesiman Kertalangu yang terdiri dari tanah tegalan dan persawahan yang ditinjau menurut luas kepemilikan sebagai berikut :

a. Luas tanah desa : 4,17 ha

b. Luas tanah milik perseorangan : 381,86 ha c. Luas tanah pemerintah : 17,45 ha d. Luas seluruh desa : 402,68 ha

Desa budaya Kertalangu terletak di Tepi Jl. Bypass Ngurah Rai - Sanur, di Jl. By Pass I Gusti Ngurah Rai – Sanur. Kawasan ini bisa dicapai hanya ±30 menit dari Airport Ngurah Rai, 45 menit dari kawasan Nusa Dua dan Kuta. Dalam pembentukan sebuah desa terdapat tiga unsur pokok, yaitu :

1. Daerah/ wilayah yang merupakan tempat tinggal dan tempat beraktivitas. 2. Penduduk adalah terkait dengan kualitas dan kuantitasnya.

3. Tata kehidupan atau aturan-aturan yang berhubungan langsung dengan keadaan masyarakat dan adat istiadat setempat.

Dari unsur-unsur tersebut maka dapat didefinisikan bahwa desa adalah suatu jaringan dalam masyarakat yang bersifat kecil, namun mempunyai tempat tinggal dan beraktifitas sesuai dengan norma dan nilai adat istiadat setempat. Sedangkan budaya adalah keseluruhan sistem gagasan nilai, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

Dari pengertian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa desa budaya merupakan suatu jaringan dalam masyarakat dalam konteks kecil yang bersifat khas dan ditata sedemikian rupa untuk kepentingan pelestarian budaya dalam bentuk adat.


(44)

Sebagai desa, kertalangu memiliki kreatifitas dalam mempertahankan nilai-nilai budayanya dengan mengunakan aktivitas pariwisata.

Desa Kertalangu merupakan salah satu desa yang berlokasi di tengah-tengah kota Denpasar yang mengembangkan sumberdaya alam dan budaya sebagai pariwisata alternatif di tengah berkembangnya pariwisata konvensional di kota Denpasar yang menyelaraskan, meyeimbangkan kegiatan pariwisata dengan budaya lokal dan lingkungan alam dengan melibatkan masyarakat lokal dalam aktifitas pariwisata.

Secara administratif Desa Kesiman termasuk wilayah kecamatan Denpasar Timur, secara resmi terdiri atas satu prebekel induk tetapi dalam pelaksanaan administrasi dibagi menjadi tiga prebekel (kepala desa) mengenai pembagian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Prebekel Kesiman Pekandelan merupakan desa induk terdiri atas lima banjar dinas, yaitu

a. Banjar Hindu

b. Banjar Pekandelan dengan banjar suka duka antara lain, banjar Pabean, banjar Dauh Tangkluk, banjar Dajan Tangkluk, dan Abian Tubuh.

c. Banjar Dangin Tangluk dengan banjar suka duka yaitu banjar Kesuma Jati.

d. Banjar Ceramcam

e. Banjar Kebon Kuri dengan banjar suka duka banjar Kebon Kuri Lukluk, banjar Kebon Kuri Tengah, banjar Kebon Kuri Mangku dan banjar Kebon Kuri Kelod.

2. Prebekel Kesiman Pentilan terdiri atas enam banjar dinas, yaitu : a. Banjar Kedaton

b. Banjar Bukit Buung c. Banjar Meranggi d. Banjar Batan Buah e. Banjar Kehen

f. Banjar Abian Nangka dengan banjar suka duka banjar Abian Nangka Kaja, banjar Abian Nangka Kelod dan banjar Dukuh.

3. Prebekel Kesiman Kertalangu terdiri atas empat banjar dinas yaitu : a. Banjar Tohpati

b. Banjar Kertajiwa


(45)

d. Banjar Biaung. 26

Disamping banjar atau dusun tersebut di atas masih ada banjar yang biasa disebut dengan Banjar Panrus, yaitu Banjar Tangtu, Banjar Kertalangu, dan Banjar Kerta Pura.

Demikian pula sebagai daerah urbanisasi wilayah desa Kesiman Kertalangu juga terdiri atas 2 RT dan 1 Asrama Polri, yaitu, RT Balitex, RT Patal Tohpati, Asrama Polri atau Brimob. Desa Kesiman Kertalangu hampir separuh penduduknya adalah berasal karena imigrasi sehingga wilayahnya merupakan sasaran urbanisasi. Di desa Kesiman Kertalangu hampir 90.223 menganut agama Hindu, diantaranya penduduk laki-laki berjumlah 45.640, penduduk perempuan berjumlah 44.583.

Data Kependudukan Denpasar Timur (WNI Penduduk Tetap)

No Desa/Kelurahan Penduduk

Laki-Laki Perempuan L+P 1 Kelurahan Dangin Puri 5.694 5.293 10.987 2 Kelurahan Sumerta 4.308 4.148 8.456 3 Kelurahan Kesiman 5.014 4.868 9.882 4 Kelurahan Penatih 4.142 4.023 8.165 5 Desa Penatih Dangin Puri 2835 2.701 5.536 6 Desa Dangin Puri Klod 13.301 10.973 24.274

7 Desa Sumerta Kauh 3894 3607 7501

8 Desa Sumerta Kaja 3.621 3.568 7.189 9 Desa Sumerta Klod 6.379 6.037 12.416 10 Desa Kesiman Kertalangu 8.257 7.745 16.002 11 Desa Kesiman Petilan 5.233 4.834 10.067

Jumlah 62.678 57.797 120.475

      

26

Si Luh Swarsi, Kedudukan dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Bali, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali Tahun 2002, Denpasar, 2002. hal.13. 


(46)

Data Kependudukan Denpasar Timur (WNI Penduduk Sementara) Penduduk

No Desa/Kelurahan

Laki-Laki Perempuan L+P

1 Kelurahan Dangin Puri 64 55 119

2 Kelurahan Sumerta 2.079 1.777 3.856

3 Kelurahan Kesiman 385 366 751

4 Kelurahan Penatih 210 127 337

5 Desa Penatih Dangin Puri 10 10 20

6 Desa Dangin Puri Klod 60 150 210

7 Desa Sumerta Kauh 83 67 150

8 Desa Sumerta Kaja 57 43 100

9 Desa Sumerta Klod 279 169 448

10 Desa Kesiman Kertalangu 399 262 661 11 Desa Kesiman Petilan 533 365 898

Jumlah 4.159 3.391 7.550

Data Kependudukan Denpasar Timur (WNA)

No Desa/Kelurahan Penduduk

Laki-Laki Perempuan L+P

1 Kelurahan Dangin Puri 1 0 1

2 Kelurahan Sumerta 0 3 3

3 Kelurahan Kesiman 1 0 1

4 Kelurahan Penatih 1 0 1

5 Desa Penatih Dangin Puri 0 1 1

6 Desa Dangin Puri Klod 0 0 0

7 Desa Sumerta Kauh 0 1 1

8 Desa Sumerta Kaja 0 1 1

9 Desa Sumerta Klod 10 9 19

10 Desa Kesiman Kertalangu 1 1 2

11 Desa Kesiman Petilan 1 1 2

Jumlah 15 17 32

Data Penduduk Berdasarkan Agama & Jenis Kelamin Kec. Denpasar Timur Agama Laki-Laki Perempuan Jumlah

Islam 14.375 12.192 26.567

Kristen 3.008 2.784 5.792

Katholik 1.884 1.523 3.407

Hindu 45.640 44.583 90.223

Budha 721 586 1.307


(47)

Data Penduduk Kec. Denpasar Timur

Penduduk No Desa/Kelurahan

Laki-Laki Perempuan L+P 1. Kelurahan Dangin Puri 5.759 5.348 11.107

2 Kelurahan Sumerta 6.387 5.928 12.315 3 Kelurahan Kesiman 5.400 5.234 10.634 4 Kelurahan Penatih 4.353 4.150 8.503 5 Desa Penatih Dangin Puri 2.845 2.712 5.557 6 Desa Dangin Puri Klod 13.361 11.123 24.484 7 Desa Sumerta Kauh 3.977 3.675 7.652 8 Desa Sumerta Kaja 3.678 3.612 7.290 9 Desa Sumerta Klod 6.668 6.215 12.883 10 Desa Kesiman Kertalangu 8.657 8.008 16.665 11 Desa Kesiman Petilan 5.767 5.200 10.967

Jumlah 66.852 66.852 12.8057

Sumber : Data Dinas Kependudukan Kota Denpasar 2009.

B. Sistem Kekeluargaan Hindu

Agama Hindu adalah agama yang tertua di dunia yang masih hidup dan berkembang serta mempunyai pengaruh yang amat luas pada seluruh aspek kehidupan manusia. 27 Hindu adalah nama salah satu agama Dunia yang mempunyai latar belakang sejarah yang unik, nama Hindu sebagai agama baru mulai dikenal sejak berkembangnya agama baru didunia, penanaman agama Hindu asal mulanya diperoleh dari para penulis barat.

Kata Hindu berasal dari bahasa Yunani, Hydros atau Hidos dan sebagai nama untuk menyebutkan kebudayaan atau agama yang berkembang di lembah sungai

Shindhu, lebih jauh kata air ini didalam weda disebut tirtha, sehingga di Bali istilah

      

27

Gede Pudja, Pengantar Agama Hindu Jilid I Untuk Perguruan Tinggi, Mayasari, Jakarta 1990, hal.15.


(48)

agama tirtha untuk pengganti kata Hindu sangat umum. Tirtha berarti suci, agama

Tirtha berarti agama suci.

Menurut kitab Weda, baik sruti maupun smrti, pada mulanya nama agama itu disebut dengan nama Dharma atau sanatana dharma saja. Nama dharma itu terutama sebagai nama secara tidak langsung dengan menunjuk sumber hukum atau definisi

dharma. 28

Menurut manusmrti, sumber hukum Hindu (dharma) terdiri dari :

1. Weda atau Sruti (wahyu)

2. Dharmasastra atau Smitri

3. Sadacara (acara yang berupa adat istiadat setempat)

4. Atamanas tusti (rasa puas pada diri)

5. Nibanda 29

Sistem kekeluargaan Hindu dibedakan antara sistem Sapinda dan Sakula.

Sapinda biasanya menunjuk pada bentuk hubungan darah yang lebih dekat

disbanding dengan Sakula.30 Didalam ilmu sosial dikenal dua istilah yaitu Unilateral, baik itu disebut patrilineal maupun yang disebut matrilineal, dan yang kedua yang disebut Bilateral misalnya stesel parental.

Sapinda adalah tergolong jenis unilateral, sedangkan yang disebut dengan

sistem Sakula, menunjuk pada sistem bilateral. 31 Dalam hukum kewarisan Hindu

yang paling penting adalah asas patrilineal yang disebut purusa (asas ke bapak atau asas laki-laki).

      

28 Ibid.. 29

Gede Pudja, Hukum Kewarisan Hindu yang diresepir kedalam Hukum Adat di Bali dan

Lombok, CV.Junasco, Jakarta 1990. 

30

Gede Pudja, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali dan

Lombok, CV. Junasco, Denpasar, 1990, hal.65.

31 Ibid.


(49)

Masalah waris merupakan masalah yang menyangkut hubungan hukum yang didasarkan atas hubungan geneaologis, maka menurut kitab Manawadharmasastra yang terjemahannya “setelah meninggal ayah dan ibu, saudara-saudara (laki) setelah berkumpul bersama-sama, mereka boleh membagi harta (orang tua), sesungguhnya tidak ada kekuasaan atas harta itu selagi orang tua mereka masih hidup.” 32

Mengenai hal tersebut di atas, ada beberapa hal yang patut dicatat, yaitu : 1. Saudara laki-laki atau anak dari pewaris yang laki-laki bersama berhak

mewarisi atas harta peninggalan dari pada orang tua mereka.

2. Mereka boleh membagi harta warisan (peninggalan) itu yaitu dengan kata boleh berarti tidak mutlak. Boleh dibagi dan boleh pula tetap sebagai harta bersama walau orang tua mereka telah meninggal.

3. Pembagian setelah orang tua meninggal, ini merupakan asas yang kemudian menjadi dasar hukum bahwa pewarisan umumnya dilakukan bila si pewaris telah meninggal. Dikuatkan pula oleh satu sandaran hukum yang mengatakan bahwa tidak adanya kekuasaan atas harta warisan selagi orang tua masih hidup. Berarti bahwa hak atas harta benda itu sepenuhnya berada ditangan orang tuanya terutama ayahnya.

Para ahli hukum Hindu berpendapat bahwa ada dua penafsiran yang berkembang dalam lingkungan hukum Hindu, yakni :

1. Ada yang berpendapat bahwa pembagian warisan hanya dapat dilakukan setelah orang tua meninggal. Jadi, sesuai dengan perumusan yang diatas secara artinya sendiri.

2. Ada yang beranggapan bahwa pembagian warisan dapat pula dilakukan selagi orang tua masih hidup Dengan penafsiran ini dimaksudkan bahwa pewarisan

      

32 Ibid.


(50)

itu semacam penghidupan yang dilakukan oleh orang tuanya kepada para ahli warisnya yang dilakukan selagi masih hidup. 33

Disamping masalah sistem kekeluargaan diatas khusus mengenai masalah pewarisan hidup, yaitu pewarisan yang dilakukan oleh pewaris semasih hidup, terdapat masalah hukum lain yang perlu mendapat peninjauan tersendiri yaitu akibat terhadap harta yang diperoleh bila pembagian harta warisan itu dilakukan selagi pewaris hidup.

Tentang hal ini hukum Hindu pun menentukan beberapa masalah tersendiri, yaitu terhadap kemungkinan perjumpaan harta baru setelah berbagi waris, dan terhadap harta yang diusahakan oleh ayahnya setelah berbagi waris itu, terhadap hal ini ada dua hal yang ditentukan yaitu :

a. anak yang lahir sesudah berbagi waris akan mewarisi harta ayahnya, sedangkan anak-anak yang telah memperoleh bagiannya tidak berhak lagi. b. bila ayah meninggal tidak beputra lagi maka para ahli waris yang telah

memperoleh warisan dapat mewarisi lagi dengan berbagi sama atas harta warisan itu tanpa melihat adanya hak-hak hukum yang berdasarkan sistem

Uddhara (hak lebih). 34

Dalam prinsip penarikan garis keturunan pada sistem sosial yang lama kedudukan peranan wanita Bali dapat dikatakan tidak ada, karena secara umum norma yang berlaku untuk sistem tersebut adalah bersifat patrilineal. Secara nyata hal tersebut dapat dilihat dalam warisan harta kekayaan berupa benda dan keturunan,

      

33 Ibid. 34


(51)

yaitu anak sebagai hasil perkawinan. Jadi baik harta kekayaan maupun anak-anak pada sistem sosial yang lama sepenuhnya akan dikuasai oleh pihak laki-laki saja. Dengan adanya perkembangan dan kemajuan masyarakat maka norma tersebut, pada sistem penarikan garis keturunan telah bergeser. Misalnya dalam sistem pewarisan harta kekayaan berupa benda dan anak-anak, tidak akan sepenuhnya lagi dikuasai oleh pihak keluarga laki-laki, karena pada saat sekarang bahwa dalam suatu rumah tangga dimana sebagai kesatuan sosial ekonomi penting yang terdiri dari sejumlah anggota pemberi nafkah, dimana tidak terdiri dari anak laki-laki saja akan tetapi juga wanita dewasa dan anak-anak dianggap cukup mampu melakukan sesuatu.

Tampak jelas bahwa kedudukan dan peranan wanita yang memang sudah tidak diragukan lagi dan adanya kaum wanita yang menunjukkan kesanggupan mencari nafkah disamping mengurus rumah tangganya. Dengan demikian kedudukan dan peranan wanita Bali yaitu bersifat ganda karenanya baik warisan harta benda dan anak-anak tidak lagi spenuhnya dikuasai lagi oleh pihak laki-laki. 35

Dalam kelompok kekerabatan, dijelaskan mengenai pergeseran kedudukan dan peranan wanita Bali dari segi kepemimpinan maupun segi keanggotaan baik dalam kelompok kekerabatan yang lebih besar, misalnya keluarga luas. Akibat dari perkawinan, akan terjadi juga suatu kelompok kekerabatan yang disebut dengan keluarga inti atau keluarga batih.

Satu keluarga inti terdiri dari sorang suami, seorang isteri, dan anak-anak yang belum kawin. Tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas bahwa keluarga inti yang

      

35


(52)

ada pada suku Bali pada umumnya dapat disebut sebagai keluarga inti yang sederhana dan biasanya disebut keluarga batih. Bila pada sistem sosial yang lama kedudukan dan peranan wanita dalam keluarga batih pada suku Bali hanya semata-mata sebagai anggota keluarga dan tidak dapat menentukan suatu keputusan maupun pertimbangan lagi keluarga batihnya.

Namun pada saat sekarang kedudukan dan peranannya sudah bergeser, misalnya seorang isteri atau seorang ibu dalam keluarga batih tersebut dapat berkedudukan sebagai seorang pemimpin bagi keluarganya, senantiasa dapat lebih berperan terutama dalam menentukan suatu keputusan atau pertimbangan untuk mencarikan anaknya sekolah yang dianggap cocok atau layak. 36

Hal ini terjadi juga karena wanita Bali ini pada sekarang ini tidak hanya lagi sebagai seorang ibu rumah tangga, akan tetapi wanita tersebut berfungsi sebagai sumber tenaga kerja produktif dalam kaitannya dengan ekonomi rumah tangga.37 Demikian halnya dalam lingkup yang lebih luas, seperti dalam kelompok kekerabatan yang lebih besar yaitu keluarga luas. Bila dalam sistem sosial yang lama, kaum wanita di Bali dalam setiap jenis kegiatan rumah tangga sehari-hari sampai pada kegiatan-kegiatan upacara hanya sebagai pelengkap saja dan tidak dapat menetukan apa-apa.

      

36

Hasil wawancara dengan Ni Wayan Leji, Masyarakat Bali, 15 juli 2010. 37

Si Luh Swarsi, Kedudukan dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Bali, Badan Pengembangan Kebudayaan Dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian Pemanfaatan Sejarah Dan Tradisi Bali, 2002, hal. 67.


(53)

Sedangkan pada saat sekarang, kaum wanita disini dapat memperoleh suatu kesempatan sebagai pemimpin keluarga luas dan sekaligus berperan dalam memberikan serta menentukan suatu keputusan bagi setiap kegiatan keluarga atau kegiatan upacara seperti upacara manusa yadnya, yaitu upacara khusus lainnya untuk kesejahteraan dan keselamatan bagi anggota keluarga yang masih hidup, upacara

pitra yadnya yaitu upacara khusus untuk anggota keluarga yang telah meninggal

maupun upacara dewa yadnya yaitu upacara khusus yang ditunjukkan kepada sinar Tuhan Yang Maha Esa sebagai wujud rasa terima kasih kepada-Nya.

Dalam kegiatan upacara seperti disebut diatas, peranan wanita lebih banyak dari kaum laki-laki, karena pada umumnya kaum wanita lebih luas pengetahuannya mengenai tata upacara maupun materi upacara tersebut. Dengan dianutnya sistem ke-Bapaan, maka hal utama yang menonjol adalah anak laki-laki. Anak laki-laki akan meneruskan kehidupan atau keturunan keluarga tersebut, sedang anak-anak perempuan tidak demikian adanya.

Dalam pengertian ini, anak laki-laki demikian juga disebut anak Sentana. Sebutan atau istilah ini berasal dari kata Sentana yang berarti pelanjut keturunan. Mengenai kata Sentana ini, dikenal pula dalam penyebutan terhadap keadaan selain di atas seperti Sentana Rajeg yaitu anak wanita yang ditingkatkan kedudukannya menjadi anak Sentana berarti ia dianggap telah beralih status perempuan ke status laki-laki.

Sedangkan dalam istilah lain ada pula yang menyebut perkawinan dimana seorang laki-laki kawin dengan wanita Sentana Rajeg dan laki-laki itu berdiam serta


(54)

masuk ke dalam keluarga mempelai wanita disebut Kawin Nyentana/Nyeburin.38 Tetapi dalam arti sempit dimaksudkan atau disebut pula sebagai istilah yang dapat dipakai untuk menamakan anak angkat dalam kedudukannya yang dilakukan pengangkatan itu lewat upacara meperas dan anak itu disebut sentana peperasan.

Anak terakhir ini haruslah laki-laki atau setidak-tidaknya status anak yang diangkat harus ditingkatkan menjadi status laki-laki, sehingga tujuan pengangkatan anak itu yaitu untuk melanjutkan keturunan dapat dipenuhi. Sebab menurut pengertian diatas hanya anak Sentana (anak laki-laki atau anak perempuan yang kedudukannya diangkat menjadi anak atau Sentana Rajeg) yang akan meneruskan keturunan keluarga, didalam hal ini meneruskan garis keluarga dan menumbuhkan garis ke Purusa.

Garis keturunan inilah yang didalam hukum adat Bali, akan tergambar jelas sebagai garis keturunan yang nantinya mewaris. Didalam kehidupan orang Bali, dikenal beberapa istilah/pengertian dan macam anak, yaitu antara lain, pertama anak

sentana rajeg, yaitu jika didalam keluarga hanya dapat dilahirkan satu anak yang

berjenis kelamin wanita, maka anak ini diangkat statusnya menjadi laki-laki. Hal ini terjadi jika anak perempuan itu kawin Keceburin (menarik suaminya masuk keluarga ayahnya atau tidak kawin keluar). Kedua, anak kandung adalah anak laki-laki dan perempuan yang lahir dari perkawinan yang sah dimana anak laki-laki adalah berstatus sama dengan anak sentana rejeg diatas sedangkan anak perempuan adalah

      

38

I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar, 2003, hal.8.


(55)

anak yang tidak mewaris. Ketiga, anak angkat, yaitu anak laki-laki atau statusnya diangkat menjadi sama dengan anak laki-laki yang pengangkatan itu berakibat status anak angkat itu menjadi sama kedudukannya dengan anak kandung sendiri (laki-laki), pengangkatan ini umumnya dilakukan oleh keluarga yang tidak membuahkan anak atau tidak punya anak.

Dalam kitab perundang-undangan majapahit, XIII 215-219 yang merupakan bab-bab kewarisan yang disebut drew kaliliran (warisan) kita hanya menjumpai hal-hal sebagai berikut:

1.Dalam hal pewaris beristrikan empat orang dari berbagai golongan (kasta), pembagian harus dibagi menjadi sebelas dan perolehan tiap-tiap anak dari ibu yang berbeda golongan tidak boleh sama.

2.Jika tidak anak kandung tetapi hanya ada anak pungut atau anak pemberian (bukan anak angkat), perolehan anak itu bila mewaris adalah sama basar terhadap harta orang yang mengakui anak itu. Pasal ini harus diartikan dalam hal tidak punya anak dan dengan demikian bila padanya ada anak maka anak itu tidak berhak kecuali kalau menjadi anak angkat yang diadopsi resmi. 39

      

39


(1)

132

2. Diharapkan agar di perhatian masyarakat dan pemerintah tetap memperjuangkan hak janda yang menjalankan dharmanya dapat menikmati harta warisan yang ditinggalkan suaminya tanpa harus ada gugatan ke Pengadilan.

3. Diharapkan adanya perlindungan bagi janda, apabila janda tersebut tidak mendapatkan haknya tuk mewarisi harta almarhum tersebut.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrachman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984.

Adia, G.K Wiratmadja, Wanita Hindu Dalam Suatu Proyeksi, Ganexa Exact Bandung, Bandung, 1991

Ali Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001. Ariani, I G.A.A, Wanita Dalam Hukum Keluarga dan Warisan di Bali, suatu Kajian

Normatif Sosiologis dan Prrsepektif Gender”, Kertha Patrika, Denpasar, 1994. Artadi, I Ketut, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post,

Denpasar, 2003.

Aripta, Made Wibawa, Wanita Hindu Sebuah Emansipasi Kebablasan, Panakom Publishing, Denpasar, 2007.

Astiti, Tjok. Istri Putra, Hak-Hak Wanita Bali dalam Hukum Adat Bali”dalam Masinambow, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000.

---, Pengaruh Hukum Adat Dalam Keluarga Berencana Terhadap Nilai Anak Laki-laki Dan Perempuan Pada Masyarakat Bali Yang Sedang Berubah, Kembang Rampai Wanita Bali, Denpasar, Pusat Studi Wanita, Unud, 2000. ---, Hak Wanita Bali Dalam Hukum Adat Waris, Pengaruh Diskriminasi

Terhadap Wanita, Alumni Bandung, Bandung 2000.

Friedmann, W, Teori Dan Filsafat Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Gede, I Djaksa, Himpunan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, Pemerintah

Propinsi Bali, Denpasar, 2003.

Gede, I A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari masa ke masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.


(3)

Gede, I Panetja, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV. Kayu Mas, Denpasar, 1986.

Gede, I Pitana, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, BP, Denpasar, 1997. Gede, I Pudja, Hukum Kewarisan Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali dan

Lombok, CV. Junasco, Jakarta 1990.

Gusti, I Kaler, Perkawinan Dalam Masyarakat Hindu Di Bali, Cudmani, 1990.

Gusti, I Putu Djiwa, Malegandang, Majalah Bhawanagara, No. 11-12 tahun III, April Mei, 1967.

Hadikusuma, Hilman, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni Bandung, Bandung, 1980.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Penerbit Alumni, Bandung, 1983. Ketut Luh Suryani, Perempuan Bali Kini, BP, Denpasar, 2003.

Luh, Sih Swarsi, Kedudukan dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Bali, Badan Pengembangan Kebudayaan Dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian Pemanfaatan Sejarah Dan Tradisi Bali, 2002, hal. 65.

Made, I Suasthawa Dharmayuda, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, 2001.

Made Ni Sri Arwati, Swadharma Ibu Dalam Keluarga Hindu, Upada Sastra, Denpasar, 1993.

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007.

Majelis Pembinaan Lembaga Adat Bali, Kumpulan Putusan Pengadilan Raad Kerta, tanpa tahun.


(4)

---, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Madju, Bandung, 1990.

Harahap, Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading, Medan, 1980. ---, Kedudukan Janda, Duda, Dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Koesnoe, M, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga University Press, Surabaya, 1980.

Korn, VE, Hukum Adat Waris Bali (terjemahan), Pustaka Bali Post, Denpasar, 1990. M. J.J.J Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI

Press, Jakarta, 1996.

Rasjidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Soewondo, Nani Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Solly, M. Lubis (I), Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Slametmuljana, Perundang-undangan Majapahit, Bhatara, Jakarta, 1970.

Perangin-angin, Effendi, SH, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,1999 ---, Pengantar Agama Hindu Jilid I Untuk Perguruan Tinggi, Maya Sari,

Jakarta 1990.

Pudja, I Gede dan Rai Sudharta, Manawa Dharmacastra, Hanuman Sakti, Denpasar, 1996.

Setiady, Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta Bandung, Bandung 2009.


(5)

Soerjono, Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

---, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali, Jakarta, 1985.

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, PT. Pradyana Paramita, Jakarta, 2000. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rieka Cipta, Jakarta, 2005.

Tamara, J, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung mengenai Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1990.

Ter Haar, Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pustaka Bali Post, Denpasar, 1990.

Wayan, I Surpha, Seputar Desa Pakraman Dan Adat Bali Dilengkapi dengan Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I – IX dan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, BP, Denpasar, 2002.

Windia Wayan, Menjawab Masalah Hukum, BP, Denpasar, 1995.

Windia, Wayan, Tanya Jawab Hukum Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, 1997. B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

Kamus Indonesia-Daerah Jawa, Bali, Sunda, Madura, Edisi Kedua. Kitab Weda dan Manudharnasastra.

C. Website

http//:www.blog.unsri.ac.id/tinjauan-hukum-tentang-hak-waris-anak-perempuan-di-bali, tanggal 09 February 2010, pukul 10.00 wib.

http://www.eprints.undip.ac.id diakses pada tanggal 09 February 2010, pukul 11.00 wib.


(6)

   

d. Wawancara

Hasil wawancara dengan :

1. I Made Sukra, Ketua adat, 14 Juli 2010.

2. I Made Sukarte, Ketua Hukum Perdata Pengadilan Negeri Denpasar, tanggal 14 Juli 2010.

3. Ni Wayan Leiji, masyarakat, bertempat tinggal di Banjar Tangguntiti, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 15 Juli 2010.

4. Luh Made Karnasih, Guru, bertempat tinggal Banjar Kertajiwa, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 15 Juli 2010.

5. Mangku Reken, dosen, bertempat tinggal Banjar Biaung, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 15 Juli 2010.

6. Ni Nyoman Nardi, masyarakat, bertempat tinggal di Banjar Tohpati, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 15 juli 2010.

7. Wayan Rawi, masyarakat, bertempat tinggal di Banjar Tohpati, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 16 Juli 2010.

8. Luh Ketut Bona, bertempat tinggal di Banjar Tohpati, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 16 juli 2010.

9. Made Reni, Pegawai pengadilan Negeri Denpasar, bertempat tinggal di Banjar Kertajiwa, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 16 Juli 2010.

10.Nyoman Nardi, Masyarakat, bertempat tinggal di Banjar Tohpati, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 16 juli 2010.

11.Ni Wayan Suarti, Masyarakat, bertempat tinggal di Banjar Tohpati, Kertalangu Kesiman Denpasar Timur, 16 juli 2010.