Masa Jepang Usaha Perkebunan Rakyat Di Aceh Selatan 1935-1950

6. Onder Afdeling Singkil Kemudian dibawah Onder Afdeling ini terdapat Landschap yang mengatur pemerintahan Aceh sampai ke pelosaok daerah Aceh. Akan tetapi sejak tahun 1941 Belanda mulai terusik keberadaan karena masuknya Jepang yang juga ingin menjajah Indonesia sekaligus hendak masuk ke Aceh Selatan.

4.2 Masa Jepang

Jepang tidak lama berada di Aceh Selatan hanya sekitar tiga tahun saja. Sangat drastis perubahan ekonomi yang terjadi di wilayah Aceh Selatan. Perekonomian Aceh Selatan mengalami lumpuh total setelah Jepang masuk. Sesuai dengan politik militer Nippon bahwa objek-objek vital yang berada di daerah jajahan yang sudah ada harus dilumpuhkan untuk menghambat perlawanan yang akan dilakukan oleh rakyat. Sarana dan prasarana yang selama ini mendukung laju perekonomian seperti jembatan yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lain dibom oleh tentara Jepang. Sebagai contoh jembatan Krueng Baroe yang menghubungkan Manggeng dengan Labuhan haji juga di bom tentara Jepang mengakibat arus transportasi antara kedua daerah menjadi putus total. Tujuan Jepang menghancurkan objek-objek vital yang ada untuk menghambat perlawanan yang dilakukan oleh pihak musuh dalam hal ini adalah pihak Kolonial Belanda dan rakyat Aceh itu sendiri. Akan tetapi tindakan Jepang ini juga merugikan pihaknya sendiri karena akan menghambat proses menjadikan Jepang Universitas Sumatera Utara rugi. Tujuan lain Jepang adalah untuk memaksa rakyat yang kelaparan untuk menerima ideologi dan politik fasisme Jepang yang diberikan kepadanya. Akibat tindakan Jepang ini tidak saja kerugian pangan saja yang dialami oleh masyarakat Aceh Selatan tetapi Jepang juga kesulitan dalam masalah pangan. Aceh Selatan yang pada masa pemerintahan Kolonial Belanda dikenal sebagai daerah yang surplus beras, akan tetapi ketika masuknya Jepang daerah ini mengalami kesulitan pangan. Setahun sebelum masuknya Jepang tahun 1941 Aceh Selatan berhasil memproduksi beras mencapai 36.000 ton. Kesulitan yang dialami oleh rakyat Aceh Selatan semakin bertambah dengan adanya kebijakan dari pemerintah Jepang untuk menetapkan harga beras yang murah, kewajiban menyetor kebutuhan pangan untuk para tentara Jepang. Kebijakan setor tersebut semakin menyulitkan petani karena produksi yang terus menurun akibatnya banyak dari petani yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Akan tetapi tindakan fasisme Jepang tetap memaksa para petani untuk malakukan kebijakan yang telah dirancang oleh Jepang. Berdasarkan ketentuan bahwa kebutuhan pokok yang harus disetor petani pada tahun 1943, untuk konsumsi kepada pemerintah Jepang sebanyak 17.000 ton. Angka ini terus meningkat lagi pada tahun berikutnya menjadi 22.000 ton, sedang pada tahun terakhir pemerintahan Jepang di Aceh ditatapkan sebanyak 33.000 ton yang harus diserahkan oleh petani. Penentuan jumlah setor yang cukup tinggi dirasakan oleh para petani, menyebabkan banyak dari petani ini yang tidaka mematuhi kebijakan menyetor kebutuhan pangan diminta oleh pemerintah Jepang. Sikap para petani ini Universitas Sumatera Utara menyebabkan pemerintah Jepang memberlakukan hukuman kepada petani dengan menyita dan menciutkan tanah-tanah yang dimiliki oleh petani. Sikap ini tentu saja membahayakan bagi petani dan petani akan kehilangan mata pencahariannya. Pemerintah Jepang juga tidak begitu tertarik kepada perkebunan yang telah ada sejak sebelum masuknya Kolonial Belanda, sehingga perkebunan yang selama ini dikelola oleh rakyat menjadi lumpuh dan tidak terawat. Rakyat yang selama ini mengutamakan mata pencariannya dari perkebunan dan hasil ekspor kebun pala, pinang, nilam dan kelapa. Para petani yang selama ini memiliki dua usaha yaitu tanaman sawah unutk kebutuhan pangan dan tanaman keras untuk kebutuhan ekonomi menjadi terbengkalai. Keadaan ini akibat dari pemaksaan penyetoran kebutuhan pangan kepada pemerintah Jepang dan sulitnya untuk meningkatkan produksi akibatnya dari turunnya harga beras, dan tidak lancarnya jalur transportasi mengakibatkan rakyat semakin menderita. Selain kebutuhan pangan yang semakin sulit dialami oleh masyarakat, masyarakat juga di sulitkan dengan kebutuhan sandang akibat harga kain yang tidak sebanding dengan harga beras yang mereka produksi. Tidak jarang diantara rakyat ini yang memakai baju dari kulit kayu kulit tarok, memang pada masa Jepang laju inflasi sangat tinggi akibat dari tindakan Jepang yang berusaha untuk berperang bukan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di wilayah jajahannya. Harga-harga barang dipasar gelappun semakin meningkat taja. Sebagai bahan perbadingan misalnya dapat dilihat dari perkembangan harga di kota medan berikut ini : Universitas Sumatera Utara “berdasarkan laporan pada tahun 1943, harga beras sebelum tahun itu satu kaleng 16 kg berharga f.1.60,- sedangkan tahun tersebut naik meningkat menjadi f.150,-. Harga ini meningkat lagi pada tahun 1945 menjadi f.400,- harga garam dari hanya beberapa sen meningkat sampai f.25 untuk setiap kg, gula dari 12 sen bertambah dengan harga f.35 per kg. Harga kain katunpada bulan Maret 1945 adalah 20 setiap yard, meningkat menjadi f.150 pada bulan Mei dan meningkat terus pada f.300 pada bulan Agustus dan kemeja dari f.5,- pada bulan Maret menjadi f.700,- pada bulan Agustus 1945 mencapai harga yang optimum yaitu f.1000,-.” Dari gambaran harga yang ada di Medan tersebut tentu saja di Aceh Selatan harga menjadi semakin meingkat tinggi lagi. Dengan demikian, kesengsaraan rakyat semakin jelas dan tidak dapat dipungkiri lagi, dari berbagai sektor ekonomi, keamanan, sosial dan kesehatan rakayat mengalami kesulitan. 23 Penderitaan rakyat semakin bertambah dengan diwajibkan kerja rodi oleh pemerintah Jepang untuk membuat lapangan terbang di daerah Trumon dan membuka jalan Rundeng-Sidikalang. Menurut hasil wawancara dikatakan oleh informan bahwa pada masa Jepang mereka hampir setiap hari mendengar adanya bentrokan antara mobil patroli Jepang dengan para gerilyawan. Rakyat biasa maksudnya anak-anak, perempuan dan orang tua tinggal di dalam bunker yang sengaja di buat ditiap-tiap 23 I. De jong ed Het Koniknkrijk den Nederlandden de Twedw Weredoorloog 1939-1945, Penyunting Arifin Bey, Jakarta 1987. Hlm 57-64 Universitas Sumatera Utara kapung sebagai tempat perlindungan, mereka tidak dapat bekerja di kebun dan sawah mereka untuk mencari nafkah karena suasana jarang sekali aman. 24 Tgk.Sainuddin menjelaskan pada waktu Jepang datang belia sudah akil baliq dan sudah boleh untuk ikut bergerilya melawan penjajah. Kelompok mereka berjaga untuk menyerang mobil patroli Jepang melalui puncak bukit yang dikelilingi jalan raya. Beliau juga mengatakan bahwa pelabuhan yang sebelumnya ramai dengan kapal-kapal asing yang mengangkut hasil bumi produksi perkebunan rakyat menjadi lumpuh, tidak ada lagi terlihat kapal-kapal asing yang melewati pantai Barat Selatan. Suasana begitu mencekam saat itu, penduduk tidak ada yang tinggal dirumah tetapi mereka mengungsi dan bersembunyi di dalam bunker. 25 Jepang tidak saja mengcampuri urusan perekonomian yang ada di Aceh Selatan, pemerintah Jepang juga mengubah sistem struktur pemerintahan yang sudah ada. Pada masa Jepang kabupaten Aceh Selatan sudah mulai dipisahkan dari Afdeling West kust van Ajteh, wilayah Aceh Selatan di bagi menjadi : 1. Kewedanaan Tapaktuan 2. Kewedanaan Bakongan 3. Kewedanaan Singkil 24 Informasi ini didapat dari wawancara yang dilakukan dengan informan yaitu Latifah, Cut Intan, Mariaton, zahara, Lakuwan 25 Tgk Sainunddin adalah anak petani kaya yang tinggal di landschap Blangpidie. Universitas Sumatera Utara

4.3 Masa Awal Kemerdekaan