Kinerja DPR Pada Saat Kehadiran BK

31 setiap kamar mempunyai kekuasaan yang ekslusif dari kamar lainnya. 13 Untuk Senate mempunyai kekuasaan yang ekslusif dalam meratifikasi treaty, sedangkan untuk House of Representative memulai dalam hal mengusulkan RUU yang berkaitan dengan keuangan bills on appropriation, revenue or tariff bills, bills authorizing increase of public debt, bills of local application, and private bills. 14 Dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa Parlemen Filipina tidak mempunyai lembaga pengawas yang dibentuk sendiri seperti halnya MKD yang merupakan lembaga pengawas yang dibentuk sendiri oleh DPR. Terlihat bahwa Parlemen Filipina juga menggunakan “check and balances system ” yang sama dengan Parlemen Amerika Serikat. Perbedaannya adalah terkait peran antara kamar satu dengan kamar lainnya, jika Parlemen Amerika terlihat bahwa Senate lebih dominan daripada House, maka Parlemen Filipina tidak ada yang lebih dominan antara Senate dan House.

B. Kinerja DPR Pada Saat Kehadiran BK

Kinerja DPR RI setelah hadirnya lembaga pengawas BK tetap saja tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dan dapat dikatakan masih buruk. Hasil tidak memuaskan ini disebabkan 13 Purnomowati, Rini Dwi, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, Op.Cit., h.118. 14 Ibid, h.119. 32 gagalnya BK dalam mencegah dan memperbaiki citra anggota DPR yang terpuruk karena berbagai skandal yang mereka lakukan. Terungkapnya beberapa kasus tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang melibatkan anggota DPR menunjukkan bahwa kontrol internal di DPR tidak berfungsi efektif. Belum lagi kasus-kasus pelanggaran nilai moral dan kode etik lain seperti perselingkuhan, pelecehan seksual, jalan-jalan ke luar negeri, adanya anggota DPR yang mendapatkan dana operasional dari pihak ketiga dalam menjalankan fungsinya, maupun dugaan gratifikasi. BK merupakan perisai untuk menghindari kekuasaan DPR dari berbagai bentuk penyimpangan, tapi nyatanya BK tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai pengawas internal DPR. Ketidakmampuan BK dalam menjaga citra anggota DPR dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain: 15 1. Lemahnya Kerangka Yuridis BK BK selama ini dikerangkakan oleh tata tertib DPR yang mengekang. Posisi BK ditetapkan sebagai pengawas internal yang pasif karena tidak wewenang untuk menjalankan kerja- kerja inisiatif. Dalam tata tertib DPR, Badan Kehormatan baru dapat bekerja jika dua syarat telah dipenuhi, yaitu adanya laporan pengaduan dari masyarakat atas dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR, dan jika ada perintah dari 15 Efektivitas Badan Kehormatan DPR, http:dokumen.tipsdocumentsefektivitas-badan- kehormatan-dpr.html, dikunjungi pada 13 Mei 2016 hlm. 2-4, Pukul 09.01. 33 pimpinan DPR. Sepanjang kedua syarat itu tidak dimiliki, BK tidak dapat bertindak apapun meski pelanggaran kode etik itu dilihat atau diketahui langsung oleh BK. Hal itu membuat fungsi pencegahan tidak dapat dijalankan oleh BK. 2. Posisi BK tidak Independen Keanggotaan BK yang dipilih dari anggota DPR sendiri menyulitkan BK untuk menjalankan fungsi pengawasan secara mandiri tanpa intervensi. Pasal 57 tata tertib DPR mengenai pengangkatan anggota BK mengatur soal wewenang besar bagi fraksi untuk mengganti sewaktu-waktu anggotanya yang ditempatkan di BK. Minimnya independensi dan kondisi yang rentan campur tangan fraksi membuat keputusan BK sering tebang pilih. Contohnya adalah dengan membandingkan kasus anggota DPR Azzidin yang dilaporkan ke BK karena kasus surat kop Partai Demokrat yang dikirimkan ke Konsul Haji Di Jeddah, berkaitan dengan percaloan pemondokan haji dankatering. Hanya dalam waktu 6 minggu putusan sudah dibuat. Padahal bukti yang dilaporkan terbatas karena hanya berupa kutipan di media masa. Sementara dalam kasus pengaduan Ketua DPR Agung Laksono terkait dengan safari Ramadhan yang dilakukannya, bukti yang disampaikan sudah sangat jelas namun BK justru 34 membekukan kasus tersebut. BK menyatakan tidak ada persoalan dalam kasus Agung karena buktinya tidak otentik, padahal ada bukti rekaman dari 3 daerah pada saat Agung bersafari. 3. Kaburnya Pengertian Kode Etik di Lingkungan DPR Di DPR tidak ada definisi yang konkret dan operasional atas apa yang disebut sebagai pelanggaran kode etik. Menurut ketentuan tata tertib DPR, yang dimaksud sebagai pelanggaran kode etik identik dengan pengertian hukum mengenai pelanggaran pidana. Hal itu menyebabkan Badan Kehormatan terkesan harus menunggu proses hukum bagi anggota DPR diputus oleh pengadilan terlebih dahulu sebelum memutuskan sanksi. Contohnya adalah kasus dugaan suap Bank Indonesia yang melibatkan semua anggota Komisi IX DPR RI periode 1999 –2004. BK tidak dapat menjatuhkan sanksi pada anggota DPR yang terlibat sampai putusan pengadilan dijatuhkan pada mereka. Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan partai berkuasa, BK sulit untuk bersikap adil. Tapi bagi anggota DPR yang posisinya hanya sebagai anggota saja, BK dapat mengambil putusan yang besar, bahkan sampai memecatnya dari keanggotaan DPR. 35 Ketidakaktifan BK seakan membiarkan anggota DPR melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib atau kode etik DPR. Hal ini menyebabkan kinerja BK menjadi tidak efektif. Jangankan mengawasi anggota DPR dari tindak korupsi, mengawasi kehadiran anggota DPR dalam sidang saja tidak bisa. Banyak sidang-sidang DPR yang tidak mencapai kuota 23 karena anggotanya banyak yang bolos sidang, atau sekedar tanda tangan absen lalu entah menghilang ke mana. Ada juga yang datang tapi kerjanya cuma main HP, baca koran, atau tertidur saat sidang, sampai-sampai ditegur dan membuat marah Presiden SBY. 16

C. Pergeseran Kedudukan Antara BK dan MKD