Masa Kolonial Belanda Usaha Perkebunan Rakyat Di Aceh Selatan 1935-1950

BAB IV PASANG SURUT PERKEBUNAN RAKYAT DI ACEH SELATAN 1935-1950

4.1 Masa Kolonial Belanda

Sebelum datangnya bangsa Belanda ke Aceh Selatan, sudah ada hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang pantai Barat dan Selatan Aceh akibatnya banyak tumbuh kota-kota pelabuhan kecil yang didukung dengan kondisi geografis daerah pantai Selatan Aceh yang bisa untuk melabuhkan kapal-kapal dagang bangsa asing yangdatang ke daerah ini. Selain itu letak daerah Pantai Barat dan Selatan Aceh merupakan jalur pelayaran kapal-kapal dagang dari luar negeri yaitu NISM dan KPM . Bangsa-bangsa asing yang datang dan mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan asing adalah Jerman, Amerika, Belgia, Denmark, Prancis, Spanyol, Inggris, Swedia dan Norwegia. Para pedagang dari Eropa ini sebelum datang untuk mengadakan hubungan dagang sebelumnya telah mengadakan kontak dan mengurus perizinan dengan kantor dagang untuk memudahkan dan ada perlindungan bagi mereka dalam melakukan kerjasama dagang dengan para penduduk pribumi dalam hal ini adalah orang Aceh. Negara-negara asing yang datang ini juga membuka konsulat dagang di wilayah yang mereka datangi. Catatan-catatan tentang adanya kerjasama dagang ini Universitas Sumatera Utara dapat dilihat di museum kepulauan Solomon, Spanyol dan Amerika, sedangkan negara asing lainnya tidak ditemukan catatan tersebut. Catatan-catatan yang adapun hanya berupa surat-surat dagang, surat kapal, laporan dagang dan surat pribadi dari pedagang. Setelah datangnya Belanda hubungan dagang dengan bangsa asing lainnya secara perlahan mulai terputus. Kedatangan Belanda ke Wilayah Aceh Selatan pada awalnya dalam bentuk perjanjian dagang. Masuknya Belanda ke Wilayah Aceh Selatan melalui kerja sama dagang dengan kerajaan Singkil karena Belanda sudah memiliki kantor dagang di Pariaman Sumatera Barat. Belanda datang dengan tujuan untuk membeli hasil bumi dari wilayah kerajaan Singkil. Pengaruh dari jatuhnya istana kesultanan Aceh di Koetaradja tahun 1903 menjadi faktor dengan mudanya Belanda menguasai wilayah Aceh Selatan. Belanda tidak saja mengadakan hubungan dagang dengan Kerajaan Singkil saja tetapi dengan kerajaan Trumon dan Bakongan Belanda juga mengadakan perjanjian kerjasama hubungan dagang. Akan tetapi dengan kerajaan-kerajaan kecil lain yang berada di Aceh Selatan Belanda tidak langsung membuat perjanjian dagang karena banyak mendapat perlawanan dari masyarakat saat terjadi kesalahpahaman dalam hal jual beli. Kapal dagang milik Belanda sudah pernah diserang oleh masyarakat Kuala Batee 22 Susoh dalam catatan asing sering disebut soosoo ketika 22 Kuala Batee yang dimaksud bukan kuala Betee yang menjadi kecamatan Aceh Barat Daya sekarang dan landschap Kuala Batee pada masa Jepang, tetapi kuala bate ini adalah wilayah yang menjadi pelabuhan di wilayah Susoh. Peristiwa ini masih belum lengkap kepastian kejadiannya karena minimnya sumber. Universitas Sumatera Utara ada salah paham diantara mereka, menurut sumber yang ada kapal milik Belanda hancur akibat tembakan meriam dari daratan oleh masyarakat. Karena banyak timbul perlawanan dari masyarakat Aceh dan secara garis besar peperangan menurut Belanda masyarakat Aceh sangat sulit ditaklukan. Belanda mulai mencari cara lain untuk masuk dan menguasai Aceh Selatan, ini dilihat oleh Belanda sejak berakhirnya perang Aceh tahun 1903 perlawanan dari rakyat bukan berkurang tetapi makin menjadi-jadi. Belanda tertarik untuk menguasai Aceh Selatan karena tergiur dengan hasil pertanian lada, kelapa, pala, nilam dan pinang yang melimpah. Setiap kali panen produksi jenis komoditi pertanian yang akan diekspor itu mencapai 150.000 pikul, akan tetapi produksi ini terus menurun akibat perang dan bencana alam. Untuk menarik simpati rakyat Aceh Selatan dan dengan tujuan meningkatkan hasil bumi sehingga menghasilkan keuntungan yang banyak, maka pemerintah Kolonial Belanda mulai menitikberatkan wilayah Aceh Selatan di bidang sektor pertanian. Untuk mewujudkan keinginannya ini Kolonial Belanda mulai membangun infrastruktur seperti jalan raya, jembatan dan pelabuhan. Akan tetapi kolonial Belan lebih mementingkan untuk membangun pelabuhan karena kondisi geografis yang mendukung serta untuk membangun jalan raya dan jembatan pemerintah kolonial Belanda tidak begitu diperhatikan karena kondisi daerah yang banyak sungai, rawa, dataran yang curam dan terjal yan secara keseluruhan akan menghabiskan dana yang cukup besar. Jalan raya dibangun untuk kepentingan militer saja, pembangunan pelabuhan tidak dilakukan diseluruh kota pelabuhan, akan tetapi hanya dipusatkan Universitas Sumatera Utara pada tiga pelabuhan penting saja yaitu Tapaktuan, Labuhan Haji dan Susoh saja, sementara pelabuhan-pelabuhan lain yang ada selama ini mulai berhenti secara perlahan. Upaya pemerintah Kolonial Belanda ini dengan cara mengadakan program pembangunan ekonomi mengandung makna ganda. Maksudnya disatu sisi selain untuk memperlancar dan meningkatkan kebutuhan ekspor hasil bumi juga untuk memikat hati masyarakat Aceh Selatan. Secara tidak lansung masyarakat Aceh Selatan mulai menerima keberadaan pemerintah Kolonial Belanda meskipun masih ada perlawanan dari masyarakat yang masih merasa terganggu dengan keberadaan pemerintah kolonial Belanda. Upaya pemerintah Kolonial Belanda dalam meningkatkan perekonomian tidak hanya dalam membangun infrastruktur fisik saja. Pemerintah Kolonial Belanda juga memberi kemudahan lain kepada masyarakat Aceh dengan memberi penyuluhan tentang teknik pengolahan tanah yang baik, cara irigasi, penyemainan, perawatan tanaman perkebunan, sampai cara pengolahan setelah panen dan memberi pengetahuan tentang peremajaan reboisasi tanaman perkebunan seperti lada, pala, pinang, kelapa dan nilam. Selain itu pemerintah Kolonial Belanda juga memberi modal pinjaman tanpa bunga kepada masyarakat dan Uleebalang serta memberikan pengetahuan kesehatan sebagai bentuk usaha mengambil hati rakyat Aceh. Melalui usaha yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda mebuahkan hasil yang sangat menggembirakan, pada tahun 1936 secara keseluruhan produksi sawa dan ladang mencapai 345.700 ton gabah untuk sekali panen. Kondisi ini tentu Universitas Sumatera Utara saja mneyebabkan swasembada pangan dan meningkatkan keuntungan sebesar 60, dilihat dari sisa hasil panen setelah dikurangi kebutuhan pokok mencapai surplus untuk dijual sebesar 216.420 ton dengan harga f.13.000.000 harga per ton f.60. Kebrehasilan program ini disebabkan oleh intensifikasi pertanian yang dilakukan oleh badan penyuluhan pertanian Kolonial Belanda dan dibangunnya bendungan Stuwdam di daerah Krueng Bakongan. Jenis tanaman perkebunan yang akan ditanami oleh masyarakat Aceh Selatan juga ditentukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Tanaman yang boleh ditanami adalah tanaman perkebunan yang memiliki nilai ekspor seperti pala, pinang, lada dan nilam. Untuk tanaman kelapa pemerintah kolonial Belanda menganjurkan kepada masyarakat yang tinggal disepanjang pantai untuk menanami kelapa aelain untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk kebutuhan ekspor dalam bentuk kopra. Pala dan nilam diekspor dalam bentuk minyak atsiri setelah disuling. Perbedaan penyulingan untuk pala yang disuling adalah bijinya sedangkan nilam adalah daun. Pabrik minyak nilam dan pala dibangun oleh masyarakat dengan dana patungan antara perusahaan swasta dengan pemerintah Kolonial Belanda sejak tahun 1821. pada tahun 1935 sampai 1941 hasil produksi minyak pala mencapai 326.193 kg dengan harga f.12.800 dan minyak nilam sebanyak 17.999 kg dengan harga f.120.000 melalui pelabuhan Tapaktuan. Sasaran utama ekspor hasil bumi dari Aceh Selatan setelah ikut campurnya Kolonial Belanda ke Eropa dan Penang. Secara tradisionaldari petani langsung, penjualan hasil bumi khusus untuk buah pala dilakukan dengan cara penghitungan per biji. Hitungan untuk sekali hitung Universitas Sumatera Utara adalah 100 biji pala hitam yang benar-benar tua dihitung 1 getep seharga 1 sen, untuk pala yang putih atau belum benar-benar tua dihitung per bambu dengan harga yang sama 1 sen juga. Dalam bentuk perusahaan pemerintah Belanda juga membangun perusahaan perkebunan seperti halnya di daerah lain yang ada di nusantara. Tetapi Belanda membangun perkebunan tidak serta merta mengikat dan mengusai secara penuh wilayah sekitar perkebunan karena dibuat dengan perjanjian kerjasama. Tahun 1937 Belanda membangun perkebunan sawit bekerjasama dengan Belgia didaerah Singkil. Tidak tanggung-tanggung pemerintah Kolonial langsung mendirikan dua perusahaan yaitu NV Handelsveereeniging milik Amsterdam dan Osciete Finance perusahaan milik Belgia. Untuk melancarkan penjualan hasil bumi pemerintah Kolonial Belanda juga bergabung dengan maskapai perkapalan bernama NV Kliniklijke Peketvaartmaatschsppij NV KPM. Perusahaan ini mempunyai 112 kapal dagang yang berlayar melewati rute jalur pantai Aceh Selatan. Kapal dagang ini memang sudah berlayar melewati rute pantai Barat Selatan Aceh sejak tahun 1923 dengan menyinggahi pelabuhan Lhokseumawe,, Sigli, Olelhe, Calang, Meulaboh, Susoh, Tapaktuan, Sinabang, Singkil, Sabang, Idi, dan Langsa. Jadwal pelayaran pantai KPM di Aceh Selatan adalah seminggu lima kali bagi pelabuhan besar dan empat kali bagi pelabuhan kecil. Pada waktu itu tranportasi laut menjadi prioritas utama dalam mengangkut hasil bumi yang diperdagangkan. Tranportasi darat hanya digunakan untuk keperluan Universitas Sumatera Utara tertentu saja misalnya untuk keperluan militer. Rute jalan darat yang ada saat itu hanya dari Koetaradja terus sampai ke Bakongan yang berada di sepanjang pantai Barat Selatan Aceh sedang ke Trumon, Singkil, dan Rundeng hanya berupa jalan kecil dan melintasi sungai untuk mencapai daerah tersebut. Jalan darat mulai diperlebar keti di Aceh Selatan sudah mulai masuk mobil tahun 1918. pada tahun 1939 kendaraan darat yang sudah ada di Aceh Selatan ketika itu mobil 200 buah yang dimiliki oleh para Uleebalang dan orang kaya, sepeda motor 20 buah dan dan sepeda berjumlah ribuan. Belanda tidak hanya mencampuri urusan perkebunan saja, akan tetapi dalam hal pemerintahan pihak Kolonial Belanda juga mengubah struktur pemerintahan yang sebelumnya. Pada masa kesultanan Aceh penguasa setempat berbentuk kerajaan- kerajaan kecil kemudian diubah Belanda menjadi satu bentuk pemerintahan saja. Sepanjang pantai Barat Selatan Aceh banyak terdapat kerajaan-kerajaan kecil Aceh tunduk kepada kesultanan Aceh. Kolonial Belanda menggolongkan Aceh Selatan kedalam wilayah Afdeling West kust van Atjeh dengan ibukota Meulaboh. Dibawah Afdeling West kust van Atjeh terdapat enam Onderafdeling yaitu: 1. Onder Afdeling Calang 2. Onder Afdeling Simeulu 3. Onder Afdeling Meulaboh 4. Onder Afdeling Tapaktuan 5. Onder Afdeling Z.A Landschapen Bakongan Universitas Sumatera Utara 6. Onder Afdeling Singkil Kemudian dibawah Onder Afdeling ini terdapat Landschap yang mengatur pemerintahan Aceh sampai ke pelosaok daerah Aceh. Akan tetapi sejak tahun 1941 Belanda mulai terusik keberadaan karena masuknya Jepang yang juga ingin menjajah Indonesia sekaligus hendak masuk ke Aceh Selatan.

4.2 Masa Jepang