48
etik profesi. Kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi.
29
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa Profesi tidak dapat dipegang oleh sembarangan orang, tetapi memerlukan suatu persiapan melalui
pendidikan dan pelatihan yang dikembangan khusus untuk itu. Dalam hal ini, DPR tidak memenuhi unsur tersebut, karena keanggotaan DPR dipilih
oleh masyarakat melalui sistem Pemilihan umum Pemilu, bukan melalui suatu pendidikan dan pelatihan seperti halnya yang dilakukan oleh
organisasi profesi lainnya seperti Notaris yang harus melalui proses pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu.
Berdasarkan pemaparan diatas, jika kita bandingkan antara DPR dan lembaga profesi lainnya, seperti halnya organisasi Notaris akan memiliki
banyak unsur yang tidak dimiliki oleh DPR sehuingga berbeda dengan lembaga profesi lainnya. Selain itu, jika dilihat dari segi unsur pendukung,
ada beberapa unsur pendukung yang tidak terpenuhi oleh DPR, sehingga DPR sangat berbeda dengan lembaga profesi lainnya.
II. PEMBAHASAN
A. Kewenangan Yang Dimiliki Oleh MKD Sangat Berlebihan
Seperti telah dikemukakan diatas, kewenangan MKD sebagai alat kelengkapan DPR yang juga berfungsi sebagai lembaga pengawas memang
29
Munir Fuady, Profesi Mulia : Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator dan Pengurus, Op.Cit., h.10.
49
sangat berlebihan jika dibandingkan dengan alat kelengkapan DPR sebelumnya, yaitu BK.
Hal ini terlihat jelas dengan hadirnya Pasal 245 3 UU MD3 yang menyatakan bahwa:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”
Ketentuan pasal diatas merupakan kewenangan yang tidak dimiliki oleh BK sebagai alat kelengkapan DPR sebelumnya yang memiliki fungsi yang sama
dengan MKD. Jika ditilik secara lebih mendalam, Mahkamah Konstitusi MK me-nyatakan bahwa izin tertulis dari MKD tidak tepat, MKD sebagai salah satu
alat kelengkapan DPR merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung apapun pada sistem peradilan pidana dan berpotensi menimbulkan
gangguan secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kinerja dari aparat penegak hukum. Karena, seharusnya aparat penegak hukum dalam melaksanakan
proses peradilan, mulai dari penyelidikan sampai adanya putusan pengadilan tidak boleh mendapatkan hambatan apapun.
Selain karena kewenangannya yang dinilai terlalu berlebihan terkait dengan pemberian izin terkait proses pemanggilan terhadap anggota DPR, hal yang
banyak menarik perhatian masyarakat adalah pertimbangan dalam pembentukan MKD. Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan didepan hukum Equality
Before The Law, syarat izin persetujuan dari Mahkamah Kehormatan seharusnya
50
tidak perlu karena dikhawatirkan berpotensi menjadi celah untuk melarikan diri dan untuk menghilangkan berbagai alat bukti.
30
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengisian anggota MKD dari dan oleh anggota DPR pun dinilai menimbulkan konflik kepentingan.
31
Untuk dijadikan sebagai sebuah lembaga pengawas, sudah seharusnya susunan keanggotaan MKD
berasal dari kalangan profesional di luar DPR. Hal ini dimaksudkan agar dalam menjalankan tugasnya secara independen tanpa ada intervensi dari pihak lainnya,
termasuk dari pihak DPR itu sendiri. Jika susunan keanggotaan MKD diisi dari anggota DPR itu sendiri, maka
akan timbul rasa ketidakpercayaan dari berbagai pihak terhadap eksistensi dan independensi MKD dalam melaksanakan tugasnya terkait salah satu fungsinya
yaitu melakukan fungsi pengawasan terhadap anggota DPR. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kewenangan MKD terkait dengan Pasal 245
3 UU MD3 sangat berlebihan sebagai alat kelengkapan yang juga berfungsi sebagai lembaga pengawas bagi DPR. Keputusan MK untuk mencabut ketentuan
pasal ini sangat tepat agar tidak ada praktek tebang pilih dalam penegakan hukum di Indonesia.
B. DPR Bukanlah sebuah Lembaga Profesi