0.0 Analisis Perbandingan Manajemen Sumberdaya Dan Kesejahteraan Keluarga Pada Keluarga Miskin Dan Tidak Miskin

seorang contoh bercerita bahwa anak sulungnya yang berprofesi sebagai supir angkot kerap memukul adik perempuannya hingga memar ketika uang setorannya kurang. Selain itu, anak bungsunya pernah mencoba membunuh dirinya dengan pisau karena dia tidak memberikan tambahan uang jajan. Kedua fenomena ini menjelaskan akan pentingnya internalisasi nilai-nilai agama, sosial, dan budaya sejak kecil. Nilai-nilai yang ditanamkan sejak kecil akan mempengaruhi kematangan emosi seseorang ketika dewasa yang akan mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya Sunarti 2001. Internalisasi nilai- nilai melalui proses sosialisasi sangat berkaitan dengan proses komunikasi dalam keluarga. Bagi keluarga tidak miskin pengembangan diri merupakan masalah yang paling banyak dirasakan contoh Tabel 15. Sama halnya dengan keluarga miskin, waktu menjadi kendala utama. Meskipun seluruh contoh keluarga tidak miskin tinggal di rumah dengan luas lebih dari 8 m 2 , namun mereka merasa rumah yang ditempati kurang luas. Masalah keragaman pangan dialami oleh sepertiga contoh keluarga tidak miskin. Jika pada keluarga miskin masalah keragaman pangan disebabkan karena rendahnya daya beli, namun pada keluarga tidak miskin keragaman pangan menjadi masalah karena ada anggota keluarga yang tidak suka dengan jenis makanan tertentu, seperti seafood atau jenis sayuran tertentu. Dengan demikian, mereka memiliki alternatif pilihan pangan yang lebih sedikit karena menyesuaikan dengan anggota keluarga lainnya. Pendidikan anak-anak menjadi masalah bagi sebagian kecil contoh karena mereka merasa tidak puas dengan kualitas dan pelayanan sekolah yang diberikan padahal mereka sudah membayar SPP cukup tinggi. Tabel 16 Sebaran contoh dan statistik tingkat masalah keluarga Tingkat Masalah Keluarga KM n=31 KTM n=37 Total n=68 n n n Rendah 0-33.3 13 41.9 37 100.0 50 73.5 Sedang 33.4-66.7 18

58.1 0.0

18 26.5 Tinggi 66.8-100 0.0 0.0 0.0 Min-max 0.00-66.67 0.00-33.33 0.00-66.67 Rataan ± SD 37.55±19.87 12.86±8.06 23.86±17.62 Nilai uji p 0.000 nyata pada p0.01 Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat masalah antara kedua kelompok contoh. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa seluruh contoh pada keluarga tidak miskin memiliki tingkat masalah yang rendah, sedangkan lebih dari separuh 58.1 contoh pada keluarga miskin memiliki tingkat masalah yang sedang Tabel 16. Dengan kata lain, tingkat masalah yang dirasakan oleh keluarga miskin lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga tidak miskin. Menurut Sousa et al dalam Ginanjarsari 2010 keluarga miskin memiliki kecenderungan untuk dihadapkan pada masalah dan tekanan yang sangat besar. Tujuan Keluarga Tujuan didefinisikan sebagai hasil akhir yang dituju dari suatu tindakan, biasanya berkaitan dengan tenggat waktu, pencapaian prestasi, penyelesaian, dan kesuksesan. Merujuk pada Tabel 17, seluruh keluarga miskin menyebutkan tujuan keluarga yang hendak dicapai adalah dalam aspek perumahan, seperti memiliki rumah yang layak, membangun kamar mandi sendiri, sumur, dan memasang listrik. Bagi keluarga miskin, aspek perumahan memang menjadi masalah tersendiri, karena pemenuhan atas perumahan belum tercapai. Banyak di antara mereka yang belum memiliki kamar mandi dan sumber air bersih sendiri. Sehingga, aktivitas mandi cuci kakus MCK dilakukan di kamar mandi umum atau kali yang memang tidak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka. Kurang dari sepertiga 29.0 keluarga miskin yang menyebutkan aspek pendidikan sebagai tujuan keluarga padahal tingkat pendidikan mereka rendah. Hal ini memperkuat asumsi bahwa keluarga miskin kurang menganggap penting pendidikan. Berbeda halnya dengan keluarga tidak miskin, separuh contoh 51.3 menjadikan pendidikan sebagai tujuan. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan tujuan keluarga Tujuan Keluarga KM KTM Pendidikan 29.0 51.3 Perumahan 100.0 2.7 Kesehatan 22.6 2.7 Ekonomi 48.4 48.6 Pangan 29.0 0.0 Spiritual 6.4 56.7 Sosial 3.2 37.8 Psikologis 0.0 54.0 Lain-lain 16.1 10.8 Pada keluarga tidak miskin, pencapaian dalam aspek spiritual dan psikologis menjadi tujuan dengan persentase terbesar. Tujuan dalam aspek spiritual yaitu kian mendekatkan diri dengan Tuhan, pergi haji dalam beberapa tahun mendatang, memiliki anak shalehshalehah, dan menjadi keluarga abadi di dunia-akhirat. Adapun, dalam aspek psikologis, mereka berupaya mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah samara dan hidup tentram. Sebaliknya, pada keluarga miskin tujuan spiritual, sosial, dan psikologis merupakan tujuan dengan persentase terkecil. Jika mengacu pada data usia isteri dan usia suami, keluarga miskin memiliki usia yang lebih tua dibandingkan keluarga tidak miskin. Berdasarkan siklus hidup keluarga, tujuan hidup keluarga muda beginning family adalah pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, perumahan, dan mendapatkan fasilitas kesehatan. Adapun tujuan hidup keluarga tua contracting family adalah mendapatkan ketentraman dan meningkatkan aspek spiritualitas Deacon dan Firebaugh 1988. Jika dikaitkan dengan siklus hidup keluarga, maka sekilas hasil penelitian bertentangan dengan teori tersebut. Hal ini terjadi diduga karena kebutuhan fisiologis yang belum terpenuhi mengakibatkan keluarga miskin menjadikan pemenuhan kebutuhan fisiologis tersebut sebagai puncak pikiran top of mind tujuan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Maslow yang menyebutkan bahwa seseorang akan berusaha memenuhi kebutuhan fisiologisnya terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan lainnya Sumarwan 2004. Hal yang menarik adalah baik pada keluarga miskin maupun tidak miskin, persentase tujuan dalam aspek ekonomi, hampir sama. Keluarga miskin yang memang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar basic needs memiliki tujuan untuk meningkatkan penghasilan mereka. Adapun penjelasan tujuan aspek ekonomi bagi keluarga tidak miskin adalah sebagai berikut: Keluarga muda yang belum memiliki anak, umumnya akan menyiapkan keperluan kehamilan dan persalinan yang pertama, sedangkan bagi yang memiliki anak usia prasekolah akan menyiapkan dana pendidikan anak. Memasuki usia pertengahan, kebutuhan dan tuntutan hidup yang semakin banyak perlu diimbangi dengan pemasukan keluarga. Sebelum memasuki usia pensiun, keluarga perlu menyiapkan perencanaan untuk kehidupan hari tua, misalnya dengan mengumpulkan modal untuk membangun usaha mandiri, dan lain-lain. Dengan demikian, dalam setiap siklus keluarga, aspek ekonomi finansial menjadi tujuan. Hal inilah yang menyebabkan meskipun keluarga tidak miskin memiliki tingkat pendapatan yang tinggi, namun peningkatan ekonomi keluarga menjadi tujuan. Salah seorang contoh mengaku ingin memiliki usaha sendiri karena usia suaminya sudah mendekati masa pensiun. Untuk mewujudkan hal tersebut, contoh mengalokasikan sebagian penghasilan suaminya untuk ditabung untuk kemudian digunakan sebagai modal berwirausaha. Sesuatu yang akan dicapai di masa mendatang menjadi harapan bagi keluarga. Tujuan keluarga dirumuskan berdasarkan masalah yang dihadapi keluarga. Misalnya, salah satu masalah kesehatan yang dirasakan contoh pada keluarga miskin yaitu salah seorang anaknya memiliki penyakit kulit serius, maka keluarga tersebut menjadikan kesembuhan anaknya sebagai tujuan keluarga. Cara yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan memeriksakan anaknya secara rutin ke dokter dengan harapan penyakit anaknya dapat disembuhkan. Mekanisme seperti ini yang dimaksud dengan masalah beserta penanggulangannya sebagai proses dalam menciptakan kesejahteraan keluarga Sunarti 2001. Manajemen Sumberdaya Keluarga Manajemen Sumberdaya Manusia Dalam penelitian ini aktivitas manajemen sumberdaya manusia MSDM yang dilakukan meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi keberfungsian keluarga dalam memenuhi aspek pangan, perumahan, pengasuhan, pendidikan, dan kesehatan. Pangan Dalam aspek pangan, perencanaan meliputi: 1 perencanaan penyediaan pangan; 2 menuliskan perencanaan penyediaan pangan; 3 mempertimbangkan kebutuhan pangan dan asupan gizi menurut kelompok umur, dan 4 mempertimbangkan kesukaan pangan anggota keluarga. Tahap pelaksanaan meliputi: 1 menjadikan perencanaan pangan sebagai acuan; 2 berbelanja sesuai dengan kebutuhan gizi keluarga, dan 3 memastikan keluarga makan dengan teratur. Adapun tahap evaluasi mencakup: 1 membuat daftar masalah yang menghambat pelaksanaan; 2 mencari solusi masalah pangan; dan 4 membuat perencanaan selanjutnya berdasarkan evaluasi. Tabel 18 memberikan informasi mengenai sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek pangan. Tabel 18 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek pangan No Indikator MSDM dalam Aspek Pangan KM n=31 KTM n=37 Uji Beda p 1 Perencanaan dalam penyediaan pangan keluarga 71 51.3 0.100 2 Perencanaan penyediaan pangan secara tertulis 0.0 13.5 0.023 3 Mempertimbangkan kebutuhan pangan asupan gizi menurut kelompok umur 54.8 73.0 0.127 4 Mempertimbangkan kesukaan pangan anggota keluarga 87.1 89.2 0.793 5 Menjadikan perencanaan pangan sebagai acuan pemenuhan kebutuhan pangan 61.3 51.3 0.419 6 Berbelanja bahan pangan yang sesuai dengan kebutuhan gizi keluarga 80.6 91.9 0.178 7 Memastikan keluarga makan dengan teratur 74.2 91.9 0.060 8 Membuat daftar masalah yang menghambat pelaksanaan perencanaan pangan keluarga 0.0 0.0 - 9 Mencari solusi penyelesaian masalah pangan keluarga 29.0 86.5 0.000 10 Perencanaan kebutuhan pangan berdasarkan evaluasi 19.3 81.12 0.000 nyata pada p0.05, nyata pada p0.01 Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga keluarga miskin 71 dan separuh keluarga tidak miskin 51.3 melakukan perencanaan penyediaan pangan, namun pada tidak ada keluarga miskin yang menuliskannya dan hanya 13.5 persen keluarga tidak miskin yang menuliskannya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga melakukan perencanaan pangan hanya dalam pikirannya. Keluarga yang menuliskan perencanaan pangan adalah keluarga yang menyusun menu makanan mingguan. Separuh 54.8 keluarga miskin dan lebih dari dua pertiga 73 keluarga tidak miskin mempertimbangkan kebutuhan pangan dan asupan gizi menurut kelompok umur. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh 64.7 keluarga peduli pada kebutuhan pangan dan gizi anggota keluarganya. Jika mereka memiliki bayi atau anak usia pra sekolah, biasanya mereka membuat menu khusus seperti sup ceker dan nasi tim. Contoh dari keluarga miskin biasanya mengkhususkan makanan tersebut bagi bayi atau anaknya yang masih kecil. Keterbatasan mereka untuk membeli bahan pangan yang bergizi seimbang, mengakibatkan tidak semua anggota keluarga dapat mengkonsumsi menu makanan yang sama. Persentase kedua kelompok contoh dalam mempertimbangkan kesukaan pangan anggota keluarga hampir setara, yaitu 87.1 persen keluarga miskin dan 89.2 persen keluarga tidak miskin. Hal ini terjadi karena contoh khawatir makanan terbuang jika memasak bahan pangan yang tidak disukai keluarga. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa tahap perencanaan keluarga tidak miskin lebih baik dibandingkan dengan keluarga miskin. Jika dilihat berdasarkan pembagian peran, maka hampir seluruh perencanaan pangan dilakukan oleh isteri. Sebanyak 61.3 persen keluarga miskin dan 51.3 persen keluarga tidak miskin yang menjadikan perencanaan pangan sebagai acuan. Sebagian besar 80.6 keluarga miskin berbelanja pangan sesuai dengan kebutuhan gizi keluarga meskipun hanya separuhnya yang mempertimbangkan kebutuhan gizi dalam perencanaan. Hampir seluruh 91.9 keluarga tidak miskin memastikan keluarga makan dengan teratur, sedangkan hampir tiga perempat 74.2 keluarga miskin melakukan hal yang sama. Pada keluarga miskin, contoh beranggapan bahwa tugasnya sebagai seorang isteri atau ibu hanya sebatas menyediakan makanan siap konsumsi saja. Sama halnya dengan perencanaan, tahap pelaksanaan pun sebagian besar dilakukan isteri. Tidak ada contoh yang membuat daftar masalah yang menghambat pelaksanaan perencanaan pangan. Meskipun demikian sebagian besar 86.5 keluarga tidak miskin mencari solusi jika menemukan masalah pangan, sedangkan pada keluarga miskin hanya 29.0 persen saja yang mencari solusi jika memiliki masalah pangan. Sebagian besar 81.1 keluarga tidak miskin merencanakan kebutuhan pangan berdasarkan evaluasi, sedangkan hanya 19.3 persen keluarga miskin yang melakukan hal tersebut. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa evaluasi pada keluarga tidak miskin lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Pada tahap evaluasi, keterlibatan suami lebih baik dibandingkan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya persentase keterlibatan suami dalam mengevaluasi perencanaan pangan. Berdasarkan hasil uji beda pada setiap indikator, diperoleh beberapa indikator yang berbeda nyata pada kedua kelompok contoh, yaitu indikator perencanaan pangan secara tertulis, indikator mencari solusi penyelesaian masalah pangan keluarga, dan indikator membuat perencanaan pangan selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga indikator tersebut merupakan indikator yang sensitif. Dengan demikian, bagi penelitian manajemen sumberdaya manusia selanjutnya, diharapkan memasukkan ketiga indikator tersebut dalam alat ukur penelitian. Baik pada keluarga miskin maupun tidak miskin, tidak ada yang membuat daftar masalah yang menghambat pelaksanaan perencanaan pangan. Hal ini berarti, indikator tersebut merupakan indikator yang tidak sensitif bagi kedua kelompok contoh. Oleh karena itu, bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya menghilangkan indikator tersebut. Perumahan Dalam aspek perumahan, perencanaan mencakup pembagian tugas pemeliharaan rumah dan menuliskannya. Pelaksanaan meliputi aktivitas menjauhkan benda-benda tajam dari jangkauan anak-anak, berupaya menciptakan rumah yang aman, dan berusaha mempelajari desain interior. Adapun evaluasi meliputi pemeriksaan pelaksanaan pembagian tugas, melakukan evaluasi dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Tabel 19 menunjukkan sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek perumahan. Tabel 19 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek perumahan No Indikator MSDM dalam Aspek Perumahan KM n=31 KTM n=37 Uji Beda p 1 Membagi tugas pemeliharaan rumah 38.7 43.2 0.969 2 Menuliskan pembagian tugas pemeliharaan rumah 0.0 2.7 0.160 3 Menjauhkan benda-benda tajampecah belah dari jangkauan anak-anak 96.7 86.5 0.771 4 Berupaya menciptakan rumah yang aman bagi setiap anggota keluarga 80.6 100 0.588 5 Berusaha mempelajari desain interior untuk membuat rumah lebih nyaman 16.1 67.6 0.154 6 Memeriksa apakah pembagian tugas dilaksanakan dengan baik 35.5 24.3 0.780 7 Mengevaluasi perencanaan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya 12.9 54.0 0.010 nyata pada p0.05 Secara keseluruhan, kurang dari separuh keluarga membagi tugas pemeliharaan rumah dengan proporsi masing-masing yaitu 38.7 persen keluarga miskin dan 43.2 persen keluarga tidak miskin. Seluruh keluarga miskin tidak ada yang menuliskan pembagian tugas tersebut, sedangkan pada keluarga tidak miskin hanya 2.7 persen yang menuliskannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok contoh kurang melakukan perencanaan. Meskipun demikian, tahap pelaksanaan kedua kelompok contoh cukup baik. Secara keseluruhan keluarga menjauhkan benda-benda tajam dari jangkauan anak-anak dengan persentase 96.7 persen keluarga miskin dan 86.5 persen keluarga tidak miskin. Seluruh keluarga tidak miskin dan 80.6 persen keluarga miskin berupaya menciptakan rumah yang aman. Hanya 16.1 persen keluarga miskin yang berusaha mempelajari desain interior rumah sedangkan pada keluarga tidak miskin sebanyak 67.6 persen. Keterlibatan suami pada keluarga tidak miskin dalam tahap pelaksanaan lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Suami bersama isteri menjauhkan benda-benda tajam dari jangkauan anak-anak, berupaya menciptakan rumah yang aman, dan mempelajari desain interior rumah. Lebih dari separuh keluarga tidak memeriksa pelaksanaan tugas yang sudah dibagi kepada setiap anggota keluarga. Sebagian besar 87.1 keluarga miskin tidak menjadikan evaluasi sebagai dasar perencanaan selanjutnya. sedangkan pada keluarga tidak miskin separuh keluarga 54.0 melakukan evaluasi dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Dengan demikian, evaluasi keluarga tidak miskin lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Dari ketujuh indikator MSDM dalam aspek pangan, hanya 1 indikator yang berbeda nyata pada kedua kelompok contoh, yaitu indikator mengevaluasi perencanaan dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Hal ini berarti, indikator tersebut merupakan indikator yang sensitif sehingga disarankan untuk memasukkan indikator tersebut dalam penelitian selanjutnya. Pengasuhan Pembagian peran pengasuhan merupakan perencanaan dalam bidang pengasuhan. Pelaksanaan meliputi aktivitas mempertimbangkan tahap perkembangan anak dalam melakukan pengasuhan, mempelajari cara mengasuh anak dengan baik, meningkatkan kualitas pemberian stimulasi, menggunakan Kartu Menuju Sehat KMS, Kartu Kembang Anak KKA, atau alat ukur perkembangan anak yang lain. Sedangkan evaluasi meliputi pembuatan daftar masalah, mencari solusi penyelesaian masalah, mengevaluasi dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Tabel 20 menunjukkan sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek pengasuhan. Tabel 20 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek pengasuhan No Indikator MSDM dalam Aspek Pengasuhan KM n=31 KTM n=37 Uji Beda p 1 Pembagian peran pengasuhan 51.6 54.1 0.844 2 Mempertimbangkan tahap perkembangan anak dalam melakukan pengasuhan 74.2 94.6 0.026 3 Mempelajari cara pengasuhan anak 25.8 89.2 0.000 Lanjutan Tabel 20 No Indikator MSDM dalam Aspek Pengasuhan KM n=31 KTM n=37 Uji Beda p 4 Meningkatkan kualitas pemberian stimulasi perkembangan anak 87.1 97.3 0.218 5 Menggunakan KMS sebagai indikator kesehatan fisik anak 54.8 86.5 0.009 6 Menggunakan KKA atau alat ukur perkembangan anak lainnya 0.0 5.4 0.160 7 Membuat daftar masalah yang menghambat pelaksanaan pengasuhan anak dengan baik 0.0 10.8 0.044 8 Mencari solusi penyelesaian masalah pengasuhan anak 29.0 94.6 0.000 9 Mengevaluasi perencanaan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya 19.3 83.8 0.000 nyata pada p0.05, nyata pada p0.01 Separuh keluarga miskin 51.6 dan keluarga tidak miskin 54.1 melakukan pembagian peran pengasuhan. Sepertiga 74.2 contoh keluarga miskin dan hampir seluruh 94.6 contoh keluarga tidak miskin mempertimbangkan tahap perkembangan anak ketika melakukan pengasuhan. Hanya 25.8 persen keluarga miskin yang mempelajari cara mengasuh anak dengan baik, sedangkan sebagian besar 89.2 keluarga tidak miskin melakukannya. Meskipun hanya sebagian kecil keluarga miskin yang mempelajari cara mengasuh anak dengan baik, namun sebagian besar 87.1 meningkatkan kualitas pemberian stimulasi misalnya melatih anaknya berdiri ketika usia 10 bulan dan melatih berjalan ketika usia anaknya mendekati 12 bulan. Berdasarkan pengamatan, keluarga miskin melakukan aktivitas pengasuhan dengan mengacu pada pengalaman contoh di masa lalu atau pengalaman orang lain. Separuh 54.8 keluarga miskin menggunakan KMS Kartu Menuju Sehat. Hampir seluruh 97.3 keluarga tidak miskin meningkatkan kualitas pemberian stimulasi, 86.5 persen menggunakan KMS dan 5.4 persen menggunakan alat ukur lain untuk mengukur perkembangan anak. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa persentase pengasuhan keluarga miskin untuk setiap indikator pelaksanaan pengasuhan lebih rendah dibandingkan keluarga tidak miskin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aktivitas pengasuhan keluarga tidak miskin lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Aspek evaluasi pada keluarga miskin pun tergolong rendah. Tidak ada contoh yang membuat daftar masalah, hanya 29.0 persen yang mencari solusi jika ada masalah pengasuhan dan 19.3 persen yang mengevaluasi pelaksanaan pengasuhan dan menjadikannya dasar bagi perencanaan selanjutnya. Berbeda dengan keluarga tidak miskin, meskipun hanya 10.8 persen yang membuat daftar masalah namun hampir seluruh 94.6 contoh mencari solusi jika ada masalah dan 83.8 persen melakukan evaluasi dan menjadikannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Dalam mencari solusi dan mengevaluasi, lebih dari separuh 59.5 contoh melakukannya bersama-sama dengan suami. Hal ini menunjukkan adanya komunikasi suami-isteri dalam penyelesaian masalah pengasuhan. Berbeda halnya dengan keluarga miskin, lebih dari tiga perempat contoh mencari solusi masalah pengasuhan sendirian. Terdapat enam indikator MSDM dalam aspek pengasuhan yang berbeda nyata pada kedua kelompok contoh. Keenam indikator tersebut adalah 1 mempertimbangkan tahap perkembangan anak dalam melakukan pengasuhan; 2 mempelajari cara pengasuhan anak; 3 menggunakan KMS sebagai indikator kesehatan fisik anak; 4 membuat daftar masalah; 5 mencari solusi penyelesaian masalah pengasuhan anak; dan 6 mengevaluasi perencanaan dan menggunakannya sebagai dasar selanjutnya. Oleh karena itu, dalam penelitian selanjutnya, keenam indikator tersebut dimasukkan ke dalam alat ukur penelitian. Pendidikan Tahap perencanaan dalam bidang pendidikan meliputi: 1 merencanakan pendidikan anak dan menuliskannya; 2 mencari informasi sekolah berkualitas; dan 3 memiliki tabunganasuransi pendidikan. Tahap pelaksanaan meliputi: 1 melaksanakan perencanaan yang disusun; 2 mengurus kelengkapan administrasi sekolah; 3 menjaga hubungan baik dengan sekolah; 4 menyediakan sarana dan prasarana belajar anak; 5 mendampingi anak belajar di rumah; dan 6 monitoring pencapaian prestasi anak merupakan aktivitas pelaksanaan. Adapun tahap evaluasi mencakup; 1 membuat daftar masalah; 2 mencari solusinya; 3 mengevaluasi perencanaan dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Tabel 21 memberikan informasi mengenai sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek pendidikan. Sebanyak 87.1 persen keluarga miskin merencanakan pendidikan anak, namun tidak ada yang menuliskannya. Hampir seluruh contoh keluarga tidak miskin merencanakan pendidikan anak namun hanya 5.4 persen yang menuliskannya. Persentase keluarga tidak miskin yang mencari informasi sekolah berkualitas, dua kali lebih banyak dibandingkan keluarga miskin. Hanya 3.2 persen keluarga miskin yang memiliki tabunganasuransi pendidikan, sedangkan 62.2 persen keluarga tidak miskin memiliki tabunganasuransi pendidikan. Tabel 21 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek pendidikan No Indikator MSDM dalam Aspek Pendidikan KM n=31 KTM n=37 Uji Beda p 1 Merencanakan pendidikan anak 87.1 97.3 0.135 2 Menuliskan perencanaan pendidikan anak 0.0 5.4 0.160 3 Mencari informasi sekolah berkualitas bagi anak 41.9 89.2 0.000 4 Memiliki tabunganasuransi pendidikan 3.2 62.2 0.000 5 Melaksanakan perencanaan yang telah disusun 51.6 86.5 0.002 6 Mengurus kelengkapan administrasi sekolah 96.7 100 0.278 7 Menjaga hubungan baik dengan sekolah 93.5 97.3 0.461 8 Menyediakan sarana prasarana belajar anak 93.5 100.0 0.161 9 Mendampingi anak belajar di rumah 64.5 91.9 0.008 10 Monitoring pencapaian prestasi anak, baik akademik maupun non-akademik 54.8 91.9 0.001 11 Membuat daftar masalah yang menghambat pelaksanaan perencanaan pendidikan anak 0.0 10.8 0.044 12 Mencari solusi penyelesaian masalah pendidikan anak 35.5 97.3 0.000 13 Mengevaluasi perencanaan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya 22.6 81.1 0.000 nyata pada p0.05, nyata pada p0.01 Aspek pelaksanaan pada kedua kelompok contoh tergolong baik. Separuh 51.6 keluarga miskin dan sebagian besar 86.5 keluarga tidak miskin melaksanakan perencanaan yang disusun. Seluruh keluarga tidak miskin dan hampir seluruh 96.7 keluarga miskin mengurus kelengkapan administrasi sekolah. Hampir seluruh contoh pada kedua kelompok contoh menjaga hubungan baik dengan sekolah. Seluruh contoh pada keluarga tidak miskin dan 93.5 persen contoh pada keluarga miskin menyediakan sarana prasarana belajar anak di rumah. Lebih dari separuh 64.5 keluarga miskin dan hampir seluruh 91.9 keluarga tidak miskin melakukan pandampingan belajar anak di rumah. Hampir seluruh 91.9 keluarga tidak miskin melakukan monitoring prestasi anak sedangkan hanya separuh 54.8 keluarga miskin yang melakukan hal tersebut. Tidak ada keluarga miskin yang membuat daftar masalah jika ada masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan, sedangkan hanya 10.8 persen contoh pada keluarga tidak miskin yang melakukan hal tersebut. Meskipun demikian hampir seluruh contoh pada keluarga tidak miskin mencari solusi jika ada masalah sedangkan hanya 35.5 persen pada keluarga miskin yang melakukan hal tersebut. Lebih dari empat perlima keluarga tidak miskin melakukan evaluasi dalam aspek pendidikan dan menjadikannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya, sedangkan lebih dari seperlima keluarga miskin yang melakukan hal tersebut. Bagi keluarga tidak miskin, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama suami isteri, oleh karena itu dalam mencari solusi dan mengevaluasi dilakukan bersama-sama. Berbeda halnya dengan keluarga miskin, hampir seluruh contoh mencari solusi dan mengevaluasi aspek pendidikan sendirian. Hasil uji beda pada setiap indikator MSDM dalam aspek pendidikan menunjukkan bahwa terdapat delapan indikator yang berbeda nyata antara kedua kelompok contoh. Kedelapan indikator tersebut adalah: 1 mencari informasi sekolah berkualitas bagi anak; 2 memiliki tabunganasuransi pendidikan; 3 melaksanakan perencanaan yang telah disusun; 4 mendampingi anak belajar di rumah; 5 monitoring pencapaian prestasi anak; 6 membuat daftar masalah; 7 mencari solusi penyelesaian masalah pengasuhan; dan 8 mengevaluasi perencanaan dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kedelapan indikator tersebut merupakan indikator yang sensitif sehingga penelitian selanjutnya diharapkan memasukkan indikator-indikator tersebut dalam instrumen penelitian. Kesehatan Dalam bidang kesehatan, tahap perencanaan meliputi perencanaan jadwal pemeriksaan ke balai pengobatan dan menuliskannya. Tahap pelaksanaan meliputi aktivitas membawa anggota keluarga yang sakit ke balai pengobatan, mempelajari pertolongan pertama pada kecelakaan, mempelajari penanganan penyakit yang umum diderita keluarga, dan menanam tanaman obat keluarga. Adapun aspek evaluasi mencakup pembuatan daftar masalah, mencari solusinya, dan mengevaluasi serta menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Hampir separuh contoh pada kedua populasi merencanakan jadwal pemeriksaan ke balai pengobatan Tabel 22. Hanya dua persen contoh keluarga miskin dan 16.2 persen keluarga tidak miskin yang menuliskan perencanaan tersebut. Hampir seluruh contoh membawa anggota keluarga yang sakit ke balai pengobatan. Hanya 12.9 persen contoh keluarga miskin yang mempelajari pertolongan pertama pada kecelakaan, hanya 29.0 persen yang mempelajari penanganan penyakit yang umum diderita, dan hanya 9.7 persen yang menanam tanaman obat keluarga. Sedangkan pada keluarga tidak miskin sebanyak 67.6 persen contoh mempelajari pertolongan pertama pada kecelakaan, 86.5 persen mepelajari penanganan penyakit yang umum diderita keluarga, dan 37.8 persen yang menanam tanaman obat. Berdasarkan pemaparan tersebut, tahap pelaksanaan manajemen dalam aspek kesehatan pada keluarga tidak miskin lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Tabel 22 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek kesehatan No Indikator MSDM dalam Aspek Kesehatan KM n=31 KTM n=37 Uji Beda p 1 Merencanakan jadwal pemeriksaan rutin ke balai pengobatan 45.2 45.2 0.876 2 Menuliskan jadwal pemeriksaan rutin ke balai pengobatan 6.4 16.2 0.219 3 Membawa anggota keluarga yang sakit ke balai pengobatan 96.7 97.3 0.901 4 Mempelajari pertolongan pertama pada kecelakaan 12.9 67.6 0.000 5 Mempelajari penanganan penyakit yang umum diderita keluarga 29.0 86.5 0.000 6 Menanam tanaman obat keluarga 9.7 37.8 0.005 7 Membuat daftar masalah yang menghambat pelaksanaan perencanaan pemeliharaan kesehatan keluarga 0.0 5.4 0.160 8 Mencari solusi penyelesaian masalah pemeliharaan kesehatan keluarga 35.5 97.3 0.000 9 Mengevaluasi perencanaan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya 16.1 78.4 0.000 nyata pada p0.01 Aktivitas evaluasi pada keluarga miskin tergolong rendah. Tidak ada contoh yang membuat daftar masalah, hanya 35.5 persen yang mencari solusi jika ada masalah, dan hanya 16.1 persen yang melakukan evaluasi dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan yang selanjutnya. Pada keluarga miskin hanya 5.4 persen yang membuat daftar masalah, namun hampir seluruhnya 97.3 mencari solusi jika ada masalah, dan sebanyak 78.4 persen melakukan evaluasi dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Pada keluarga tidak miskin, contoh mencari solusi dan mengevaluasi proses manajamen dalam aspek pendidikan bersama-sama dengan suami. Terdapat lima indikator MSDM dalam aspek kesehatan yang berbeda nyata antara kedua kelompok contoh, yaitu indikator mempelajari pertolongan pertama pada kecelakaan, indikator mempelajari penanganan penyakit yang umum diderita keluarga, indikator menanam tanaman obat keluarga, indikator mencari solusi penyelesaian masalah kesehatan, dan indikator mengevaluasi perencanaan dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kelima indikator tersebut merupakan indikator yang sensitif. Oleh karena itu, bagi penelitian manajemen sumberdaya manusia keluarga selanjutnya, disarankan untuk memasukkan kelima indikator tersebut ke dalam instrumen penelitian. Tabel 23 Sebaran contoh dan statistik kategori manajemen sumberdaya manusia Kategori Manajemen Sumberdaya Manusia KM n=31 KTM n=37 Total n=68 n n n Rendah 0-33.3 28

90.3 9