Sistem Kerja Usaha Perkebunan Rakyat Di Aceh Selatan 1935-1950

BAB III KEDUDUKAN PERKEBUNAN RAKYAT DALAM MASYARAKAT

3.1 Sistem Kerja

Secara tidak langsung sebelum masuknya bangsa asing sebagai penjajah datang ke Indonesia, masyarakat Aceh bertindak sendiri sebagai penggarap pertanian serta memasarkan sendiri. Kondisi ini menjadikan banyak tumbuh kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai Barat dan Selatan Aceh, kapal-kapal asing yang ingin membeli komoditi hasil perkebunan dapat langsung membeli ke petani yang menjual hasil kebunnya masing. Pada mulanya masyarakat Aceh Selatan menanam tanaman musiman dan berumur pendek sedangkan untuk tanaman yang menjadi komiditi ekspor adalah hasil hutan yang tidak diusahakan. Para petani mengambil hasil hutan dan kemudian menjualnya kepada pengumpul atau langsung kepada pembeli. Adapun hasil hutan yang dijual penduduk pada awalnya dalah damar, rotan kemenyan hitan, kemenyan putih, sari wangi-wangian, pinang, tali-temali, gading gajah, emas, belarangdan minyak tanah. Ketika wilayah ini mulai berada dibawah kekuasaan kesultanan Aceh, sultan mulai membuat satu kebijakan untuk jenis tanaman yang akan di tanami serta pembagian kerja. Petani umumnya memiliki lahan pertanian dua jenis, maksudnya para petani mempunyai lahan pertanian yang berada disekitar pemukiman penduduk Universitas Sumatera Utara untuk tanaman musiman seperti tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka. Sedangkan tanaman keras untuk perkebunan seperti pala, lada, nilam dan tanaman komoditi ekspor lain digarap oleh para petani ini didaerah perbukitan yang lebih tinggi dan berjarak agak jauh dari pemukiman penduduk. Bagi penduduk yang menggarap lahan sendiri mereka lebih mementingkan menggarah sawah terlebih dahulu sedangkan kebun tanaman keras mereka hanya dilakukan perawatan secra berkala saja karena tanaman yang diusahakan penduduk bukan jenis tanaman yang memerlukan perawatan ekstra. Lain halnya bagi para penguasa yang memiliki tanah luas, mereka cukup memperkerjakan orang lain untuk menggarap tanahnya. Bagi rakyat biasa yang memiliki tanah sistem kerja yang dilakukan dengan cara mengolah tanaman persawahan terlebih dahulu sedangkan untuk tanaman perkebunan yang menjadi andalan hanya dikerjakan ketika harga tanaman tersebut sedang naik maka masyarakat akan beramai-ramai untuk mengelola kembali tanaman tersebut. Sistem kerja yang seperti ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat sejak sebelum datangnya pihak kolonial. Sejak sultan memberlakukan kebijakan bagi penduduk untuk menanam tanaman yang menjadi komoditi ekspor di samping menggarap tanaman pangan barulah kemudian para penduduk mulai menanam dan mengusahakan kembali tanaman yang dianjurkan pihak kesultanan. Sebagai pengawas dan pengumpul untuk tanaman hasil perkebunan adalah para penguasa setempat sekaligus menjadi tuan tanah. Universitas Sumatera Utara Sultan tidak membuat satu perkebunan besar dengan sistem perusahaan dengan administrasi yang modern tetapi kesultanan hanya sebagai pemungut pajak dan pengumpul untuk kemudian dijual ke pembeli dan rakyat pun bebas untuk menanam jenis tanaman apa saja dengan syarat tanaman tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi dan menjadi komoditi ekspor. Walaupun sultan telah memberlakukan kebijakan kepada rakyat untuk mengelola tanaman yang memiliki tanaman yang memiliki nilai ekport tetapi masih ada juga musim untuk turun ke sawah guna menggarap tanaman pangan sebagai kebutuhan pangan rakyat. Sistem turun ke sawah ini tidak sembarangan dilakukan oleh masyarakat, akan tetapi ada tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum menggarap sawah yang dalam bahasa Aceh disebut “Blang”. Penanggalan adalah cara yang harus diperhitungkan sebelum turun kesawah dengan dilakukan upacara-upacara turun ke sawah. Snock Hugronje dalam bukunya mengatakan “ masyarakat aceh turun ke sawah melalui penanggalan yang memang sudah ditentukan karena berdasarkan keadaan arah angin yang bertiup di daerah Aceh”. Berikut adalah contoh penanggalan aceh sepanjang tahun yang ditulis oleh Snock Hurgronje dalam bukunya Aceh di Mata Kolonialis tahun 1893 : 1. Keunong dua ploh lhee 23 Jumadil akhir 1310 H = 12 Januari, padi yang belum begitu masak dalam keunong ini, ada dalam bahaya sebab selama keunong 23 biasanya di waktu malam bertiup angin kering, angen timu Universitas Sumatera Utara 2. Keunong dua ploh sa 21 Rajab 1310 H = 8 februari. Umumnya dalam keunong ini terjadi panen dan dilaksanakan kenduri blang kenduri lapangan juga waktunya untuk menyebar benih atau bertanam palawija. Dalam keunong ini atau berikutnya mulai musem luaih blang musim bebas, yakni tanah dibiarkan kosong atau belum ditanami dan dengan demikian berakhir musem pice atau kot blang musim tanahsawahladang sempit dan tertutup. 3. Keunong sikureueng blaih 19 sya’ban1310 H = 8 Maret, dari segi musim keunong yang jatuh dalam bulan ini hampir sama dengan musim terdahulu. 4. Keunong tujoh blaih 17 Ramadhan 1310 H = 4 april, tebu yang ditanam dalam bulan ini tidak akan berbunga dan tidak memberikan sariair. Selama bulan ini dan dua bulan berikutnya, ikan luloh kadang-kadang datang dari hulu sungai sampai ke dekat laut. Ikan ini memerlukan waktu sehari untuk sampai ke hilir dan dua hari untuk sampai ke hulu dan pada waktu itu orang dapat menangkapnya. 5. Keunong limong blaih 15 syawal 1310 H = 2 mei, dalam bulan ini sudah mulai ada yang membajak sawah sedangkan di laut angin badai. 6. Keunong lhee blaih 13 dzulqaidah 1310 H = 29 mei, dalam bulan ini umumnya orang mulai membajak tanda berakhirnya musem luaih blang dan dimulainya musem pice atau kot blang yang lamanya kira-kira 8 bulan. Universitas Sumatera Utara 7. Keunong siblaih 11 dzulhijjah 1310 H = 26 Juni , dalam bulan ini atau dalam salah satu dari dua bulan berikutnya orang mulai menanam benih. Seperti kita ketahui ada yang memilih bagian pertama, kedua atau ketiga dari musim menanam benih ini, tergantung dari kilauan yang relatif ketiga bintang di lingkarang orion Bintang lhee. Seperti dalam keunong dua ploh limong angin timur ada masa reda, maka terdapat pula masa reda dengan angin barat selama 5-7 hari dan waktu ini dapat dipakai untuk berlayar dengan aman dari ibukota pantai barat. 8. Keunong sikureueng 9 muharram 1311 H = 23 juli, dalam bulan ini dan bulan berikutnya semacam ketam darat, dikenal sebagai biengkong atau krungkong berkeliaran seperti tersesat seolah-olah tidak dapat kembali menemukan sarangnya dibawah tanah, dinamakan biengkong wo. 9. Keunong tujoh 7 safar 1311 H = 20 agustus, tebu yang ditanam dalam bulan ini akan mengalami nasib yang sama seperti waktu keunong 17. anjing-anjing berkeliaran. 10. Keunong limong 5 rabiul awal 1311 H = 16 september, dalam bulan ini mulai musem timu musim timur dan dan para nelayan melakukan kenduri laot. 11. Keunong lhee 3 rabiul akhir 1311 H = 14 oktober inilah waktu paling baik untuk berlayar dari ibukota pantai barat dan waktu ini berlangsung sampai keunong tujoh blah. Universitas Sumatera Utara 12. Keunong sa 1 Jumadil awal 1311 H = 11 november , orang kenal ini hanya karena secara teratur harus menyusul keunong lhee, tetapi ia tidak tampak kalau matahari dan bulan sama dalam bintang kala. Hujan lebat mulai dalam keunong ini sangat populer ialah persamaan antara hiruk pikuk yang luar biasa dan hujan keunong sa ban ujeuen keunong sa. 20 Semua masyarakat aceh dalam bekerja selalu menuruti aturan dari setiap penanggalan yang ditentukan karena terikat dengan hukum adat yang berlaku, apabila ada yang melanggar dan terjadi satu kerugian bagi sipelanggar maka ia tidak dapat mengadukan masalahnya ke pemuka adat serta tidak akan mendapat gabti rugi terhadap kerugian yang dialaminya. Adapun tahapan yang dilakukan ketika mulai turun untuk menggarap tanah garapannya sampai masa panen juga berdasar upacara adat seperti tersebut berikut ini: 1. Musem luaih blang yakni musim dimana ladang terbuka untuk manusia maupun ternak, merupakan waktu yang tepat untuk menempatkan batu nisan dimakam keluarganya pula batee, untuk membakar kapur tot gapu dan didataran tinggi untuk menindik telinga anak perempuan tob glunyueng, umumnya dipercaya, bahwa padi diseluruh padang akan rusak kalau diantara waktu memanen dan menanam benih ada orang yang menanam batu nisan, membakar kapur dan menindik telinga . 20 Dr.Snock Hurgronje, Op cit. Hal 287-289 Universitas Sumatera Utara 2. Keuduri Lapangan yakni dilakukan pada awal musem luaih blang dihari yang ditetapkan oleh oleh pengurus tiap kampung untuk mengadakan kenduri blang. Kenduri ini dimaksudkan untuk kemakmuran tanah bersama yang baru saja menghasilkan panen dan juga demi masa depan. Makanan, nasi, daging dan lain-lain disumbangkan secara sukarela oeleh penduduk. Biasanya para laki-laki berkumpul ditengah sawah ketika menjelang tengah hari dan pemuka adat membaca doa sebelum acara dimulai. 3. Kenduri lada yakni kenduri tahunan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menanam lada dan kopi. 4. Panen Palawija dilakukan sebelum kembali ke musem luaih blang. Selama masa itu pula masyarakat menanami kebunnya dengan sayur-sayuran , tebu dan jagung. 5. membajak sawah dilakukan ketka keunong 15, 13 dan 11 terutama sekali yang dua terakhir adalah waktu yang tepat untuk membajak sawah. Dalam hal membajak sawah dibagi lagi sebuah sawah persegi yang dimiliki oleh pribadi masing-masing masyarakat yang dibatasi dengan pematang kecil dalam bahasa aceh disebut umoeng. 6. tabu due adalah menanam benih dengan cara menabur langsung benih ke sawah tanpa menyemai terlebih dahulu. Universitas Sumatera Utara 7. masa panen yang dilakukan kemudian baru diirik dengan cara diinjak-injak dengan kaki sambil berjalan diatas tikar dengan tongkat. Setelah selesai barulah kemudian pada dimasukkan ke lumbung untuk disimpan 21 Yang tertulis diatas adalah sistem kerja turun ke sawah yang dilakukan oleh masyarakat aceh. Kapan masyarakat mulai menanami atau mengusahakan kebunnya untuk di eksport ke luar negri adalah ketika masa jeda dari pekerjaan menggarap sawahnya. Mulai ada perubahan dalam pengusahaan tanaman perkebunan ketika pemerintah kolonial Belanda mulai ikut campur dalam pengusahaan perkebunan milik rakyat tersebut. Tahun 1903 Belanda berhasil menguasai istana kesultanan di Koetaradja, pihak kolonial mulai melancarkan ekspansinya ke seluru daerah Aceh bahkan sampai ke wilayah Barat. Jauh sebelumnya pantai Barat Aceh sampai ke Singkil dan kota- kota pelabuhan kecil sudah mulai banyak tumbuh disepanjang pantai Barat karena merupakan jalur perdagangan bagi kapal-kapal asing untuk mengangkut hasil bumi yang dibeli dari masyarakat. Karena daerah pantai Barat dan Selatan memang sudah menjadi jalur perlintasan kapal-kapal dagang asing maka pihak kolonial Belanda mulai membangun satu perkebunan modern seperti yang sudah dilakukan didaerah-daerah lain di Indonesia. Tepatnya tahun 1935 pemerintah kolonial Belanda dengan bekerjasama dengan Belgia membuka lahan perkebunan sawit di Aceh Selatan 21 Dr.Snock Hurgronje. Ibid. Hal 292-294 Universitas Sumatera Utara diwilayah Singkil, sampai sekarang perkebunan tersebut masih tetap berjalan dan menjadi milik pemerintah Indonesia setelah nasionalisasi. Akan tetapi tanaman yang menjadi hasil komoditi utama daerah Aceh selatan tidak diusahakan dalam bentuk perkebunan Onderneming melainkan diberi modal untuk para petani yang telah dibina untuk menanami tanah mereka. Pihak kolonial Belanda tidak mengambil kebijakan untuk menguasai tanah dengan membentuk perkebunan asing yang berada di bawah Onderneming karena status kepemilikan tanah di Aceh bukan milik Sultan melainkan milik pribadi rakyat Aceh sedangkan para Uleebalang juga memiliki tanah pribadi. Selain itu rakyat Aceh tidak mau diperintah langsung oleh Belanda karena dengan begitu di akan merasa terhina dan harga dirinya akan terjual. Bagi rakyat Aceh pemerintah Belanda adalah kaum penjajah yang harus diperangi dan dibunuh. Makanya Belanda tidak berani menguasai Aceh Selatan secara penuh. Tidak banyak perubahan yang terjadi ketika Jepang berkuasa di Aceh Selatan, sistem kerja penduduk tidak berubah bahkan sampai Indonesia merdeka, rakyat mengusahakan tanahnya dengan cara masing-masing dan musiman tergantung pada nilai jual harga tanaman yang diusahakan oleh mereka. Rakyat akan mengusahakan kebunnya ketika harga naik dan meninggalkan kebun mereka ketika harga turun. Cara kerja seperti ini tidak berubah samapai pada saat ini, karena dalam diri masyarakat ada pemahaman untuk tidak memperkaya diri tetapi asal bisa makan banyak dan enak. Universitas Sumatera Utara

3.2 Jenis Tanaman Pertanian