EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN TIPE INSIDE OUTSIDE CIRCLE (IOC) DAN ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN IPS TERPADU UNTUK MENINGKATKAN RASA EMPATI SISWA DENGAN MEMPERHATIKAN INTELLIGENCE QUOTIENT (IQ) PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 20 BANDAR LAMPUNG TAHUN A

(1)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN TIPE INSIDE OUTSIDE CIRCLE (IOC) DAN ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN IPS TERPADU UNTUK MENINGKATKAN RASA EMPATI SISWA DENGAN

MEMPERHATIKAN INTELLIGENCE QUOTIENT (IQ) PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 20 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN

2014/2015

Oleh

AMALYA OUDRI WINDI MULYADI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran tipe inside outside circle dan role playing dalam pembelajaran IPS Terpadu untuk meningkatkan rasa empati siswa dengan memperhatikan tingkat intelligence quotient pada siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung tahun pelajaran 2014/2015.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen semu. Populasi dalam penelitian ini berjumlah dengan 210 orang siswa. Sampel dalam penelitian ini diambil berdasarkan cluster random sampling yaitu

berjumlah 69 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, angket, observasi dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pebedaan antara rasa empati siswa yang diberikan model pembelajaran inside outside circle dengan siswa yang diberikan model pembelajaran role playing, (2) rasa empati siswa yang diberikan model pembelajaran inside outside circle lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diberikan model pembelajaran role playing bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient tinggi dalam pembelajaran IPS Terpadu, (3) rasa empati siswa yang diberikan model pembelajaran role playing lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diberikan model pembelajaran inside outside circle bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient rendah dalam pembelajaran IPS Terpadu, dan (4) ada interaksi antara model pembelajaran dengan intelligence quotient terhadap rasa empati siswa.


(2)

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN TIPE INSIDE OUTSIDE CIRCLE (IOC) DAN ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN IPS TERPADU UNTUK MENINGKATKAN RASA EMPATI SISWA DENGAN

MEMPERHATIKAN INTELLIGENCE QUOTIENT (IQ) PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 20 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN

2014/2015

Oleh

AMALYA OUDRI WINDI MULYADI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Ekonomi

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 20 Maret 1994 dengan nama lengkap Amalya Oudri Windi Mulyadi. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Bapak Jin Mulyadi dan Ibu Wintarti.

Pendidikan formal yang diselesaikan penulis yaitu:

1. TK AL-Azhar 6 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1999 2. SD Al-Azhar 2 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005 3. SMP Al-Azhar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008 4. SMA Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011

Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung melalui jalur PMDK (SNMPTN UNDANGAN).


(7)

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Persembahan

Alhamdulillahirobbil alamin, segala puji untuk Mu Allah SWT

atas segala kemudahan, limpahan rahmat dan karunia yang Engkau berikan selama

ini. Dengan segala cinta dan kasih sayang kupersembahkan karya kecilku ini untuk

orang-orang yang akan selalu berharga dalam hidupku:

Bapak dan Ibu Tercinta

yang selalu berdo‟a untuk keberhasilanku dengan semangat dan kesabaran walaupun

air matamu terlalu sering luruh dalam keringatmu dengan penuh kasih sayang yang

tercurah.

Mbak ,

Adik dan Keluarga Besarku

karena kalian aku bisa bersemangat belajar dan bercanda ria.

Para Pendidikku

Atas bimbingan dan ajarannya hingga aku dapat melihat dunia dengan ilmu dan

mempunyai keberanian untuk menjalani hidup.

Sahabat – sahabatku

Menemaniku saat suka dan dukaku, memberi pengalaman serta menjadikan hari-hari

yang ku lalui lebih berwarna dengan kebersamaan.

Dia

Seorang laki-laki yang kelak akan menjadi imamku dan membawaku kedalam

surga-Nya.


(8)

Motto

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu

telah selsesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan

yang lain”

(Al-Insyirah, 6-7)

Man jadda wa jada (Siapa yang bersungguh-sungguh, dialah yang akan

berhasil)

(Pepatah Arab)

Cobalah tidak untuk menjadi seseorang yang sukses, tetapi menjadi

seseorang yang bernilai

(Albert Einstein)

„‟Bekerjalah untuk duniamu seaka

n kamu akan hidup selamanya, dan

beribadah lah untuk akherat mu seakan-

akan kamu akan mati besok”

(Al Hadist)

“Tidak ada yang mudah, tetapi tidak ada yang tidak mungkin”


(9)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbilalamin, dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, petunjuk, dan kemudahanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya sederhana ini dengan segala

kekurangan dan kelebihannya.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini, terdapat begitu banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan, baik redaksional, metode penelitian atau substansial. Untuk itu, penulis harapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai langkah perbaikan untuk penulis dalam menyusun karya ilmiah atau laporan lain dimasa mendatang.

Selesainya penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, motivasi, bimbingan dan saran dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unila.

2. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si., selaku pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUnila.

3. Bapak Dr. Hi. Buchori Asyik, M.Si.,selaku pembantu Dekan II Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUnila.


(10)

5. Bapak Drs. Zulkarnain, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unila. 6. Bapak Drs. Hi. Nurdin, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Ekonomi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unila dan selaku penguji yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta memberikan motivasi, arahan dan nasehat dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Dr. Hi. Eddy Purnomo, M.Pd., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta memberikan motivasi, arahan dan nasehat dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Drs. Yon Rizal, M.Si., selaku pembimbing II yang telah membantu mengarahkan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unila, terimakasih kepada ilmu yang telah diberika kepada penulis.

10. Ibu Dra. Hj. Listadora,M.Pd., selaku Kepala SMPN 20 Bandar Lampung dan Ibu/Bapak guru serta seluruh staf pengajar SMPN 20 Bandar Lampung, terima kasih telah memberikan kesempatan untuk mengajar dan

mengumpulkan data penelitian.

11. Bapak dan IbuTercinta, beribu-ribu kata terimakasih karena telah

mendoakanku dalam pengharapan - pengharapan yang pasti. Kesabaran, senyuman, air mata, tenaga dan pikiran tercurah disetiap perjuangan dan


(11)

orang tua yang ikhlas.

12. Seluruh keluarga besar, terutama adikku Aulya Bahari Windi Mulyadi, Mbak Maytasari, Kak Dedek, dan Papa Harto, terima kasih atas dukungan dan doanya selama ini.

13. Sahabat-sahabatku Rita Setiawati, Rinda Doni Febriani, Zania Paradiba dan semua angkatan 2011 terimakasih atas persaudaraan, semangat dan

kebersamaan yang terjalin selama ini.

14. Terimakasih untuk Om Herdi, Kak Wardani dan kakak-kakak 2009, 2010 serta adik tingkat yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. 15. Keluarga kecil PPL KKN yang tak akan pernah terlupa, Vincencia, Suci, Delfi, Liana, Ibu Wiwik dan Fero, terimakasih telah memberikan banyak pengalaman dan kebahagiaan, serta keluarga besar SMPN 1 Sumberejo. 16. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak

dapat di sebutkan satu persatu oleh penulis.

Semoga segala bantuan, bimbingan, dorongan dan doa yang diberikan kepada penulis mendapat ridho dari Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.Aamiin.

Bandar Lampung, Mei 2015 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman COVER DEPAN

ABSTRAK

COVER DALAM MENYETUJUI MENGESAHKAN SURAT PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP PERSEMBAHAN MOTTO

SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Identifikasi Masalah ... 12

1.3Pembatasan Masalah ... 13

1.4Rumusan Masalah ... 13

1.5Tujuan Penelitian ... 14

1.6Manfaat Penelitian ... 15

1.7Ruang Lingkup Penelitian ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS 2.1Tinjauan Pustaka ... 17

2.1.1 Pengertian Belajar ... 17

2.1.2 Intelligence Quotient (IQ) ... 21

2.1.3 Empati ... 24

2.1.4 Model Pembelajaran Cooperatif Learning ... 28

2.1.5 Model Pembelajaran Role Playing ... 31

2.1.6 Model Pembelajaran Inside Outside Circle (IOC) ... 39

2.2Penelitian yang Relevan ... 43

2.3Kerangka Pikir ... 45


(13)

III. METODE PENELITIAN

3.1Metode Penelitian ... 59

3.1.1 Desain Eksperimen ... 60

3.1.2 Prosedur Penelitian ... 62

3.2Populasi dan Sampel Penelitian ... 64

3.2.1 Populasi ... 64

3.2.2 Sampel ... 64

3.3Variabel Penelitian ... 65

3.3.1 Variabel Bebas (Independent) ... 65

3.3.2 Variabel Terikat (Dependent) ... 65

3.3.3 Variabel Moderator ... 65

3.4Definisi Konseptual Variabel ... 66

3.4.1 Empati ... 66

3.4.2 Intelligence Quotient (IQ) ... 66

3.4.3 Model Pembelajaran Role Playing ... 67

3.4.4 Model Pembelajaran Inside Outside Circle (IOC) ... 67

3.5Instrumen Penelitian ... 68

3.6Teknik Pengumpulan Data ... 68

3.7Uji Persyaratan Instrumen ... 70

3.7.1 Uji Validitas Instrumen ... 70

3.7.2 Uji Reliabilitas Instrumen ... 71

3.8Uji Persyaratan Analisis Statistik Parametrik ... 72

3.8.1 Uji Normalitas ... 72

3.8.2 Uji Homogenitas ... 72

3.9Teknik Analisis Data ... 73

3.9.1 T-Test Dua Sampel Independen ... 73

3.9.2 Analisis Varians Dua Jalan ... 75

3.10 Pengujian Hipotesis ... 77

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 79

4.1.1 Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 20 Bandar Lampung ... 79

4.1.2 Visi dan Misi SMP Negeri 20 Bandar Lampung ... 80

4.1.3 Sarana dan Prasarana SMP Negeri 20 Bandar Lampung ... 80

4.1.4 Keadaan Guru dan Karyawan SMP Negeri 20 Bandar Lampung ... 82

4.1.5 Kegiatan Ekstrakulikuler Siswa SMP Negeri 20 Bandar Lampung ... 83

4.2Deskripsi Data ... 84

4.2.1 Data Intelligence Quotient (IQ) Siswa ... 85

4.2.2 Data Intelligence Quotient Kategori Tinggi dan Rendah Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 88


(14)

4.2.4 Data Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol pada Intelligence Quotient Kategori

Tinggi dan Rendah ... 98

4.3Pengujian Persyaratan Statistik Parametrik (Analisis Data) ... 104

4.3.1 Uji Normalitas ... 104

4.3.2 Uji Homogenitas ... 106

4.4Pengujian Hipotesis ... 107

4.4.1 Pengujian Hipotesis 1 ... 109

4.4.2 Pengujian Hipotesis 2 ... 111

4.4.3 Pengujian Hipotesis 3 ... 112

4.4.4 Pengujian Hipotesis 4 ... 114

4.5Pembahasan ... 117

4.5.1 Ada perbedaan rasa empati siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran tipe inside outside circle dengan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran tipe role playing dalam pembelajaran IPS Terpadu pada siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung tahun ajaran 2014/2015 ... 117

4.5.2 Rasa empati siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inside outside circle lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran tipe role playing bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient tinggi dalam pembelajaran IPS Terpadu pada siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung tahun ajaran 2014/2015 ... 121

4.5.3 Rasa empati siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran role playing lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran inside outside circle bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient rendah dalam pembelajaran IPS Terpadu pada siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung tahun ajaran 2014/2015 ... 124

4.5.4 Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan intelligence quotient terhadap rasa empati siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu pada siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung tahun ajaran 2014/2015 ... 127

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 131

5.2Saran ... 132 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel ... Halaman 1. Kesenjangan Antara Harapan dengan Fakta yang

Terjadi Dilapangan ... 5

2. Klasifikasi Skor Intelligence Quotient (IQ) ... 23

3. Penelitian yang Relevan ... 43

4. Desain Penelitian ... 62

5. Kisi-Kisi Instrumen ... 68

6. Tingkat Besarnya Koefisien Korelasi ... 71

7. Rumus Unsur Persiapan Anava Dua Jalan ... 75

8. Visi dan Misi SMP Negeri 20 Bandar Lampung ... 80

9. Sarana Gedung ... 81

10.Sarana Penunjang ... 82

11.Jumlah Tenaga Kerja dan Staf TU SMP Negeri 20 Bandar Lampung ... 82

12.Data Tingkat Pendidikan Guru SMP Negeri 20 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2014/2015 ... 83

13.Distribusi Frekuensi IQ Siswa Kelas Eksperimen ... 85

14.Distribusi Frekuensi IQ Siswa Kelas Kontrol ... 87

15.Distribusi Frekuensi IQ Kategori Tinggi Kelas Eksperimen ... 89


(16)

19.Distribusi Frekuensi Hasil Angket Rasa Empati Siswa pada

Kelas Eksperimen ... 95

20.Distribusi Frekuensi Hasil Angket Rasa Empati Siswa pada Kelas Kontrol ... 96

21.Distribusi Frekuensi Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Eksperimen pada IQ Siswa Kategori Tinggi ... 98

22.Distribusi Frekuensi Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Eksperimen pada IQ Siswa Kategori Rendah ... 100

23.Distribusi Frekuensi Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Kontrol pada IQ Siswa Kategori Tinggi ... 102

24.Distribusi Frekuensi Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Kontrol pada IQ Siswa Kategori Rendah ... 103

25. Uji Normalitas Rasa Empati Siswa Kelas Eksperimen (Inside Outside Circle) dan Kontrol (Role Playing) ... 105

26.Rekapitulasi Uji Normalitas ... 106

27.Hasil Uji Homogenitas ... 106

28.Hasil Pengujian Hipotesis 1 ... 110

29.Hasil Pengujian Hipotesis 2 ... 111

30.Hasil Pengujian Hipotesis 3 ... 112

31.Hasil Pengujian Hipotesis 4 ... 114


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar ... Halaman

1. Paradigma Penelitian ... 57

2. Distribusi Frekuensi IQ Siswa Kelas Eksperimen ... 86

3. Distribusi Frekuensi IQ Siswa Kelas Kontrol ... 88

4. Distribusi Frekuensi IQ Kategori Tinggi Kelas Eksperimen ... 89

5. Distribusi Frekuensi IQ Kategori Rendah Kelas Eksperimen ... 91

6. Distribusi Frekuensi IQ Kategori Tinggi Kelas Kontrol ... 92

7. Distribusi Frekuensi IQ Kategori Rendah Kelas Kontrol ... 94

8. Distribusi Frekuensi Hasil Angket Rasa Empati Siswa pada Kelas Eksperimen ... 95

9. Distribusi Frekuensi Hasil Angket Rasa Empati Siswa pada Kelas Kontrol ... 97

10. Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Eksperimen pada IQ Siswa Kategori Tinggi ... 99

11. Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Eksperimen pada IQ Siswa Kategori Rendah ... 101

12. Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Kontrol pada IQ Siswa Kategori Tinggi ... 102

13. Hasil Angket Rasa Empati Siswa Kelas Kontrol pada IQ Siswa Kategori Rendah ... 104


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan

perubahan di dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Belajar

merupakan suatu perbuatan yang dilakukan secara sungguh-sungguh, dengan sistematis, mendayagunakan semua potensi yang dimiliki, baik fisik, mental serta dana, panca indra, otak dan anggota tubuh lainnya, demikian pula aspek-aspek kejiwaan seperti intelegensi, bakat, motivasi, minat, dan sebagainya.

Belajar bertujuan menambah pengetahuan dalam berbagai ilmu, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Selain itu, tujuan belajar adalah mengubah sikap dari negatif menjadi positif, misalnya seseorang yang tidak peduli menjadi peduli. Belajar juga bertujuan untuk mengubah kebiasaan yang buruk menjadi kebiasaan yang baik. Kebiasaan yang buruk adalah penghambat atau

perintang jalan menuju kesuksesan dan kebahagiaan. Cara menghilangkannya ialah dengan belajar melatih diri sendiri untuk menjauhi kebiasaan buruk dengan modal keyakinan dan tekad yang bulat.

Belajar dapat dilakukan melalui suatu pendidikan. Pendidikan tersebut dapat bersifat formal maupun informal. Pendidikan hingga saat ini masih dipercaya


(19)

sebagai sarana penting dalam membangun kecerdasan dan kepribadian masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pendidikan secara terus menerus dibangun dan dikembangkan agar menghasilkan lulusan yang unggul dan berkualitas, dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia.

Menurut Mulyasa (2008: 4), pendidikan juga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (nation caracter building).

Perlu pula ditekankan bahwa pendidikan itu bukanlah sekedar membuat peserta didik tahu akan ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan seni serta mampu mengembangkannya. Pendidikan juga menekankan pada peserta didik untuk menjadi sopan, taat, jujur, hormat, setia, dan sosial. Oleh karena itu,

pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan dengan sistematis guna mencapai tujuan yang berkaitan dengan pembentukkan karakter siswa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, peduli dengan sekitar, dan mampu berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut, salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah menerapkan kurikulum 2013 untuk setiap jenjang pendidikan pada semua mata pelajaran. Kurikulum 2013 saat ini sering disebut dengan pendidikan berkarakter.

Pendidikan karakter menurut Muslich (2011: 84) yaitu, “suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada siswa yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk menanamkan nilai-nilai perilaku yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri


(20)

sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

Oleh karena itu, pendidikan karakter seharusnya membawa siswa ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke prilaku secara nyata. Secara umum tujuan-tujuan pendidikan di Indonesia mencakup tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tujuan-tujuan tersebut hendaklah dikembangkan secara berimbang, optimal, dan integratif. Berimbang artinya perkembangan tiga ranah tersebut dilakukan dengan intensitas yang sama, yang proposional, dan tidak berat sebelah. Optimal maksudnya adalah setiap ranah itu dilayani perkembangannya sesuai dengan besar potensinya masing-masing. Sedangkan integratif menunjukkan perkembangan ketiga ranah tersebut dikaitkan satu dengan yang lain sehingga menjadi suatu keutuhan. (Pidarta, 2009: 17-18).

Ranah afektif merupakan salah satu ranah yang saat ini perlu di perhatikan oleh sekolah selain ranah kognitif dan psikomotorik. Ranah afektif

merupakan ranah yang berisi tentang perilaku-perilaku yang menekankan pada aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap terhadap sesuatu, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.

Salah satu mata pelajaran yang memiliki kecenderungan pada ranah afektif adalah IPS Terpadu. Ilmu pengetahuan sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang disiplin ilmu sosial seperti, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi atau antropologi, dsb. Ilmu pengetahuan sosial membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Ilmu pengetahuan sosial berusaha membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial masyarakatnya.


(21)

Tujuan utama IPS yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental yang positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang

menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa orang lain.

Berhubungan dengan ranah afektif dan tujuan utama IPS, seseorang harus lebih mampu untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini

berhubungan dengan rasa empati seseorang. Empati seseorang terhadap segala sesuatu yang berada di sekitarnya merupakan hal yang sangat penting untuk kehidupannya. Menurut Colley dalam Taufik (2012: 51), empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain. Aspek empati ini terdiri dari simpati, sensitivitas, dan sharing penderiataan yang dialami orang lain seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain. Selanjutnya Colley menambahkan, bahwa empati sebagai aspek afektif merupakan suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain.

Empati memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari karena dalam empati terdapat bagaimana cara kita untuk mampu berinteraksi dengan orang lain khususnya dalam menerima, menghargai, bertingkah laku dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Selain itu, empati merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam melakukan hubungan antar pribadi dengan coba memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau


(22)

perasaan lawan bicara. Rasa empati membiasakan untuk ikut merasakan dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Rasa empati seseorang tidak hanya membantu terjadinya perubahan secara konstruktif, tetapi juga menolong orang tersebut mengembangkan pribadinya ke arah yang positif. Manfaat empati bagi seorang siswa merupakan hal yang penting karena rasa empati merupakan salah satu aspek hasil belajar untuk ranah afektif. Hasil belajar ini dilihat dari segi bagaimana siswa tersebut mampu menerima, menghargai, dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain disekitarnya.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap guru mata pelajaran IPS Terpadu dan siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung, rasa empati yang tampak pada siswa adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Kesenjangan Antara Harapan dengan Fakta yang Terjadi Dilapangan

No. Fakta yang terjadi dilapangan Kondisi yang diharapkan 1 Masih banyak siswa yang belum mampu

berempati secara emosi. Misalnya hingga menangis melihat orang yang sedang mengalami musibah, baik itu musibah kematian atau musibah bencana alam.

Siswa mampu berempati dengan melibatkan emosionalnya.

2 Masih banyak siswa yang belum memiliki rasa simpati terhadap siswa lain. Misalnya, mengucapkan selamat atas keberhasilan orang lain, seperti menang dalam suatu lomba dan

menendaptkan juara umum di sekolah.

Siswa memiliki rasa simpati yang lebih baik lagi terhadap siswa yang lainnya.

3 Tingkat sensitivitas (kepekaan) pada siswa masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari respon sebagian siswa yang masih rendah ketika mendengar kabar bahwa ada teman mereka yang sakit. Sebagian siswa tidak berempati untuk menjenguknya.

Siswa memiliki

sensitivitas (kepekaan) yang lebih baik lagi terhadap apa yang orang lain rasakan.


(23)

Tabel Lanjutan

4 Sebagian siswa yang mengalami kebahagiaan, kesedihan atau kesulitan, lebih memilih sharing dengan keluarga atau sahabat yang dianggap paling dekat. Hal ini dikarenakan rasa dekat antar siswa satu dengan yang lain masih sangat kurang

Siswa mampu

membangun kedekatan dengan siswa yang lain sehingga siswa mampu berbagi kesedihan atau sekedar bercerita tentang apa yang ia rasakan kepada orang lain. Sumber : Wawancara dengan guru mata pelajaran IPS dan siswa kelas VIII

SMP Negeri 20 Bandar Lampung

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa rasa empati siswa dikelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung masih tergolong rendah. Rasa empati siswa yang masih tergolong rendah diduga berhubungan dengan model pembelajaran yang digunakan dalam suatu proses pembelajaran dan tingkat intelligence quotient siswa.

Saat ini pola pembelajaran yang diterapkan di beberapa sekolah, terutama dalam penggunaan model pembelajaran masih bersifat konvensional atau berpusat pada guru (teacher centered). Penggunaan model yang seperti ini menyebabkan siswa menjadi bosan dalam pembelajaran tersebut, karena suasana yang monoton dan tidak menarik. Sehingga menyebabkan siswa menjadi kurang aktif dan kurang mengembangkan potensi yang dimilikinya. Selain itu, interaksi antar siswa kurang optimal, karena proses pembelajaran yang masih bersifat satu arah, yaitu hanya antara guru dan siswa saja. Interaksi antar siswa yang kurang optimal akan berpengaruh terhadap hubungan antar siswa. Misalnya, akan timbul rasa kurang peduli, rasa saling kurang menghargai dan menghormati, dan rasa saling menerima satu sama lain.


(24)

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah terutama guru untuk menangani masalah ini adalah penerapan model pembelajaran yang bersifat cooperatif learning. Pembelajaran yang bersifat cooperatif learning akan membantu guru terutama siswa dalam pembelajaran yang lebih baik dan menarik. Bagi guru penerapan model pembelajaran seperti ini akan lebih meringankan guru dalam memberikan materi didalam kelas, karena aktivitas pembelajaran dalam model ini lebih banyak berpusat pada siswa (student centered) . Sedangkan bagi siswa, pembelajaran akan lebih menarik jika menggunakan model pembelajaran yang bersifat cooperatif learning, karena siswa akan lebih aktif dalam kegiatan belajar sehingga siswa akan lebih mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Interaksi antar siswa pun akan lebih optimal, karena dalam penerapan cooperatif learning, banyak aktivitas pembelajaran yang bersifat kelompok.

Oleh karena itu, rancangan pembelajaran guru hendaknya diarahkan dan difokuskan sesuai dengan kondisi dan perkembangan potensi siswa, tidak hanya difokuskan pada hasil belajar kognitif saja melainkan pada hasil belajar ranah afektif juga. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar berguna dan bermanfaat bagi siswa kedepannya.

Penggunaan model pembelajaran dalam suatu aktivitas belajar juga sangat mempengaruhi dalam mengembangkan rasa empati siswa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian empati siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu. Untuk melakukan penilaian empati siswa ini tentunya sangat tergantung pada model pembelajaran apa yang diberikan kepada siswa.


(25)

Penilaian rasa empati siswa dapat dinilai dengan menggunakan model pembelajaran yang mengandung unsur empati. Menurut Sani (2013: 108 ) model pembelajaran yang mengandung unsur empati adalah model pembelajaran yang berfokus pada bermain peran dan model pembelajaran yang bersifat stimulus. Model pembelajaran yang berfokus pada bermain peran yaitu role playing dan model pembelajaran inside outside circle. Model pembelajaran role playing (bermain peran) adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu

bergantung kepada apa yang diperankan. Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi.

Hal ini didukung oleh pendapat Hamzah (2010: 25), yang menyatakan bahwa. “Model pembelajaran bermain peran (role playing ) adalah model yang pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik ke dalam suatu situasi permasalahan kehidupan nyata, kedua bahwa bermain peran dapat mendorong murid mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskan, ketiga bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai dan keyakinan kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui

keterlibatan spontan yang disertai analisis”.

Pendapat tersebut mengartikan bahwa melalui bermain peran, siswa belajar untuk menggunakan pengalaman, lalu siswa imajinasikan dan adanya penghayatan dari siswa. Selain itu, siswa belajar untuk melibatkan

emosionalnya, dan pengamatan indera terhadap apa yang terjadi disekitarnya, termasuk dengan apa yang terjadi pada orang-orang disekelilingnya.


(26)

Proses yang terjadi dalam model pembelajaran role playing (bermain peran) memberikan manfaat pada kehidupan sehari-hari siswa untuk : (1)

menggunakan pengalaman siswa dalam situasi pembelajaran, (2) mengungkapkan perasaan-perasaanya yang tak dapat mereka kenali, (3) melibatkan emosionalnya dan ide-ide dalam situasi belajar, (4) melibatkan proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap, nilai-nilai, dan perasaan-perasaan siswa, dan (5) membantu siswa dalam

menempatkan dirinya dalam lingkungan disekitarnya, khususnya lingkungan sekolah.

Model pembelajaran role playing (bermain peran) ini dapat dengan mudah dilakukan pada siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient yang rendah, karena penerapan model ini berfokus pada bermain peran dimana siswa mampu mengimajinasikan setiap peran yang akan diperankannya namun tidak terikat pada skenario yang telah disiapkan. Siswa mampu secara bebas bermain peran walau hanya menggunakan imajinasi mereka saja. Sehingga untuk melakukannya tidak terlalu membutuhkan tingkat pemahaman yang tinggi, selain itu model pembelajaran role playing ini menunjang dalam pengembangan siswa yang memiliki rasa empati yang rendah dalam pembelajaran IPS Terpadu. Selain model pembelajan role playing (bermain peran), terdapat model pembelajaran yang ikut menunjang dalam meningkatkan rasa empati siswa yaitu model pembelajaran inside outside circle.


(27)

Model pembelajaran inside outside circle merupakan model pembelajaran yang didalamnya terdapat pengarahan, pembuatan kelompok heterogen, dengan membentuk lingkaran besar dan lingkaran kecil, dimana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan benar. Model pembelajaran ini juga melibatkan banyak siswa yang menelaah materi yang tercakup dalam suatu pembelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Terlibatnya siswa dalam jumlah yang banyak membantu siswa untuk berinteraksi dengan siswa satu dengan yang lainnya, tidak hanya dengan siswa yang itu-itu saja.

Hal ini juga didukung oleh pendapat Ibrahim (2000: 7), bahwa inside outside circle digunakan dalam pembelajaran sebagai usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap

kepemimpinan, perasaan, kepedulian, dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya.

Oleh karena itu, model pembelajaran inside outside circle merupakan suatu model pembelajaran yang didalamnya terdapat cara bagaimana siswa untuk bersikap, berinteraksi dengan siswa lain, berpartisipasi dalam suatu

kelompok,mengelola perasaannya, menunjukkan kepeduliannya, menjadi seorang pemimpin dan membuat keputusan dalam suatu kelompok dan

kemampuan untuk bekerjasama. Hal ini sangat berpengaruh pada peningkatan rasa empati siswa yang masih tergolong rendah agar menjadi lebih baik lagi khususnya bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient yang tinggi, karena dalam penerapan model inside outside circle terdapat beberapa aspek seperti aktivitas pembelajaran yang tergolong rumit dan langkah-langkah pembelajaran yang tergolong susah untuk diterapkan pada siswa yang


(28)

memiliki tingkat intelligence quotient rendah karena dalam penerapannya memerlukan pemahaman yang cukup tinggi sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara optimal.

Menurut Slameto (2010: 56), intelegensi memberikan pengaruh yang besar dalam hasil belajar siswa. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Gardner dalam Santrock (2011: 158), beliau menyatakan bahwa dalam intelligence quotient tidak hanya berpusat pada hasil belajar atau kemampuan siswa untuk ranah kognitif saja. Beliau menyatakan bahwa dalam intelligence quotient, terdapat keterampilan bagaimana seseorang khususnya siswa untuk memahami diri sendiri dan memahami orang lain.

Keadaan sesungguhnya di sekolah menunjukkan bahwa dalam kaitannya antara tingkat intelligence quotient dengan rasa empati siswa, seringkali ditemukan beberapa siswa yang memiliki rasa empati yang tinggi dan rasa empati yang rendah. Keadaan siswa yang demikian itu karena adanya perbedaan intelegensi yang ditunjukkan dengan perbedaan intelligence quotient antara siswa yang satu dengan yang lain. Berarti perbedaan intelegensi yang ditunjukkan melalui intelligence quotient seseorang akan menunjukkan adanya perbedaan rasa empati siswa.

Intelligence quotient merupakan suatu ukuran dalam intelegensi yang dimiliki oleh setiap manusia. Intelegensi sendiri merupakan kemampuan dari dalam diri seseorang dalam menghadapi suatu permasalahan sehingga seringkali dikatakan bahwa intelegensi seseorang akan memberikan kemungkinan bergerak dan berkembang dalam suatu bidang tertentu dalam kehidupannya.


(29)

Intelegensi juga merupakan komponen yang dapat membedakan kemampuan siswa dalam memahami diri sendiri dan memahami serta peduli terhadap orang lain yang ada disekitarnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Model Pembelajaran Tipe Inside Outside Circle (IOC) dan Role Playing Dalam Pembelajaran IPS Terpadu Untuk Meningkatkan Rasa Empati Siswa Dengan Memperhatikan Intelligence Quotient (IQ) Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2014/2015”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Penerapan cooperatif learning yang diterapkan oleh sekolah belum berjalan secara optimal.

2. Ranah afektif yang kurang diperhatikan oleh sekolah.

3. Rasa empati siswa sebagai salah satu bagian dari ranah afektif yang masih tergolong rendah.

4. Kurangnya penerapan berkelompok pada siswa dalam kelas. Sehingga interaksi antar siswa satu dengan yang lain kurang optimal.


(30)

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, maka masalah-masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal meningkatkan rasa empati siswa dengan membandingkan efektivitas dari model pembelajaran inside outside circle dan model pembelajaran role playing dengan memperhatikan pengaruh variabel moderator yaitu intelligence quotient.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah.

1. Apakah terdapat perbedaan rasa empati siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran inside outside circle dengan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran role playing dalam pembelajaran IPS Terpadu ?

2. Apakah rasa empati siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inside outside circle lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran role playing bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotien tinggi dalam pembelajaran IPS Terpadu ? 3. Apakah rasa empati siswa yang pembelajarannya menggunakan model

pembelajaran role playing lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran inside outside circle bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient rendah dalam pembelajaran IPS Terpadu ?


(31)

4. Apakah terdapat interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan intelligence quotient terhadap rasa empati siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu ?

1.5 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian adalah.

1. Untuk mengetahui perbedaan rasa empati siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran inside outside circle dengan siswa yang diajar

menggunakan model pembelajaran role playing dalam pembelajaran IPS Terpadu.

2. Untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran inside outside circle dan role playing dalam hasil belajar afektif khususnya rasa empati siswa bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient tinggi dalam pembelajaran IPS Terpadu.

3. Untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran inside outside circle dan role playing dalam hasil belajar afektif khususnya rasa empati siswa bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient rendah dalam pembelajaran IPS Terpadu.

4. Untuk mengetahui interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan intelligence quotient terhadap rasa empati siswa dalam mata pelajaran IPS Terpadu.


(32)

1.6 Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat dari penelitian ini adalah.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bahwa model pembelajaran merupakan salah satu hal penting yang mempengaruhi rasa empati siswa.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi bagi.

a. Guru, diharapkan guru dapat lebih kreatif dan inovatif dalam

mengembangkan proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran dalam peningkatkan rasa empati siswa.

b. Siswa, diharapkan dapat meningkatkan rasa empati terhadap lingkungan sekitarnya.

c. Sekolah, untuk bahan masukan dalam rangka ikut memperhatikan penilaian afektif.

d. Peneliti bidang yang sejenis, sebagai salah satu bahan referensi dalam mengembangkan penelitian selanjutnya.


(33)

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah. 1. Ruang Lingkup Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah model pembelajaran inside outside circle, role playing sebagai variabel independen, intelligence quotient sebagai variabel moderator dan rasa empati siswa sebagai variabel dependen.

2. Ruang Lingkup Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII . 3. Ruang Lingkup Tempat Penelitian

Adapun ruang lingkup tempat penelitian ini adalah SMP Negeri 20 Bandar Lampung.

4. Ruang Lingkup Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah semester ganjil tahun pelajaran 2014/2015. 5. Ruang Lingkup Ilmu


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Belajar

Hilgard dan Bower dalam Dalyono (2012: 211) mengartikan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu. Sejalan dengan Hilgard dan Bower, menurut Croubach dalam Dalyono (2012: 212) merumuskan belajar sebagai perubahan tingkah laku yang tampak dari seseorang sebagai akibat dari pengalaman. Djamarah dkk (2006: 15-16) menjelaskan bahwa ciri-ciri belajar sebagai berikut.

a. Perubahan yang terjadi secara sadar.

b. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional. c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara. e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah. f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.

Belajar merupakan suatu proses usaha seseorang untuk memperoleh suatu perubahan, untuk memperoleh perubahan tersebut harus ada upaya untuk mencapainya. Mengetahui bagaimana cara seseorang belajar merupakan cara yang dapat membantu kita memahami bagaimana suatu proses usaha seseorang dalam memperoleh suatu perubahan. Teori belajar merupakan


(35)

upaya untuk menjelaskan bagaimana proses dalam belajar. Menurut Siregar (2011: 25) ada tiga teori belajar yang bersumber dari teori atau aliran-aliran psikologi yang kemudian berkembang secara beruntun, dari periode ke periode berikutnya yaitu teori belajar behavioristik, teori belajar kognitive, dan teori belajar humanistik. Berikut uraian garis besar

mengenai teori-teori belajar tersebut.

1) Teori Belajar Behaviouristik

Teori behaviouristik menerangkan bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman/ganjaran. Perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Belajar merupakan perubahan tingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.

Menurut Watson (1970) dalam Siregar (2011: 27) menyatakan bahwa dalam teori behavioristik, “belajar merupakan segala perubahan tingkah laku yang dapat dilakukan melalui latihan atau membiasakan mereaksi terhadap stimulus-stimulus yang diterima”.

Sejalan dengan Watson, menurut Thorndike dalam Siregar (2011: 28)

menyatakan bahwa “belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan


(36)

respon (yang mungkin juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau

gerakan)”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa teori

behavioristik, belajar diartikan sebagai perubahan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Oleh sebab itu, teori behavioristik berhubungan dengan model pembelajaran role playing karena dalam teori ini menekankan siswa untuk dapat berinteraksi dengan baik dan mengenal lingkungan mereka serta bagaimana melakukan peran mereka di dalam suatu kehidupan.

2) Teori Belajar Kognitive

Menurut Bruner mengenai teori kognitif dalam Siregar (2011: 33) menyatakan bahwa, “proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya”.

Sejalan dengan Bruner, menurut Gagne dalam Siregar (2011: 31)

menyatakan bahwa, “belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa, usaha itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktikan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa teori kognitive lebih menekankan proses belajar daripada hasil belajar karena dalam teori kognitive ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang


(37)

melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Selain itu, dalam teori kognitive belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.

3) Teori Belajar Humanistik

Carl Rogers dalam Siregar (2011: 37) menyatakan bahwa dalam teori

belajar humanistik, “siswa yang belajar hendaknya tanpa dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas, siswa diharapkan dapat mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya sendiri. Proses pembelajaran ini bertujuan agar lebih dapat

memanusiakan siswa, misalnya siswa akan lebih bertanggung jawab”.

Pendapat tersebut didukung oleh Hamachek dalam Dalyono (2012: 148) yang menyatakan bahwa, “tujuan utama para pendidik ialah membantu si siswa mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka”.

Menurut Dalyono (2012: 149), “ada dua bagian pada proses pembelajaran yaitu, pemerolehan informasi baru dan personalisasi (penggunaan informasi pada individu tersebut). Siswa dalam memperoleh informasi dan menggunakan informasi tersebut harus mampu berinteraksi dengan lingkungannya maupun dengan sesama manusia. Hal ini dimaksudkan agar informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik sehingga dalam penggunan informasi tersebut dapat digunakan secara optimal”.

Sejalan dengan uraian diatas, menurut Habernas dalam Siregar (2011: 36 ) mengenai teori humanistik, “belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia”.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa teori belajar humanistik menekankan proses belajar harus dimulai dan ditunjukkan


(38)

untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Selain itu, teori ini tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Oleh sebab itu, teori humanistik berhubungan dengan model pembelajaran inside outside circle karena dalam teori ini siswa dituntut untuk bekerjasama dengan baik dalam penyampaian informasi berupa materi pembelajaran serta dapat mengembangkan potensi dan ide-ide dalam pembelajaran.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan dan teori-teori belajar yang ada, maka dapat dikemukakan bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi untuk memperoleh tingkah laku sebagai hasil

pengalamannya sendiri secara keseluruhan dalam interaksi di

lingkungan. Apabila terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar dapat dikatakan berhasil, dan sebaliknya belajar tidak dikatakan

berhasil bila tidak terjadi perubahan dalam diri individu.

2.1.2 Intelligence Quotient (IQ)

Intelligence quotient sering disebut dengan kecerdasan intelektual. Intelligence quotient merupakan salah satu faktor intern yang

mempengaruhi keberhasilan seorang siswa. Perkembangan intelegensi seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik diturunkan sedangkan faktor lingkungan adalah semua faktor diluar kita.


(39)

Menurut Piaget dalam Alder (2001: 45), kecerdasan intelektual itu terbentuk karena adaptif antara fungsi-fungsi biologis dengan lingkungan. Menurut Heidentich dalam Dalyono (2012: 184), intelegensi menyangkut

kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah-masalah.

Ada beberapa teori mengenai intelegensi, salah satunya adalah teori

Gardner. Menurut Gardner dalam Santrock (2011: 158) intelegensi manusia memiliki tujuh dimensi yaitu, “(1) Kecerdasan Musik (Musical

Intelligence), (2) Kecerdasan Gerakan Badan (Bodily-Kinesthetic

Intteligence), (3) Kecerdasan Logika Matematika (Logical-Mathematical Intteligence), (4) Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence), (5) Kecerdasan Ruang (Spatial Intteligence), (6) Kecerdasan Antarpribadi (Interpersonal Intteligence), dan (7) Kecerdasan Intrapribadi (Intrapersonal Intelligence).

Setiap dimensi tersebut, merupakan kompetensi yang eksistensinya berdiri sendiri dalam suatu system. Artinya, memiliki fungsi yang berdiri sendiri bukan hanya terbatas pada ranah intelektual. Intelegensi berasal dari kata intelligence yang artinya menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Menurut Stern dalam Soemanto (2006: 143), intelegensi ialah daya

menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan mempergunakan alat berfikir menurut tujuannya. Dengan demikian, orang yang intelegensinya lebih tinggi akan lebih cepat menyesuaikan diri dengan masalah yang dihadapinya dibandingkan dengan orang yang intelegensinya rendah.

Menurut Djaali (2008: 74), faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi seseorang, yaitu.

a. Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir.


(40)

b. Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.

c. Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang yng mempengaruhi perkembangan intelegensi.

d. Faktor kematangan, dimana organ dalam tiap tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan.

e. Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Semua faktor tersebut bersangkut paut satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang siswa, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut. Intelegensi adalah faktor total.

Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.

Menurut Woodworth dan Marque dalam Soemanto (2006: 154), klasifikasi tingkatan intelegensi manusia adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Klasifikasi Skor Intelligence Quotient (IQ)

No Skor IQ Klasifikasi

1 140 – ke atas Genius (luar biasa)

2 120 – 139 Very Superior (amat cerdas)

3 110 – 119 Superior (cerdas)

4 90 – 109 Normal (rata-rata)

5 80 – 89 Dull (bodoh)

6 70 – 79 Border Line (batas potensi)

7 50 – 69 Morrons (debiel)

8 30 – 49 Embicile (embisel)

9 Di bawah 30 Idiot

Berdasarkan tingkat intelligence quotient (IQ) diatas, Slameto (2008: 120) memberikan ciri-ciri mental intelektual anak yang pandai sebagai usia mental lebih tinggi daripada rata-rata anak normal, daya tangkap, dan

pemahaman lebih cepat dan luas. Dapat berbicara lebih dini, kreatif, mandiri dalam belajar serta mempunyai cara belajar yang khas. Slameto (2008: 183)


(41)

menambahkan bahwa “anak yang normal kecerdasannya biasanya dapat mengkoordinasikan situasi atau masalah dan berfikir logis, mengerti

hubungan sebab akibat, memecahkan masalah atau berfikir secara alamiah”.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyatakan bahwa intelligence quotient mempengaruhi bagaimana seseorang siswa dalam bersikap, bertingkah laku dan memberi respon. Hal ini terlihat dari pernyataan diatas, bahwa IQ memberikan hasil pada bidang sosial. Artinya, tingkat intelegensi seseorang juga dapat mempengaruhi tentang bagaimana seseorang dalam bersikap, bertingkah laku dan memberikan respon terhadap sekelilingnya.

2.1.3 Empati

a. Pengertian Empati

Menurut Wispe (1987) dalam Taufik (2012: 39) kajian empati awalnya terfokus pada isu-isu yang terkait dengan perilaku menolong. Selanjutnya Kerbs (1995) dalam Taufik (2012: 39), menemukan bahwa respon-respon empati dapat dikaitkan dengan altruisme (perilaku menolong) ketika menggunakan pengukuran-pengukuran psikologis yang berkaitan dengan empati.

Sejalan dengan Allport (1965) dalam Taufik (2012: 39) mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran,

perasaan, dan perilaku orang lain. Berbeda dengan Allport, menurut Kohut (1997) dalam Taufik (2012: 40) melihat empati sebagai suatu proses dimana seseorang berfikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan ia berada diposisi orang lain itu. Selanjutnya, Kohut


(42)

melakukan penguatan atas definisinya itu dengan mengatakan bahwa empati adalah kemampuan berfikir objektif tentang kehidupan terdalam dari orang lain.

Sementara itu, Carl Rogers (1951) dalam Taufik (2012: 40) membagi dua konsepsi mengenai empati. Pertama, dia menulis empati adalah melihat kerangka berfikir internal orang lain secara akurat. Kedua, dalam memahami orang lain tersebut individu seolah-olah masuk kedalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain itu, tetapi tanpa kehilangan identitasnya dirinya sendiri.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan

didasarkan oleh yang bersangkutan terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.

b. Komponen-komponen Empati

Menurut Duan and Hill (1996) dalam Taufik (2012: 43) pada prinsipnya empati adalah fenomena kognitif dan efektif. Selain kedua komponen tersebut, beberapa teoretikus seperti Ridley dan Lingle (1996) dalam Taufik (2012: 43) menambahkan aspek komunikatif sebagai faktor ketiga. Komponen komunikatif sebagai jembatan yang menghubungkan keduanya, atau sebagai media ekspresi realisasi dari komponen kognitif dan afektif.

Berikut adalah uraian secara garis besar mengenai komponen-komponen dalam empati, yaitu.


(43)

1. Komponen Kognitif

Komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Hal ini diperkuat oleh

Hoffman dalam Taufik (2012: 44) yang menyatakan bahwa, “proses kognitif sangat berperan penting dalam proses empati”.

Selanjutnya Hoffman, mendefinisikan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi melalui pengalaman-pengalaman. Sejalan dengan Hoffman, menurut Fesbach dalam Taufik (2012: 44) mendefinisikan aspek kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa komponen-komponen kognitif merupakan perwujudan dari multiple dimensions, seperti kemampuan seseorang dalam

menjelaskan suatu perilaku, kemampuan untuk mengingat jejak-jejak intelektual dan verbal tentang orang lain, dan kemampuan untuk membedakan atau menselaraskan kondisi emosional dirinya dengan orang lain.

Selain itu, konsep-konsep dasar mengenai komponen kognitif tersebut menjadi referensi bahwa komponen perceptual atau kognitif sangat berperan penting dalam berempati. Tanpa kemampuan kognitif yang memadai seseorang akan selalu meleset dalam memahami kondisi


(44)

orang lain (incongruence). Karena realitas-realitas sosial yang dia tangkap tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.

2. Komponen Afektif

Colley dalam Taufik (2012: 51) menyatakan bahwa, “empati pada

komponen afektif terdiri dari simpati, sensitivitas, dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang diimajinasikan seakan-akan

dialami oleh diri sendiri”.

Sejalan dengan Colley, menurut Eisenberg dalam Taufik (2012: 51)

menyatakan bahwa, “terdapat dua komponen afektif yang diperlukan untuk terjadinya pengalaman empati, yaitu kemampuan untuk

mengalami secara emosi dan tingkat reaktivitas emosional yang memadai. Komponen tersebut merupakan kecenderungan individu untuk bereaksi secara emosional terhadap situasi-situasi yang dihadapi, termasuk emosi yang tampak pada orang lain”.

Hal ini didukung oleh pernyataan Fesbach dalam Taufik (2012: 50)

yang menyatakan bahwa, “pada prinsipnya empati adalah sebuah

pengalaman”.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukan bahwa empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain.

3. Komponen Komunikatif

Munculnya komponen ketiga ini didasarkan pada asumsi Ridley dalam Taufik (2012: 53) yang menyatakan bahwa, “komponen kognitif dan afektif akan tetap terpisah bila keduanya tidak terjalin


(45)

komunikasi. Oleh karena itu, komponen komunikatif diperlukan

dalam menghubungkan komponen kognitif dan komponen afektif”.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa kompenen komunikatif adalah perilaku yang mengekpresikan perasaan-perasaan empatik terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan.

2.1.4 Model Pembelajaran Cooperatif Learning

a. Pengertian Model Pembelajaran Cooperatif Learning

Pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi peserta didik merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Salah satu model pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran cooperatif learning. Menurt Lie dalam Isjoni (2012: 45) menyatakan bahwa: “cooperatif learning disebut dengan istilah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur”.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Solihatin (2007: 23) yang

menyatakan bahwa, “cooperatif learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang terarur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri”.

Lebih lanjut Slavin (2010: 91) menyatakan bahwa: “cooperatif learning adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri 4 sampai 6 orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Selanjutnya dikatakan pula, keberhasilan belajar dari


(46)

kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil dikemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran gotong royong yang mendorong peningkatan kemampuan peserta didik dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran berlangsung, karena peserta didik dapat bekerjasama dengan siswa lain dalam

menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap meteri pelajaran yang dihadapi. Selain itu, model pembelajaran cooperatif learning dapat diterapkan untuk memotivasi siswa berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan

pendapat (sharing ideas). Oleh karena itu, cooperatif learning sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat bekerjasama dan saling tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapi.

b. Tujuan Model Pembelajaran Cooperatif Learning

Pembelajaran kooperatif dapat dikatakan berhasil apabila peserta didik dapat mencapai tujuan mereka dengan saling membantu. Setiap peserta didik memiliki andil dalam menyumbang pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Menurut Ibrahim (2000: 7) terdapat tujuan-tujuan penting dalam pembelajaran cooperatif learning yaitu.

1. Hasil belajar akademik,

2. Penerimaan terhadap keragaman, dan 3. Pengembangan keterampilan sosial.


(47)

c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Cooperatif Learning

Model pembelajaran cooperatif learning memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya pada suatu kegiatan pembelajaran. Menurut Sanjaya (2010: 247) kelebihan dari model pembelajaran kooperatif yaitu.

1. Melalui model pemebelajaran kooperatif peserta didik tidak terlalu bergantung pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berfikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber dan belajar dari peserta didik yang lain.

2. Model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan menungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata verbal dan

membandingkan dengan ide-ide yang lain.

3. Model pembelajaran kooperatif dapat membantu peserta didik untuk respect pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasan serta menerima segala perbedaan.

4. Model pembelajaran kooperatif membantu setiap peserta didik untuk lebih bertanggungjawab dalam belajar.

5. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akedemik sekaligus kemampuan sosial , termasuk mengembangkan rasa harga diri orang lain,

mengembangkan keterampilan mengatur waktu dan sikap positif. 6. Melalui model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan

peserta didik untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri,dan menerima umpan balik. Peserta didik dapat berpraktik dalam memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah bentuk tanggung jawab.

7. Model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan peserta didik menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata.

8. Interaksi selama model pembelajaran kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berfikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang.

Selain memiliki kelebihan, model pembelajaran kooperatif mempunyai kekurangan. Menurut Sanjaya (2010: 247) kekurangan dari model pembelajaran kooperatif antara lain.


(48)

1. Untuk memahami dan mengerti model pembelajaran kooperatif membutuhkan waktu. Untuk peserta didik yang memiliki kekurangan, mereka akan merasa terlambat dengan adanya peserta didik yang dianggap kurang memiliki kemampuan.

2. Penilaian yang diberikan dalam model pembelajaran kooperatif didasarkan kepada hasil belajar kelompok.

3. Keberhasilan model pembelajaran kooperatif dalam upaya

mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan waktu yang cukup panjang dan tidak mungkin dapat tercapai hanya dengan satu kali atau sekali-kali penerapan strategi ini.

4. Walaupun kemampuan bekerjasama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan peserta didik, akan tetapi banyak aktifitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuan secara individu. Oleh karena itu, idealnya melalui belajar bekerja sama, peserta didik juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri. Untuk mencapai kedua hal itu penerapan pmodel pembelajaran kooperatif memang bukan pekerjaan yang mudah.

2.1.5 Model Pembelajaran Role Playing

a. Pengertian Model Pembelajaran Role Playing

Menurut Huda (2013: 209) “role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa dilakukan

dengan memerankan diri sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan oleh lebih satu orang, bergantung pada apa yang diperankan”.

Sejalan dengan Huda, menurut Sagala (2011: 213) role playing atau sosiodrama adalah cara menyajikan bahan pelajaran dengan

mempertunjukkan dan mempertontonkan atau mendramatisasikan cara atau tingkah laku dalam hubungan sosial.

Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa role playing adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memainkan peranan dalam bentuk kegiatan sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. Role playing merupakan suatu jenis teknik bermain peran yang


(49)

sering digunakan untuk melatih ketrampilan sosial dan hubungan sosial siswa dan memahami tema yang terkandung dalam suatu peristiwa atau kejadian yang diperankan.

Role playing sebagai suatu model mengajar merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar dan diskusi tentang peran dalam suatu kelompok. Ketika pembelajaran dalam kelas dilaksanakn, suatu masalah

diperagakan secara singkat sehingga murid-murid bisa memahami cerita yang diperankan. Permainan peran dapat menciptakan rasa kebersamaan dalam kelas, dengan memerankan peranan tertentu, siswa belajar saling percaya dan menganalisa cerita yang dimainkan, sehingga membangun persahabatan yang tidak ditemui dalam model mengajar lainnya.

b. Bentuk-bentuk Model Pembelajaran Role Playing

Penerapan model role playing dalam pembelajaran di kelas dapat

dilakukan dalam beberapa bentuk, sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan siswa dalam memainkan peranan. Adapun bentuk-bentuk Model role playing menurut Ramayulis (2010: 347) adalah sebagai berikut.

1. Permainan bebas.

2. Melakonkan suatu cerita.

3. Sandiwara boneka dan wayang.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa model role playing dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan ketersediaan


(50)

waktu, kompleksitas materi pelajaran dan kemampuan guru dan siswa dalam merancang skenario yang direncanakan. Adapun penjelasan secara garis besar dari masing-masing bentuk role playing dijelaskan sebagai berikut.

1. Permainan Bebas

Permainan bebas adalah salah satu bentuk model role playing yang tidak menggunakan skenario cerita sebagai acuan. Menurut Ramayulis (2010: 347), “pendidik hanya mengemukakan cerita dan memberikan sedikit pengarahan, kemudian peserta didik melakukan sesuai dengan apa yang dapat diserapnya menurut fantasi dan imajinasinya sendiri”. Berdasarkan model di atas, maka kegiatan siswa dalam memerankan cerita bersifat spontan, tanpa bermaksud mengundang orang lain melihat pertunjukan yang dilakukan. Penerapan dalam model role playing bermain bebas siswa mengekspresikan imajinasinya tanpa khawatir terkena sanksi, sebatas ekspresi siswa sesuai dengan materi yang terkandung dalam pembelajaran.

2. Melakonkan Suatu Cerita

Bentuk lain yang dapat diperankan siswa adalah melakonkan sebuah cerita yang sesuai dengan gagasan dan ide yang terkandung dalam pokok bahasan.

Guru memberikan instruksi khusus kepada peserta bermain peran setelah memberikan penjelasan pendahuluan kepada keseluruhan kelas. Penjelasan tersebut meliputi latar belakang dan karakter dasar melalui tulisan atau penjelasan lisan. Para peserta (pemeran) dipilih secara sukarela. Siswa dibebasakan untuk menggariskan suatu peran.


(51)

Apabila siswa pernah mengamati suatu situasi dalam kehidupan nyata, maka situasi tersebut dapat dijadikan sebagai situasi bermain peran. (Hamalik, 2011: 215)

Memahami uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa model

pembelajaran role playing dengan melakonkan cerita didasarkan atas persiapan dan skenario yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Peran yang ditampilkan menggambarkan karakter dasar dari suatu cerita yang terkait dengan pokok bahasan yang sedang dipelajari. Walaupun model melakonkan cerita berbasis skenario, namun siswa diberi kebebasan untuk berimajinasi dalam merencanakan suatu peran. Hal tersebut bertujuan agar penghayatan siswa terhadap kandungan cerita lebih mendalam, karena berdasarkan imajinasi atau fenomena yang dilihat siswa dalam kehidupan sehari-hari.

3. Sandiwara Boneka atau Wayang

Salah satu bentuk role playing adalah menampilkan cerita melalui media wayang atau boneka. Menurut Ramayulis (2010: 348), “peserta didik dapat secara bebas memainkan boneka atau wayang yang dibawa mereka atau yang telah disiapkan oleh sekolah. Ide-ide cerita dapat dirangsang melalui berbagai media seperti, cerita pendek, cerita

dari buku, radio, televisi, maupun film.”

Memahami uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa model pembelajaran role playing dengan sandiwara boneka atau wayang, siswa memerankan suatu peran dengan ide-ide cerita yang didapatkan dari berbagai media, baik media elektronik maupun nonelektronik.


(52)

c. Tujuan Model Pembelajaran Role Playing

Tujuan dari pembelajaran dengan model role playing adalah agar siswa mampu menghayati materi yang terkandung dalam cerita yang

diperankan dan memiliki keterampilan sosial serta hubungan sosial yang lebih baik. Roestiyah (2012: 90) menjelaskan bahwa model role playing bertujuan agar siswa dapat menghayati peranan yang dimainkan, mampu menempatkan diri dalam situasi orang lain yang dikehendaki guru. Menurut Djamarah dkk (2006: 88), tujuan yang diharapkan dengan penggunaan model role playing meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain. 2. Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab.

3. Dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara sepontan.

4. Merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil pengertian bahwa tujuan dari penggunaan model role playing yaitu melatih keterampilan sosial dan hubungan sosial pada diri siswa untuk dapat menghargai orang lain, bersikap tanggung jawab, dan menumbuhkan kepekaan sosial dalam diri siswa sehingga dapat mengaitkan topik pembelajaran di kelas dengan fenomena sosial yang aktual di masyarakat.

Lebih lanjut tentang tujuan model role playing, menurut Daradjat (2008: 301), tujuan dari penerapan model role playing adalah sebagai berikut. 1. Agar anak didik mendapatkan ketrampilan sosial sehingga diharapkan

nantinya tidak canggung menghadapi situasi sosial dalam kehidupan sehari-hari.


(53)

2. Menghilangkan perasaan malu-malu dan rendah diri yang tidak pada tempatnya, maka ia dilatih melalui temannya sendiri untuk berani dalam sesuatu hal.

3. Mendidik anak mengembangkan kemampuan untuk mengemukakan pendapat di depan teman sendiri atau orang lain.

4. Membiasakan diri sanggup menerima dan menghargai pendapat orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari role playing adalah agar peserta didik memiliki ketrampilan sosial dan dapat menerapkan materi yang diajarkan dalam interaksi sosial. Selain itu role playing bertujuan pula untuk melatih peserta didik agar berani mengungkapkan pendapat dan dapat mengembangkan kemampuan afektifnya. Misalnya, cara bersikap, bertingkah laku, dan kepedulian sosial.

d. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Role Playing

Model role playing menekankan pada keterampilan siswa untuk

berperan dan berperilaku dalam posisi dan situasi tertentu sesuai dengan karakter tokoh dan peristiwa yang diperankan. Adapun kelebihan dari model role playing adalah sebagai berikut.

1. Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih keberanian.

2. Lebih menarik perhatian siswa.

3. Siswa dapat menghayati suatu peristiwa, sehingga mudah mengambil kesimpulan berdasarkan penghayatannya sendiri.

4. Siswa dilatih untuk dapat menyusun buah pikiran dengan teratur. 5. Untuk mengajar siswa agar ia bisa menempatkan dirinya dengan

orang lain. (Ramayulis, 2010: 348)

Memahami uraian di atas dapat dikemukakan bahwa model role playing memiliki kelebihan dalam melatih siswa untuk menghayati suatu


(54)

berdasarkan penghayatannya sendiri. Penghayatan tersebut dihasilkan dari peranan yang dilakukan siswa ketika siswa memainkan peran seseorang atau tokoh tertentu. Selain itu, model role playing memiliki kelebihan dalam melatih ketrampilan sosial siswa untuk menempatkan diri di tengah situasi sosial sebagaimana digambarkan dalam tema yang dipilih. Dalam hal ini, siswa berlatih untuk bersikap dan berdialog sesuai dengan skenario yang ditetapkan oleh guru.

Adapun kelemahan dari model role playing adalah sebagai berikut. 1. Model ini membutuhkan waktu cukup banyak.

2. Memerlukan persiapan yang teliti dan matang (memerlukan banyak kreasi guru).

3. Terkadang siswa tidak mau memerankan suatu adegan karena malu. 4. Apabila pelaksanaan dramatisasi gagal, kita tidak dapat mengambil

kesimpulan apa-apa. Dalam arti tujuan pendidikan tidak dapat tercapai.

5. Sukar untuk memilih anak-anak yang betul-betul berwatak untuk memecahkan masalah tersebut. (Zuhairini, 2005: 12)

Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa salah satu kelemahan model role playing adalah model tersebut membutuhkan banyak waktu, sehingga tidak cukup untuk diterapkan pada pokok bahasan yang mengandung beberapa sub pokok bahasan yang banyak. Selain itu, diperlukan pula ketrampilan siswa dalam memerankan tokoh tertentu, sehingga apabila siswa tersebut gagal memerankannya, dikhawatirkan kesimpulan dari cerita yang diperankan menjadi kabur.


(55)

e. Langkah-Langkah Penerapan Model Pembelajaran Role Playing

Model role playing sebagai salah satu model pembelajaran untuk

mencapai tujuan pembelajaran memerlukan langkah-langkah yang perlu diperhatikan agar dapat berjalan secara efektif. Adapun langkah-langkah penerapan model role playing menurut Huda (2013: 210) adalah sebagai berikut.

1. Guru mempersiapkan skenario yang akan ditampilkan.

2. Menunjuk kelompok untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

3. Guru membentuk kelompok siswa yang masing-masing beranggotakan 5 orang.

4. Guru memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai. 5. Guru memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan

skenario yang sudah dipersiapkan.

6. Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.

7. Setelah selasai ditampilkan, masing-masing diberikan lembar kerja untuk membahas/memberi penilaian atas penampilan masing-masing kelompok.

8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya. 9. Guru memberikan kesimpulan secara umum.

10.Evaluasi. 11.Penutup.

Berdasarkan langkah-langkah penerapan model role playing di atas, dapat dikemukakan bahwa langkah penerapan model role playing terdiri dari persiapan skenario, pelaksaan dalam bentuk peranan yang ditampilkan oleh siswa, evaluasi dan penutup.

Persiapan skenario dirancang oleh guru dengan memperhatikan

relevansinya dengan materi pelajaran. Pelaksanaan skenario diperankan oleh siswa yang ditunjuk oleh guru dengan memperhatikan pemahaman dan kemampuan siswa dalam memerankan karakter tokoh dalam skenario.


(56)

Sedangkan evaluasi dilakukan dengan memberikan pertanyaan kepada siswa tentang materi yang telah ditampilkan dalam bentuk peranan. 2.1.6 Model Pembelajaran Inside Outside Circle (IOC)

a. Pengertian Model Pembelajaran Inside Outside Circle (IOC) Menurut Lie (2010: 65) model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle adalah teknik pembelajaran yang dikembangan oleh Spancer Kagan untuk memperoleh kesempatan pada siswa agar saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan.

Sejalan dengan Lie, menurut Ibrahim (2000: 7), “model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan, perasaan, kepedulian, dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar

belakangnya”.

Berbeda dengan Ibrahim, menurut Suprijono (2009: 97), “model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle adalah model

pembelajaran dengan sistem lingkaran kecil dan lingkaran besar dimana siswa saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan

pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur”.

Lebih lanjut menurut Suprijono (2009: 97) mengatakan bahwa:“model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle adalah salah satu tipe dari pembelajaran kooperatif dengan sintaks pengarahan, buat kelompok heterogon, membentuk lingkaran luar berdiri mengahadap ke dalam dan lingkaran dalam berdiri menghadap keluar, beri persoalan materi bahan ajar pada tiap-tiap pasangan yang berhadapan disebut kelompok

pasangan asal. Kemudian berikan waktu untuk berdiskusi, setelah mereka berdiskusi, guru meminta kepada anggota kelompok lingkaran dalam bergerak berlawanan arah dengan anggota kelompok lingkaran luar. Setiap pergerakan akan membentuk pasangan baru. Pasangan ini wajib


(57)

memberi informasi berdasarkan hasil diskusi dengan pasangan asal, sehingga hasil diskusi di tiap-tiap kelompok besar tersebut kemudian dipaparkan sehingga terjadi diskusi antar kelompok besar”.

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle adalah salah satu model pembelajaran yang terdapat pengarahan, pembuatan kelompok dengan latar belakang yang berbeda, pembagian informasi, berdiskusi dalam suatu lingkaran kecil dan lingkaran besar.

Oleh karena itu, dalam pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle siswa dapat berperan sebagai siswa ataupun guru. Saat bekerja secara kolaborasi untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka siswa akan mengembangkan keterampilan hubungan dengan sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan diluar sekolah.

b. Tujuan Model Pembelajaran Inside Outside Circle (IOC)

Pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle memiliki tujuan yang mengacu pada tujuan pembelajaran kooperatif.

Menurut Lie (2010: 65) adapun tujuan dari model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle yaitu.

1. Melatih siswa untuk bekerjasama dengan kelompok.

2. Melatih siswa untuk belajar mandiri dalam berfikir dan memperoleh pengetahuan.

3. Melatih siswa untuk berbicara dan menyampaikan informasi kepada orang lain.

4. Melatih kedisiplinan dan keterlibatan siswa.

5. Melatih siswa untuk mengolah informasi yang ia dapat sehingga murid benar-benar paham terhadap meteri pembelajaran yang diajarkan.


(58)

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan dari model pembelajaran inside outside circle adalah melatih siswa untuk mengembangkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, mengembangkan kemampuan hubungan sosial, dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi.

c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Inside Outside Circle (IOC)

Menurut Lie (2010: 65) mengatakan belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle, diantaranya.

1. Struktur yang jelas dan memungkinkan siswa untuk berbagi dengan pasangan yang berbeda dengan seingkat dan teratur.

2. Siswa dapat bekerja dengan sesama siswa dengan suasana gotong royong dan mempunyai kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi dalam berinteraksi. 3. Setiap siswa mendapatkan informasi yang berbeda dalam waktu yang

bersamaan, dalam waktu yang bersamaan siswa dapat berbicara berdasarkan tugas yang telah diberikan sebelumnya oleh guru secara berpasangan.

4. Lebih banyak ide yang dimunculkan oleh siswa dan guru mudah untuk memonitor. Hal ini dapat mempengaruhi motovasi dan keaktifan setiap individu dan mereka mempunyai rasa percaya diri dan dapat menilai kemampuan diri mereka sendiri.

5. Atmosfere di dalam kelas menjadi kondusif dan menyenangkan. 6. Siswa memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar,

disamping itu juga dapat melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berfikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill) seperti keterampilan untuk memngemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerja sama untuk meningkatkan kepedulian sesama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya kemungkinan perilaku yang menyimpang dalam kelas. 7. Memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan,

kemampuan dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek


(1)

78

Rumusan hipotesis 3.

Ho : rasa empati siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran role playing lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran inside outside circle bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient rendah dalam

pembelajaran IPS Terpadu.

Ha : rasa empati siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran role playing lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran inside outside circle bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient rendah dalam

pembelajaran IPS Terpadu.

Rumusan hipotesis 4.

Ho : tidak ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan intelligence quotient terhadap rasa empati siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu.

Ha : ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan

intelligence quotient terhadap rasa empati siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu.

Adapun kriteria pengujian hipotesis adalah. Tolak Ho apabila Fhitung > Ftabel ; Fhitung < Ftabel.

Terima Ho apabila Fhitung < Ftabel ; Fhitung > Ftabel.

Hipotesis 1 dan 4 menggunakan analisis varians dua jalan.


(2)

131

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan hipotesis maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

a. Ada perbedaan rasa empati siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran inside outside circle dengan siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran role playing dalam pembelajaran IPS Terpadu.

b. Rasa empati siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inside outside circle lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran role playing bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient tinggi dalam pembelajaran IPS Terpadu. c. Rasa empati siswa yang pembelajarannya menggunakan model

pembelajaran role playing lebih tinggi dibandingkan dengan

menggunakan model pembelajaran inside outside circle bagi siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient rendah dalam pembelajaran IPS Terpadu.

d. Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan intelligence quotient terhadap rasa empati siswa dalam pembelajaran IPS Terpadu.


(3)

132

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian tentang efektivitas model pembelajaran tipe inside outside circle dan role playing dalam pembelajaran IPS Terpadu untuk meningkatkan rasa empati siswa dengan memperhatikan intelligence quotient pada siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Bandar Lampung tahun ajaran

2014/2015, maka peneliti menyarankan.

a. Penggunaan model pembelajaran yang bervariasi hendaknya senantiasa dilakukan agar memudahkan siswa dalam menerima dan memahami pelajaran. Penggunaan model pembelajaran yang tepat dan variatif diharapkan dapat meningkatkan rasa empati siswa.

b. Sebaiknya siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient yang tinggi maupun rendah lebih berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran inside outside circle dan

meningkatkan sikap kerjasama guna meningkatkan rasa empati antar siswa.

c. Sebaiknya siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient yang tinggi maupun rendah lebih berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran role playing dan meningkatkan sikap kerjasama guna meningkatkan rasa empati antar siswa.

d. Sebaiknya model pembelajaran tipe inside outside circle dan role playing mulai diterapkan oleh guru karena mampu meningkatkan rasa empati siswa yang memiliki tingkat intelligence quotient yang tinggi maupun rendah. Namun, penerapannya disesuaikan dengan pokok bahasan dan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alder, Harry. 2001. Boost Your Intelligence. Jakarta: Erlangga

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. 2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Arikunto, Suharsimi. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Astuti, Veronika Yulia. 2013. Pengaruh penggunaan model pembelajaran cooperatif learning tipe role playing terhadap hasil belajar ekonomi siswa kelas X semester genap SMA Negeri 1 Sepatih Mataram Tahun Pelajaran 2012/2013. Bandar Lampung, Skripsi Universitas Muhammdiyah

Dalyono, M. 2012. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Darajat. 2008. Metode dan Teknik Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Djaali, Haji. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta

Hamalik, Oemar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara

Hamzah, B.Uno. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ibrahim, Muslim. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA

Isjoni. 2012. Cooperatif Learning : Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta

Lie, Anita. 2010. Cooperatif Learning : Mempraktikan Cooperatif Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo


(5)

Mulyasa, E. 2008. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter : Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara

Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Rahayu, Purwati Yuni. 2014. Pengaruh Intelligence Quotien (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan persepsi siswa tentang penggunaan media permbelajaran terhadap hasil belajar ekonomi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013/2014. Bandar Lampung, Skripsi Universitas Lampung

Ramayulis. 2010. Metode Peneliti Sosial. Jakarta: Rineka Cipta Roestiyah. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta

Sagala, Saiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta Sani, Ridwan Abdullah. 2013. Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran : Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Santrock, John. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Empat

Siregar, Eveline. 2011. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Gahlia Indonesia

Slameto, 2008. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Slavin, Robert E. 2010. Cooperatif Learning : Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media

Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Solihatin, Etin. 2007. Cooperatif Learning Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara

Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito

Sudjana. 2004. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta


(6)

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Sulistyowati, Endar. 2014. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Inside Outside Circle (IOC) terhadap hasil belajar IPS Terpadu kelas VIII SMP Negeri 4 Metro Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014. Bandar Lampung, Skripsi Universitas Muhammadiyah

Suprijono, Agus. 2009. Cooperatif Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar Taufik. 2012. Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo


Dokumen yang terkait

Penerapan model pembelajaran kooperatif Tipi Inside-outside circle untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa (penelitian tindakan kelas di MTSN Tangerang 11 Pamulang)

4 20 61

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe inside outside circle (ioc) untuk meningkatkan hasil belajar ips siswa kelas VII-B smp muhammadiyah 17 ciputat tahun ajaran 2014/2015

3 43 0

Perbedaan hasil belajar ips siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif teknik inside outside circle dan two stay two stray

0 12 0

PENGARUH INTELLIGENCE QUOTIENT (IQ), KEPEMILIKAN LITERATUR IPS TERPADU SISWA DAN BUDAYA MEMBACA SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 24 BANDAR LAMPUNG SEMESTER GANJIL TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 15 98

STUDI PERBANDINGAN KECERDASAN MORAL DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE SCRIPT DAN MODEL PEMBELAJARAN ROLLE PLAYING DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN SPIRITUAL SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP SEJAHTERA BANDAR LAMPUNG

0 15 105

PEMBELAJARAN CANGGET DENGAN MENGGUNAKAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE INSIDE OUTSIDE CIRCLE (IOC) DI SMA NEGERI I MELINTING LAMPUNG TIMUR

0 4 259

PEMBELAJARAN CANGGET DENGAN MENGGUNAKAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE INSIDE OUTSIDE CIRCLE (IOC) DI SMA NEGERI I MELINTING LAMPUNG TIMUR

0 8 49

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE IOC (INSIDE OUTSIDE CIRCLE ) TERHADAP HASIL BELAJAR LAGU NUSANTARA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 LUBUK PAKAM.

0 2 29

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INSIDE OUTSIDE CIRCLE (IOC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA KELAS V Penerapan Strategi Pembelajaran Inside Outside Circle (IOC) Sebagai Upaya Meningkatkan Keaktifan Siswa Kelas V Mata Pelajaran IPA SD Negeri Ba

0 0 15

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INSIDE OUTSIDE CIRCLE (IOC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA KELAS V Penerapan Strategi Pembelajaran Inside Outside Circle (IOC) Sebagai Upaya Meningkatkan Keaktifan Siswa Kelas V Mata Pelajaran IPA SD Negeri Ba

0 0 14