Dalam perjalanan kota-kota pelabuhan yang tumbuh di sepanjang pantai Aceh Selatan mulai lumpuh setelah Jepang mulai berkuasa dan kemudian menjadi
berhenti total setelah Indonesia merdeka karena adanya jalan darat dan ada nasionalisasi perusahan asing yang ada di Indonesia.
2.2 Keadaan Penduduk
persebaran dan asal penduduk asli Aceh Selatan dari mana asalnya tidak pernah diketahui secara pasti. menurut legenda di masyarakat di Aceh Selatan ada
makhluk yang di sebut dengan Manteu. Ciri-ciri makhluk ini mirip dengan manusia tanpa busana dengan tubuh ditutupi bulu tebal. Makhluk ini memiliki bentuk tubuh
kecil. Besar kemungkinan makhluk ini adalah penghuni tua wilayah Aceh Selatan dan merupakan suku terasing yang menghuni rimba Aceh Selatan sampai ke pelosok
Aceh Tenggara. Sumber lain menyatakan bahwa suku Manteu ini memeluk agama Islam dan menetap di hutan belantara hampir ke perbatasan Aceh Tengah dan Aceh
Tenggara. Tentang Manteu juga di singgung oleh seorang penulis Belanda bernama
Van Langen dalam bukunya Atjehsch Staatsbestuur dan dikomentari oleh Prof. Dr.C. Snock Hurgronje 1857-1936 dalam bukunya De Atjehers. Menurut Snock bahwa
kata Manteu atau mantra beliau menyamakan dengan suku Dayak yang hidup di
Universitas Sumatera Utara
daerah pedalaman Kalimantan, letak penduduk suku Dayak sangat jauh ke pelosok dan sangat sulit di jangkau dalam perjalanan sehari oleh orang luar.
11
Menurut cerita dari orang tua,
12
pernah suatu waktu sepasang suami isteri dari suku Manteu ini ditangkap oleh masyarakat dan dibawa ke hadapan Sultan Aceh.
Dengan berbagai cara, makhluk ini diajak bicara tetapi mereka tidak bersedia memberikan informasi tentang keberadaan mereka
13
Selain penduduk asli yang disebutkan di atas wilayah Aceh Selatan juga di datangi oleh orang-orang migran dari
luar. Menurut literatur yang ada para migran dari luar tersebut tiba di Aceh Selatan sudah memeluk satu agama yaitu Islam.
14
Mereka datang dari berbagai daerah yang ada di Aceh sendiri dan dari daerah lain di Nusantara. Para migran yang tiba di Aceh
Selatan menyebar ke berbagai Landschap yang ada seperti ke Susoh dan Blangpidie, berdasarkan etnik mereka masing-masing. Walaupun mendiami Landschap yang
berbeda mereka tetap tunduk di bawah satu kekuasaan yaitu kesultanan Aceh. Mereka ini terdiri atas orang Aceh, Melayu, Gayo, Alas, Minangkabau, Batak, dan Nias.
Penyebaran berbagai unsur etnis pendatang yang tiba di Aceh Selatan di beberapa Landschap ini dapat di lihat dari data statistik penduduk yang ada dibawah
ini :
11
Snock C Hurgronje. Terjmh Ng.Singarimbun Dkk. Aceh di Mata Kolonialis.1985. Yayasan Soko Guru. Hal.21
12 13
14
Universitas Sumatera Utara
No Nama Landscap Jumlah jiwa penduduk
Unsur penduduk 1
Kuala Batee 2212
Etnis Aceh Pidie 2
Blangpidie 4030
Etnis Aceh Pidie, Melayu dan Tionghoa
3 Tangan-Tangan
1808 Etnis Aceh bercampur
dengan Melayu 4
Manggeng 2417
Etnis Minangkabau, Aceh dan Melayu
5 Labuhan Haji
1089 Etnis Minangkabau,
Aceh dan Melayu 6
Meukek 2808
Etnis Aceh dan Melayu 7
Sawang 1740
Etnis Aceh dan Minangkabau
8 Samadua
3045 Etnis Minangkabau dan
Aceh 9
Tapaktuan 5874
Etnis Minangkabau, Aceh bercampur Melayu
10 Kluet Utara 2534
Etnis Kluet Hasil Campuran Antara Gayo
dan Alas
Universitas Sumatera Utara
11 Kluet Selatan 2381
Idem 12 Bakongan
1067 Etnis Aceh
13 Trumon 1739
Etnis Aceh 14 Subulussalam
1890 Etnis Gayo, Alas, Batak
Karo dan Pakpak 15 Simpang Kanan
1602 Etnis Batak bercampur
dengan Nias 16 Simpang Kiri
2045 Idem
17 Singkil 2605
Idem 18 Pulau Banyak
508 Idem
Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh Barat Umumnya masyarakat Aceh Selatan lebih dikenal dengan istilah etnik
Aneuk Jamee dalam bahasa Indonesia bermakna etnik tetamu pendatang karena masyarakat Aceh Selatan bukan penduduk asli. Masuknya bangsa Tionghoa ke
wilayah Aceh Selatan tidak untuk bertani dan mereka terfokus pada satu wilayah saja. Orang tionghoa ini datang ke Aceh Selatan untuk berdagang dan menjadi cukong.
Mereka menyewa tanah untuk menjadi tempat usaha mereka.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Keadaan Sosial Ekonomi