Pengelolaan Perkebunan kakao Rakyat Berkelanjutan Melalui Program Organik Berbasis Masyarakat di Serukei Aceh Utara

(1)

MELALUI PROGRAM ORGANIK BERBASIS MASYARAKAT DI SERUKEI ACEH UTARA

TESIS

Oleh

RIZAUDIN FAUZI

097004002/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

PENGELOLAAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT BERKELANJUTAN MELALUI PROGRAM ORGANIK BERBASIS MASYARAKAT

DI SERUKEI ACEH UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIZAUDIN FAUZI

097004002/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : PENGELOLAAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT BERKELANJUTAN MELALUI PROGRAM ORGANIK BERBASIS MASYARAKAT DI SERUKEI ACEH UTARA

Nama Mahasiswa : Rizaudin Fauzi Nomor Pokok : 097004002

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Ketua

(Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, MSc) (Drs. Chairuddin, MSc) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 12 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Ir. B.Sengli J. Damanik, M.Sc 2. Drs. Chairuddin, M.Sc

3. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si 4. Ir. O.K. Nazaruddin Hisyam, MS


(5)

PENGELOLAAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT BERKELANJUTAN MELALUI PROGRAM ORGANIK BERBASIS MASYARAKAT

DI SERUKEI ACEH UTARA

ABSTRAK

Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak penggunaan bahan kimia dalam pertanian, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan lingkungan. Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka munculah teknologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”, “usahatani organik”, “pertanian alami”, atau ”pertanian berkelanjutan masukan rendah”. Meskipun pertanian organik ini masih sedikit diusahakan, akan tetapi pertumbuhannya sangat penting di dalam sektor pertanian. Permintaan akan produk-produk organik merupakan peluang dunia usaha baru, baik untuk tujuan ekspor maupun kebutuhan domestik. Umumnya, ekspor produk organik biasanya dijual 20% lebih tinggi dari produk pertanian non-organik. Keuntungan pokok pertanian organik sangat bervariasi, dalam beberapa kajian ekonomi menyatakan bahwa pertanian organik memiliki akses nyata terhadap prospek jangka panjang. Gampong Seureuke Kecamatan Langkahan Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2008 telah mendapatkan sertifikat pertanian organik produksi kakao dari Institute for Marketecology (IMO) Jerman. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui apakah ada perbedaan kesuburan makro tanah dan makrofauna tanah pada perkebunan kakao yang dikelola secara organik dan anorganik kemudian juga untuk mengetahui apakah ada perbedaan pendapatan petani yang mengelola perkebunan kakao secara organik dan anorganik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode uji laboratorium dan uji statistik. Untuk data primer yang berupa sampel tanah diuji di laboratorium tanah untuk mendapatkan hasil makro tanah dan laboratorium taksonomi hewan untuk mendapatkan hasil makrofauna tanah. Untuk data pendapatan diuji dengan uji statistik (uji t). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa unsur hara makro tanah (N, P K dan pH) perkebunan kakao yang dikelola secara organik lebih baik daripada anorganik. Makrofauna tanah perkebunan kakao yang dikelola secara organik lebih banyak daripada anorganik. Pendapatan petani perkebunan kakao yang dikelola secara organik lebih besar daripada anorganik.


(6)

SUSTAINABLE MANAGEMENT OF COCOA PLANTATIONS THROUGH COMMUNITY-BASED ORGANIC PROGRAM

IN NORTHERN ACEH SERUKEI

ABSTRACT

An awareness impact of chemical use in agriculture, the world community's attention slowly begin to shift to environmentally friendly agriculture. Today the community is very concern to the nature and health, then comes the other alternative technology, known as "organic farming", "organic farming", "natural farming", or "low-input sustainable agriculture". Although organic farming is still a little cultivated, but that growing very important in the agricultural sector. The demand for organic products is a world of new business opportunities, both for export and domestic needs. Generally, the export of organic products are usually sold 20% higher than non-organic agricultural products. Main advantages of organic farming vary widely, in some economic studies that organic agriculture has real access to long-term prospects. Gampong Seureuke Langkahan District of North Aceh district in 2008 has been certified organic cocoa production from the Institute for Marketecology (IMO) of Germany. The purpose of this study was to find out whether there are differences in soil fertility and makrofauna soil macro on cocoa plantations are managed in an organic and anorganic and also to find out whether there are differences in the incomes of farmers who manage the cocoa plantations in organic and anorganic. The research was conducted using a laboratory test methods and statistical tests. For the primary data in the form of laboratory tested soil samples ground to get the macro soil taxonomy and laboratory animals to get results makrofauna ground. For income data were tested by statistical tests (t test). The results of these studies show that soil macro nutrients (N, P, K and pH) cocoa plantations that are managed organically is better than anorganic. Makrofauna cocoa plantation land managed organically more than anorganic. Income of cocoa farmers who farm organically managed more than anorganic.


(7)

KATA PENGANTAR

Penulis senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas selesainya penyusunan tesis ini yang berjudul “Pengelolaan Perkebunan kakao Rakyat Berkelanjutan Melalui Program Organik Berbasis Masyarakat di Serukei Aceh Utara”. Selesainya penyusunan tesis ini merupakan karunia mutlak dari Allah SWT melalui kerja keras, bantuan, pengorbanan dan dukungan doa dari berbagai pihak.

Oleh karena itu penulis merasa wajib untuk menghaturkan terima kasih secara khusus kepada yang terhormat Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, Bapak Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, MSc dan Bapak Drs. Chairuddin, MSc yang telah memberikan bimbingan penyusunan tesis ini dengan sangat simpatik, telaten, sabar dan bijaksana.

Penulis juga merasa harus mengucapkan terima kasih kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi ini.

2. Istri (Marheni, SPd), anakku (Nawal Ghina), Ayahanda (Tgk. H.Jainal Abidin), ibunda (Hj. Sa’adah). Mereka telah memberikan dukungan dan pengorbanan total untuk suksesnya penulis dalam menyelesaikan S2 ini.

3. Rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Di dalam tesis ini tentu masih banyak terdapat banyak kekurangan, meskipun telah disusun dengan cermat dan bersumber dari berbagai acuan. Oleh karena itu penulis akan sangat berterima kasih dan sangat bangga apabila pembaca berkenan memberi saran dan koreksi.


(8)

Kendatipun disadari masih banyak kekurangan di dalam tesis ini, penulis tetap berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Medan, Agustus 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Rizaudin Fauzi 2. Agama : Islam

3. Tempat/Tgl Lahir : Alue Baroh Seunuddon/30 Desember 1971 4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

5. Nama Ayah : Tgk. H. Zainal Abidin Nama Ibu : Hj. Sa’adah

Nama Isteri : Marheni, S.Pd Nama Anak : Nawal Ghina

6. Pendidikan : a. SD Negeri No. 03 Baktiya Lulus Tahun 1984 b. SMP Negeri Unit Baktiya Lulus Tahun 1987 c. SPP – SMA Dista – Banda Aceh Lulus Tahun 1990 d. S1 Fakultas Pertanian Abul Yatama Aceh Lulus Tahun 1995

e. S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU Lulus Tahun 2011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... .. 7

2.1. Pengelolaan Perkebunan Kakao ... 7

2.2. Kakao ... 9

2.3. Pertanian Organik ... 9

2.4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 13

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 15

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

3.2. Bahan dan Alat ... 16

3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data ... 16

3.3.1. Pengumpulan Data Kesuburan Tanah ... 16

3.3.2. Pengumpulan Data Makrofauna Tanah ... 16

3.3.3. Pengumpulan Data Pendapatan ... 17

3.3.4. Populasi dan Sampel Petani... 17

3.3.5. Analisis Data ... 18

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1. Karakteristik Petani Sampel ... 21

4.2. Kesuburan Tanah ... 23

4.3. Makrofauna Tanah di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara ... 26


(11)

4.4. Kepadatan (Individu/m2) Makrofauna Tanah di Perkebunan

Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara ... 29

4.5. Frekuensi Kehadiran Makrofauna Tanah di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara ... 31

4.6. Produksi dan Pendapatan Petani ... 33

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1. Kesimpulan ... 37

5.2. Saran ... 37


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Batas Wilayah ... 14

2. Kriteria Penilaian Sifat-sifat Tanah ... 19

3. Kriteria pH Tanah ... 19

4. Persentase Umur Petani Sampel (%) ... 21

5. Persentase Jenis Kelamin Petani Sampel (%) ... 21

6. Persentase Tingkat Pendidikan Petani Sampel (%) ... 22

7. Persentase Lama Bertani Petani Sampel (%)... 22

8. Rataan Kandungan Unsur Hara Makro pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara ... 23

9. Penilaian Sifat Fisik Kimia Tanah pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara (LPT Bogor, 1983) ... 24

10. Makrofauna Tanah yang Ditemukan di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara ... 26

11. Nilai Kepadatan (Individu/m2) dan Kepadatan Relatif (%) Makrofauna Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian ... 30

12. Nilai Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif (%) Makrofauna Tanah pada setiap Lokasi Penelitian ... 32

13. Rataan Produksi ... 33

14. Rataan Pendapatan ... 33

15. Hasil Uji Statistik terhadap Rataan Pendapatan ... 34


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Peta Lokasi Wilayah Penelitian ... 15


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Hasil Laboratorium Kandungan Unsur Hara Makro (N, P, K

dan pH) pada Lokasi Penelitian………... 41 2. Perhitungan Jumlah Individu Makrofauna Tanah yang

Didapatkan pada Masing-masing Lokasi Penelitian di Areal

Perkebunan Rakyat di Serukei Aceh Utara………. 42 3. Foto-foto Makrofauna Tanah yang Didapatkan pada Lokasi

Penelitian……….. 44

4. Luas Lahan, Biaya, Produksi , Harga dan Pendapatan pada

Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara………. 47 5. Uraian Sarana Produksi yang Digunakan pada Kebun Kakao

Rakyat di Serukei Aceh Utara……….……… 49 6. Uraian Tenaga Kerja yang Digunakan pada Kebun Kakao

Rakyat di Serukei Aceh Utara ………. 52 7. Sertifikat Pertanian Organik dari IMO ... 54 8. Foto-foto Kegiatan Penelitian ... 55


(15)

PENGELOLAAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT BERKELANJUTAN MELALUI PROGRAM ORGANIK BERBASIS MASYARAKAT

DI SERUKEI ACEH UTARA

ABSTRAK

Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak penggunaan bahan kimia dalam pertanian, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan lingkungan. Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka munculah teknologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”, “usahatani organik”, “pertanian alami”, atau ”pertanian berkelanjutan masukan rendah”. Meskipun pertanian organik ini masih sedikit diusahakan, akan tetapi pertumbuhannya sangat penting di dalam sektor pertanian. Permintaan akan produk-produk organik merupakan peluang dunia usaha baru, baik untuk tujuan ekspor maupun kebutuhan domestik. Umumnya, ekspor produk organik biasanya dijual 20% lebih tinggi dari produk pertanian non-organik. Keuntungan pokok pertanian organik sangat bervariasi, dalam beberapa kajian ekonomi menyatakan bahwa pertanian organik memiliki akses nyata terhadap prospek jangka panjang. Gampong Seureuke Kecamatan Langkahan Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2008 telah mendapatkan sertifikat pertanian organik produksi kakao dari Institute for Marketecology (IMO) Jerman. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui apakah ada perbedaan kesuburan makro tanah dan makrofauna tanah pada perkebunan kakao yang dikelola secara organik dan anorganik kemudian juga untuk mengetahui apakah ada perbedaan pendapatan petani yang mengelola perkebunan kakao secara organik dan anorganik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode uji laboratorium dan uji statistik. Untuk data primer yang berupa sampel tanah diuji di laboratorium tanah untuk mendapatkan hasil makro tanah dan laboratorium taksonomi hewan untuk mendapatkan hasil makrofauna tanah. Untuk data pendapatan diuji dengan uji statistik (uji t). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa unsur hara makro tanah (N, P K dan pH) perkebunan kakao yang dikelola secara organik lebih baik daripada anorganik. Makrofauna tanah perkebunan kakao yang dikelola secara organik lebih banyak daripada anorganik. Pendapatan petani perkebunan kakao yang dikelola secara organik lebih besar daripada anorganik.


(16)

SUSTAINABLE MANAGEMENT OF COCOA PLANTATIONS THROUGH COMMUNITY-BASED ORGANIC PROGRAM

IN NORTHERN ACEH SERUKEI

ABSTRACT

An awareness impact of chemical use in agriculture, the world community's attention slowly begin to shift to environmentally friendly agriculture. Today the community is very concern to the nature and health, then comes the other alternative technology, known as "organic farming", "organic farming", "natural farming", or "low-input sustainable agriculture". Although organic farming is still a little cultivated, but that growing very important in the agricultural sector. The demand for organic products is a world of new business opportunities, both for export and domestic needs. Generally, the export of organic products are usually sold 20% higher than non-organic agricultural products. Main advantages of organic farming vary widely, in some economic studies that organic agriculture has real access to long-term prospects. Gampong Seureuke Langkahan District of North Aceh district in 2008 has been certified organic cocoa production from the Institute for Marketecology (IMO) of Germany. The purpose of this study was to find out whether there are differences in soil fertility and makrofauna soil macro on cocoa plantations are managed in an organic and anorganic and also to find out whether there are differences in the incomes of farmers who manage the cocoa plantations in organic and anorganic. The research was conducted using a laboratory test methods and statistical tests. For the primary data in the form of laboratory tested soil samples ground to get the macro soil taxonomy and laboratory animals to get results makrofauna ground. For income data were tested by statistical tests (t test). The results of these studies show that soil macro nutrients (N, P, K and pH) cocoa plantations that are managed organically is better than anorganic. Makrofauna cocoa plantation land managed organically more than anorganic. Income of cocoa farmers who farm organically managed more than anorganic.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2007 areal perkebunan kakao di Indonesia tercatat seluas 992.448 ha. Perkebunan kakao tersebut sebagian besar (89,45%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya (5,04%) perkebunan besar negara serta (5,51%) perkebunan besar swasta. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kako dunia di mana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao Indonesia tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending (Darwis, 2007).

Namun dibalik kelebihan tersebut ternyata aktivitas perkebunan juga dapat menyebabkan dampak yang merugikan. Erosi dan kerusakan tanah terjadi akibat budidaya perkebunan yang melampaui daya dukung tanah. Penggunaan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kelestarian lahan. Cara-cara budidaya perkebunan yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lahan menyebabkan kualitas lahan menurun sejalan dengan hilangnya lapisan tanah subur akibat erosi dan pencucian hara.

Kerusakan tanah dan lingkungan makin meningkat manakala terjadi perluasan areal perkebunan untuk pengembangan komoditas ekonomis dengan membuka lahan-lahan baru yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kelas kesesuaian lahan-lahan. Kondisi


(18)

ini makin diperparah bila pembukaan lahan dilakukan dengan pembakaran, sehingga terjadi pencemaran dan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer (Anonimus, 2007).

Hasil yang diperoleh dari usahatani anorganik apabila diperhatikan sekilas memang bagus, baik kualitas maupun kuantitasnya. Tetapi jika kita perhatikan lebih rinci ternyata dibalik keberhasilan tersebut terdapat sesuatu kerugian yang tidak kalah besarnya, yaitu adanya pencemaran lingkungan, pemutusan mata rantai makanan dari organisme dan efek-efek negatif lainnya.

Efek residu dari penggunaan pestisida antara lain dapat mencemari tanah disertai matinya beberapa organisme perombak tanah, mematikan serangga dan binatang lain yang mungkin sebenarnya binatang tersebut dapat bermanfaat bagi kita sehingga terputusnya rantai makanan bagi hewan pemakan serangga hama. Oleh karena itu sangatlah menarik untuk kita perhatikan adalah bahan aktif pestisida yang tertinggal pada tanaman yang akan dikonsumsi dapat meracuni dan akan tarakumulasi di dalam tubuh, yang bisa menimbulkan penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia tersebut.

Kualitas lingkungan pertanian juga makin menurun akibat pencemaran limbah industri dan pertambangan, khususnya unsur logam bahan beracun berbahaya (B3), seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), krom (Cr), arsen (As), nikel (Ni), dan kobalt (Co). Unsur logam B3 yang terlarut dalam limbah selanjutnya mengalir ke lahan pertanian dan akan terakumulasi dan terendapkan dalam daerah perakaran tanaman dan terbawa panen (Sutrisno, 2009).


(19)

Isu lingkungan di sektor pertanian sudah menjadi topik pembicaraan setelah Revolusi Hijau digulirkan pada akhir 1960-an. Selain karena perhatian dan kepedulian masyarakat dunia semakin besar, disadari pula bahwa beberapa inovasi teknologi muatan dari Revolusi Hijau berpotensi merusak atau mengganggu lingkungan (Subagyono, 2006).

Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak tersebut, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan lingkungan. Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka munculah teknologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”, “usahatani organik”, “pertanian alami”, atau “pertanian berkelanjutan masukan rendah”. Pengertian tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip dan tujuan yang sama, yaitu untuk melukiskan sistem pertanian yang bergantung pada produk-produk organik dan alami, serta total tidak termasuk penggunaan bahan-bahan sintetik (Rija, 2008).

Permintaan akan produk-produk organik merupakan peluang dunia usaha baru, baik untuk tujuan ekspor maupun kebutuhan domestik. Beberapa negara berkembangpun mulai memanfaatkan peluang pasar ekspor produk organik ini terhadap negara maju, diantaranya buah-buahan daerah tropik untuk industri makanan bayi ke Eropa, herbas Zimbabwe ke Afrika Selatan, kapas Afrika ke Uni Eropa dan teh Cina ke Belanda serta kentang ke Jepang. Umumnya, ekspor produk organik biasanya dijual 20% lebih tinggi dari produk pertanian non-organik. Keuntungan pokok pertanian organik sangat bervariasi, dalam beberapa kajian ekonomi menyatakan bahwa pertanian organik memiliki akses nyata terhadap prospek jangka


(20)

panjang. Beberapa studi menunjukkan bahwa pertanian organik berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tenaga kerja dibandingkan dengan pertanian non-organik. Terutama pada sistem pertanian organik melalui diversifikasi tanaman, perbedaan pola tanam dan jadwal tanam dapat mendistribusikan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan waktunya (Tino, 2006).

Sebelum tahun 2004 masyarakat Gampong Seureuke masih mengelola perkebunan kakao secara konvensional (anorganik). Setelah terjadinya tsunami di Aceh pada tahun 2004 banyak berdatangan berbagai organisasi baik dalam maupun luar negeri yang peduli terhadap kondisi Aceh.

Pada tahun 2006, Lembaga Swadaya Masyarakat dari Jerman (GTZ Economic Recovery and Microfinance (GTZ-EFMR) datang di Aceh Utara. Mereka difasilitasi oleh BRR Aceh untuk melakukan kerjasama dengan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara untuk membina masyarakat petani kakao anorganik menuju ke pengelolaan perkebunan kakao secara organik. Hasilnya, Gampong Seureuke (328 Ha) Kecamatan Langkahan Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2008 telah mendapatkan sertifikat pertanian organik produksi kakao dari Institute for Marketecology (IMO) Jerman.

Luas areal perkebunan kakao di Gampong Seureuke merupakan yang terluas di Aceh Utara yaitu 753 ha dalam satu hamparan (Anonimus, 2009). Berdasarkan uraian tersebut maka penulis melihat perlunya penelitian tentang perkebunan kakao organik di daerah Seureuke Aceh Utara yang mempunyai potensi cukup besar dalam melakukan pertanian secara organik.


(21)

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah yaitu:

a. Apakah ada perbedaan kesuburan tanah (N,P, K dan pH) dan biota tanah pada perkebunan kakao yang dikelola secara organik dan anorganik?

b. Apakah ada perbedaan pendapatan petani yang mengelola perkebunan kakao secara organik dan anorganik?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

a. Mengidentifikasi perbedaan kesuburan tanah (N, P, K dan pH) dan makrofauna tanah pada perkebunan kakao yang dikelola secara organik dan anorganik.

b. Mengetahui perbedaan pendapatan petani yang mengelola perkebunan kakao secara organik dan anorganik.

1.4. Hipotesis Penelitian

Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penulis merumuskan hipotesis yaitu:

a. Kesuburan makro tanah pada perkebunan kakao yang dikelola secara organik lebih tinggi daripada anorganik dan makrofauna tanah pada perkebunan kakao yang dikelola secara organik lebih banyak dari pada anorganik.


(22)

b. Pendapatan petani yang mengelola perkebunan kakao secara organik lebih besar daripada anorganik.

1.5. Manfaat Penelitian

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan alternatif pilihan dalam mengelola perkebunan kakao yang berkelanjutan bagi masyarakat.

2. Bagi pengambil kebijakan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rencana pembangunan khususnya di bidang perkebunan di masa yang akan datang.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Perkebunan Kakao

Lahan perkebunan adalah lahan usaha pertanian yang luas, biasanya terletak di daerah tropis atau subtropis, yang digunakan untuk menghasilkan komoditi perdagangan (pertanian) dalam skala besar dan dipasarkan ke tempat yang jauh, bukan untuk konsumsi lokal. Perkebunan dapat ditanami oleh tanaman keras/industri seperti kakao, kelapa, dan teh atau tanaman hortikultura seperti pisang, anggur, atau anggrek. Dalam pengertian bahasa Inggris, "perkebunan" dapat mencakup plantation dan orchard. Ukuran luas perkebunan sangat relatif dan tergantung ukuran volume komoditi yang dipasarkannya. Namun demikian, suatu perkebunan memerlukan suatu luas minimum untuk menjaga keuntungan melalui sistem produksi yang diterapkannya. Selain itu, perkebunan selalu menerapkan cara monokultur, paling tidak untuk setiap blok yang ada di dalamnya. Penciri lainnya, walaupun tidak selalu demikian, adalah terdapat instalasi pengolahan atau pengemasan terhadap komoditi yang dipanen di lahan perkebunan itu, sebelum produknya dikirim ke pembeli (Wikipedia, 2010).

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan


(24)

hukum. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 32 Tahun 2009).

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar masyarakat berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan antara lain:

(1) Tingkat pendidikan. (2) Peningkatan penghasilan.

(3) Pengetahuan tentang kearifan lokal.

(4) Penerapan sistem pertanian konservasi (terasering, rorak – tanah yang digali dengan ukuran tertentu yang berfungsi menahan laju aliran permukaan –, tanaman penutup tanah, pergiliran tanaman, agroforestry, olah tanam konservasi – pengolahan yang tidak menimbulkan erosi) (Santoso, 2008). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi berikutnya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain pembangunan berkelanjutan memanfaatkan sumberdaya secara bijaksana, sehingga sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat dinikmati oleh generasi seterusnya (Santoso, 2009).


(25)

2.2. Kakao

Kakao (Theobroma cacao) berasal dari Benua Amerika khususnya Negara bagian yang mempunyai iklim tropis. Sangat sulit untuk mengetahui Negara bagian mana tepatnya tanaman ini berasal, karena tanaman ini telah tersebar secara luas semenjak penduduk daerah itu masih hidup mengembara. Tanaman ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1560 yang dibawa oleh orang Spanyol melalui Sulawesi dan kakao mulai dibudidayakan secara luas sejak tahun 1970 (Darwis, 2007).

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perkonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa Negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kako telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ketiga sub sector perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai US $701 juta (Tino, 2006).

2.3. Pertanian Organik

Organik adalah semua produk yang ditanam atau dihasilkan tanpa menggunakan pestisida dan pupuk kimia, hormone, antibiotik, maupun bahan-bahan kimia tambahan lainnya dan diharapkan setidaknya 95% menggunakan bahan-bahan organik (Wikipedia, 2010). Menurut USDA (United State Department of Agriculture)


(26)

Consumer Brochure: Makanan organik adalah yang dihasilkan oleh petani yang mengutamakan penggunaan sumber-sumber terbarukan serta konservasi lahan dan air untuk meningkatkan kualitas lingkungan bagi generasi mendatang.

Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan (Sutanto, 2002).

Pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian berkelanjutan yang diakui oleh Komisi Eropa (European Commission) dan Agricultural Council pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1992. Pada saat ini pandangan pengembangan pertanian organik sebagai salah satu teknologi alternatif untuk menanggulangi persoalan lingkugan sangat diperlukan. Persoalan besar yang terjadi disebabkan karena pencemaran tanah, air dan udara, sehingga menyebabkan terjadinya degradasi dan kehilangan sumberdaya alam serta penurunan produktivitas tanah. Pertanian berbasis kimia yang mempunyai ketergantungan cukup besar pada pupuk dan pestisida telah mempengaruhi kualitas dan keamanan bahan yang dihasilkan, kesehatan dan kehidupan lainnya. Dengan memperhitungkan generasi mendatang, maka pertanian organik menghasilkan interaksi yang bersifat dinamis antara tanah, tanaman, hewan, manusia, ekosistem dan lingkungan. Dengan demikian pertanian organik merupakan suatu gerakan “kembali ke alam” (Suleman et al., 2007).


(27)

Pertanian organik merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan oleh petani-petani kecil Indonesia untuk memperoleh cukup pangan di tingkat rumah tangga sambil sekaligus memperbaiki kualitas tanah, memperbaiki keanekaragaman hayati dan memberikan pangan berkualitas kepada masyarakat kecil di sekitarnya. Manfaat pertanian organik telah diperlihatkan dengan sistem pertanian organik yang terintegrasi, ekonomis, ramah lingkungan dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun skenario ini tampaknya sulit untuk direalisasikan kepada masyarakat yang pengetahuannya tentang lingkungan, ekonomi, sosial tidak cukup. Sehingga masih dibutuhkan sosialisasi terus menerus ataupun keberpihakan pemerintah dalam kebijakan ataupun gerakan seperti yang terjadi saat Revolusi Hijau I dulu. Bimas, Insus dan gerakan lain sehingga bisa mendukung berkembangnya pertanian organik di negara ini (Suleman et al., 2007).

Salah satu alasan pentingnya pengembangan pertanian organik adalah persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 79% tanah sawah di Indonesia memiliki Bahan Organik (BO) yang sangat rendah (BO < 1). Kondisi ini bermakna bahwa tanah sawah di Indonesia sudah sangat miskin bahkan bisa dikatakan sakit, sehingga tidak hanya membutuhkan makanan (pupuk kimia), namun juga memerlukan penyembuhan. Cara penyembuhan adalah dengan menambahkan BO yang telah diolah menjadi pupuk organik, sehingga tanah dapat menjadi lebih sehat dengan kandungan BO sekitar 3-4%. Untuk


(28)

meningkatkan kandungan BO, maka dibutuhkan tambahan bahan-bahan organik (pupuk organik) berkisar 5-10 ton/ha. Namun demikian, peningkatan kandungan BO pada setiap hektar tanah sawah dapat dilakukan secara bertahap dengan memberikan asupan pupuk organik pada kisaran 3-5 ton (Prihandarini, 2007).

Kompos atau humus adalah sisa-sisa mahluk hidup yang telah mengalami pelapukan, bentuknya sudah berubah seperti tanah dan tidak berbau. Kompos memiliki kandungan hara NPK yang lengkap meskipun persentasenya kecil. Kompos juga mengandung senyawa-senyawa lain yang sangat bermanfaat bagi tanaman. Kompos ibarat multivitamin bagi tanah dan tanaman. Kompos memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Kompos akan mengembalikan kesuburan tanah. Tanah keras akan menjadi lebih gembur. Tanah miskin akan menjadi subur. Tanah masam akan menjadi lebih netral. Tanaman yang diberi kompos tumbuh lebih subur dan kualitas panennya lebih baik daripada tanaman tanpa kompos (Anonimus, 2008).

Membuat kompos sangat mudah. Secara alami bahan organik akan mengalami pelapukan menjadi kompos, tetapi waktunya lama antara setengah sampai satu tahun tergantung bahan dan kondisinya. Agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat perlu perlakuan tambahan. Pembuatan kompos dipercepat dengan menambahkan 26 aktivator atau inokulum atau biang kompos. Aktivator ini adalah jasad renik (mikroba) yang bekerja mempercepat pelapukan bahan organik menjadi kompos. Bahan organik yang lunak dan ukurannya cukup kecil dapat dikomposkan tanpa harus dilakukan pencacahan. Tetapi bahan organik yang besar 26 aktivator, sebaiknya dicacah terlebih dahulu. Aktivator kompos harus dicampur merata ke


(29)

seluruh bahan organik agar proses pengomposan berlangsung lebih baik dan cepat. Bahan yang akan dibuat kompos juga harus cukup mengandung air. Air ini sangat dibutuhkan untuk kehidupan jasad renik di dalam 27 aktivator kompos. Bahan yang kering lebih sulit dikomposkan. Akan tetapi kandungan air yang terlalu banyak juga akan menghambat proses pengomposan. Jadi basahnya harus cukup. Bahan juga harus cukup mengandung udara. Seperti halnya air, udara dibutuhkan untuk kehidupan jasad renik 27 aktivator kompos. Untuk melindungi kompos dari lingkungan luar yang buruk, kompos perlu ditutup. Penutupan ini bertujuan untuk melindungi bahan/jasad renik dari air hujan, cahaya matahari, penguapan, dan perubahan suhu.

Bahan didiamkan selama beberapa waktu hingga kompos matang. Lama waktu yang dibutuhkan antara 2 minggu sampai 6 minggu tergantung dari bahan yang dikomposkan. Bahan-bahan yang lunak dapat dikomposkan dalam waktu yang singkat, 2 – 3 minggu. Bahan-bahan yang keras membutuhkan waktu antara 4 – 6 minggu. Ciri kompos yang sudah matang adalah bentuknya sudah berubah menjadi lebih lunak, warnanya coklat kehitaman, tidak berbau menyengat, dan mudah dihancurkan/remah (Anonimus, 2008).

2.4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gampong Seureuke merupakan salah satu gampong dari 23 gampong yang terletak di Pemukiman Rampah Kecamatan Langkahan Kabupaten Aceh Utara yang berjarak 18 km dari pusat kecamatan. Luas wilayah Gampong ± 3309,5 Ha, yang


(30)

terbagi kedalam 7 dusun yaitu Dusun Mutia, Dusun Minang, Dusun Marga Tunggal, Dusun Muara Batu, Dusun Manjung, Dusun Manunggal dan Dusun Mihra Istimewa dengan jumlah penduduk 2847 jiwa yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani kebun dan peternak.

Tabel 1. Batas Wilayah

No Batas Wilayah Berbatasan dengan Gempong 1 Sebelah Utara Gampong Alue Pange (Cot Birek) 2 Sebelah Barat Gampong Abung-abung (Cot Girek) 3 Sebelah Selatan Gampong Lubuk Pusaka

4 Sebelah Timur Gampong Bukit Linteng Sumber: Monografi Gampong Seureuke

Secara umum keadaan demografi Gampong Seureuke merupakan dataran rendah. Gampong Seureuke mempunyai iklim tropis (dua musim) yaitu musim hujan dan musim kemarau. Penggunaan tanah di Gampong Seureuke sebagian besar diperuntukkan untuk perkebunan sedangkan sisanya merupakan bangunan dan fasilitas-fasilitas lain.


(31)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Gampong Serukei Kecamatan Langkahan Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Mei 2011.

Sumber: Monografi Gampong Seureuke

Gambar 1. Peta Lokasi Wilayah Penelitian


(32)

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil survey di lokasi penelitian dan alat yang digunakan meliputi: Bor Tanah (auger), GPS, alat tulis, plastik dan meteran, sekop, cangkul, terpal transparan, pinset, spidol permanen, buku catatan, buku identifikasi, pensil, sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.

3.3. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data 3.3.1. Pengumpulan Data Kesuburan Tanah

Pengumpulan data untuk kesuburan tanah dilakukan dengan cara mengambil beberapa sampel secara acak pada tanah di lokasi penelitian. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode zigzag di mana di setiap titik diambil contoh kira- kira 1-2 kg (5 titik dari dataran rendah dan 5 titik dari dataran tinggi). Kemudian contoh dari masing-masing titik di suatu areal dicampurkan secara merata, lalu diambil secukupnya (± 1,5 kg) dan ditempatkan pada kantong plastik lalu diberi label lapangan (Mukhlis, 2007). Kemudian dianalisis di Laboratorium Fakultas Pertanian USU.

3.3.2. Pengumpulan Data Makrofauna Tanah

Pengambilan sampel makrofauna tanah dengan metoda Kuadrat dan Hand Sorting. Tiap-tiap lokasi diambil 15 titik ulangan. Penentuan plot sampling dilakukan dengan metode “Purposif Random Sampling” di areal perkebunan kakao yaitu secara acak 2 lokasi yang berbeda yaitu tanaman kakao organik (lokasi I (15 sampel)) dan


(33)

tanaman Kakao anorganik (Lokasi II (15 sampel)). Identifikasi jenis makrofauna tanah dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan FMIPA USU.

3.3.3. Pengumpulan Data Pendapatan

Dalam penelitian ini juga dipergunakan metode survei yang bersifat deskriptif korelasional serta observasi lapangan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dan pengisian daftar pertanyaan (kuisioner) kepada pihak-pihak yang dikualifikasikan sebagai responden yaitu masyarakat di wilayah penelitian. Kemudian data dari lapangan dipindahkan dalam bentuk tabulasi sesuai dengan kebutuhan analisis. Untuk pengumpulan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti: Koperasi COCOA, BAPPEDA, Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Perkebunan Kabupaten Aceh Utara. 3.3.4. Populasi dan Sampel Petani

Populasi dalam penelitian ini adalah petani kakao organik dan petani kakao anorganik yang berada di Serukei Aceh Utara. Petani kakao organik jumlah populasinya sebanyak 211 orang dengan luas lahan 328 Ha, untuk sampel diambil 10% dari total populasi yaitu sebanyak 21 orang. Petani kakao anorganik jumlah populasinya sebanyak 267 orang dengan luas lahan 425 Ha, untuk sampel diambil 10% dari total populasi yaitu sebanyak 27 orang. Menurut Nazir, (2005) bila populasi lebih kecil dari 100 sebaiknya diambil semua, tetapi bila populasi lebih dari 100 maka dapat diambil 10% - 15%. Pengambilan data dari sampel diambil secara acak (simple random sampling), dari masing-masing populasi yang berada di wilayah penelitian.


(34)

3.3.5. Analisis Data

Untuk membuktikan hipotesis (a) dilakukan dengan uji laboratorium dan hipotesis (b) digunakan uji statistik beda rata-rata dari masing-masing variabel dengan rumus sebagai berikut:

H0: µ1≥ µ2 H1: µ1 ≤ µ2

t hitung =

2 1 2 1 2 2 2 1 n S n S X X   (Sudjana, 2002)

Kriteria pengujian adalah: tolak H0 jika t hitung < t tabel dengan derajat kebebasan (dk) = (n1+n2-2) dan á = 5% di mana:

1

X : rata – rata pendapatan (pengelolaan secara Organik). 2

X : rata – rata pendapatan (pengelolaan secara Anorganik) n : besar sampel

S : simpangan baku

n1 : jumlah data (pengelolaan secara organik) n2 : jumlah data (pengelolaan secara anorganik)

S1 : besarnya varians data rata-rata (pengelolaan secara organik) S2 : besarnya varians data rata-rata (pengelolaan secara anorganik)

Analisis kesuburan tanah (N, P, K dan pH) dilakukan dengan membandingkan hasil laboratorium dengan kriteria kesuburan tanah dilihat dari sifat fisik kimia tanah


(35)

yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1983 dalam Mukhlis (2007).

Tabel 2. Kriteria Penilaian Sifat-sifat Tanah

Sifat Tanah Satuan Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi C (Karbon) % < 1,00 1,00 - 2,00 2,01 - 3,00 3,01- 5,00 > 5,00 N (Nitrogen) % < 0,10 0,10 - 0,20 0,21 - 0,50 0,51 -

0,75 > 0,75

C/N --- < 5 5 - 10 11 - 15 16 - 25 > 25

P2O5 Total % < 0,03 0,03 - 0,06 0,06 - 0,079

0,08 -

0,10 > 0,10 P2O5 eks.HCL % < 0,021 0,021-0,039 0,040-0,060 0,061-0,1 > 0,1

P-avl Bray II ppm < 8,0 8,0 - 15 16 - 25 26 - 35 > 35

P-avl Truog ppm < 20 20 - 39 40 - 60 61 - 80 > 80

P-avl Olsen ppm < 10 10 - 25 26 - 45 46 - 60 > 60

K2O eks-HCL % < 0,03 0,03-0,06 0,07-0,11 0,12-0,20 > 0,20 CaO eks-HCL % < 0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 > 0,30 MgO

eks-HCL % < 0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 > 0,30

MnO

eks-HCL % < 0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,21-0,30 > 0,30

K-tukar me/100 < 0,10 0,10-0,20 0,30-0,50 0,60-1,00 > 1,00 Na-tukar me/100 < 0,10 0,10-0,30 0,40-0,70 0,80-1,00 > 1,00

Ca-tukar me/100 < 2,0 2,0-5,0 6,0-10,0 11,0-20,0 > 20

Mg-tukar me/100 < 0,40 0,40-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 > 8,0

KTK (CEC) me/100 < 5 5-16 17-24 25-40 > 40

KB (BS) % < 20 20-35 36-50 51-70 > 70

Kej. Al % < 10 10-20 21-30 31-60 > 60

EC (Nedeco) mmhos/cm --- --- 2,5 2,6-10 > 10

Sumber: LPT Bogor, 1983 dalam Mukhlis, 2007 Tabel 3. Kriteria pH Tanah

Kriteria pH H2O pH KCL

Sangat Masam < 4,5 < 2,5

Masam 4,5 - 5,5 2,5 - 4,0

Agak Masam 5,6 - 6,5 ---

Netral 6,6 - 7,5 4,1 - 6,0

Agak Alkalis 7,6 - 8,5 6,1 - 6,5

Alkalis > 8,5 > 6,5


(36)

Analisis makrofauna dihitung nilai; Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran, Frekuensi Relatif, dengan tujuan agar diketahui keberadaan jenis dan komposisi makrofauna tanah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi Makrofauna K =

b. Kepadatan Makrofauna Relatif (KR)

KR = X 100

c. Frekuensi Kehadiran Makrofauna (FK)

FK = X 100

d. Frekuensi Kehadiran Makrofauna Relatif (FR)

FR = X 1 X 100

Keterangan:

0 – 25% = Frekuensi kehadiran sangat jarang 25% - 50% = Frekuensi kehadiran jarang 50% - 75% = Frekuensi kehadiran jarang

>75% = Frekuensi kehadiran sangat sering (Suin, 1998) Jumlah Individu satu jenis

Jumlah unit sampel

Kepadatan suatu jenis Jumlah kepadatan semua jenis

Jumlah plot sampel yang ditempati satu jenis Jumlah total unit sampel

Frekuensi Kehadiran Satu Jenis Frekuensi Kehadiran Semua Jenis


(37)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Petani Sampel

Dari hasil wawancara dan quisioner yang disebarkan di lokasi penelitian maka diperoleh beberapa karekteristik petani sampel sebagaimana terlihat pada Tabel 4 sampai dengan Tabel 7.

Tabel 4. Persentase Umur Petani Sampel (%)

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Dari Tabel 4 dapat kita lihat bahwa usia petani perkebunan organik dan anorganik relatif sama yaitu yang tertinggi persentasenya adalah umur 40 tahun keatas (43% organik dan 63% anorganik) dan yang terkecil umur 30 tahun ke bawah (5% organik dan 4% anorganik).

Tabel 5. Persentase Jenis Kelamin Petani Sampel (%)

Sumber: Data Pengamatan Diolah Sistem Pengelolaan Perkebunan

Perkebunan

< 30 th 30-35 th 35-40 th > 40 th

Organik 5 14 38 43

Anorganik 4 15 19 63

Sistem Pengelolaan Perkebunan Laki-Laki Wanita

Organik 81 19


(38)

Berdasarkan Tabel 5 dapat kita lihat bahwa jenis kelamin petani sampel baik perkebunan organik maupun anorganik sama yaitu yang tertinggi persentasenya adalah laki-laki (81%) dan yang terkecil persentasenya adalah perempuan (19%).

Tabel 6. Persentase Tingkat Pendidikan Petani Sampel (%)

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Berdasarkan Tabel 6 dapat kita lihat bahwa persentase pendidikan petani sampel perkebunan organik maupun anorganik sama yaitu SD (43% dan 63%) sedangkan yang terkecil persentasenya petani sampel perkebunan organik Sarjana (5%) dan petani sampel perkebunan anorganik Sarjana (0%).

Tabel 7. Persentase Lama Bertani Petani Sampel (%)

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Berdasarkan Tabel 7 dapat kita lihat bahwa persentase lama bertani petani sampel perkebunan organik maupun anorganik sama yaitu 15 tahun (33%) sedangkan yang terkecil persentasenya adalah 5 tahun (10% dan 5%).

Sistem Pengelolaan Perkebunan SD SMP SMA Sarjana

Organik 43 38 14 5

Anorganik 63 19 19 0

Sistem Pengelolaan Perkebunan 5 th 10 th 15 th 20 th

Organik 10 29 33 29


(39)

4.2. Kesuburan Tanah

Berdasarkan hasil pengujian sampel tanah yang diambil dari wilayah penelitian unsur hara makro dan pH yang terkandung pada tanah perkebunan organik dan anorganik terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Rataan Kandungan Unsur Hara Makro pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

Sampel Tanah Kandungan Unsur Hara

N (%) P (ppm) K (me/100) pH

Perkebunan Organik 0,34 17,20 0,35 5,63

Perkebunan Anorganik

0,22 9,59 0,18 5,11

Sumber: Hasil Laboratorium Fakultas Pertanian USU

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa kandungan unsur hara (N, P, K dan pH) yang terkandung pada tanah dari perkebunan organik lebih besar daripada tanah dari perkebunan anorganik. Perbedaannya pun cukup besar, untuk unsur N perbedaannya 0,12%, unsur P perbedaannya 7,61 ppm, unsur K perbedaannya 0,17 me/100 dan pH 0,52. Dengan demikian tentunya bisa dikatakan bahwa ada perbedaan kandungan unsur hara yang terkandung pada tanah perkebunan organik dan anorganik. Untuk memperjelas perbedaan tersebut maka kita bisa menggunakan hasil analisis secara fisik dan kimia yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1983 dalam Muklis (2007).

Berdasarkan penilaian sifak fisik kimia tanah yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor Tahun1983 dalam Muklis (2007) kandungan N, P, K dan pH pada perkebunan organik dan anorganik dapat dijelaskan oleh Tabel 9.


(40)

Tabel 9. Penilaian Sifat Fisik Kimia Tanah pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara (LPT Bogor, 1983)

Sampel Tanah Kandungan Unsur Hara

N (%) P (ppm) K (me/100) pH

Perkebunan Organik

Sedang Sedang Sedang Agak

Masam Perkebunan

Anorganik

Sedang Sangat Rendah

Rendah Masam Sumber: Data Pengamatan Diolah

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa memang sifat fisik kima tanah perkebunan organik lebih baik daripada perkebunan anorganik. Hal ini disebabkan adanya perbedaan akumulasi biomassa seresah yang menyebabkan perbedaan kandungan unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah karena kandungan bahan organik dan unsur hara tanah berasal dari dekomposisi seresah. Akumulasi biomassa seresah di lantai hutan dan perkebunan sangat dipengaruhi oleh kecepatan dekomposisi seresah tersebut (Haryono, et al., 2009).

Kedalaman tanah akan berpengaruh terhadap kandungan N yang ada di dalamnya. Semakin dalam solum tanah maka semakin berkurang kandungan N yang ada di dalam tanah tersebut. Hal ini disebabkan karena hasil dekomposisi bahan organik dan berbagai sumber N yang lain akan terakumulasi di permukaan tanah. Kemudian, N akan masuk ke dalam tanah dengan cara melewati pori-pori tanah atau retakan-retakan pada waktu musim kemarau. Keberadaan N sangat dibutuhkan oleh tanaman sebab N merupakan unsur penyusun protein. Dengan kandungan yang cukup, N mampu memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Jika N yang diserap


(41)

oleh tanaman kurang maka pertumbuhan akan terhambat sehingga tanaman tumbuh kerdil, daun menguning dan akhirnya daun gugur lebih awal (Hardjowigeno, 1987).

Fosfor (P) merupakan salah satu hara makro esensial bagi pertumbuhan tanaman (Marschner, 1986). Fosfor sering menjadi faktor pembatas setelah nitrogen. Unsur fosfor sangat penting karena terlibat langsung hampir pada seluruh proses kehidupan (Hakim et al., 1986). Pemberian seresah tanaman akan dapat menjadi penyekat ion Ca, Fe dan Al dengan ion P sehingga unsur P dapat menjadi lebih tersedia di dalam tanah (Risal, et al., 2008).

Hampir 99% N diserap akar dengan aliran massa dan selebihnya dengan serapan langsung. Hampir 91% P diserap secara difusi dan selebihnya dengan serapan langsung. Hampir 78% K diserap secara difusi dan 20% dengan aliran massa. Sekitar 71% Ca diserap dengan aliran massa dan selebihnya secara langsung. 95% S diserap lewat aliran massa dan selebihnya secara langsung (Donahue et.al, 1977).

Kesuburan tanah bisa diukur berdasarkan beberapa indikator kesuburan tanah. Salah satu indikator kesuburan tanah yang biasa digunakan oleh para ahli adalah tingkat kejenuhan basa. Kejenuhan Basa, nilainya dalam bentuk persen, mencerminkan akumulasi susunan kation. Peningkatan nilai persen kejenuhan basa, mencerminkan semakin tingginya kandungan basa-basa tanah pada posisi nilai pH tanah yang menyebabkan nilai kesuburan kimiawi optimal secara menyeluruh. Nilai kesuburan kimiawi secara sederhana dicerminkan oleh nilai pH, karena nilai pH akan mampu mempengaruhi dan mencerminkan aktivitas kimiawi sekaligus aktivitas


(42)

biologis dan kondisi fisik di dalam tanah (Kusumanto, 2008). Kondisi pH tanah yang netral sangat disukai oleh makrofauna seperti cacing tanah. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa kondisi pH pada tanah pada perkebunan kakao organik agak masam (5,6) sedangkan pada perkebunan kakao anorganik masam (5,1), yang mendekati pH netral (6,6) adalah pH pada perkebunan kakao organik.

4.3. Makrofauna Tanah di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di areal Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara didapatkan 9 famili makrofauna tanah yaitu Glossoscolecidae, Mangascolicidae, Scolopeniidae, Julidae, Gryllidae, Carapidae, Blatteidae dan Pomatiopsidae seperti yang terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Makrofauna Tanah yang Ditemukan di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

No Family Jenis (Spesies) Nama Indonesia Lokasi I II 1 Glossoscolecidae Pontoscolex sp Cacing tanah + - 2 Mangascolicidae MegmopHix sp Cacing tanah + - 3 Mangascolicidae PHeretima posthuma Cacing tanah + + 4 Scolopeniidae Scolopendra abscurai Kelabang + + 5 Julidae Jullus sp Kaki seribu + + 6 Glomeridae Glomeris sp Kaki seribu bola - + 7 Gryllidae Allonemobius sp Jangkrik tanah + + 8 Carapidae PHilopaga sp Kumbang tanah + - 9 Blatteidae Parcoblatta sp Kecoa tanah + - 10 Pomatiopsidae Pomatiopsis sp Keong + +

Jumlah Jenis 9 6


(43)

Keterangan:

Lokasi I : Areal Perkebunan Kakao Organik Lokasi II : Areal Perkebunan Kakao Anorganik

+ : Ditemukan spesies makrofauna tanah - : Tidak ditemukan spesies makrofauna tanah

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa makrofauna tanah yang paling banyak didapatkan adalah pada lokasi I (areal perkebunan organik) yaitu sebanyak 9 jenis, sedangkan pada lokasi II (areal perkebunan anorganik) yaitu sebanyak 6 jenis.

Menurut Paoletti et al. (1992) perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah. Selanjutnya Crossley et al (1992) & Pankhurst (1994) menjelaskan pengelolaan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan biodiversitas makrofauna tanah.

Banyaknya spesies makrofauna tanah pada lokasi I (areal perkebunan organik) karena pada lokasi ini dilakukan penanaman kakao organik, yaitu suatu sistem pertanaman yang berdasarkan daur ulang hayati. Pada lokasi ini tidak ada penggunaan insektisida, pupuk anorganik, dan berbagai jenis zat kimia sintesis, sehingga pH dan tingkat kesuburan tanah setabil. Menurut Doran & Parkin (1994) kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem tertentu untuk keberlanjutan sistem peranian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik kimia tanah serta biologi tanah yang berperan dalam menyediakan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman.


(44)

Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah berifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah didalam tanah (Primack, 1998). Makrofauna tanah sangat besar perannya terhadap proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Keberadaan makrofauna tanah dan keadaan kualitas tanah berbanding lurus di mana antara satu dan yang lainnya saling tergantung, mempengaruhi dan memiliki interaksi timbal balik. Keadaan tanah yang masih relatif subur mendukung keberlangsungan hidup makrofauna tanah.

Menurut Rukman (1999) populasi cacing tanah (Pontoscolex sp, Megmophix sp dan Pheretima posthuma) berperan sebagai bioindikator kualitas tanah. Cacing tanah berkembang baik pada pH netral. pH yang cocok untuk cacing tanah adalah 6-7,2. Cacing tanah menyukai bahan organik kualitas tinggi (C/N rendah).

Pada lokasi II (areal perkebunan anorganik) dilakukan pemupukan secara anorganik, penyemprotan insektisida serta penggunaan zat-zat kimia sintesis lainnya. Hal ini mempengaruhi pH tanah menjadi masam (5,1), serta kesuburan tanah. Hal ini juga berpengaruh pada jumlah spesies makrofauna tanah yang ditemukan pada lokasi ini. Pada lokasi ini hanya ditemukan satu jenis cacing tanah yaitu Pheretima posthuma. Menurut Rukman (1999) cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang hidup komposit (menyebar) dan tergantung pada kondisi lingkungan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa spesies cacing tanah tidak akan bertahan hidup pada kondisi tanah yang tidak mendukung kehidupannya. Kondisi tanah yang berubah akibat pemupukan anorganik, penyemprotan insektisida serta pemberian


(45)

zat-zat kimia sintesis menyebabkan terjadinya perubahan pH tanah, suhu tanah serta tingkat kualitas tanah. Padahal di sisi lain makrofauna tanah membantu dalam proses penyuburan tanah. Semakin tinggi pengelolaan lahan menyebabkan biodiversitas makrofauna tanah semakin menurun.

Percobaan di Maros, Sulawesi Selatan dikawasan tanah latosol – podsolik menunjukkan bahwa pertanaman kakao yang dilakukan secara organik memberikan hasil 24% lebih tinggi dari pada yang diberikan pupuk anorganik yaitu 2,07 ton ha-1 banding 1,67 ton ha-1. (Notohadiprawiro, 1992).

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengelolaan perkebunan kakao secara organik lebih baik daripada pengelolaan perkebunan kakao secara anorganik. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya jumlah cacing tanah yang hidup di areal perkebunan kakao organik, karena banyaknya cacing tanah menunjukkan tanah yang subur.

4.4. Kepadatan (Individu/m2) Makrofauna Tanah di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan terhadap jumlah individu makrofauna tanah pada areal Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara, didapatkan nilai kepadatan yang bervariasi antar lokasi penelitian, seperti yang terlihat pada Tabel 11.


(46)

Tabel 11. Nilai Kepadatan (Individu/m2) dan Kepadatan Relatif (%) Makrofauna Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian

No Famili Jenis (Spesies) Lokasi I Lokasi II K KR K KR 1 Glossoscolecidae Pontoscolex sp 6,67 21,43 - - 2 Mangascolicidae Megmophix sp 3,70 11,90 - - 3 Mangascolicidae Pheretima posthuma 7,41 23,81 1,48 20,00 4 Scolopeniidae Scolopendra abscurai 0,74 2,38 1,48 20,00 5 Julidae Jullus sp 3,70 11,90 0,74 10,00 6 Glomeridae Glomeris sp - - 0,74 10,00 7 Gryllidae Allonemobius sp 2,96 9,52 2.22 30,00 8 Carapidae Philopaga sp 1,48 4,76 - - 9 Blatteidae Parcoblatta sp 2,96 9,52 - - 10 Pomatiopsidae Pomatiopsis sp 1,48 4,76 0,74 10,00

Jumlah 31,11 100 7,41 100 Sumber: Data Pengamatan Diolah

Keterangan:

K = Kepadatan

KR = Kepadatan Relatif

Pada Tabel 11 dapat dilihat pada lokasi I (area perkebunan kakao organik) kepadatan tertinggi adalah Pheretima posthuma (7,41) dan pada lokasi II (area perkebunan kakao anorganik) kepadatan tertinggi adalah Allonemobius sp (2,22). Pada lokasi I (area perkebunan kakao organik) kepadatan terendah adalah Scolopendra abscurai (0,74), sedangkan pada lokasi II (area perkebunan kakao anorganik) kepadatan terendah adalah Jullus sp, Glomeris sp dan Pomatiopsis sp. Menurut Suin (2003) distribusi dan keberadaan hewan tanah di suatu daerah tergantung pada keadaan faktor fisik-kimia lingkungan. Menurut Simanjuntak dan Waluyo (1982) cacing tanah (Pheretima posthuma) sangat sensitif terhadap kadar keasaman tanah.


(47)

Keasaman tanah biasa dianggap sebagai faktor pembatas dalam penyebaran cacing tanah dan menentukan jumlah cacing tanah di suatu daerah. Semakin tinggi masukan bahan organik tanaman diikuti naiknya pH tanah, pH tanah yang mendekati netral (6,6-7,5) menyebabkan makin tingginya jumlah cacing tanah. Cacing tanah mempunyai beberapa manfaat antara lain: memperbaiki struktur fisik tanah, meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan pertumbuhan tanaman, menekan pertumbuhan gulma, membantu membersihkan bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan, meningkatkan penyerapan air dan mencegah erosi (Saheme, 2008). Dengan demikian dari sisi kelestarian alam dan lingkungan hidup pada lokasi kebun organik lebih baik dari pada kebun anorganik.

4.5. Frekuensi Kehadiran Makrofauna Tanah di Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan terhadap jumlah individu makrofauna tanah pada areal Perkebunan Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara, didapatkan Nilai Frekuensi Kehadiran yang bervariasi antar lokasi penelitian, seperti yang terlihat pada Tabel 12.


(48)

Tabel 12. Nilai Frekuensi Kehadiran dan Frekuensi Kehadiran Relatif (%) Makrofauna Tanah pada Setiap Lokasi Penelitian

No Famili Jenis (Spesies) Lokasi I Lokasi II F FR F FR 1 Glossoscolecidae Pontoscolex sp 6,67 21,43 - - 2 Mangascolicidae MegmopHix sp 3,70 11,90 - - 3 Mangascolicidae PHeretima posthuma 7,41 23,81 1,48 20,00 4 Scolopeniidae Scolopendra abscurai 0,74 2,38 1,48 20,00 5 Julidae Jullus sp 3,70 11,90 0,74 10,00 6 Glomeridae Glomeris sp - - 0,74 10,00 7 Gryllidae Allonemobius sp 2,96 9,52 2.22 30,00 8 Carapidae PHilopaga sp 1,48 4,76 - - 9 Blatteidae Parcoblatta sp 2,96 9,52 - - 10 Pomatiopsidae Pomatiopsis sp 1,48 4,76 0,74 10,00

Jumlah 31,11 100 7,41 100 Sumber: Data Pengamatan Diolah

Ketarangan:

F = Frekuensi Kehadiran FR = Frekensi Kehadiran Relatif

Pada Tabel 12 dapat dilihat pada lokasi I (area perkebunan kakao organik) frekuensi tertinggi adalah Pheretima posthuma sebesar 7,41 dan pada lokasi II (area perkebunan kakao anorganik) frekuensi tertinggi adalah Allonemobius sp sebesar 2,22. Hewan tanah yang frekuensi kehadirannya tinggi umumnya kepadatan relatifnya tinggi pula. Ada juga beberapa pengecualian yaitu pada hewan tanah yang hidupnya berkoloni dan memiliki mobilitasnya tinggi seperti Allonemobius sp. (Suin, 2003).


(49)

4.6. Produksi dan Pendapatan Petani

Tabel 13. Rataan Produksi

Sistem Pengelolaan Rataan Produksi (ton/ha/th)

Perkebunan organik 0,77

Perkebunan anorganik 1,20

Sumber: Data Pengamatan diolah

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa rataan produksi kakao pada perkebunan organik lebih kecil dari pada rataan produksi kakao perkebunan anorganik. Perbedaannya pun cukup besar yaitu 0,43 ton. Dengan demikian tentunya bisa dikatakan bahwa ada perbedaan produksi kakao perkebunan organik dan anorganik.

Tabel 14. Rataan Pendapatan

Sistem Pengelolaan Rataan Pendapatan (Juta Rp/th/ha)

Perkebunan Organik 20,09

Perkebunan Anorganik 13,02

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa rataan pendapatan petani kakao pada perkebunan organik lebih besar dari pada rataan pendapatan petani kakao perkebunan anorganik. Perbedaannya pun cukup besar yaitu 7,07 juta rupiah. Dengan demikian tentunya bisa dikatakan bahwa ada perbedaan pendapatan petani kakao perkebunan organik dan anorganik. Namun untuk lebih meyakinkan apakah memang benar bahwa pendapatan petani kakao perkebunan organik lebih besar dari pada pendapatan petani kakao perkebunan anorganik, maka dilakukan uji beda rata-rata terhadap data tersebut, hasilnya seperti terlihat pada Tabel 15.


(50)

Tabel 15. Hasil Uji Statistik terhadap Rataan Pendapatan

Variabel á = 5%

t hitung t tabel Keterangan

Pendapatan 4,50 1,68 Berbeda nyata

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Berdasarkan Tabel 15 dapat kita lihat bahwa variabel pendapatan berbeda nyata. Hal tersebut ditunjukkan pada nilai t hitung > t tabel (4,50 > 1,68 ), dengan menggunakan kaidah yang digunakan dalam uji statistik (uji t) maka Ho diterima, artinya pendapatan petani kakao perkebunan organik lebih besar dari pada pendapatan petani kakao perkebunan anorganik.

Perbedaan yang terjadi terhadap produksi dan pendapatan petani kakao perkebunan organik dan anorganik disebabkan oleh adanya perbedaan input (saprodi) dan perbedaan harga, hal ini bisa dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Rataan Input dan Harga

Sistem Pengelolaan Rataan Input (Juta Rp/th) Rataan Harga (Rp/kg)

Perkebunan Organik 6,2 34000

Perkebunan Anorganik 12,1 21000

Sumber: Data Pengamatan Diolah

Dari Tabel 16 dapat kita lihat bahwa perbedaan biaya saprodi yang harus dikeluarkan oleh petani kakao pada perkebunan anorganik jauh lebih besar dibandingkan dengan petani kakao perkebunan organik, sementara harga kakao perkebunan organik jauh lebih mahal dibandingkan dengan anorganik. Hal ini tentunya berdampak pada pendapatan petani kakao, walaupun produksi kakao petani perkebunan organik kelihatan lebih kecil, tetapi pendapatannya lebih besar. Hal ini


(51)

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Prihandarini (2009) yang menyatakan bahwa ada beberapa keuntungan yang dapat dipetik dari pengembangan pertanian organik, antara lain:

1. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani; karena: (1) Biaya pembelian pupuk organik lebih murah dari biaya pembelian pupuk kimia; (2) Harga jual hasil pertanian organik seringkali lebih mahal; (3) Petani dan peternak bisa mendapatkan tambahan pendapatan dari penjualan jerami dan kotoran ternaknya; (4) Bagi peternak, biaya pembelian pakan ternak dari hasil fermentasi bahan organik lebih murah dari pakan ternak konvensional; (5) Pengembangan pertanian organik berarti memacu daya saing produk agribisnis Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar internasional akan produk pertanian organik yang terus meningkat. Ini berarti akan mendatangkan devisa bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.

2. Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian. Karena pertanian organik: (1) Menghindari penggunaan bahan kimia sintetis dan (2) Memanfaatkan limbah kegiatan pertanian seperti kotoran ternak dan jerami sebagai pupuk kompos.

3. Meningkatkan dan menjaga produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang serta memelihara kelestarian alam dan lingkungan. Pemakaian kompos, misalnya, akan menciptakan lingkungan tanah, air dan udara yang sehat yang merupakan syarat utama bagi tumbuhnya komoditi pertanian yang sehat karena:


(52)

(1) Memperbaiki struktur tanah sehingga sesuai untuk pertumbuhan perakaran tanaman yang sehat;

(2) Menyediakan unsur hara, vitamin dan enzim yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh sehat;

(3) Menyediakan tempat (inang) bagi berbagai hama dan penyakit tanaman sehingga tidak menyerang tanaman.


(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Kesuburan tanah (N, P, K) dan pH serta jumlah makrofauna tanah perkebunan kakao organik lebih baik daripada perkebunan kakao anorganik.

2. Pendapatan petani kakao perkebunan organik lebih besar daripada pendapatan petani kakao anorganik.

5.2. Saran

Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan kepada siapa saja yang ingin lebih mendalami penelitian yang serupa perlu adanya keanekaragaman data yang dianalisis agar lebih komprehensif dalam hasil dan pembahasannya.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, 1994. Fungsional Attributes of Biodiversity in landuse System: In D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable land Use. CAB International. Oxon.

Anonimus. 2008. Membuat Kompos dan Pupuk Organik. http://forum.detik.com/membuat-kompos-dan-pupuk-organik-t71162.html. Anonimus.2007. Strategi Penanggulangan Pencemaran Lahan Pertanian dan

Kerusakan Lingkungan. Balitbang Pertanian Bogor.

Crossley, JR. DA, Muller BR & Perdue JC. 1992. Biodiversity of Microarthopds in Agricultural Soil: Relations to Prosses Agric Ecosyst. Environ.

Darwis.V., Nur Khoiriyah. A. 2007. Perspektif Agribisnis Kakao di Sulawesi Tenggara (Studi Kasus Kabupaten Kloaka).

Dishutbun. 2009. Statistik Perkebunan. Disbunhut Kabupaten Aceh Utara.

Donahue, R.L., Miller, R.W., & Shickluna, J.C. 1977. Soils, an introduction to soils and plant growth. Fourth Edition. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, N.J. xiii + 626 h.

Doran JW & Parkin. 1994. Defining and Assessing Soil Quality, IN. J. W. Doran D.C. Coleman D.F. Bezdick and B.A Stewart (eds). Defining Soil Quality for Sustainable Enironment. SSSA Special publication. SSSA Madison.

Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, G. B. Hong dan H.H. Bayley. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Haryono Supriyo, Eny Faridah, Winastuti Dwi A, Arom Figyantika dan Achmad

Khairil. 2009. Kandungan C-Organik dan N-Total Pada Seresah dan Tanah pada 3 Tipe Fisiognomi (Studi Kasus di Wanagama I, Gunung Kidul, DIY). Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 1 (2009) p: 49-57.


(55)

Kusumanto D., 2008. Memahami Konsep Kesuburan Tanah Melalui Metode Simo (Sistem Injeksi Mikroba dan Oksigen). Elektronik Jurnal.

Marschner, H. 1986. Mineral Nutrition of Higher Plants. Institute of Plant Nutrition University of Hohenhaim. Federal Republic of Germany.

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Ciawi-Bogor Selatan 16720. Notohadiprawiro, T. 1984. Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Peningkatan Efisiensi

Pemupukan. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian UGM.

Pankhrust CE. 1994. Biological Indicators of Soil Health and Sustainable Productivity in D.J. Greendlan and I Szabolecs (eds) Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.

Paoletti MG, Pimentel, Stinner BR, & Stinner D. 1992. Agroecosystem Biodiversity: Matching Production and Conservation Biology. Gric Ecosyst. Environ. Primack BR, Supriatna J, Indrawan M & Kramadibata P. 1998. Biologi Konservasi.

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Prihandarini, R. 2009. Potensi Pengembangan Pertanian Organik. Disampaikan saat Temu Lapang Petani Organik se Indonesia (Jambore Petani Organik) Boyolali 7 – 9 April 2009.

Prihandarini, R. 2007. Pengembangan Pertanian Organik di UPT Selingsing, Kecamatan Gantung, Belitung Timur. Laporan Kegiatan Pendampingan Pengembangan Usaha. Ditjen P2MKT Depnakertrans RI.

Rija, Siraja. 2008. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Organik. Jakarta.

Risal Ardika, Sri Nuryani Hidayah Utami dan Benito Heri Purwanto. 2008. Pengaruh Seresah dan Takaran Pupuk P Terhadap P Tersedia Dan Serapan P Jagung Pada Tanah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 8, No. 2 (2008) p: 114-120 Napalan Bangunjiwo Bantul.

Rukman. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Kanisius. Yogyakarta.

Saheme bin Hashim. 2008. Kelebihan Cacing Tanah. Pusat Latihan dan Ternakan Cacing Komersial, Vermicast Agrotech. Malaysia.


(56)

Santoso, Urip. 2008. Permasalahan dan Solusi Pengelolaan Lingkungan Hidup di Propinsi Bengkulu. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Bengkulu.

Subagyono,A.P., Irsal Las, Setiyanto. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan dalam Revitalisasi Pertanian. IPB Bogor.

Sugiarto. 2000. Konservasi Makrofauna Tanah dalam Sistem Agroforestri. Publikasi Program Studi Biosains Pascasarjana UNS. Jurusan Biologi FMIPA UNS. Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas LPPM UNS Surakarta.

Suin. 2003. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.

Simanjuntak dan Waluyo. 1982. Cacing Tanah Budidaya dan Pemanfaatannya. Penerbit PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudjana. 2002. Metode Statistika. Tarsino. Bandung.

Suleman A, Prihandarini, R dan Sudjais, Z. 2007. Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen Organik Terkemuka. Proceeding MAPORINA.

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sutrisno. N., P. Setiyanto, U. Kurnia. 2009. Perspektif dan Urgensi Pengelolaan Lingkungan Pertanian yang Tepat. Jakarta.

Tino Mutiarawati. 2006. Kendala Peluang dalam Produksi Pertanian Organik di Indonesia. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementrian Lingkungan Hidup.

Wikipedia. 2010. Perkebunan. diunduh tanggal 17 Januari 2011 jam 06.45 WIB Wiryono dalam Santoso, Urip. 2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup di Propinsi

Bengkulu dan Konsep Pengendaliannya. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Bengkulu.


(57)

Lampiran 1. Hasil Laboratorium Kandungan Unsur Hara Makro (N, P, K dan pH) pada Lokasi Penelitian


(58)

Lampiran 2. Perhitungan Jumlah Individu Makrofauna Tanah yang Didapatkan pada Masing-masing Lokasi Penelitian di Areal Perkebunan Rakyat di Serukei Aceh Utara

1. Lokasi I (Areal perkebunan kakao organik)

No

Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah

1 Pontoscolex sp - 1 1 - 2 1 3 - - - 1 - - 9

2 MegmopHix sp 1 - - - 2 1 - - - - 1 - - - - 5

3

PHeretima posthuma

1 1 1 - - - 2 - 1 2 - - 1 1 - 10

4

Scolopendra abscurai

- - - 1 - - - 1

5 Jullus sp 1 - - - 1 - - - - 1 - 2 - - - 5

6 Allonemobius sp - 1 1 - - - 1 - - - - 4

7 PHilopaga sp - - - 1 - - - 1 - - 2

8 Parcoblatta sp - - 1 - - - - 1 - - - 1 - - 1 4

9 Pomatiopsis sp - - - 1 - - - 1 - - - - 2


(59)

2. Lokasi II (Areal perkebunan kakao anorganik)

No Jenis (Spesies) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah

1

PHeretima posthuma

- - - 1 - - - 1 - - - - 2

2

Scolopendra abscurai

- - - - 1 - - - - 1 - - - 2

3 Jullus sp - - - 1 - - - 1

4 Glomeris sp - - - 1 - 1

5 Allonemobius sp - - 2 - - - 1 - 3


(60)

Lampiran 3. Foto-foto Makrofauna Tanah yang Didapatkan pada Lokasi Penelitian

Scolopendra abscurai


(61)

MegmopHix sp

PHeretima posthuma


(62)

Pomatiopsis sp

Parcoblatta sp


(63)

Lampiran 4. Luas Lahan, Biaya, Produksi, Harga dan Pendapatan pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

1. Kebun Organik

Organik

No Luas

(Ha) Input (Rp)

Output

Harga/kg

(Rp) Nilai produksi (Rp) (kg)

1 1,0 4.020.000 530 34.000 18.020.000 2 1,0 3.920.000 525 34.000 17.952.000 3 1,5 6.200.000 531 34.000 18.054.000 4 1,0 3.970.000 525 34.000 18.020.000 5 1,0 4.037.500 540 34.000 18.360.000 6 1,5 6.212.500 530 34.000 18.020.000 7 1,0 3.975.000 530 34.000 18.020.000 8 1,5 6.190.000 526 34.000 17.884.000 9 1,0 4.020.000 524 34.000 17.816.000 10 1,0 3.960.000 525 34.000 17.850.000 11 1,5 5.780.000 795 34.000 27.030.000 12 2,0 7.860.000 1.063 34.000 36.142.000 13 2,0 8.090.000 1.060 34.000 36.040.000 14 1,5 5.960.000 795 34.000 27.030.000 15 2,0 7.540.000 1.020 34.000 34.680.000 16 1,5 6.030.000 796 34.000 27.064.000 17 1,5 6.215.000 798 34.000 27.132.000 18 2,0 7.862.000 1.065 34.000 36.210.000 19 2,0 8.040.000 1.062 34.000 36.108.000 20 1,5 6.030.000 790 34.000 26.860.000 21 1,5 6.110.000 520 34.000 17.680.000 Jumlah 28,5 112.894.500 15050 714.000 511.972.000


(64)

2. Kebun Anorganik

Anorganik

No Luas (Ha) Input (Rp) Output (Kg) Harga/Kg (Rp) Nilai Produksi (Rp) 1 1,0 8.610.000 830 21.000 17.430.000 2 1,0 8.490.000 835 21.000 17.535.000 3 1,5 12.548.000 1.260 21.000 26.460.000 4 1,0 8.490.000 849 21.000 17.829.000 5 2,0 16.800.000 1.600 21.000 33.600.000 6 1,0 8.225.000 849 21.000 17.829.000 7 1,5 12.558.000 1.270 21.000 26.670.000 8 1,0 8.350.000 848 21.000 17.808.000 9 2,0 16.855.000 1.640 21.000 34.440.000 10 1,5 12.517.000 848 21.000 17.808.000 11 1,0 8.327.500 845 21.000 17.745.000 12 1,5 12.658.000 1.270 21.000 26.670.000 13 1,5 12.685.000 1.275 21.000 26.775.000 14 2,0 17.080.000 1.700 21.000 35.700.000 15 1,0 8.327.500 850 21.000 17.850.000 16 2,0 17.030.000 1.692 21.000 35.532.000 17 1,0 8.490.000 840 21.000 17.640.000 18 1,0 8.450.000 842 21.000 17.682.000 19 2,0 16.880.000 1.680 21.000 35.280.000 20 2,0 17.005.000 1.690 21.000 35.490.000 21 1,5 12.945.500 844 21.000 17.724.000 22 1,5 12.685.000 1.265 21.000 26.565.000 23 1,5 12.482.500 1.255 21.000 26.355.000 24 2,0 16.750.000 1.650 21.000 34.650.000 25 1,0 8.540.000 850 21.000 17.850.000 26 1,5 12.848.000 1.275 21.000 26.775.000 27 1,0 8.490.000 848 21.000 17.808.000 Jumlah 37,5 316.434.000 31500 567.000 661.500.000


(65)

Lampiran 5. Uraian Sarana Produksi yang Digunakan pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara

1. Kebun Organik Luas Lahan

(Ha) Kg/Ha Harga/Kg Total (Rp) Unit/Ha Harga/Unit Total (Rp)

1 1,0 7600 150 1140000 6 80000 480000

2 1,0 7600 150 1140000 6 80000 480000

3 1,5 11066 150 1659900 9 80000 720000

4 1,0 7600 150 1140000 6 80000 480000

5 1,0 7450 150 1117500 7 80000 560000

6 1,5 11350 150 1702500 10 80000 800000

7 1,0 7633 150 1144950 6 80000 480000

8 1,5 11066 150 1659900 9 80000 720000

9 1,0 7133 150 1069950 6 80000 480000

10 1,0 7600 150 1140000 6 80000 480000

11 1,5 11066 150 1659900 9 80000 720000

12 2,0 15400 150 2310000 12 80000 960000

13 2,0 15200 150 2280000 12 80000 960000

14 1,5 11066 150 1659900 10 80000 800000

15 2,0 14533 150 2179950 12 80000 960000

16 1,5 11066 150 1659900 9 80000 720000

17 1,5 11766 150 1764900 10 80000 800000

18 2,0 14816 150 2222400 13 80000 1040000

19 2,0 15200 150 2280000 12 80000 960000

20 1,5 11066 150 1659900 9 80000 720000

21 1,5 10866 150 1629900 9 80000 720000

No Pupuk Organik

Obat-obatan Feromounsek


(66)

2. Kebun Anorganik Luas

Lahan

(Ha) Kg/Ha Harga/Kg Total (Rp) Kg/Ha Harga/Kg Total (Rp) Unit/Ha Harga/Unit Total (Rp)

1 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

2 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

3 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

4 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

5 2,0 900 2000 1800000 800 3000 2400000 700 7000 4900000

6 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

7 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

8 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

9 2,0 900 2000 1800000 800 3000 2400000 700 7000 4900000

10 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

11 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

12 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

13 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

14 2,0 900 2000 1800000 800 3000 2400000 700 7000 4900000

15 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

16 2,0 900 2000 1800000 800 3000 2400000 700 7000 4900000

17 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

18 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

19 2,0 900 2000 1800000 800 3000 2400000 700 7000 4900000

20 2,0 900 2000 1800000 800 3000 2400000 700 7000 4900000

21 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

22 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

23 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

24 2,0 900 2000 1800000 800 3000 2400000 700 7000 4900000

25 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

26 1,5 675 2000 1350000 600 3000 1800000 525 7000 3675000

27 1,0 450 2000 900000 400 3000 1200000 350 7000 2450000

No

Pupuk


(67)

…. Lanjutan Kebun Anorganik Luas

Lahan

(Ha) Liter/Ha Harga/Lt Total (Rp) Liter/Ha Harga/Lt Total (Rp) Liter/Ha Harga/Lt Total (Rp)

1 1,0 3 22500 67500 3 18000 54000 3 7500 22500

2 1,0 3 22500 67500 3 18000 54000 3 7500 22500

3 1,5 4.5 22500 101250 4.5 18000 81000 4.5 7500 33750

4 1,0 3 22500 67500 3 18000 54000 3 7500 22500

5 2,0 6 22500 135000 5 18000 90000 6 7500 45000

6 1,0 3 22500 67500 2.5 18000 45000 2.67 7500 20025

7 1,5 4.5 22500 101250 4 18000 72000 4.5 7500 33750

8 1,0 3 22500 67500 2.5 18000 45000 3 7500 22500

9 2,0 6 22500 135000 6 18000 108000 5 7500 37500

10 1,5 4.5 22500 101250 4 18000 72000 4.5 7500 33750

11 1,0 2.5 22500 56250 3 18000 54000 3 7500 22500

12 1,5 4.5 22500 101250 4 18000 72000 4.5 7500 33750

13 1,5 4.5 22500 101250 4.5 18000 81000 4 7500 30000

14 2,0 6 22500 135000 6 18000 108000 6 7500 45000

15 1,0 2.5 22500 56250 3 18000 54000 3 7500 22500

16 2,0 6 22500 135000 6 18000 108000 6 7500 45000

17 1,0 3 22500 67500 3 18000 54000 3 7500 22500

18 1,0 3 22500 67500 2.5 18000 45000 3 7500 22500

19 2,0 6 22500 135000 6 18000 108000 6 7500 45000

20 2,0 6 22500 135000 6 18000 108000 5 7500 37500

21 1,5 4.5 22500 101250 4.5 18000 81000 5 7500 37500

22 1,5 4 22500 90000 4.5 18000 81000 4 7500 30000

23 1,5 4 22500 90000 4 18000 72000 4.5 7500 33750

24 2,0 6 22500 135000 5 18000 90000 6 7500 45000

25 1,0 3 22500 67500 3 18000 54000 3 7500 22500

26 1,5 4.5 22500 101250 4.5 18000 81000 4.5 7500 33750

27 1,0 3 22500 67500 3 18000 54000 3 7500 22500

No

Obat-obatan


(68)

Lampiran 6. Uraian Tenaga Kerja yang Digunakan pada Kebun Kakao Rakyat di Serukei Aceh Utara


(69)

(70)

(71)

Lampiran 8. Foto-foto Kegiatan Penelitian

Penulis Bersama Ketua Koperasi Kakao di Depan Gudang Koperasi

Penulis Bersama Ketua Koperasi Kakao di Kantor Gampong Seureuke

Wawancara Bersama Ketua Koperasi Kakao di Kantor Koperasi

Wawancara Bersama Ketua Koperasi Kakao di Kantor Koperasi

Pengambilan Sampel Tanah di Lahan Kakao Organik

Pengambilan Sampel Tanah di Lahan Kakao Anorganik


(1)

Lampiran 6. Uraian Tenaga Kerja yang Digunakan pada Kebun Kakao

Rakyat di Serukei Aceh Utara


(2)

(3)

(4)

Lampiran 8. Foto-foto Kegiatan Penelitian

Penulis Bersama Ketua Koperasi Kakao di Depan Gudang Koperasi

Penulis Bersama Ketua Koperasi Kakao di Kantor Gampong Seureuke

Wawancara Bersama Ketua Koperasi Kakao di Kantor Koperasi

Wawancara Bersama Ketua Koperasi Kakao di Kantor Koperasi

Pengambilan Sampel Tanah di Lahan Kakao Organik

Pengambilan Sampel Tanah di Lahan Kakao Anorganik


(5)

……

Lanjutan Lampiran

8

Pengambilan Koordinat Lokasi Penelitian

Pengambilan Sampel Tanah Lokasi Kebun Organik

Pengambilan Sampel Makrifauna Tanah Lokasi Kebun Organik

Pengambilan Sampel Makrofauna Tanah Lokasi Kebun Organik

Pengambilan Sampel Makrofauna Tanah Lokasi Kebun Anorganik

Pengambilan Sampel Makrofauna Tanah Lokasi Kebun Anorganik


(6)

……

Lanjutan Lampiran

8

Wawancara Petani Sampel Lokasi Penelitian

Pembasmi Hama Alami pada Kakao Lokasi Kebun Organik

Kegiatan Pemangkasan Petani Sampel Lokasi Penelitian

Pembasmi Hama Alami pada Kakao Lokasi Kebun Organik

Pembuatan Kompos Lokasi Penelitian

Pengambilan Kompos Lokasi Kebun Organik