Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Begitu pula dalam proses peradilan pidana, antara tersangka atau terdakwa dengan pelapor atau saksi korban dari suatu tindak pidana diharapkan mempunyai kedudukan yang sama dalam proses hukum dalam rangka mencari keadilan. Saksi korban dari suatu tindak pidanaakan memberikan kesaksian untuk mengungkap tindak pidana disamping dukungan dari alat bukti lain. Untuk memberantas suatu kejahatan harus ada kesaksian, dan untuk mendapatkan kesaksian yang benar diperlukan saksi dan atau saksi korban yang berani bersaksi secara jujur dalam mengungkap kebenaran tentang apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri. Pada banyak kasus tidak gampang untuk membuat seseorang bersedia menjadi saksi, apalagi pada kasus yang menyangkut kesusilaan seperti pemerkosaan.Hal tersebut dikarenakan adanya perasaan malu, takut dikriminalisasi, rasa takut disakiti, takut dibunuh dan sederet rasa takut lainnya. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan melaporkannya kepada pihak berwajib penegak hukum guna mendapatkan rasa keadilan, terlebih bagi korban dari suatu tindak pidana. Terjadinya berbagai tindak pidana dalam masyarakat merupakan suatu indikasi pula bahwa korban demi korban dari kejahatan itu juga terus berjatuhan dengan berbagai bentuk kerugian yang tidak terelakkan.Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri secara langsung. Jenis kerugian yang diderita korban bukan saja dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk penyembuhan luka fisik serta kemungkinan hilangnya pendapatan ataupun keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga kerugian yang bersifat nonfisik yang susah bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu menghantui, adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bisa timbul. Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tetapi justru tidak memperoleh perlindungan sebagaimana yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana sesuai yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak di pedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga terhadap korban kejahatan. Dalam setiap penanganan perkara pidana, aparat penegak hukum polisi, jaksa sering kali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaanya karena telah menjadi korban kejahatan secara mental, fisik, maupun materiil dan kepentingan tertuduh atau tersangka sekalipun ia bersalah, tetapi ia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar, terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah asas praduga tidak bersalah. 1 Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sementara hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut: ”Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban” 2 Dalam penyelesaian perkara pidana, apabila dikaji dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif, pelaku kejahatan lebih mendapat perhatian seperti rehabilitasi, treatment of offenders, readapsi sosial, pemasyarakatan, dan lain- lain. 3 Sedangkan korban kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, 1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2006, UrgensiPerlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II, hal. 24. 2 Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, Hal. 33. 3 C. Maya Indah S., 2014, Perlindungan Korban: Suatu persektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hal. 97. baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun imateriil, sebagaimana Geis berpendapat :”Too much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims. ” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil. 4 Korban tidak diberi kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan maupun dipersidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu kejahatan. 5 Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, sering kali korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara. 6 Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai saksi dipersidangan, ia dikenakan sanksi. Jika disimak pasal demi pasal yang tertera pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP, hanya mengatur tentang hak-hak tersangka, dan sangat tidak seimbang dengan hak-hak korban dari suatu tindak pidana, atau tidak diatur secara jelas apa yang menjadi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Pada KUHAP disana hanya mengatur tentang hak-hak tersangka sejak dalam proses 4 Chaerudin Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, hal. 47. 5 Ibid, hal. 49. 6 Ibid, hal. 51. penyidikanhingga sampai dilakukan pemeriksaan ditingkat pengadilan. Ditingkat penyidikan, hak tersangka adalah untuk mendapatkan pendampingan dari penasehat hukum hingga hak tersangka untuk menuntut aparat penegak hukumpenyidik melalui lembaga praperadilan ketika terjadi kesalahan atau ketidaksahan dalam hal adanya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, sedangkan hak tersangka ditingkat pengadilan adalah berhak mendapatkan pendampingan penasehat hukum, apalagi ancaman pidana bagi tersangka diatas 5 lima tahun menjadi kewajiban bagi negara untuk menyediakan Penasehat Hukum bagi tersangka secara cuma-cuma apabila tersangkanya tidak mampu membayar penasehat hukum. Selama ini keadilan dalam hukum pidana sudah dianggap ditegakkan apabila pelaku tindak pidana sudah dijatuhi sanksi pidana melalui putusan hakim di Pengadilan. Dengan kata lain, kerugian atau penderitaan korban dari suatu tindak pidana dianggap sudah diimpaskan, dibayar atau dipulihkan oleh pelaku tindak pidana apabila pelaku tindak pidana telah menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan.Sanksi pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan” kesalahan pelaku kepada negara daripada wujud pertanggungjawaban pelaku atas perbuatan jahatnya kepada korban. Mengenai kepentingan korban, apakah dengan di pidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya. Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Korban kejahatan adalah merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan atau kerugian akibat dari suatu tindak pidana, sedangkan pelaku adalah pihak yang mendapatkan atau berusaha mendapatkan keuntungan dari kejahatannya, sebagai pihak yang mengalami penderitaan, korban justru sering dilupakan oleh aparat penegak hukum, khususnya polisi, jaksa dan hakim. Fokus perhatian dan energi aparat penegak hukum hampir selalu terkonsentrasi pada pelaku. Meskipun demikian apabila hal ini dianggap suatu kesalahan, maka kesalahan tersebut tidak seluruhnya dapat ditimpakan kepada aparat penegak hukum karena aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana menerapkan aturan hukum pidana yang selama ini menjadi acuan yang dipegang yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Selebihnya hak korban dari suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya ada dalam hal untuk menuntut adanya penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan melalui lembaga praperadilan. Hukum pidana yang dibangun atas dasar fiksi hukum, negara mengambil alih peranan penuntutan yang menjadi hak korban dengan alasan untuk meminimalkan potensi pembalasan yang bersifat personal dan untuk pemidanaan yang tepat atas dasar pertimbangan rasional demi korban dan masyarakat secara keseluruhan. 7 Hak dari korban tindak pidana hanya diwakili oleh negara, pada tingkat pemeriksaan hak korban telah diwakili oleh penyidik Polri, pada tingkat penuntutan hak korban diwakili oleh penuntut umum Jaksa dan pada tingkat persidangan hak korban telah diwakili oleh pengadilan Hakim.Seperti halnya 7 G. Widiartana, 2014, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal 139. peran jaksa penuntut umum untuk melakukan upaya hukum apabila putusan yang dijatuhi oleh hakim terhadap terdakwa dirasa tidak memenuhi rasa keadilan.Kadangkala peranan negara untuk memperjuangkan hak korban dari suatu tindak pidana dirasa kurang memuaskan, karena kemungkinan- kemungkinan adanya ketidakseriusan dari aparat negara dalam hal ini jaksa penuntut umum untuk memperjuangkan hak korban tindak pidana baik melalui upaya hukum banding, upaya hukum kasasi maupun upaya hukum peninjauan kembali.Substansi maupun prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini dijalankan hampir tidak membawa manfaat apapun bagi pemulihan penderitaan korban. Menurut G. Widiartana, ada 2 dua alasan penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana tidak membawa manfaat bagi pemulihan penderitaan korban yaitu : Pertama, yaitu orientasi dalam pemidanaan lebih terfokus pada pelaku offender oriented sehingga penderitaan atau kerugian korban diabaikan; kedua, prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini dijalankan tidak memungkinkan bagi korban untuk turut serta secara aktif menentukan cara bagaimana konflik itu diselesaikan. Bahkan sikap dan tindakan aparat penegak hukum yang menjalankan prosedur penyelesaian perkara pidana seringkali justru menimbulkan penderitaan lain pada korban secondary victimization. 8 Berpegang pada alasan yang dikemukakan oleh G. Widiartana, kiranya pemerintah perlu membuat suatu kebijakan dibidang penegakan hukum pidana untuk memberikan solusi mendapatkan keadilan bagi korban suatu tindak pidana. Menurut Muladi, penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap: 8 Ibid, Hal. 135. 1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif. 2. Tahap aplikasi yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif. 3. Tahap ekskusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan ekskutif atau administratif. 9 Kebijakan dibidang penegakan hukum pidana dalam rangka memperoleh keadilan bagi korban tindak pidana hendaknya dimulai dari tahap formulasi atau tahap legislatif yang nantinya dapat dijadikan payung hukum bagi penegak hukum melaksanakan tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi atau tahap yudikatifmulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Tidak dapat dipungkiri, kedepannya nanti konflik atau pertikaian dalam kehidupan masyarakat akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat, baik yang terkait antara dua individu maupun lebih. Situasi ini akan semakin mempersulit dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Oleh karena itu, perlu dicari upaya-upaya lain dalam prosedur peradilan pidana yang sudah ada, agar masyarakat tidak hanya tergantung pada prosedur yang ada saat ini, namun tetap mendapatkan keadilan dan penyelesaian masalah terutama untuk korban sebagai pihak yang paling dirugikan atau menderita. Saat ini proses peradilan pidana merupakan konsep yang tidak memberikan perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan korban tindak pidana maupun pelaku tindak pidana. Robert Reif mengemukakan asumsi bahwa: 9 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 13. “The problem of crime, always gets reduced to “what can be done about criminal”. No body asks, “what can be done about victims?” everyone assume the best way to help the victim is to catch the criminal as though the offender is the only souce of the victim trouble”. suatu masalah dalam hukum pidana, selalu mereduksi “apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat” tidak seorangpun bertanya “apa yang dapat dilakukan terhadap korban”. Setiap orang berasumsi cara yang paling baik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku adalah sumber penderitaan korban. 10 Konteks diatas, menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan penting eksistensinya.Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya hukuman kepada pelaku. Oleh karena itu, maka sistem peradilan pidana hendaknya menyesuaikan, menserasikan kualitas dan kuantitas penderitaan serta kerugian yang diderita korban, sehingga perlu diterapkan konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Konsep pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutahir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana.Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB melalui Basic Principles yang telah digariskannya menilai bahwa, pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. 10 Parman Soeparman, 2007, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, hal. 69. Menurut Dr. Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. 11 Dengan demikian, menurut penulis terkait dengan keadilan yang bisa diperoleh korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional dalam proses penegakan hukum di Indonesia belum diatur secara jelas dalam undang- undang tersendiri sehingga disini ditemukan adanya kekosongan hukum dalam rangka mencari keadilan bagi korban suatu tindak pidana. Hak-hak korban dari suatu tindak pidana yang ada saat ini tersebar dalam berbagai undang-undang seperti ada pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seharusnya hak-hak korban dari suatu tindak pidana sudah mendapat perhatian yang sama dengan hak-hak tersangka, seperti hak untuk mendapatkan bantuan hukum baik diminta maupun tidak oleh korban. Hal ini penting mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita akibat kejahatan, sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat mengakibatkan pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan. 11 Eva Achjani Zulfa, 2009, “Definisi Keadilan Restoratif”, Restorative Center, URL: http:evacentre.com200911definisi-keadilan-restoratif.html , diakses tanggal 20 Februari 2016. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengangkat tentang hak-hak korban dari suatu tindak pidana khususnya tindak pidana yang bersifat konvensional dalam judul penelitian tentang “KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ”

1.2 Rumusan Masalah