VIII. Kinerja APKI di Kecamatan Kahayan Kuala
Karakteristik Kelompok Petani
Ditinjau dari kepemilikan lahan dan usaha taninya, petani kelapa di Kecamatan Kahayan Kuala dapat dikategorikan sebagai:
1. Petani peisan, yaitu petani yang mengusahakan lahannya bersama keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2. Petani penggarap, yaitu petani yang mengusahakan usaha taninya di lahan orang lain, diolah bersama anggota keluarga danatau mempekerjakan buruh tani.
Kegiatan usaha taninya untuk memenuhi kebutuhan keluarga danatau mencari keuntungan.
3. Petani farmer, yaitu petani yang mengusahakan usaha taninya dengan
melibatkan pekerja serta kegiatan usaha taninya untuk mencari keuntungan. Dari ketiga karakteristik tersebut, kelompok petani kelapa yang ada di
Kecamatan Kahayan Kuala tergolong kelompok petani peisan dan mendominasi secara kwantitas pada masyarakat petani kelapa Kecamatan Kahayan Kuala, hanya
sedikit yang tergolong sebagai petani penggarap dan petani farmer, seperti tampak pada tabel berikut ini:
Tabel 10 : Kepemilikan Lahan dan Usaha Tani dari 115.500 Ha Kebun Kelapa Tahun 2006
No Petani Kelapa
Luas Lahan Ha Keterangan
1 Peisan
92.400 80 Warisan
2 Penggarap
5.775 5 Pendatang
3 Farmer
17.325 15 Pengusaha
Sumber : Data Desa Bahaur Kecamatan Kahayan Kuala Juli 2006
Tabel di atas menjelaskan bahwa perbedaan kepemilikan lahan lebih didominasi oleh kelompok petani kelapa yang mengusahakan lahannya bersama
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini terjadi karena 90 penduduk Kecamatan Kahayan Kuala adalah pemilik lahan kebun kelapa yang dimiliki dari
hasil warisan orang tua, hanya sedikit sekitar 5 penduduk sebagai penggarap lahan orang lain.
Biasanya penduduk pendatang dari daerah lain yang pada awalnya mencoba mengadu nasib di Kecamatan ini untuk mencari pekerjaan sebagai buruh di pabrik-
59 pabrik kayu tetapi karena pabrik kayu tidak bekerja secara lancar kadang bekerja
kadang tidak maka untuk menyambung hidup mereka membantu bekerja sebagai buruh perkebunan sebagai ” Penebas” atau pembersih kebun dengan sistem upah
borongan sesuai luas lahan yang dipekerjakan. Mereka mengambil upah per borong sekitar 1.5 Ha dengan imbalan Rp. 50.000 -, apabila satu hari buruh bisa
membersihkan 3 Ha hasilnya sudah Rp. 100.000 -, tetapi sayangnya buruh tidak bisa mendapatkan pekerjaannya setiap hari secara pasti tetapi tergantung kepada keadaan.
Pada musim penghujan buruh lebih banyak mendapatkan pekerjaan. Pada musim ini rumput dan ilalang yang tumbuh di sekitar pohon kelapa lebih lebat dan
cepat menutupi badan pohon. Musim ini sangat menguntungkan bagi buruh tani untuk mudah mendapatkan pekerjaannya di musim penghujan.
Kelompok petani Farmer hanya menguasai lahan sekitar 15 dari keseluruhan luas lahan yang ada di Kecamatan Kahayan Kuala. Kelompok ini adalah
pengusaha kaya yang pada awalnya bekerja sebagai bos kayu. Kelompok ini mudah menjadi pengusaha kelapa karena hasil pemotongan kayu yang didapat di dekat
Kecamatan ini dapat menghasilkan modal yang sangat besar. Modal yang dimiliki pengusaha kayu lebih menguntungkan lagi bila
diinvestasikan dengan membeli kebun kelapa, karena lahan kebun kelapa yang dijual oleh petani harganya masih murah dan dapat dipastikan mendatangkan untung jika
dirawat dengan baik. Hasil kebun kelapa yang diusahakan apabila dikurangi dengan upah perawatan masih menyisakan keuntungan bagi pengusaha yang diusahakan oleh
beberapa buruh dengan tujuan untuk mendapat keuntungan.
Hubungan APKI dalam Bidang Usaha
ADART Bab VIII Pasal 17 Tahun 2002 disebutkan bahwa untuk menunjang kegiatan-kegiatan APKI, maka APKI dapat membentukmendirikan
Badan Usaha Lembaga Usaha yang berbadan hukum. APKI di Kecamatan Kahayan Kuala sampai sekarang masih mempunyai
badan usaha yang berbentuk usaha sentral produksi olahan kelapa. Namun, karena lemahnya manajemen dalam pengelolaan APKI usaha ini tidak berkelanjutan. Hal ini
patut disayangkan karena pemerintah daerah sampai propinsi sudah berusaha
60 seoptimal mungkin untuk memberdayakan petani melalui pelatihan pengolahan
produksi kelapa dengan teknologi yang tepat guna. Program ini tidak berkelanjutan karena ketua pengurus menganggap bahwa
program pemerintah bisa dimanfaatkan atas nama perorangan dan petani tetap saja hanya dilibatkan sebagai pemasok bahan baku. Hal ini mengakibatkan program yang
ada tidak bisa memenuhi pesanan dari pengusaha besar mengingat ketua APKI yang ada tidak bisa mensinergikan kekuatan dari anggota sampai instansi terkait akibat
dari pengelolaan usaha yang tidak partisipatif hnya mementingkan individu sesaat. Solusi untuk memperluas jaringan pasar perlu dipahami oleh ketua APKI,
bahwa usaha yang dikelola sendiri jauh lebih sulit ketimbang dikelola bersama sesuai dengan tujuan APKI sebagai wadah berhimpun semua kekuatan yang dimiliki petani
guna meningkatkan posisi tawar petani. Pengetahuan mensinergikan berbagai potensi yang ada benar-benar dipraktekkan oleh ketua. Jika hanya mengejar keuntungan
individu sebaiknya ketua perlu belajar lagi arti dan tujuan dibentuknya APKI sampai di Kecamatan ini.
Permasalahan yang dialami oleh APKI di Kecamatan Kahayan Kuala pada intinya yaitu rendahnya kapasitas SDM APKI dalam memberdayakan kelompok
petani. Dampak yang ditimbulkan dari menurunnya kapasitas APKI ini secara tidak langsung akan mempengaruhi terhadap menurunnya keberdayaan petani. Hal ini
dikarenakan APKI merupakan suatu sarana mediator bagi petani dalam menyalurkan aspirasi dan keinginan dalam memenuhi kebutuhan mereka. Misalnya sebagai
fasilitator dalam menyediakan bantuan sarana dan prasarana pertanian dan sebagai mediator dalam pemasaran hasil panen.
Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan APKI dalam memberdayakan petani di Kecamatan Kahayan Kuala adalah tidak terlepas dari
rendahnya kapasitas SDM individupengurus yang terdiri dari kapasitas pengetahuan kepemimpinan, rendahnya kapasitas teknologi produksi dan jaringan kerjasama
APKI dengan stakeholder dalam memasarkan produksi petani.
61 Identifikasi Sumber Daya Manusia pengurus dalam APKI di Kecamatan
Kahayan Kuala adalah: 1. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan dari pengurus APKI dalam memahami pengetahuan tentang aturan-aturan dan mekanisme pelayanan
yang akan diberikan kepada petani. Berdasarkan data pengurus APKI sebanyak 18 orang dimana sebanyak 12 orang 66 hanya lulusan SD, 3 orang 17 lulusan
SLTP dan 3 17 orang lulusan SLTA. Hanya satu ketua yang sering ikut seminar tentang usaha pengelolaan kelapa secara profesional tetapi karena
keterbatasan kemauan kurang dapat mensosialisasikan pengetahuan yang didapat
untuk memajukan APKI.
2. Rendahnya Kapasitas Teknologi Pengolahan Olahan Lanjutan Kelapa berdampak pada :
a. Perkembangan Usaha Usaha yang dijalankan oleh pengurus dalam APKI masih mengalami
keterbatasan teknologi. Hal ini menjadikan pengururs tidak mampu memberdayakan petani untuk menghasilkan produk yang diminati pasar.
Petani hanya menjual hasil panen berupa buah butiran dan kopra dimana harga selalu dikuasai oleh pengusaha besar sehingga posisi tawar petani lemah
karena keterbatasan petani mengolah hasil kelapa menjadi olahan lanjutan seperti VCO, smoke oil dan sabut yang dapat meningkatkan harga jual petani.
b. Pemasaran Jaringan pemasaran yang diusahakan oleh pengurus guna menjual hasil
produksi petani hanya mampu memenuhi permintaan pasar lokal yaitu berupa buah butiran kelapa. Hal ini terjadi guna memenuhi kebutuhan ekonomi
petani dan kebutuhan bahan baku kelapa yang dibutuhkan pembeli di pasar lokal. Transaksi yang dilakukan petani dalam penjualan juga masih bersifat
tradisional karena tidak ada bukti pembayaran yang diterima oleh petani, hal ini terjadi akibat dari sistem penjualan tunai. Harga ditentukan sepihak dari
pembeli. Keuntungan bagi petani dengan adanya pasar lokal ini petani tidak sulit mencari uang kontan untuk menutupi masalah-masalah ekonomi yang
62 dialami petani. Pembeli hasil panen petani biasanya datang dari luar daerah
seperti dari Banjarmasin 3. Modal Sosial
Modal sosial, menurut Woolcock 1998 seperti dikutip Colletta Cullen 200, modal sosial memiliki empat dimensi, Pertama adalah integrasi
integration, yaitu ikatan kuat antar anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya, seperti ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan
agama. Kedua adalah pertalian linkage, yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal, seperti jejaring network dan asosiasi-asosiasi bersifat
kewargaan civic association yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik, dan agama.
Ketiga adalah integritas organisasional organizational integrity, yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya,
termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat adalah sinergi synergy, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan
dengan komunitas state-community relations. Fokus perhatian dalam sinergi ini adalah apakah negara memberikan ruang yang luas atau tidak bagi partisipasi
warganya. Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat horizontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat ditambah dengan pasar market, berada pada tingkat
vertikal. Melihat kenyataan yang ada, APKI di Kecamatan Kahayan Kuala belum bisa
berfungsi seperti yang diharapkan. APKI di Kecamatan Kahayan Kuala baru bisa berfungsi sebagai wadah berhimpun bagi petani kelapa saja belum bisa menjadi
wahana perjuangan penyalur aspirasi dan komunikasi timbal balik antara sesama petani kelapa dan organisasi seprofesi lainnya.
Aktivitas APKI di Kecamatan Kahayan Kuala belum memiliki program kerja yang jelas. Pengurus yang dibentuk tidak aktif karena telah disibukkan oleh
kepentingan-kepentingan individu di luar pengurus seperti usaha dan bisnis di luar APKI. Hal ini dikuatkan oleh pendapat ketua APKI Bapak Arifin yang dipanggil
oleh warga setempat dengan panggilan pak sanyo sbb:
63 ”APKI di Kecamatan ini hanya tinggal nama saja, keberadaanya ada
tetapi tidak bisa aktif, tahun 2002 pada saat itu program berjalan dengan baik ada bantuan program pengolahan sabut untuk diekspor ke Singgapur
tetapi karena mesin pengolah sabut yang diberikan dari pemerintah kepada petani kemampuan produksinya tidak sesuai dengan bobot berat dan
ukuran besaan yang dipesan mengakibatkan program tidak berjalan berkelanjutan dan berhentilah program, mesin yang telah terlanjur
dipinjamkan kepada kelompok tani lama tidak di manfaatkan dan sulit untuk diminta lagi dari petani, karena oleh petani telah dimanfaatkan menjadi
mesin klotok perahu kecil untuk kepentingan transportasi pribadi petani.
”. Sejak tahun 2003 belum ada lagi program yang dapat disalurkan ke petani
kelapa oleh APKI. Kejadian di atas sebagai faktor timbulnya masalah ketidakpercayaan petani kepada APKI dikarenakan program bantuan tidak
berkelanjutan yang disebabkan SDM dalam kepengurusan APKI masih lemah. Agar menjadi organisasi profesional yang mampu berfungsi seperti yang
tersebut di atas perlu adanya pemberdayaan bagi semua komunitas petani kelapa tidak hanya kepada pengurus APKI saja. Hal ini diharapkan komunikasi timbal balik
antara sesama petani kelapa dan organisasi seprofesai yang lain bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
Keterangan ketua APKI di Kecamatan Kahayan Kuala mengindikasikan bahwa program yang diberikan kepada petani masih bersifat top down karena
program yang diberikan tidak melibatkan petani mulai dari perencanaan sampai penikmatan hasilnya, hanya untuk kepentingan orang-orang tertentu saja atau
pengurus program. Untuk mengatasi kejadian seperti ini Pemerintah Daerah berusaha memperbaiki dan berusaha melibatkan masyarakat untuk merencanakan program
yang benar-benar dapat dinikmati petani dan agar dapat berkelanjutan. Upaya pemerintah tersebut berupa: pelatihan pembuatan minyak VCO, Arang
tempurung menjadi bahan kimia sebagai bahan baku pembuatan obat nyamuk, baterai dan lain-lain. Pemerintah Daerah juga memberikan kebijakan untuk
memudahkan petani menjual hasil pengolahan kelapa menjadi bahan baku pengganti minyak konsumsi rumah tangga khususnya dipasarkan di dalam daerah Pulang Pisau.
Keinginan pemerintah ini dirasakan kurang menguntungkan bagi petani. Seperti pendapat Bapak Supri sebagai pemasok bahan baku kelapa butiran bagi pengolahan
minyak hasil produksi APKI di Kecamatan Kahayan Kuala sebagai berikut :
64 ”Kalau dihitung-hitung untuk membuat minyak murni per 1 liter
dibutuhkan 10 sampai 12 buah kelapa, sementara harga kelapa perbutir jika dijual dipasar Rp 500-, belum ditambah biaya operasional pembuatan
seperti kayu bakar untuk memasaknya, ongkos pemarutan dll bisa-bisa perliter membutuhkan modal Rp 9.000-, apakah mampu konsumen membeli
per liter dengan harga seperti itu sedangkan harga minyak goreng merk yang berkwalitas harganya jauh dibawah itu, jadi rasa-rasanya sulit untuk
memproduksi seperti permintaan dan saran dari Dinas terkait untuk menjual minyak murni menjadi minyak konsumsi sehari-hari
” Kecamatan Kahayan Kuala sangat potensial untuk pengembangan
agrobisnis kelapa untuk potensi alam yang sangat mendukung dan pasar baik di dalam maupun luar negri sangat membutuhkan hasil produksi buah kelapa, sangat
disayangkan apabila potensi yang ada berhenti tidak memberi manfaat yang sebesar- besarnya bagi kehidupan para petaninya, untuk itu perlu dianalisa faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan ketidakberhasilan lembaga APKI di Kecamatan ini. Dari analisis tersebut di atas, maka APKI di Kecamatan Kahayan Kuala
sesuai dengan teori dari Woolcock masuk dalam kategori dimensi kedua yaitu pertalian linkage, yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal, seperti
jejaring network dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan civic association yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik, dan agama.
Untuk mencapai dimensi ketiga dan keempat maka APKI di Kecamatan Kahayan Kuala perlu memperluas jaringan pemasarannya perlu kepastian hukum
dari kebijakan pemerintah tentang perluasan jaringan pemasaran sampai petani benar-benar mampu berkelanjutan memproduksi hasil dengan penuh semangat
karena adanya perlindungan dari pemerintah melalui kebijakan pemasaran yang tidak memberatkan bagi pengembangan usaha petani.
Hubungan Pengetahuan dan Ketrampilan dengan Sumber Daya Manusia dalam APKI di Kecamatan Kahayan Kuala
Kegiatan usaha yang dijalankan oleh APKI di Kecamatan Kahayan Kuala masih buruk karena usaha tidak dapat berlangsung sampai saat ini. Kegiatan dalam
kelompok APKI tidak melalui kesepakatan bersama, usaha hanya dijalankan oleh Ketua yang menjabat berbagai macam jabatan sehingga terkesan hanya dikuasai oleh
65 ketua APKI saja sedang anggota hanya diposisikan sebagai buruh Hal ini terjadi
karena:
1. Hubungan Pengetahuan dengan Kinerja SDM dalam APKI