Latar Belakang Masalah PENUTUP

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah negara berkembang biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang miskin. 1 Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup: 1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. 2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya 1 http:www.asiafoundation.orgpdfCivil_Society_Initiative_Against_Poverty_Indonesia.pdf . dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. 3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna memadai di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Dalam ilmu ekonomi pembangunan kita mengenal istilah kemiskinan struktural yang melanda negara-negara dunia ketiga. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang bukan disebabkan oleh rajin tidak rajinnya individu bekerja, tetapi disebabkan oleh adanya sistem atau struktur yang mencegah sebagian besar orang untuk menjadi kuat, sejahtera, bahkan kaya. Sekuat apa pun seseorang bekerja, dia tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya karena struktur mencegah dia untuk berkembang. 2 Sistem ekonomi yang sangat liberal menghalalkan sebagian kecil rakyat untuk memiliki menimbun kekayaan dan aset yang berlebih monopoli. Dalam struktur yang monopolis seperti ini, kecil kemungkinan rakyat jelata untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dia hanya bekerja sekadar mempertahankan hidup, bukannya mengembangkan kualitas hidup ke arah yang lebih baik. Kemiskinan merupakan masalah sosial terbesar umat manusia saat ini. Akibatnya, banyak yang mulai mempertanyakan kembali sistem ekonomi kapitalisme liberal yang 20 tahun terakhir dijadikan platform utama. IMF dan Bank Dunia telah gagal menjalankan fungsinya membantu problematika ekonomi 2 http:www.asiafoundation.orgpdfCivil_Society_Initiative_Against_Poverty_Indonesia.pdf . dan keuangan banyak negara dunia ketiga. Alih-alih resepnya manjur dan bisa membangkitkan perekonomian, yang terjadi malah pasiennya yang terdiri dari banyak negara miskin harus diamputasi atau dibiarkan sekarat. Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah-tengah masyarkat secara layak sebagai manusia. sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan pokok yang berupa sandang pangan, memperoleh pekerjaan dan mampu membina keluarganya dengan bekal yang cukup. Dengan demikian sesorang akan mampu melaksanakan kewajiban terhadap allah dan tugas-tugas lainnya. Seseorang tidak akan menjadi gelandangan atau pengemis yang tidak memiliki sesuatu apapun. Dalam islam seseorang tidak boleh membiarkan orang sekalipun orang kafir zimmi yang hidup dalam maysarkat, dalam keadaan lapar, tanpa pakaian, hidup gelandangan tak menentu, tidak memiliki tempat tinggal serta problem lainnya. Kebebasan hak milik merupakan salah satu ide dasar kapitalis dalam mengatur kepemilikan. Menurut ide ini, setiap individu berhak memiliki barang- barang yang termasuk dalam pemilikan umum public property seperti ladang- ladang minyak, tambang-tambang besar, pelabuhan, jalan, barang-barang yang menjadi hajat hidup orang banyak, dan lain-lain. Pembangunan yang bersandar pada paradigma ini jelas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial. Akan terjadi akumulasi kekayaan yang melimpah- ruah pada segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat tidak dapat menikmati hasil pembangunan. Di samping itu, kesalahan dalam menggunakan tolak-ukur pembangunan berakibat cukup fatal. Sebuah negara dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita masyarakatnya cukup tinggi. Banyak terjadi, sebagian kecil orang di dalam suatu negara memiliki kekayaan yang melimpah, sedangkan sebagian besar lainnya justru hidup dalam kemiskinan. Kritik tajam lain ditujukan terhadap peran negara. Dalam ekonomi kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Peran minimalis ini telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Sebab tidak semua rakyat memiliki kemampuan kompetisi dan sumber daya ekonomi yang sama. Islam memiliki sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem ekonomi lainnya ia memiliki akar dalam syariat yang membentuk pandangan dunia sekaligus sasaran-sasaran dan strategi maqashid asy-syari’ah yang berbeda dari sistem-sistem sekuler yang yang menguasai dunia saat ini. Sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam secara mendasar bukan materil, mereka didasarkan atas konsep-konsep Islam sendiri tentang kebahagiaan manusia falah dan kehidupan yang baik hayatan thayyibah yang sangat menekankan aspek persaudaraan ukhuwah, keadilan sosio ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan bahwa ummat manusia memiliki kedudukan yang sama sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya, yang tidak akan mendapatkan kebahagian dan ketenangan bathin, kaecuali jika kebahagiaan sejati telah dicapai melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materildan spiritual. Tujuan-tujuan syari’at mengandung semua yang diperlukan manusia untuk merealisasikan falah dan hayatan thayyibah dalam batas-batas syari’at. 3 Kajian dan tingkah laku ekonomi dalam Islam merupakan ibadah kepada Allah SWT, selama hal itu dilakukan dengan ikhlas dan tidak melanggar aturan- aturan Islam. Kekayaan ekonomi adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan hidup manusia dan dalam rangka meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi kepada Allah SWT. Mencari kekayaan atau pendapatan yang lebih baik untuk dinikmati tidaklah tercela atau dikutuk Allah, sepanjang hal itu diakui sebagai amanah dan karunia Allah. Yang tercela adalah apabila kekayaan itu dianggap segala-galanya, sehingga dalam usaha untuk memperoleh dan membelanjakannya tidak lagi mengindahkan norma-norma agama. Iman dan taqwa kepada Allah memberi corak pada dunia ekonomi dan segala aspeknya. Corak ini menampilkan arah dan pembangunan yang menyatu antara pembangunan sector ekonomi dan pembangunan sektor agama, di mana Islam merupakan sumber dari sumber nilai central values.Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan ekonomi, baik di bidang 3 M. Umer Chapra. Islam dan tantangan Ekonomi terj Ikhwan Abidin dari judul asli Islam and Economic challenge, Jakarta: Gema Insani Press. 2000 . Cet. Ke-I. Hal. 7 produksi, konsumsi, maupun distribusi haruslah menggunakan pertimbangan nilai Islam. 4 Sesungguhnya Islam sama sekali tidak pernah melupakan unsur materi, pentingnya materi bagi kemakmuran dunia, kemajuan umat manusia, realisasi kehidupan yang baik baginya dan mebantu dalam melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi Islam senantiasa mempertegas bahwa kehidupan ekonomi yang baik walaupun merupakan tujuan Islam yang dicita-citakan tetapi bukanlah akhir dari segalanya, ia pada hakekatnya adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Ekonomi Islam menjadikan tujuan dibalik kesenangan dan kesejahteraan kehidupan adalah meningkatkan jiwa dan ruh menuju kepada Tuhannya. Manusia tidak boleh disibukkan semata-mata oleh usha pencarian kesenangan dan materi, sehingga lupa akan ma’rifah kepada Allah, ibada kepada-Nya, berhuungan baik dengan-Nya, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal. Islam mengakui kebebasan kepemilikan dan hak milik pribadi yang dijadikan sebagai landasan pembangunan ekonomi, apabila berpegang teguh pada kerangka yang diperbolehkan dan sejalan pula dengan ketentuan Allah. Pemilikan itu harus diperoleh melalui jalan yang halal, demikian pula mengembangkannya harus dengan cara-cara yang dihalalkan dan disyari’atkan. Islam mewajibkan atas kepemilikan ini sejumlah kewajiban dan perintah yang bermacam-macam, seperti 4 Muhammad Nejatullah Siddiqi. Pemikiran Ekonomi Islam, suatu penelitian kepustakaan masa kaini terj AM. Saefudin dari judul asli Muslim Economic Thinking: A survey of Literature, Jakarta: LIPPM, 1986 cet ke-I. hal.14 kewajiban zakat, memberi nafkah kepada kaum kerabat, menolong orang yang mendapatkan musibah, dan yang membutuhkan, berpartisipasi dalam menanggulangi berbagai persoalan masyarakat, seperti jihad dengan harta dan kerjasama merealisasikan rasa sepenaggungan antara sesame anggota masyarakat .5 Dalam buku Politik-Ekonomi Islam yang diterjemahkan oleh Ibnu Sholah, Syekh Abdurrahman Al Maliki menyebutkan beberapa peran penting negara untuk mengatasi kemiskinan. Pertama, menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarganya, kewajiban itu beralih kepada kerabatnya mulai yang terdekat. Jika tidak mencukupi, diambilkan dari harta zakat. Jika belum mencukupi, kewajiban itu beralih ke negara, yakni wajib atas Baitul Mal memenuhinya. Negara bisa memberikannya dalam bentuk harta secara langsung maupun dengan memberi pekerjaan. Kedua , pengaturan negara agar semua rakyat dapat menggapai kebutuhan pelengkap sesuai kadar kemampuan masing-masing dalam batas ketentuan syariat. Hal ini dilakukan dengan menyediakan lapangan kerja dan segala kemudahan berusaha kepada rakyat dalam berbagai bentuk bantuan usaha berupa modal maupun keahlian dan pasar. 5 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam terj Didin Hafidudin. Dari judul asli Daurul Qiam wal Akhlaqfil Iqtishadil Islami, Jakarta: Rabbani Press, 1997, cet. Ke-I, hal. 14 Misalnya membantu pemilik tanah memproduktifkan tanah itu sesuai dengan kemampuan maksimal yang dimiliki oleh rakyat seperti dengan mendirikan industri alat-alat pertanian, pupuk, memberi bantuan teknis, keahlian, membangun saluran air, sarana transportasi, dan sebagainya; memberikan berbagai bantuan kepada para pedagang untuk melakukan perdagangan baik di dalam negeri maupun perdagangan luar negeri; serta memberikan kemudahan agar semua rakyat dapat memanfaatkan kepemilikan umum. Ketiga, pengaturan negara terhadap kepemilikan individu dan kepemilikan umum. Karena itu, negara melarang individu atau swasta menguasai pemilikan umum seperti tambang minyak dan emas . Sebab minyak dan emas merupakan pemilikan umum yang seharusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat banyak. Mengatasi kemiskinan tentu saja tidak bisa secara parsial, namun harus lewat perubahan sistem yang menyeluruh, yakni mengganti sistem kapitalisme yang menjadi penyebab utama kemiskinan masyarakat dengan sistem Islam. Di sinilah kecemerlangan Islam dalam menuntaskan problem kemiskinan. Artinya, Islam tidak memandang bahwa kemiskinan merupakan urusan individu semata, tetapi melibatkan negara dan sistemnya. Permasalahan kemiskinan yang begitu kompleks yang melanda dunia ketiga, sehingga tidak luput bahwa negara Indonesia juga termasuk negara yang penduduknya tidak sedikit mengalami kemiskinan. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut. Kemudian agar bagaimana tulisan ini dapat diaplisakan dalam masyarakat.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah